Masa Kehancuran Demak Demak

pemilihan Cirebon dengan pertimbangan sosial politik dan ekonomi saat itu, yang mempunyai nilai geostrategis, geopolitik dan geoekonomi yang menentukan keberhasilan penyebaran Islam selanjutnya. 99 Peranan wali sanga ini terlihat sentral dalam mengemban misinya untuk menyebarkan Islam, setidaknya dengan ajaran dan kemampuan berpolitiknya kekuatan Islam berkembang pesat di pulau Jawa. Tidak bisa dipungkiri bahwa bagian barat Jawa yakni kesultanan Banten dan Cirebon merupakan kepanjangan tangan dari peran serta wali sanga di Jawa. Pembagian kekuasaan ini dibagi kepada orang-orang yang telah terpercaya tidak akan memberontak ke Demak sebagai sentrum perjuangan Islam, hal ini akan terlihat dari pengangkatan Sultan di Cirebon dan Banten yang masih bagian dari wali sanga yakni Sunan Gunung Djati yang diteruskan oleh putranya Hasanudin.

3. Masa Kehancuran Demak

Seperti halnya kerajaan-kerajaan lainya di Pulau Jawa, Demak pun mengalami kemerosotan bahkan hancur lebur. Masalah suksesi kepemimpinan menjadi salah satu penyebab keruntuhan kerajaan-kerajaan besar di Jawa. Perebutan kekuasaan antara keluarga kerajaan tidak dapat dielakan lagi. Seperti halnya Majapahit, Demak mengalami kehancuran karena pondasi sistem yang dipakai oleh kerajaan tidak kokoh. Dalam sistem kerajaan, kekerabatan menjadi pondasi kepercayaan dan ikatan dalam pemerintahan, namun landasan kekeluargaan inipun menjadi penyebab perebutan kekuasaan dalam lingkungan keluarga, ikatan inipun yang 99 Ibid., h. 106 70 menimpa kesultanan Demak. Dengan wafatnya Pangeran Trenggana, timbulah perebutan antara anak dan kakek Trenggana. Kakek Trenggana terbunuh dia lebih dikenal dengan sebutan Seda Lepen. Kematian Seda Lepen dibalas oleh putranya Arya Penangsang dengan membinasakan anak Trenggana yang bernama Pangeran Prawata beserta keluarganya. 100 Perebutan kekuasaan dalam lingkungan keluarga terus berlangsung tetapi akhirnya yang berkuasa ialah Adipati Pajang sebelah barat daya kota Solo sekarang bernama Hadiwijaya, yang lebih terkenal dengan sebutan Jaka Tingkir. 101 Dalam pertempuran, Jaka Tingkir berhasil membinasakan Arya Penangsang dan keraton Demak dipindahkan olehnya ke Pajang 1568 dengan tindakan ini maka habislah riwayat Keraton Demak. 102 Seperti dijelaskan di atas, wali sanga mempunyai pengaruh yang cukup kuat untuk kemajuan Islam dan tegaknya kesultanan Demak. Selain kecerdikan dan kepandaiananya dalam berdakwah ternyata para wali sanga sangat piawai dalam berpolitik, tidak jarang suksesi akhirnya melibatkan legitimasi para wali sehingga terdapat beberapa pertentangan antara wali-wali tersebut. Wali sanga atau yang lebih terkenal dengan sebutan wali sembilan memiliki akar sejarah yang cukup panjang di Jawa. Awal mula kedatangan dari wali sanga adalah ketika terjadi pertempuran di Jawa yakni sebuah suksesi kepemimpinan Majapahit yang berujung peperangan yang lebih dikenal dengan perang Paregreg. Para saudagar Gujarat yang beragama Islam memberitahukan 100 Purwadi, Dakwah Sunan Kalijaga, h. 38 101 Jaka Tingkir merupakan salah satu menantu Sulatan Trenggana 102 Ibid. h. 38 71 kepada sultan Muhammad I bahwa di Jawa sedang terjadi peperangan saudara, sehingga Sultan Mahmud mengutus beberapa orang dengan keahlian di bidang irigasi dan sedikit paham mengani agama Islam. Selain masalah suksesi kepemimpinan, masalah ajaran agamapun menjadi sebuah permasalahan tersendiri dalam kalangan Islam. Hasanu Simon membagi beberapa kategori angkatan Walisanga menurut garis keturunan, dia menyebutkan bahwa dari angkatan pertama sampai angkatan ketiga kebanyakan mayoritas anggota walisanga adalah orang-orang Timur Tengah. Baru pada angkatan keempat banyak anggota walisanga yang merupakan putera-putera bangsawan pribumi. Bersamaan dengan itu orientasi ajaran Islam mulai berubah dari Arab- sentris menjadi Islam kompromistis. Pada saat itulah tubuh walisanga mulai terbelah antara kelompok futi’ah dan aba’ah. Barangkali pada saat itulah mulai muncul istilah walisanga. Kitab Walisana karya sunan GIRI II ditulis beberapa tahun sesudah itu, kira-kira awal abad ke-16. isi kitab walisana ini sangat berbeda dengan buku-buku sunan Mbonang yang masih menjelaskan tentang ajaran Islam yang murni. 103 Menurut dokumen Koprak Ferrara, sebenarnya Syekh Siti Jenar juga termasuk anggota walisanga angkatan keempat. Namun dalam naskah apa saja tokoh ini tidak pernah tercantum sebagai anggota walisanga, mungkin karena jangka waktunya yang tidak lama, atau karena kemudian dikeluarkan bahkan dihukum mati. Dalam rapat pertama walisanga angkatan keempat pun karena 103 Simon, Misteri Syekh Siti Jenar., h. 61 72 73 pandangannya yang menyimpang itu. Maulana Muhammad Al-Maghrobi sudah memperingatkan dengan ancaman bahwa Syekh Siti Jenar dapat dihukum mati. 104 Perbedaan pandangan dan cara pengajaran Islam yang dianut oleh para wali setidaknya menjadi salah satu penyebab hancurnya kerajaan Demak. Setelah kerajaan Demak hancur, kerajaan kemudian dipindahkan ke Pajang oleh Jaka Tingkir salah satu kerabat Syekh Siti Jenar. Dua kutub wali yang disebutkan di atas yakni futiah dan Abaah, kaum putihan adalah golongan yang ingin memurnikan Islam golongan ini kebanyakan merupakan golongan wali yang berasal dari Arab Timur Tengah dan golongan Abangan yang kebanyakan merupakan keturunan-keturunan dari penguasa lokal Jawa. Perlu diperhatikan bahwa mulai angkatan keempat dua kutub ajaran tersebut meluas sampai pada ranah kepemimpinan dan suksesi kesultanan. 104 Ibid., h. 61

BAB IV PERBANDINGAN STRUKTUR KEKUASAAN KERAJAAN MAJAPAHIT

DAN DEMAK Kekuasaan memang bukan barang baru dalam kajian politik, namun kemudian kekuasaan tidak bisa diterjemahkan hanya “Barat oriented“, mengingat kalau dikaji lebih jauh mengenai kekuasaan ternyata dalam bentuk terselubung seklipun terdapat konsep kekuasaan yang dipancarkan oleh setiap tradisi. Kekuasaan seperti dijelaskan Carter berkaitan dengan kemampuan untuk membuat fihak lain melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu sesuai dengan keinginan fihak yang mempunyai kekuasaan. Yang dilihat Carter, kekuasaan itu mampu membuat fihak lain melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu atas dasar kepatuhan yang datang dari dalam fihak yang patuh tersebut. 1 Dalam tradisi Barat dikenal kekuasaan yang kemudian terjelma dalam legitimasi kekuasaan dan wewenang kekuasaan, namun kemudian kekuasaan diterjemahkan sebagai sebuah aturan yang formal dengan undang-undang yang tersusun, sehingga mengindikasikan adanya pertanggung jawaban dari seorang penguasa terhadap rakyatnya. Hal ini sering disebut legitimasi etis atau normatif, mengingat aturan hukum dan undang-undang merupakan sebuah kerangka kebijakan penguasa. Berbeda dengan tradisi Barat, dalam tradisi Timur khususnya Indonesia legitimasi ataupun wewenang yang berlaku adalah legitimasi religius, dimana 1 Lihat kata Pengantar dari Maswadi Rauf dalam April Carter, Otoritas Dan Demokrasi, Jakarta: Rajawali Press, 1985 h. ix 74