Kekuasaan Dalam Tradisi Jawa

Tabel 1. Kekuasaan pemimpin tradisional kerajaan Seperti telah disebutkan dalam pembahasan di atas mengenai kekuasaan, struktur kekuasaan masyarakat feodal pun tidak jauh dari hirarki piramidal dengan kekuasaan puncak dipegang oleh suzerain, seorang raja yang mempunyai hegemoni di wilayah dimana raja-raja kecil sebagai vasalnya mengakui suzereinitasnya. Selanjutnya vasal itu sendiri masing-masing mempunyai bawahannya atau semacam subvasal, dan seterusnya. Aturan yang kemudian berlaku dalam sistem ini adalah rakyat atau yang berada di bawah harus memberikan upeti ke atas yakni kepada raja dan penguasa memberikan perlindungan kepada bawahannya. 32 Dari penjelasan di atas terlihat bahwa banyak mekanisme kerja dari kekuasaan tradisional. Cara menterjemahkan sebuah wilayah tertentu dengan wilayah yang lain tentu berbeda, hal ini terlihat dari nilai-nilai yang diusung sebagai pengikat kesatuan. Kekuasaan aristokrasi dan feodal memperlihatkan bahwa terdapat sebuah bangunan kekuasaan yang terlembaga.

C. Kekuasaan Dalam Tradisi Jawa

Untuk memahami tentang kekuasaan Jawa, terdapat dua konsep wilayah kehidupan manusia yakni : alam lahir dan alam batin. 33 Jadi kekuasaan politik yang diartikan sebagai kekuatan untuk mengatur masyarakat, dalam tradisi Jawa harus sinergis dengan alam lahir dan alam batin yang berakar pada kekuatan gaib atau adiduniawi alam semesta sendiri. 34 Titik sentrum dari kekuasaan itu adalah 32 . Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900; dari Emporium Sampai Imperium Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992, h. 28 33 Magnis, Etika Politik; Prinsif-prinsif Dasar Kenegaraan Modern., h. 32 34 Ibid., h. 34 manusia yang mampu menyadap kekuatan-kekuatan yang berada di dalam alam semesta ini. Hal ini tentu berbeda dengan dengan tradisi teori politik Barat, masalah kekuasaan dalam tradisi Jawa erat kaitannya dengan dunia adikodrati. Sebagian besar kepustakaan tradisional Jawa lebih banyak membicarakan masalah bagaimana memusatkan dan mempertahankan kekuasaan, daripada masalah bagaimana menggunakannya dengan wajar. 35 Dalam buku-buku Jawa mengenai raja-raja, kekuasaan dan kenegaraan terdapat beberapa sarat-sarat yang harus dimiliki oleh setiap pemimpin, yakni diantaranya : seorang raja harus bersifat adil adil tan pilih sih, berhati murah berbudi; ber dari luber dan bijaksana wicaksana. 36 Dalam pembahasan mengenai kekuasaan, setidaknya Benedict R.O’G. Anderson pernah mencoba menganalisa mengenai keberadaan sumber kekuasaan masyarakat Jawa kuno dengan membandingkannya dengan kekuasaan yang berlaku di dunia Barat. Anderson mencoba mengidentifikasi sumber kekuasaan Jawa seperti bagan di bawah ini : Kekuasaan Jawa Kekuasaan Barat Kekuasaan itu kongkret Kekuasaan itu abstrak Kekuasaan homogen Sumber-sumber kekuasaan bersifat heterogen 35 Anderson, “Gagasan tentang Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa,” dalam Miriam Budiardjo dkk, Aneka Kuasa dan Wibawa Jakarta : Sinar Harapan, 1984, h. 52 36 Koentjaraningrat, “Kepemimpinan dan Kekuasaan: Tradisional, Masa Kini, Resmi dan Tak Resmi.” h. 137 Jumlah kekuasaan dalam alam semesta selalu tetap Akumulasi kekuasaan tidak ada batasnya yang inhern Kekuasaan tidak mempersoalkan keabsahan Dari segi moral, Kekuasaan itu ganda Tabel 2. Perbandingan Kekuasaan Menurut Jawa dan Barat Kekuasaan dalam tradisis Jawa seperti digambarkan dalam tabel di atas terbagi kepada empat bagian seperti yang dijelaskan oleh Anderson. 37 Pertama, Kekuasaan itu kongkret. Kekuasaan itu ada, kekuasaan bukan suatu anggapan teoritis, melainkan suatu realitas yang benar-benar ada. Kekuasaan adalah daya yang tidak dapat diraba, penuh misteri dan bersifat ketuhanan yang menghidupkan seluruh alam semesta. Kekuasaan terwujud dalam setiap aspek dunia alami, pada batu, kayu, awan dan api, tetapi dinyatakan secara murni dalam misteri pokok kehidupan, yaitu proses generasi dan regenerasi. Dalam pikiran tradisional Jawa, tidak ada batas yang tegas anatara zat organis dan zat inorganis, karena segala sesuatunya ditopang oleh kekuasaan sama yang tidak kelihatan. Konsepsi yang menyatakan bahwa seluruh kosmos ini dipenuhi oleh suatu daya yang tidak berbentuk tetapi selalu kreatif, telah merupakan kaitan dasar antara “animisme“ yang terdapat di desa-desa Jawa dan paham pantaisme metafisik tinggi yang terdapat di pusat-pusat perkotaan. Anderson menambahkan bahwa rumusan mistik yang terkenal yang berbunyi : Tuhan adalah Aku, menyatakan kongkretnya gagasan Jawa tentang kekuasaan. Kekuasaan Tuhan adalah inti dari Aku, inti dari diri itu sendiri. 37 Anderson, “Gagasan tentang Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa,” h. 48-52 Kedua, kekuasaan itu homogen, dari konsep ini timbul pendapat bahwa semua kekuasaan itu sama jenisnya dan sama pula sumbernya. Kekuasaan di tangan satu individu atau satu kelompok adalah identik dengan kekuasaan yang ada di tangan individu atau kelompok lain mana pun. Ketiga, Jumlah kekuasaan dalam alam semesta selalu tetap. Menurut pandangan orang Jawa, alam semesta tidak bertambah luas dan sempit. Demikian pula jumlah kekuasaan yang terdapat di dalamnya selalu tetap. Karena kekuasaan itu ada begitu saja, dan bukan merupakan hasil dari organisasi, kekayaan, persenjataan dan lainnya ... Untuk teori politik, pendapat ini mempunyai akibat penting yang semestinya, yaitu terpusatnya kekuasaan disuatu tempat atau pada satu orang mengharuskan pengurangan jumlah kekuasaan di tempat lain dalam jumlah yang sebanding. Keempat, kekuasaan tidak mempersoalkan keabsahan, karena semua kekuasaan berasal dari sumber tunggal yang homogen, maka kekuasaan itu lebih dulu ada daripada masalah-masalah baik dan buruk. Dalam pikiran orang Jawa tidak mengenal kekuasaan yang absah dan tidak absah jika dikaitkan dengan sumber atau yang menopang kekuasaan tersebut, contoh kekuasaan berdasarkan harta absah sedangkan kekuasaan berdasarkan senjata tidak sah. Pemikiran tersebut tidak berlaku di Jawa karena orang Jawa melihat kekuasaan sebagai sesuatu yang ada. Sedangkan dalam tradisi Barat kekuasaan sering diartikan kepada empat identifikasi yakni : pertama, kekuasaan itu abstrak, kalau dinyatakan secara kata, kekuasaan itu tidak “ada“. Kekuasaan adalah kata yang biasanya digunakan untuk menerangkan satu hubungan atau lebih. Seperti kata-kata kewibawaan dan keabsahan, maka kekuasaan adalah abstraksi, suatu rumusan untuk pola-pola interaksi sosial tertentu yang kebetulan sedang diamati. Kedua, Sumber-sumber kekuasaan bersifat heterogen. Karena kekuasaan dianggap berasal atau disimpulkan dari pola-pola tingkah laku dan hubungan- hubungan sosial tertentu, maka banyak pemikiran politik Barat dicurahkan kepada cara mengklasifikasikan dan menganalisis pola-pola dan hubungan-hubungan ini, dengan demikian perhatian dicurahkan juga kepada bagaimana membeda-bedakan berbagai sumber kekuasaan. Ketiga, Akumulasi kekuasaan tidak ada batas-batasnya yang inhern. Karena kekuasaan hanyalah suatu abstraksi yang menggambarkan hubungan- hubungan tertentu antara manusia, maka kekuasaan itu secara inheren tidak membatasi diri. Keempat, Dari segi moral, kekuasaan itu berarti ganda. Adalah merupakan akibat logis dari konsepsi sekuler mengenai kekuasaan politik sebagai hubungan antar manusia, bahwa kekuasaan seperti itu tidaklah dengan sendirinya absah.arti ganda moral ini tentu saja ditingkatkan oleh anggapan bahwa kekuasaan diambil dari sumber-sumber yang heterogen. Seperti dijelaskan di atas, Logika konsepsi tradisional Jawa mengenai kekuasaan memerlukan suatu pusat yang bersifat sinkretis dan serba menyerap, dan hanya pusat ini biasanya terjelma dalam diri seorang penguasa. 38 38 Ibid., h. 72 Selain terpusat masalah silsialah atau keturunan menjadi hal yang sangat penting bagi para penguasa Jawa. Hubungan antara seksualitas dengan kekuasaan dalam pemikiran Jawa, dan gagasan bahwa mani manusia, terutama mani seseorang yang mempunyai kekuasaan, merupakan suatu pemusatan kekuasaan tersendiri dan merupakan alat untuk mewariskannya. 39 Anderson menambahkan bahwa pancaran kekuasaan ini terjelma dengan cara yang tidak dapat dibeda-bedakan melalui tiga poros: poros pusat-pinggiran, yakni letak kekuasaan seorang penguasa Jawa yang senantiasa berpusat; poros askriptif, atau penyebaran diakronis dari kekuasaan dalam bentuk mani raja melalui tujuh generasi keturunan; poros kawula-gusti, atau poros administratif, di mana kekuasaan gusti tertinggi, yaitu raja, merembes ke bawah melalui lapisan- lapisan menurun yang terdiri dari kelompok-kelompok kawula-gusti. 40 Selain terpusat dan masalah keturunan untuk mempertahankan kontinuitas kepemimpinan kerajaan yang berdasarkan keturunan, harus dikuatkan lagi dengan keyakinan bahwa garis keturunan dapat ditarik lebih jauh lagi kepada dewa-dewa, sehingga wewenang yang berdasarkan keturunan tadi tidak hanya merupakan wewenang yang kuat, tetapi juga keramat. 41 Wewenang seorang raja atau pemimpin tradisional yang berdasarkan sifat- sifat kekeramatan itu perlu dijaga kemantapannya secara kontinyu dengan berbagai upacara intensifikasi. Dalam upacara tersebut benda-benda lambang 39 Ibid., h. 75 40 Ibid., h. 86 41 Koentjaraningrat, “Kepemimpinan dan Kekuasaan: Tradisional, Masa Kini, Resmi dan Tak Resmi,” h. 136 kewibawaan dan wewenang raja serta pusaka-pusaka kerajaan yang keramat, mendapat fungsi yang penting bagi kekuasaan. 42 Keadaan seperti di atas tidak berubah sampai kedatangan Islam sekalipun, seperti ditegaskan oleh Anderson : masuknya Islam hampir tidak mengubah susunan atau cara merekrut kaum elite politik Jawa, atau mempengaruhi kerangka intelektual pemikiran politik tradisional. 43 42 Ibid., h. 137 43 Anderson, “Gagasan tentang Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa,” h. 114

BAB III DUA KERAJAAN JAWA

A. Gambaran Umum Geohistoris Politik Nusantara

Nusantara adalah sebutan bagi Indonesia sebelum wilayah ini resmi disebut Indonesia. Kata ’Nusantara’ sendiri merujuk pada periode khusus ketika Indonesia dikuasai Majapahit, khususnya ketika kerajaan ini berada di bawah kendali patih besarnya, Gajah Mada. 1 Nusantara yang merupakan gugusan pulau- pulau yang sulit untuk dipersatukan, namun upaya penyatuan itu tidak lantas hilang hal ini dapat dilacak dari rapat-rapat BPUPKI Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dimana Muhammad Yamin mengakui peran penting Majapahit dalam menyatukan Nusantara. 2 Secara umum gambaran keberadaan Nusantara bila ditarik jauh ke abad- abad keemasannya-maraknya kerajaan-kerajaan yang menguasai Nusantara, yakni ketika beberapa pemerintahan mampu untuk mengontrol wilayah Nusantara dengan hebat dan mampu mempertahankanya hingga berabad-abad lamanya. Konsep “geo-historis” adalah sebuah pendekatan yang sangat penting dan mutlak diperlukan untuk mengkaji dinamika politik di wilayah Nusantara. Dalam konsep “geo-historis” ini, kata “geo” mengacu kepada ruang atau tata geografis yang sangat menentukan dalam pembentukan tata politik ataupun tindakan- tindakan politik yang diambil oleh para pelaku politik, sementara kata “historis” 1 Lihat Luthfi Assyaukanie, “Pengantar” dalam Bernard H. M. Vlekke, Nusantara Sejarah Indonesia Jakarta; Kepustakaan Populer Gramedia, 2008 h. xv 2 Bagi Yamin, bukan Singasari dan bukan pula kerajaan-kerajaan Islam yang mempersatukan Nusantara, tapi Majapahit. Lihat Lihat Luthfi Assyaukanie, “Pengantar” dalam Ibid., h. xv 31