Legitimasi Kekuasaan Kerajaan Majapahit

memberikan legitimasi. Pembahasan lebih lanjut akan diuraikan secara lebih terperinci dalam pembahasan berikut.

1. Legitimasi Kekuasaan Kerajaan Majapahit

Dalam kehidupan berpolitik priyayi Jawa yang menguasai kerajaan tentu memiliki pola kehidupan. Pola kehidupan yang dipakai oleh priyayi Jawa tersebut seperti diuraikan oleh Koentjaraningrat dan khususnya J.W.M. Bakker dalam bukunya, Agama Asli Indonesia, pola budaya yang dipakai adalah pola budaya Hindu-Kejawen. Yang paling dominan dalam pola budaya ini bukan nilai agama sebagaimana digambarkan oleh St. Takdir Alisjahbana, tetapi orientasi terhadap nilai kekuasaan atau nilai politik. Bagi para priyayi Jawa sebagai penegak sistem dinasti kedudukan, kekuasaan politiklah yang terpenting. Sedangkan agama menempati urutan kedua. 6 Dalam legitimasi kekuasaan, agama menjadi faktor kedua sebagai penguat kekuasaan dan kekebalan raja. Salah satu bukti tidak dominannya Agama dalam menentukan kebijakan tercermin melalui bangunan candi semacam candi Borobudur, candi Prambanan, juga melalui sikap raja Erlangga hingga raja-raja Majapahit yang menganut agama rangkap, yaitu Syiwa-Budha Syiwa-Boja. Padahal di negeri asalnya kedua agama ini saling berseteru. 7 Dalam budaya Hindu-Kejawen yang lebih unggul justru golongan priyayi atau ksatriya. Golongan pendeta berada di bawah kelas priyayi ini. Artinya, 6 Simuh, Islam dan Pegumulan Budaya Jawa, Jakarta : Teraju, 2003, h. 58 7 Ibid., h. 59 77 kekuasaan politik menjadi institusi tertinggi, sedangkan agama hanya sebagai pelengkap saja. 8 Namun Lombard menangkap sinyal lain dari tradisi kekuasaan yang dipertahankan oleh Majapahit, menurut Lombard, di masa jayanya, Majapahit ditandai oleh hubungan-hubungan sosial agraris yang bersifat terpusat, dimana raja berdiri diurutan piramida paling atas. Kekuasaan raja ini sangat kuat karena mendapat legitimasi religius dari para agamawan. Sebagai imbalannya, raja memberikan tanah garapan yang tidak dikenai pajak kerajaan. Selain itu, para agamawan juga berperan sebagai pejabat administrasi kerajaan. 9 Kemudian berkaitan dengan sikap keagamaan budaya priyayi Jawa kelihatan sangat kental mementingkan orientasi nilai kekuasaan, hal ini tampak dalam mistik Hindu-Budha yang mereka pilih demi melangsungkan kedudukan raja dan konsep Raja Bimathara atau raja titising Dewa. Konsep God-King atau raja dewata ini selalu ditonjolkan dalam sastra Hindu-Kejawen, yakni sastra yang merupakan pengembangan kitab Mahabharata dan Ramayana. 10 Konsep kekuasaan tersebut dijelaskan oleh Simuh dengan konsep Mistisisme priyayi Jawa. Mistisisme ini bukanlah mistisisme eskapistik seperti dalam sufisme. Mistisisme yang menjadi batu loncatan untuk menemukan jati diri dan mencapai kesempurnaan kekuatan, yakni menjadi sakti karena telah menyatu dengan Tuhan. Penemuan jati diri dan kesaktian ini kemudian menjadi bekal 8 Ibid., h. 59 9 Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya Jilid III: Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris, h. 16. 10 Simuh, Islam dan pergumulan Budaya Jawa, h. 59-60 78 pelaksanaan tugas kenegaraan mereka sebagai priyayi atau pejabat pemerintah dalam mamayu hayuning bawana. 11 S. De Jong menyebutkan adanya tiga konsep untuk menggambarkan sikap hidup mistik kejawen yang dinilai efektif dalam pelaksanaan tugas pemerintahan mereka. Yaitu distansi, konsentrasi, dan refresentasi. S. De Jong menjelaskan : 12 Manusia ambil distansi jarak terhadap dunia, jagad gedhe. Kemudian diadakan konsentrasi terhadap dirinya sendiri; inipun merupakan semacam distansi terhadap jagad cilik badannya sendiri. Dan hasil dari dua usaha itu ialah refresentasi. Lepas dari ikatan dengan dunia materiil dengan batin dimurnikan, maka orang menjalankan sisa hidupnya sebagai seorang utusan Tuhan dalam dunia .... Di Majapahit basis kekuasaan sebagian besar ada di tangan birokrasi sekuler, politik dan militer, padahal para pendeta dari berbagai aliran diamasukan birokrasi kerajaan. 13 Otoritas politik berada ditangan raja, karena raja dianggap penjelmaan dewa. Oleh karena itu kerajaan Majapahit dapat digolongkan kerajaan teokratis. 14

2. Legitimasi Kekuasaan Kerajaan Demak