1. Otoritas Kekuasaan Kerajaan Majapahit
Dalam pembahasan ini otoritas dibaca sebagai wewenang religius. Majapahit sebagai sebuah kebudayaan yang sangat besar pada jamannya memiliki
keunikan dalam wewenang yang dijalankan oleh para penguasa dalam hal ini raja. Naik dan tumbangnya sebuah rejim dalam pemerintahan Majapahit tidak
lantas merubah pola kehidupan masyarakat, bagi masyarakat siapapun pemimpin yang mengayomi masyarakat mempunyai kewajiban untuk melindungi dan
memberikan kesejahteraan, meskipun konflik yang terjadi dalam istana sangat gencar.
Seperti dijelaskan di atas, ketika sebuah suksesi dalam pemerintahan terjadi baik secara normal penyerahan dari raja ke putra mahkota secara
langsung ataupun dengan peperangan konflik keluarga, legitimasi pasti didapatkan oleh penguasa yang kemudian berkuasa, karena penguasa yang kalah
dalam suksesi dianggap telah luntur kekuasaannya.
28
Penguasa baru kemudian yang menjalankan roda pemerintahan. Terdapat titik tekan yang diharapkan oleh masyarakat, yakni pemimpin yang mampu untuk
adil, bijaksana, murah hati, dan berbudi luhur, karena kalau sifat-sifat ini sudah tidak dimiliki oleh pemimpin raja maka rakyat akan menganggap bahwa
kekuasaan raja tersebut telah menurun. Dan lambat laun pasti akan tergantikan oleh penguasa berikutnya baik dilakukan dengan cara wajar ataupun dengan jalan
kekerasan.
28
Magnis, Etika Politik; Prinsif-prinsif Dasar Kenegaraan Modern., h. 41
88
Untuk melihat sebuah contoh legitimasi kekuasaan yang dimiliki oleh Majapahit berikut akan diuraikan dalam sebuah kepemimpinan Hayam Wuruk dan
Gadjah Mada dimana rakyat mendukung setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh kedua pemimpin Majapahit tersebut, hingga masa-masa kepemimpinan mereka
disebut masa kejayaan Majapahit. Salah satu program wewenang yang dicanangkan oleh Hayam Wuruk
dan Gajah Mada adalah Sumpah Nusantara, yakni sebuah keinginan dari Gadjah Mada untuk mempersatukan memperluas daerah jajahan Majapahit. Bunyi
sumpah Nusantara itu seperti berikut: “Lamun huwus kalah nusantara, isun isun amukti palapa; lamun kalah ring Gurun, ring Seran, ring Tanjungpura, ring Haru,
ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik samana isun amukti palapa.“ Artinya “ kalau Nusantara telah tunduk, saya baru akan beristirahat.
Kalau Gurun Lombok, Seran Seram, Tanjungpura kalimantan, Haru Sumatera Utara, Pahang Malaya, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, dan
Tumasik Singapura telah tunduk, pada waktu itu saya akan beristirahat.
29
Perluasan wilayah tersebut tentu dibarengi dengan kekuatan dari dalam yakni kesejahteraan rakyat terpenuhi, sehingga mandat legitimasi adikodrati masih
dipegang oleh Hayam Wuruk. Selain memperluas daerah jajahan, Kerajaan Majapahit pun mempunyai
tingkat pertanian yang maju berdasarkan irigasi yang luas disertai perdagangan internasional yang berkembang, menciptakan kondisi yang menguntungkan untuk
meluaskan pengawasan teritorial, untuk mengembangkan birokrasi yang makin
29
Mulyana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, h. 14, eksplorasi lebih banyak lihat catatan M. Yamin, Gadjah Mada, h. 48-53
89
terperinci, dan untuk menyusun kekuasaan politik yang semakin disentarlisasikan,
30
tetapi tanpa peleburan terirtorialnya. Dengan bertambah luas dan majunya perhubungan antar daerah, sistem sosio-kultural di dalam wilayah
politik Majapahit berintegrasi ke dalam secara lebih kuat dan lebih jelas, terpisah dari sosio-kultural yang lain secara teritorial.
31
Apapun yang diinginkan oleh seorang penguasa selama hal tersebut tidak mengganggu stabilitas dan ketentraman rakyat, maka rakyat menganggap
pemimpinnya masih memiliki legitimasi adikodrati. Raja sebagai pemegang otoritas kekuasaan tertinggi memiliki berbagai
lambang yang bersifat magis dan mistis, yang mewujudkan kualitas perlengkapan- perlengkapan kekuasaan tersebut. Raja memegang pengawasan tertinggi atas
kekuatan militer dan administrasinya.
32
Meluasnya dominasi raja mengharuskan desentralisasi kekuasaan pribadinya. Gubernur-gubernur daerah adhipati adalah
wakil tertinggi kekuasaan raja di daerah.
33
Hubungan antara raja dan pegawai- pegawainya berbentuk sebagai hubungan yang dinamakan clientship,
34
hubungan semacam ini mungkin juga terdapat pada tingkat regional dan lokal. Hal ini
membuktikan bahwa pada jaman Majapahit tidak terdapat birokrasi yang diorganisasi dengan diferensi-diferensi subordinasi jabatan yang jelas.
35
30
Sartono Kartodirdjo, “Masyarakat dan Sistem Politik Majapahit,” dalam Sartono Kartodirdjo, dkk, 700 Tahun majapahit 1293-1993; Suatu Bunga Rampai, Surabaya: T.pn.,
1993, h. 33
31
Ibid., h. 33
32
Ibid., h. 37
33
Ibid., h. 37
34
Clienship adalah ikatan anatara seorang penguasa politik tertinggi dan orang yang dikuasakan untuk menjalankan sebagian dari kekuasaan penguasa tertinggi. Lihat Ibid., h. 37
35
Ibid., h. 37
90
Itulah gambaran otoritas yang dimiliki oleh Majapahit, namun otoritas tersebut sirna ketika penguasa yang adil seperti Gadjah Mada dan Hayam Wuruk
meninggal dunia, sehingga legitimasi dan otoritas penguasa Majapahit tumbang silih berganti karena masalah suksesi dan ego kekuasaan.
2. Otoritas Kekuasaan Kerajaan Demak