71
sehingga hasilnya tidak mencerminkan kondisi seluruh kabupatenkota di Indonesia. Diharapkan untuk penelitian mendatang dapat memperluas atau
menambah sampel penelitian.
5.3 Saran
Berdasarkan kesimpulan yang dihasilkan dalam penelitian ini, maka perlu disampaikan beberapa saran yang diharapkan berguna untuk kepentingan praktis
dan penelitiaan selanjutnya. Beberapa saran tersebut adalah sebagai berikut.
1. Diharapkan untuk penelitian selanjutnya agar memperbanyak jumlah
sampel kabupatenkota, khususnya di luar Provinsi Sumatera Utara. Hal ini bertujuan agar semakin banyak diketahui daerah mana saja yang sudah
mandiri maupun yang belum mandiri dari sisi fiskal.
2. Mengingat masih tingginya ketergantungan pemerintahan daerah terhadap
besarnya transfer dana perimbangan, maka pemerintahan daerah harus berupaya untuk memaksimalkan potensi daerahnya yang akan berdampak
pada meningkatnya PAD seperti mendorong kinerja industri manufaktur, jasa, perkebunan maupun pertambangan, kelautan, dan sektor ekonomi
lainnya yang potensial dikembangkan.
3. Pemerintahan daerah perlu meningkatkan PAD melalui: 1 intensifikasi
dan ekstensifikasi pungutan daerah dalam bentuk retribusi atau pajak; 2 eksplorasi sumber daya alam; dan 3 lebih meningkatkan investasi daerah
melalui penggalangan dana atau menarik investor.
Universitas Sumatera Utara
11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori 2.1.1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD merupakan wujud pengelolaan keuangan daerah yang berdasarkan UU No.17 Tahun 2003
merupakan rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD.Penyusunan APBD memperhatikan
adanya keterkaitan antara kebijakan perencanaan dengan penganggaran oleh pemerintah daerah serta sinkronisasi dengan berbagai kebijakan pemerintah pusat
dalam perencanaan dan penganggaran negara. Pada era orde lama, definisi APBD yang adalah: rencana pekerjaan keuangan financial work plan yang dibuat untuk
jangka waktu tertentu, dalam waktu mana badan legislatif memberikan kredit kepada badan eksekutif kepala daerah untuk melakukan pembiayaan guna
kebutuhan rumah tangga daerah sesuai dengan rancangan yang menjadi dasar penetapan anggaran, dan yang menunjukkan semua penghasilan untuk menutup
pengeluaran tadi. Adapun bentuk dan susunan APBD yang didasarkan pada Permendagri 13
2006 pasal 22 ayat 1 terdiri atas 3 bagian, yaitu : “pendapatan daerah, belanja daerah, dan pembiayaan daerah”. Selanjutnya pendapatan dibagi menjadi 3
kategori yaitu Pendapatan Asli Daerah PAD, Dana Perimbangan, dan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah. Sedangkan Belanja digolongkan menjadi 4 yakni
Universitas Sumatera Utara
12
Belanja Aparatur Daerah, Belanja Pelayanan Publik, Belanja Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan, dan Belanja Tak Terduga.
2.1.2. Transfer
Transfer adalah dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi yang bertujuan untuk menciptakan keseimbangan keuangan antara pemerintahan pusat dan daerah. Tujuan utama implementasi transfer adalah untuk
mengatasi masalah eksternalitas, mengoreksi ketidakseimbangan vertikal, pemerataan fiskal antardaerah horizontal equity, dan mencapai tujuan
pembangunan tetentu Kuncoro, 2007:2. Menurut Mulyana et. al. 2006:32, ada lima alasan yang mendukung
diselenggarakannya transfer dari pusat ke daerah. Kelima alasan tersebut yaitu menjamin tercapainya standar pelayanan publik minimum diseluruh daerah.
Selain itu, tujuan transfer adalah untuk mengurangi kesenjangan keuangan horisontal antardaerah, mengurangi kesenjangan vertikal pusat-daerah, melayani
persoalan ketimpangan pelayanan publik antardaerah, dan untuk menciptakan stabilisasi aktifitas perekonomian di daerah.
Pemberian transfer oleh pemerintahan pusat kepada daerah dapat disertai dengan syarat-syarat tertentu atau tidak bersyarat sama sekali. Menurut BPPK
2006 dalam Iskandar 2012:115, transfer dapat dibedakan menjadi dua kategori besar yaitu transfer tanpa syarat unconditional grant dan transfer bersyarat
conditional grant. Unconditional grant diberikan kepada pemerintahan daerah tanpa persyaratan tertentu dan pada umumnya berkaitan dengan usaha-usaha
Universitas Sumatera Utara
13
produktif untuk investasi pada badan usaha. Sementara Conditional grant adalah transfer khusus yang diberikan kepada pemerintahan daerah untuk tujuan khusus,
misalnya untuk Biaya Operasional Sekolah BOS dan Jaring Pengaman Sosial JPS.
2.1.2.1 Unconditional Grant
Transfer tanpa syarat unconditional grant ditujukan untuk menjamin adanya pemerataan dalam kemampuan fiskal antardaerah, sehingga setiap daerah
dapat melaksanakan urusan rumah tangganya sendiri pada tingkat yang layak. Tujuan dari transfer ini adalah untuk mengurangi ketimpangan fiskal yang bersifat
horisontal horizontal equalization. Ciri utama dari transfer ini adalah daerah memiliki keleluasaan diskresi penuh dalam memanfaatkan dana transfer ini
sesuai dengan pertimbangan-pertimbangannya sendiri atau sesuai dengan aturan yang menjadi prioritas daerahnya. Menurut Brojonegoro dan Vazquez 2005:
159, transfer tidak bersyarat unconditional grant di Indonesia adalah dalam bentuk Dana Alokasi Umum dan Dana Bagi Hasil.
1. Dana Alokasi Umum
Dana Alokasi Umum – selanjutnya disebut DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan
kemampuan keuangan antardaerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi UU Nomor 33 Tahun 2004, Pasal 1 ayat 21.
Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26 persen dari pendapatan neto dalam negeri yang ditetapkan dalam APBN. DAU juga
dimaksud untuk menutup kesenjangan fiskal fiscal gap antardaerah dalam
Universitas Sumatera Utara
14
rangka mewujudkan kemandirian pemerintah daerah dalam menjalankan fungsi dan tugasnya melayani masyarakat Panggabean, 2014: 13.
Tim asistensi Kementerian Keuangan bidang desentralisasi fiskal mengatakan, DAU merupakan dana perimbangan yang memiliki tujuan utama untuk
pengurangan kesenjangan fiskal antardaerah. Konsep kesenjangan fiskal untuk pengalokasian DAU sudah tepat untuk diadopsi di Indonesia, karena
memperhitungkan dua aspek sekaligus, yaitu kebutuhan dan juga kemampuan fiskal pemerintahan daerah dengan kondisi yang diharapkan, antara lain: 1 DAU harus
mampu mengatasi horizontal imbalance yang sampai saat ini masih cukup tinggi; 2 Penilaian kebutuhan fiskal dalam formulasi DAU tidak lagi menggunakan proxy,
namun telah menggunakan alat ukur yang lebih mencerminkan kebutuhan riil tiap- tiap daerah; 3 Perhitungan DAU dilakukan oleh lembaga independen yang terlepas
dari berbagai kepentingan politik. Pembagian DAU bukan dari kepentingan politik tetapi kepentingan daerah dalam pengertian yang sebenarnya yaitu kepentingan
pemenuhan standar pelayanan minimum.
2. Dana Bagi Hasil
Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disingkat DBH adalah dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka
persentase tertentu sesuai realisasi penerimaan pajak dan bukan pajak sumber daya alam, guna mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi. Tujuan utama transfer DBH dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan vertikal vertical imbalance antara pemerintahan pusat dengan
pemerintahan daerah. DBH merupakan dana perimbangan yang strategis bagi daerah-daerah yang memiliki sumber-sumber penerimaan pusat di daerahnya,
Universitas Sumatera Utara
15
meliputi penerimaan pajak pusat dan penerimaan dari sumber daya alam. Bagian daerah dari pajak maupun sumber daya alam tersebut telah ditetapkan besarnya
berdasarkan suatu persentase tertentu Masdjojo dan Sukartono, 2009: 37. Dasar hukum DBH dalam undang-undang terbaru selain Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 165 07 2012
tentang pengalokasian anggaran transfer ke daerah, dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76 03 2013 tentang penatausahaan Pajak Bumi dan Bangunan
Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Panas Bumi. Dana bagi hasil yang bersumber dari pajak terdiri dari: Pajak Bumi dan
Bagunan PBB dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan BPHTB yang penetapan alokasinya diatur dalam lampiran PMK No. 05 Tahun 2007, sedangkan
Pajak Penghasilan PPh Pasal 25 dan Pasal 29 serta Wajib Pajak Penghasilan Orang Pribadi PPh 21 penetapan alokasinya diatur dalam lampiran PMK No.
127 Tahun 2006. Kemudian, untuk bagi hasil dari sumber daya alam bukan pajak, terdiri dari: sumber daya kehutanan, sumber daya kelautan perikanan,
pertambangan umum, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan pertambangan panas bumi.
Belakangan, telah diterbitkan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor 31 PB 2013 tentang tata cara penerimaan, pembagian, dan penyaluran
Dana Bagi Hasil Pajak Bumi Bangunan DBH PBB. Peraturan baru ini menjelaskan persentase pembagian DBH PBB yang baru antara pemerintahan
Universitas Sumatera Utara
16
pusat dan daerah untuk sektor pedesaan, perkotaan, perkebunan, perhutanan, dan sektor pertambangan Peraturan Ditjen Perbendaharaan, 2013.
2.1.2.2 Conditional Grant
Conditional grant digunakan untuk keperluan yang dianggap penting oleh pemerintahan pusat namun kurang dianggap penting oleh daerah. Transfer ini
dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis. a Transfer Pengimbang matching grant. Transfer pengimbang adalah transfer
yang diberikan pusat kepada daerah untuk menutup sebagian atau seluruh kekurangan pembiayaan satu jenis urusan tertentu. Di sini pemerintahan daerah
telah mengalokasikan sejumlah dana dari pendapatan daerahnya untuk penyelenggaraan urusan tersebut, hanya dananya belum cukup untuk menjamin
penyelenggaraan urusan tersebut dengan baik. Transfer dari pemerintahan pusat dalam hal ini berfungsi untuk membantu mengatasi kekurangan dana tersebut.
Transfer pengimbang ini juga dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu transfer pengimbang tidak terbatas open-ended matching grants dan transfer
pengimbang terbatas closed-ended matching grant. b Transfer bukan Pengimbang non-matching grant. Transfer bukan
pengimbang adalah transfer yang diberikan pusat kepada pemerintahan daerah untuk menambah dana penyelenggaraan suatu jenis urusan tertentu tanpa
mempertimbangkan bahwa pemerintahan daerah itu sendiri akan mengalokasikan dananya dengan jumlah besar atau kecil. Jenis transfer ini oleh pemerintahan
pusat difungsikan sebagai sarana menginternalisasikan limpahan manfaat
Universitas Sumatera Utara
17
eksternalitas terutama kepada daerah yang menghasilkan limpahan manfaat tersebut. Jadi meskipun pemerintahan daerah telah mengalokasikan pendapatan
daerahnya untuk pembiayaan penyelenggaraan urusan itu, namun karena pelaksanaannya menghasilkan limpahan manfaat besar kepada daerah-daerah lain,
transfer diberikan oleh pemerintahan pusat untuk mendorong pemerintahan daerah agar tetap bersemangat dan mau mengalokasikan pendapatan daerahnya untuk
pelaksanaan fungsi tersebut.
Menurut Brojonegoro dan Vazquez 2005: 159, transfer bersyarat conditional grant di Indonesia adalah dalam bentuk Dana Alokasi Khusus. Dana
Alokasi Khusus–selanjutnya disebut DAK adalah dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai
kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional UU Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 23. Pemerintahan pusat menetapkan DAK
untuk suatu daerah dengan memperhatikan beberapa kriteria tertentu: a kriteria umum, ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah di dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD; b kriteria khusus, ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan dan karakteristik daerah; dan terakhir c
kriteria teknis, ditetapkan oleh kementerian negaradepartemen teknis Ulum, 2008: 105.
2.1.3 Penadapatan Asli Daerah PAD
Pemerintahan daerah dalam membiayai belanjanya, selain menggunakan transfer dari pemerintahan pusat, juga menggunakan sumber dananya sendiri yaitu
Pendapatan Asli Daerah. Menurut UU No. 33 Tahun 2004, Pendapatan Asli Daerah— untuk selanjutnya disingkat PAD, adalah pendapatan daerah yang bersumber dari
Universitas Sumatera Utara
18 hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah yang dimaksudkan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah sebagai
perwujudan desentralisasi. Menurut Ndadari dan Adi 2008: 6, PAD memiliki peranan yang sangat
penting dalam perekonomian daerah. Daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan PAD yang positif mempunyai kemungkinan untuk mencapai pendapatan per kapita
yang lebih baik. Apabila suatu daerah PAD-nya meningkat maka dana yang dimiliki pemerintahan akan meningkat pula. Peningkatan ini akan menguntungkan
pemerintahan, karena dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan daerahnya. Kendala utama yang dihadapi pemerintahan daerah dalam pelaksanaan
otonomi daerah adalah minimnya pendapatan yang bersumber dari PAD. Proporsi PAD yang rendah, di lain pihak menyebabkan pemerintahan daerah memiliki derajat
kebebasan diskresi yang rendah pula dalam mengelola keuangan daerah. Sebagian besar pengeluaran, baik belanja rutin maupun pembangunan, dibiayai dari dana
perimbangan, terutama Dana Alokasi Umum. Kenyataan ini tentu tidak sejalan dengan tujuan dan maksud otonomi daerah, yaitu memandirikan daerah dengan
potensi-potensi yang dimilikinya. Daerah yang mandiri bukan berarti daerah yang mampu membiayai semua
belanjanya dari PAD, karena bukan itu yang dimaksud dengan kemandirian keuangan daerah. Hal yang penting dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah adanya sejumlah
sumber penerimaan yang cukup signifikan bagi daerah untuk memanfaatkannya secara lebih leluasa. Dalam artian bahwa, ketika pemerintahan daerah dapat
menghasilkan PAD yang signifikan, tentu pemerintahan daerah lebih memiliki
Universitas Sumatera Utara
19 keleluasaan yang lebih besar dalam merencanakan pembangunan sesuai dengan
inisiasi sendiri Kuncoro, 2007: 2. Wujud dari desentralisasi fiskal adalah pemberian kewenangan kepada daerah
untuk memungut pajak dan retribusi yang diatur dalam Undang-undang No. 34 Tahun 2000, yang tata cara pelaksanaannya diperbaharui dalam Undang-undang No. 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Berdasarkan ketentuan tersebut, daerah diberikan kewenangan untuk memungut 11 jenis pajak dan 28 jenis
retribusi. Pemerintahan daerah dituntut kemandiriannya dalam melaksanakan kebijakan desentralisasi fiskal secara bertanggungjawab. Karenanya, pajak dan
retribusi yang pemungutannya telah diserahkan dan menjadi urusan pemerintahan daerah sebagai bagian dari kebijakan desentralisasi fiskal, harus dikelola dan
ditingkatkan sebagai salah satu sumber pendapatan daerah. Hal ini mengingat bahwa pajak dan retribusi daerah merupakan kelompok PAD dan menjadi sumber pendanaan
bagi keberlangsungan pembangunan dalam kerangka otonomi daerah Peraturan Pemerintah, 2010.
Menurut jenisnya, PAD dikelompokkan menjadi empat jenis pendapatan, adalah sebagai berikut:
1. Pajak Daerah adalah kontribusi wajib kepada daerah oleh orang pribadi atau
badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah
bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pajak daerah yang dikelola oleh pemerintahan provinsi antara lain: Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan
di Atas Air, Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air, Pajak Bahan Bakar Bermotor, Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan
Universitas Sumatera Utara
20
Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. Pajak yang dipungut oleh kabupatenkota meliputi: Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak
Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Pengambilan dan Pengelolahan Bahan Galian Golongan C, dan Pajak Parkir.
2. Retribusi Daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau
pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh pemerintahan daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Retribusi ini
dirinci menjadi: a
Retribusi Jasa Umum, meliputi: Retribusi Pelayanan Kesehatan, Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akte Catatan Sipil,
Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Maya, Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum, Retribusi Pelayanan Pasar, Retribusi Pengujian
Kendaraan Bermotor, Retribusi Pemeriksanaan Alat Pemadam Kebakaran, Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta, dan Retribusi Pengujian Kapal
Perikanan, b
Retribusi Jasa Khusus, meliputi: Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah, Retribusi Pasar Grosir dan atau Pertokoan, Retribusi Tempat Pelelangan,
Retribusi Terminal, Retribusi Tempat Khusus Parkir, Retribusi Tempat PenginapanPesangrahanvilla, Retribusi Penyedotan Kakus, Retribusi
Rumah Potong Hewan, Retribusi Pelayanan Pelabuhan Kapal, Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga, Retribusi Penyeberangan di atas Air, dan
Retribusi Pengolahan Air Limbah,
Universitas Sumatera Utara
21
c Retribusi Perijinan Tertentu, meliputi: Retribusi Izin Mendirikan Bagunan,
Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol, Retribusi Izin Gangguan, dan Retribusi Izin Trayek.
3. Hasil Pengelolaan Kekayaan yang Dipisahkan, terdiri dari: bagian laba atas
penyertaan modal pada perusahaan milik pemerintahan daerahnegara dan bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau
kelompok usaha masyarakat. 4.
Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah, merupakan penerimaan daerah yang berasal dari hasil penjualan aset daerah yang tidak dipisahkan, seperti
penerimaan jasa giro, penerimaan bunga, penerimaan ganti rugi atas kekayaan daerah, komisi denda keterlambatan pekerjaan, dan lain-lain.
2.1.4 Belanja Daerah
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 1 Ayat 16, belanja daerah adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang
nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Sumber- sumber pembiayaan daerah yang utama dalam rangka pelaksanaan desentralisasi
fiskal terdiri dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan, dan pinjaman daerah. Hubungan keuangan antara pusat dan daerah, pada prinsipnya lebih menyangkut
persoalan tentang pembagian kekuasaan. Terutama hak mengambil keputusan mengenai anggaran, yaitu bagaimana memperoleh dan membelanjakannya.
Belanja daerah dipergunakan dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupatenkota, yang terdiri dari urusan
wajib dan urusan pilihan yang ditetapkan dengan ketentuan perundang-undangan.
Universitas Sumatera Utara
22
Belanja urusan wajib diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan
dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial, dan fasilitas umum yang layak, serta mengembangkan sistem jaminan sosial. Belanja urusan pilihan, terdiri dari:
pertanian, kehutanan, energi dan sumber daya mineral, pariwisata, kelautan dan perikanan, perdagangan, perindustrian, dan transmigrasi Syahputra, 2010: 31.
Pemerintahan daerah menetapkan target capaian kinerja setiap belanja, baik dalam konteks daerah, satuan kerja perangkat daerah, maupun program dan
kegiatan, yang bertujuan untuk meningkatkan akuntabilitas perencanaan anggaran dan memperjelas efektifitas dan efisiensi penggunaan anggaran. Berdasarkan
Permendagri No. 22 2011, belanja daerah dapat diklasifikasikan ke beberapa bagian.
1. Belanja Tidak Langsung, merupakan belanja yang penganggarannya tidak
dipengaruhi secara langsung oleh adanya usulan program atau kegiatan. Belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan setiap bulan
dalam satu tahun anggaran sebagai konsekuensi kewajiban pemerintahan daerah secara periodik kepada pegawai yang bersifat tetap pembayaran
gaji dan tunjangan dan atau kewajiban untuk pengeluaran belanja lainnya yang diperlukan secara periodik. Kelompok belanja tidak langsung dibagi
menurut jenis belanja yang terdiri dari: a
Belanja Pegawai, merupakan belanja kompensasi dalam bentuk gaji dan tunjangan, serta penghasilan lainnya yang diberikan kepada
Universitas Sumatera Utara
23
pegawai negeri sipil yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,
b Belanja Bunga, digunakan untuk menganggarkan pembayaran
bunga utang yang dihitung atas kewajiban pokok utang principal outstanding berdasarkan perjanjian-pinjaman jangka pendek,
jangka menengah, dan jangka panjang, c
Belanja Subsidi, digunakan untuk menganggarkan bantuan biaya produksi kepada perusahaan atau lembaga yang menghasilkan
produk dan jasa pelayanan umum kepada masyarakat agar harga jual dari produksijasa yang dihasilkan tersebut dapat terjangkau
oleh masyarakat luas, d
Belanja Hibah, digunakan untuk menganggarkan pemberian hibah dalam bentuk uang, barang, dan atau jasa kepada pemerintahan
pusat atau pemerintahan daerah lainnya, perusahaan daerah, masyarakat, dan organisasi kemasyarakatan yang secara spesifik
telah ditetapkan peruntukannya, e
Belanja Bantuan Sosial, digunakan untuk pemberian bantuan yang bersifat sosial kemasyarakatan dalam bentuk uang dan atau barang
kepada kelompok atau anggota masyarakat, dan partai politik, yang pemberiannya secara selektif, serta memiliki kejelasan peruntukan
penggunaanya dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah dan ditetapkan berdasarkan keputusan kepala daerah,
Universitas Sumatera Utara
24
f Belanja Bagi Hasil, digunakan untuk menganggarkan dana bagi
hasil yang bersumber dari pendapatan pemerintahan provinsi kepada kabupatenkota atau pendapatan pemerintahan desa atau
pendapatan pemerintahan tertentu kepada pemerintahan lainnya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,
g Belanja Bantuan Keuangan, digunakan untuk menganggarkan
bantuan keuangan yang bersifat umum atau khusus dari provinsi kepada kabupatenkota, pemerintahan desa, dan pemerintahan desa
lainnya dalam rangka pemerataan dan peningkatan kemampuan keuangan,
h Belanja Tidak Terduga, merupakan belanja untuk kegiatan yang
sifatnya tidak biasa atau tidak diharapkan terjadi berulang, seperti penanggulangan bencana alam dan bencana sosial yang tidak bisa
diperkirakan sebelumnya, termasuk pengembalian atas kelebihan penerimaan daerah untuk tahun-tahun yang telah ditutup.
2. Belanja Langsung, merupakan belanja yang penganggarannya dipengaruhi
secara langsung oleh adanya program atau kegiatan. Belanja langsung dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari:
a Belanja Pegawai, merupakan belanja digunakan untuk mendanai
pengeluaran honorariumupah dalam melaksanakan program dan kegiatan pemerintahan daerah,
b Belanja Barang dan Jasa, yang digunakan untuk mengangarkan
pengadaan barang dan jasa yang nilai manfaatnya kurang dari 12
Universitas Sumatera Utara
25
dua belas bulan dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan daerah, berupa belanja habis pakai, bahanmaterial, jasa kantor,
premi asuransi, perawatan kendaraan bermotor, cetakpengadaan, sewa rumahgedungparkir, sewa sarana mobilitas, sewa alat berat,
sewa perlengkapan dan peralatan kantor, makanan dan minuman, pakaian dinas dan atributnya, pakaian kerja, pakaian khusus dan
hari-hari tertentu, perjalanan dinas, perjalanan dinas pindah, jasa konsultasi dan lain-lain pengadaan barangjasa, dan belanja lainnya
yang sejenis, c
Belanja Modal, merupakan pengeluaran yang dilakukan dalam rangka menambah nilai aset tetap berwujud yang mempunyai masa
manfaat lebih dari 12 dua belas bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan.
2.1.5 Analisis Flypaper Effect
Seperti yang sudah disinggung di pendahuluan, bahwa fenomena utama dalam penelitian ini adalah flypaper effect. Sejauh ini, belum ada padanan kata
flypaper effect dalam bahasa Indonesia sehingga kata ini dituliskan sebagaimana
adanya tanpa diterjemahkan. Flypaper effect merupakan suatu kondisi di mana belanja daerah lebih besar dipengaruhi oleh transfer tak bersyarat unconditional
grants dari pemerintahan pusat ketimbang dari pendapatan daerah itu sendiri, dalam konteks ini PAD. Dalam pengertian lain, flypaper effect disebut sebagai
suatu kondisi yang terjadi saat pemerintahan daerah merespon belanja lebih
Universitas Sumatera Utara
26
banyak menggunakan dana transfer daripada menggunakan pendapatan sendiri.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Maimunah dan Akbar 2008 untuk kasus penelitian pada kabupatenkota di Pulau Sumatera mengonfirmasi bahwa perilaku
belanja pemerintahan daerah kaitannya dengan sektor-sektor yang berhubungan langsung dengan kepentingan publik baik berupa kesehatan maupun infrastruktur
ternyata menunjukkan fenomena yang disebut flypaper effect Iskandar, 2012: 119.
Interpretasi tentang flypaper effect ini berangkat dari asumsi bahwa dana yang ditransfer dari pemerintahan pusat ke pemerintahan daerah haruslah setara
dengan kenaikan pendapatan masyarakatnya. Pendekatan tersebut memberikan gambaran bahwa setiap kenaikan transfer yang diberikan oleh pemerintahan pusat
untuk daerah otonom haruslah sepadan dengan kenaikan pendapatan masyarakat daerah otonom tersebut. Artinya bahwa, setiap rupiah yang dikeluarkan oleh
pemerintahan pusat sebagai bantuan transfer ke pemerintahan daerah, mestinya memberikan pengaruh yang juga sama besar terhadap peningkatan pendapatan
masyarakat lokal. Dengan meningkatnya pendapatan masyarakat lokal, otomatis akan memperbesar potensi pajak lokal, oleh karena peningkatan pendapatan
tersebut disetor ke kas daerah sebagai pajak untuk meningkatkan pendapatan asli daerah Suyanto, 2010: 74.
Namun praktiknya, dalam memenuhi kebutuhan publik, pemerintahan daerah masih sangat mengandalkan unconditional grants DAU dan DBH.
Sehingga seolah menciptakan ilusi fiskal fiscal illusion, di mana masyarakat membayar pajak dan berharap mendapatkan kontraprestasi tidak langsung yang
Universitas Sumatera Utara
27
sepadan, akan tetapi pemerintahan daerah tersebut dalam memenuhi kebutuhan publik lebih cenderung menggunakan DAU dan DBH ketimbang PAD. Sehingga
yang terjadi adalah peningkatan belanja daerahnya menjadi tidak sepadan dengan peningkatan PAD-nya. Selain itu, flypaper effect juga akan memengaruhi
kecenderungan belanja pemerintahan daerah untuk periode selanjutnya sehingga efek tersebut akan berdampak jangka panjang. Akibatnya, dari tahun ke tahun
pemerintahan daerah selalu menuntut transfer yang lebih besar dari pemerintahan pusat, bukannya mengeksplorasi basis pajak lokal secara optimal Kuncoro, 2007:
6. Flypaper effect erat kaitannya dengan efisiensi penggunaan anggaran
untuk belanja daerah. Dalam konteks daerah yang mengalami flypaper effect, daerah tersebut akan cenderung menuntut transfer yang lebih besar untuk
pembiayaan publik dari pemerintahan pusat, sehingga pengeluaran pemerintahan pusat menjadi berat sebelah. Penerimaan pajak yang dipungut oleh pemerintahan
pusat akan bertambah untuk memenuhi permintaan daerah tersebut, sementara pelayanan yang diberikan pemerintahan pusat cenderung stagnan. Sebaliknya,
penerimaan pajak daerah mungkin menurun tetapi pelayan publiknya tetap dan cenderung bertambah, karena dibiayai oleh unconditional grants.
Studi Kuncoro 2007 untuk pemerintahan kabupaten dan kota di Indonesia menemukan bahwa perubahan besaran transfer dari pemerintahan pusat
ke pemerintahan daerah menimbulkan perilaku asimetris pemerintah daerah dalam menggunakan dana transfer yang diterimanya tersebut. Penelitian tersebut
menemukan bahwa setiap peningkatan alokasi transfer dari pemerintahan pusat
Universitas Sumatera Utara
28
akan direspon oleh pemerintahan daerah dalam bentuk peningkatan belanja daerah yang lebih tinggi dari periode sebelumnya. Artinya, terdapat indikasi terjadinya
inefisiensi dalam belanja pemerintahan daerah, terutama belanja operasional. Di sisi lain, apabila terjadi penurunan alokasi transfer dari pemerintahan pusat ke
pemerintahan daerah, maka pemerintahan daerah merespon kebijakan tersebut dalam bentuk penurunan belanja daerah yang melebihi penurunan PAD. Perilaku
yang bersifat asimetris seperti ini menunjukkan tujuan efisiensi dalam penggunaan dana tidak berhasil dicapai.
Flypaper effect dapat terjadi dalam dua versi, yaitu: Pertama, merujuk pada peningkatan pajak dan retribusi daerah serta anggaran belanja pemerintahan
yang berlebihan. Kedua, mengarah pada elastisitas pegeluaran terhadap transfer yang lebih tinggi daripada elastisitas pengeluaran terhadap penerimaan pajak
daerah. Artinya, apabila elastisitas pengeluaran terhadap transfer lebih tinggi daripada elastisitas pengeluaran terhadap penerimaan pajak daerah, ini merupakan
indikasi telah terjadi flypaper effect Kuncoro, 2007: 6. Sementara, menurut Maimunah dan Akbar 2008, agar dapat dikatakan
suatu daerah mengalami flypaper effect, maka hasil uji statistik yang diperoleh haruslah menunjukkan: Pengaruh koefisien DAU dan DBH terhadap Belanja
Daerah nilainya lebih besar dari pengaruh koefisien PAD terhadap Belanja Daerah, dan keduanya signifikan. Atau, pengaruh PAD tidak signifikan terhadap
Belanja Daerah Panggabean, 2014: 20.
Universitas Sumatera Utara
29
2.2 Review Penelitian Terdahulu
Belanja daerah sangat dipengaruhi oleh pendapatan yang diperoleh oleh suatu daerah baik yang bersumber dari PAD maupun dari dana transfer yang
diberikan oleh pemerintahan pusat dalam bentuk DAU, DBH, dan DAK, yang dimaksudkan untuk mengurangi kesenjangan fiskal antardaerah. Penelitian ini
melakukan beberapa review dari penelitian terdahulu untuk disajikan sebagai pedoman dalam melakukan penelitian pengembangan. Beberapa studi empiris
menunjukkan bahwa perbedaan stimulus antara grants dan pendapatan asli daerah memang terjadi di beberapa kabupatenkota di Indonesia. Penelitian-penelitian
tersebut menemukan bahwa stimulus terhadap belanja daerah yang disebabkan transfer grants mengalami kenaikan yang lebih besar daripada pendapatan asli
daerah. Dalam artian bahwa, pemerintahan daerah lebih dominan menggunakan transfer dana perimbangan untuk membiayai belanjanya ketimbang mengandalkan
Pendapatan Asli Daerah. Peneliti sebelumnya seperti Maimunah dan Akbar 2008 menemukan
terjadinya flypaper effect pada beberapa kabupatenkota di Pulau Sumatera. Pertama, hasil pengujian hipotesis menyebutkan bahwa besarnya nilai DAU dan
PAD memengaruhi besarnya nilai Belanja Daerah pengaruh positif. Kedua, hasil pengujian hipotesis yang tujuannya adalah untuk mengetahui terjadi tidaknya
flypaper effect, juga diterima. Hal tersebut membuktikan bahwa telah terjadi flypaper effect pada belanja daerah kabupatenkota di Pulau Sumatera. Flypaper
effect terjadi pada belanja daerah bidang kesehatan dan pekerjaan umum. Namun, untuk bidang pendidikan tidak ditemukan adanya indikasi tersebut.
Universitas Sumatera Utara
30
Lebih lanjut, studi empiris yang dilakukan oleh Kuncoro 2007 mengenai fenomena flypaper effect pada kinerja keuangan pemerintahan daerah kabupaten
dan kota di Indonesia juga ditemukan. Studi ini menemukan bahwa setiap peningkatan alokasi transfer dari pusat diikuti dengan peningkatan belanja yang
lebih tinggi. Gejala ini memperlihatkan bahwa birokrat pemerintahan daerah bertindak sangat reaktif terhadap transfer yang diterima dari pusat. Ada indikasi
peningkatan belanja yang tinggi tersebut disebabkan karena inefisiensi belanja pemerintahan daerah, terutama untuk belanja operasional. Temuan tersebut
mengisyaratkan bahwa ketergantungan pemerintahan daerah terhadap transfer dari pemerintahan pusat semakin membesar.
Menariknya, sebagai antitesis dua penelitian sebelumnya, adalah penelitian yang dilakukan oleh Iskandar 2012. Iskandar meneliti kemungkinan
terjadinya flypaper effect pada unconditional grants di Jawa Barat. Hasilnya ditemukan bahwa nilai koefisien pendapatan asli daerah PAD lebih besar dari
unconditional grants dan keduanya signifikan. Ini menunjukan tidak terjadinya flypaper effect di Jawa Barat. Dalam artian kapasitas fiskal kabupatenkota di
Jawa Barat memiliki pengaruh yang lebih dominan terhadap belanja daerah daripada pengaruh dana alokasi umum terhadap belanja daerah. Provinsi Jawa
Barat telah mandiri dari segi keuangan karena telah mampu bertumpu pada kemampuan keuangan daerah itu sendiri dalam menjalankan roda pemerintahan.
Studi empiris mengenai perbedaan stimulus antara grants dan pendapatan asli daerah juga ditemukan di luar negeri, seperti Gennari dan Messina 2012.
Penelitian ini memberikan bukti empiris tentang adanya flypaper effect dalam
Universitas Sumatera Utara
31
jangka panjang untuk sampel municipalities di Italia. Pemerintahan daerah merespon local expenditure lebih banyak dengan menggunakan unconditional
grants daripada menggunakan kemampuan local revenue sendiri. Penjelasan dari dampak ini disebutkan bahwa para birokrat berusaha untuk memaksimalkan
anggaran karena dengan melakukan hal tersebut akan membuat mereka memiliki kekuatan dan pengaruh yang lebih besar di masyarakat.
Tabel 2.1. Review Penelitian Terdahulu No.
Nama dan tahun
Penelitian Judul
penelitian Variavel yang
Digunakan Hasil Penelitian
1. Iskandar
2012 Flypaper Effect
pada Unconditional
Grant
di Provinsi Jawa
Barat
Variabel Independen
: -
Dana Alokasi Umum
- Dana Bagi Hasil
- Pendapatan Asli
Daerah
Variabel Dependen:
- Belanja Daerah Nilai koefisien Pendapatan
Asli Daerah PAD lebih besar dari unconditional
grant DAU dan DBH dan keduanya signifikan. Ini
menunjukan tidak terjadinya flypaper effect di
Jawa Barat.
2.
Listiorini 2011
Fenomena Flypaper Effect
pada Dana Perimbangan dan
Pendapatan Asli Daerah Terhadap
Belanja Daerah pada
Kabupatenkota di Sumatera Utara
Variabel Independen
: -
DAU -
DBH -
DAK -
PAD
Variabel Dependen:
- Belanja Daerah
Secara simultan, DAU, DBH, DAK, dan PAD
berpengaruh terhadap Belanja Daerah. Secara
parsial, nilai koefisien DAU terhadap Belanja Daerah
lebih besar dari nilai koefisien PAD dan
keduanya signifikan terhadap Belanja Daerah.
Sedangkan DBH dan DAK tidak berpengaruh
signifikan terhadap Belanja Daerah.
3.
Maimunah dan Akbar
2008 Flypaper Effect
Pada Dana Alokasi Umum
DAU Dan Pendapatan Asli
Daerah PAD Terhadap Belanja
Variabel Independen
: -
Dana Alokasi Umum DAU
- Pendapatan Asli
Daerah PAD
Variabel Dependen:
Pertama, hasil pengujian hipotesis menyebutkan
bahwa besarnya nilai DAU dan PAD memengaruhi
besarnya nilai Belanja daerah pengaruh positif.
Kedua, hasil pengujian hipotesis yang tujuannya
Universitas Sumatera Utara
32
2.3 Kerangka Konseptual