BAB III DUA KERAJAAN JAWA
A. Gambaran Umum Geohistoris Politik Nusantara
Nusantara adalah sebutan bagi Indonesia sebelum wilayah ini resmi disebut Indonesia. Kata ’Nusantara’ sendiri merujuk pada periode khusus ketika
Indonesia dikuasai Majapahit, khususnya ketika kerajaan ini berada di bawah kendali patih besarnya, Gajah Mada.
1
Nusantara yang merupakan gugusan pulau- pulau yang sulit untuk dipersatukan, namun upaya penyatuan itu tidak lantas
hilang hal ini dapat dilacak dari rapat-rapat BPUPKI Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dimana Muhammad Yamin mengakui peran
penting Majapahit dalam menyatukan Nusantara.
2
Secara umum gambaran keberadaan Nusantara bila ditarik jauh ke abad- abad keemasannya-maraknya kerajaan-kerajaan yang menguasai Nusantara, yakni
ketika beberapa pemerintahan mampu untuk mengontrol wilayah Nusantara dengan hebat dan mampu mempertahankanya hingga berabad-abad lamanya.
Konsep “geo-historis” adalah sebuah pendekatan yang sangat penting dan mutlak diperlukan untuk mengkaji dinamika politik di wilayah Nusantara. Dalam
konsep “geo-historis” ini, kata “geo” mengacu kepada ruang atau tata geografis yang sangat menentukan dalam pembentukan tata politik ataupun tindakan-
tindakan politik yang diambil oleh para pelaku politik, sementara kata “historis”
1
Lihat Luthfi Assyaukanie, “Pengantar” dalam Bernard H. M. Vlekke, Nusantara Sejarah Indonesia Jakarta; Kepustakaan Populer Gramedia, 2008 h. xv
2
Bagi Yamin, bukan Singasari dan bukan pula kerajaan-kerajaan Islam yang mempersatukan Nusantara, tapi Majapahit. Lihat Lihat Luthfi Assyaukanie, “Pengantar” dalam
Ibid., h. xv
31
mengacu kepada rentetan momen-momen waktu yang juga tidak kalah pentingnnya dalam menentukan hubungan kausal atau kontinuitas dari satu
peristiwa politik ke peristiwa politik lainnya ataupun peralihan dari satu rezim ke rezim lainnya. Penulisan sejarah kemudian tidak hanya dilihat dari satu sisi
rentetan peristiwa tapi sebuah kombinasi antara beberapa aspek seperti yang dikembangkan oleh Fernand Braudel dengan mengkombinasikan antara geografi
dan sejarah.
3
Dalam kerangka geo-historis tersebut, faktor pertama yang harus diperhatikan dalam mengkaji dinamika politik Nusantara adalah posisi Nusantara
sendiri yang terletak di persimpangan jalan, antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, atau lebih tepatnya, antara Teluk Bengala dan Laut Cina
Selatan. Dalam posisinya ini, Nusantara tentu saja sangat terbuka terhadap pengaruh-pengaruh yang datang dari luar, khususnya pengaruh yang datang dari
arah Cina dan India. Karena posisinya ini pula, Nusantara juga sangat terbuka dengan kedatangan bangsa lain atau sebagai lalu lintas bangsa-bangsa luar, baik
dalam rangka melakukan perdagangan maupun—belakangan—invasi militer dari Belanda dan Jepang.
4
Masih terkait dengan posisi penting laut, istilah “Nusantara” juga muncul dari anggapan orang-orang yang mendiami kepulauan ini karena mereka
memaknai laut sebagai perantara atau penghubung diantara pulau-pulau. Hal ini tercermin dari makna harfiyah kata “Nusantara” yang terdiri dari “Nusa” dan
3
Seno Joko Suyono, Tubuh Yang Rasisi: Telaah Kritis Michel Foucault atas Dasar-dasar Pembentukan Diri Kelas Menengah Eropa, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002, h. 145-146.
4
Anthony Reid, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara. Penerjemah Sori Siregar, Hasif Amini dan Dahris Setiawan, Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2004, h. 4.
32
“Antara” yang berarti “laut perantara.” Dalam hal ini, kita bisa melihat bahwa keseluruhan pulau-pulau di Nusantara dipersatukan oleh laut, meskipun dari cara
pandang berbeda laut juga bisa dilihat sebagai pemisah antara pulau. Wilayah lautan yang paling penting untuk wilayah Nusantara diantaranya adalah Selat
Malaka yang menghubungkan antara pantai Timur pulau Sumatra dan wilayah Barat Semenanjung. Selat Malaka ini bisa dikatakan sebagai penghubung karena
memang dahulu kedua sisi selat ini berada dalam wilayah Malaka yang termasuk bagian dari Nusantara, terutama pada masa kejayaan Sriwijaya abad ke-7 sampai
ke-10. Karena bahwa pada zaman kolonial Sumatra berada di bawah kekuasaan Belanda, sementara Semenanjung Melayu Malaysia dan Singapura sekarang di
bawah kekuasaan Inggris, maka selat Malaka kemudian menjadi pemisah dua entitas politik, yakni antara Indonesia di satu sisi, dan Malaysia dan Singapura di
lain sisi.
5
Meskipun tidak sepenting Selat Malaka, keberadaan Selat Sunda juga memberi bukti bahwa laut menjadi penghubung di antara kedua sisinya, yakni
antara Lampung di pulau Sumatera dan Jawa Barat di Jawa. Hal ini tampak pada abad ke-16 dan ke-17 di mana kedua sisi Selat Sunda tersebut bersatu di bawah
kekuasaaan Kesultanan Banten. Hal yang sama juga berlaku bagi Laut Jawa yang menjadi penghubung Pulau Jawa dengan Pulau Kalimantan pada masa kejayaan
Majapahit. Sementara di wilayah timur, lautan pula lah yang menjadi penghubung Kerajaan Makassar pada abad ke-17 di mana daerah kekuasaannya mencakup
Sulawesi Selatan, Pantai Timur Kalimantan, dan seluruh daerah Sunda Kecil
5
Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya Jilid I: Batas-batas Pembaratan. Penerjemah Winarsih Partaningrat Arifin, Rahayu S. Hidayat dan Nini Hidayati Yusuf, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2005, h. 14.
33
Lombok dan Sumbawa. Terakhir, Laut Maluku merupakan penghubung antara kepulauan Sulu serta pulau-pulau lain yang terkenal dengan pulau rempah-
rempah: Banda, Ambon, Seram, Buru, Ternate, Tidore dan Menado.
6
Demikian, dilihat dari satu sisi, keberadaan ruang, yang dalam hal ini adalah laut, memiliki fungsi sebagai penghubung. Namun demikian, jika dilihat
dari sisi lainnya, ruang juga bisa menjadi pembeda, atau bahkan pemisah. Dengan kata lain, ruang-ruang spesifik antara satu wilayah dengan wilayah lainnya di
Nusantara tanpa bisa disangkal merupakan pembeda dan juga pemisah. Misalnya, keberadaan pulau Jawa yang dipenuhi oleh banyak gunung berapi membuat
tingkat kesuburan tanah pulau ini lebih tinggi dibanding pulau-pulau lainnya. Karenanya, sementara kerajaan-kerajaan di pulau lainnya lebih banyak
mengandalkan pada perdagangan sebagai basis perekonomiannya, maka banyak kerajaan di Jawa justru lebih mengandalkan pada sumberdaya agraris yang
dimilikinya. Meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa kesultanan-kesultanan di wilayah pesisir utara Jawa yang berbasis ekonomi perdagangan pernah mengalami
masa kejayaan, namun karakteristik agraris Jawa sangat dominan dalam menentukan dinamika politiknya dibanding pulau-pulau lainnya di Nusantara.
7
Dalam pendekatan “geo-historis politik“ yang dipakai dalam kajian ini, konsep “ruang“ juga mesti dipahami sebagai sesuatu yang berjalin-kelindan serta
tak terpisahkan dengan konsep “waktu.“ Dalam hal ini, proses-proses politik di Nusantara harus dilihat dalam kerangka dinamika sejarah sosial, ekonomi dan
6
Ibid., h. 15-16.
7
M.C. Riclefs, Sejarah Indonesia Modern: 1200-2004. Penerjemah Satrio Wahono dkk, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2005, h. 52-53.
34
politik yang—merujuk kepada Denys Lombard—disebut dengan “tiga mutasi besar,“ yang membawa Nusantara terlibat dan dipengaruhi oleh Indianisasi,
Jaringan Asia Islam-Cina dan pembaratan melalui kedatangan bangsa-bangsa Eropa.
8
Struktur geografi dengan merujuk kepada metodologi sejarah struktural yang dikenalkan salah satunya oleh Fernand Braudel. Braudel mengembangkan
teorinya dalam melihat sejarah dengan melihat aspek yang mempengaruhi sebuah peristiwa terjadi. Selain aspek spasial, Braudel juga mengembangkan aspek
temporal. Dalam studinya Braudel mengembangkan suatu kerangka waktu yang bersususn tiga, yaitu : 1 “Struktur,” gejala-gejala yang rentang waktunya
mencakup ribuan, bahkan jutaan tahun, seperti unit geografi, 2 “konjungtur gejala-gejala yang jagkauan waktunya mencakup ratusan dan sesungguhnya
berkaitan dengan struktur social dan struktur ekonomi.dan 3 peristiwa yang mencakup waktu amat sangat pendek. Tetapi bagi kaum “Annales”, event atau
peristiwa tidak mempunyai kemampuan eksplanasi, karena makna dari peristiwa justru tergantung pada struktur sosial, yang menurut Braudel “peristiwa adalah
bagaikan kembang api, indah sekejap tetapi lenyap selama-lamanya.” Bagi Braudel, selain aspek spasial dan aspek temporal, logika sejarah juga mencakup
aspek struktur.
9
Dari sekian banyak pulau yang berada dikawasan Nusantara, Jawa merupakan salah satu kajian yang paling menarik. Bangsa Jawa merupakan
campuran banyak suku yang semula tersebar di negara-negara antara laut Tengah,
8
Lih. tiga jilid buku karya Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya,
9
R.Z. Leirissa “Peradaban dan Kapitalisme di Asia Tenggara” dalam Anthony Reid, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara., h. xvii-xviii
35
sepanjang pantai di tepi samudra Hindia sampai batas-batas sebelah barat lautan Pasifik.
10
Pulau nomer 13 terbesar di permukaan bumi itupun dilengkapi dengan tumbuhan penghasil pangan yang tumbuh subur sehingga dapat memberi
dukungan perkembangan jumlah penduduk yang besar.
11
Bangsa Jawa kuno, sebelum kedatangan orang India yang membawa agama Hindu, telah mengenal hitungan bulan yang didasarkan pada peredaran
matahari. Nama-nama bulan menurut hitungan Jawa kuno itu ada 12, yaitu : masa Kartika Kasa, Pusa Karo, Manggasri Katigo, Citra Kapat, Manggakala
Kalima, Naya Kanem, Palguna Kapitu, Wisaka Kawolu, Jita Kasanga, Srawana Kasapuluh, Padrawana Dhasta, dan Asuji Saddha.
12
Yang menyebabkan tidak terbentuknya kembali kejayaan Jawa sejak abad ke-10 itu adalah kebiasaan perang saudara untuk memperebutkan kedudukan raja.
Akibatnya, selama 10 abad terakhir penguasa dan ibu kota kerajaan terus berpindah tempat, kadang-kadang hanya untuk kurun waktu kurang dari satu
abad. Mulai abad ke -10 pusat kerajaan Jawa pindah dari : Medhang – Kahuripan –Jenggala – Kediri – Jenggala – Kediri – Singasari – Kediri – Majapahit – Kediri
– Demak – Pajang – Mataram - Batavia, dan akhirnya sejak tahun 1945 berkedudukan di Jakarta. Bayangkan selama 10 abad terakhir itu sebanyak 15 kali
pusat kerajaan Jawa berpindah tangan dan tempat.
13
10
Hasanu Simon, Misteri Syekh Siti jenar; peran Wali Songo Dalam mengislamkan Tanah Jawa Jogjakarta : Pustaka Pelajar, 2008 h. xix
11
Ibid., h. xix
12
Ibid., h. xx
13
Ibid., h. xxi
36
Yamin pernah membagi perkembangan sejarah Indonesia dalam lima periode : 1 prasejarah, dari “asal-muasal manusia Indonesia” sampai abad
pertama; 2 dari abad pertama sampai abad keenam, yaitu ketika bahan-bahan tertulis pertama ditemukan; 3 “masa nasional” yaitu periode Sriwijaya dan
Majapahit, dari abad ketujuh sampai tahun 1525; 4 “masa negara internasional” yaitu ketika orang Indonesia bertemu dengan bangsa Barat – masa ini berakhir
pada akhir abad kesembilan belas, dan 5 “abad proklamasi”, dimulai dari permualaan abad ini.
14
Sampai abad ke-15 agama Hindu, Budha dan Animisme telah mampu memberi petunjuk bagi masyarakat Jawa dalam mengembangkan masalah-
masalah sosial, ekonomi, kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Akan tetapi ketika rakyat dan penguasa Majapahit dilanda kemelut politik, ekonomi dan keamanan
akibat perang Paregreg yang tejadi pada tahun 1401-1406, timbul pemikiran baru yang sama sekali tidak terduga sebelumnya.
15
Kedatangan muslim dari Turki itulah yang menjadikan penyebab beralihnya orientasi rakyat Majapahit kepada
Islam. Utusan dari Turki tersebut tidak satupun dari sembilan anggota tim itu yang disebut sebagai ahli fikih atau ahli dibidang ilmu agama Islam bidang tertentu.
Jadi pengetahuan agama sembilan anggota tim itu hanya pada tataran biasa saja.
16
Masa Hindu, Budha dan Islam inilah yang menjadi perhatian dalam penulisan karya ini. Dua masa tersebut sangat menarik untuk dikaji secara
menyeluruh, mengingat akhirnya akulturasi budaya sangat kental terasa di
14
Deliar Noer, “Yamin dan Hamka; Dua Jalan Menuju Identitas Indonesia,” dalam Anthony Ried dan David Marr, ed., Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka Jakarta: Grafiti Pers, 1983, h. 48
15
Simon, Misteri Syekh Siti jenar; peran Wali Songo Dalam mengislamkan Tanah Jawa, h. xxii.
16
Ibid., h. xxviii
37
wilayah Jawa. Fokus kajian yang kemudian diambil adalah mengenai kerajaan yang sangat berpengaruh di Nusantara khususnya di Jawa. Dua kerajaan tersebut
adalah Majapahit dan Demak, setidaknya dua kerajaan tersebut memiliki sebuah kemerdekaan dalam memerintah kerajaannya, berbeda dengan kerajaan besar