BAB IV KEDUDUKAN ANAK ANGKAT DALAM HUKUM ADAT BATAK TOBA
DI TARUTUNG SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002
TENTANG PERLINDUNGAN ANAK
A. Kedudukan Anak Angkat Dalam Hukum Adat Batak Toba di Tarutung
Seorang anak memiliki arti yang sangat penting dalam sebuah keluarga. Suatu keluarga tidaklah lengkap tanpa kehadiran seorang anak. Demikian juga halnya
dalam masyarakat Batak Toba di Kecamatan Tarutung. Masyarakat Batak Toba pada umumnya menginginkan mempunyai banyak keturunan, hal ini dapat dilihat dari
ungkapan maranak sampulu pitu, marboru sampulu onom artinya memiliki anak laki-laki sebanyak 17 orang dan anak perempuan sebanyak 16 orang.
R.Soepomo berpendapat :
60
“Kedudukan anak angkat adalah berbeda daripada kedudukan anak angkat di daerah-daerah, dimana sistem keluarga berdasar keturunan dari pihak lelaki, seperti
di Bali misalnya, dimana perbuatan mengangkat anak adalah perbuatan hukum yang melepaskan anak itu dari pertalian keluarganya dengan orang tuanya sendiri dengan
memasukkan anak itu ke dalam keluarga pihak bapak angkat, sehingga anak itu berkedudukan anak kandung, untuk meneruskan keturunannya bapak angkat. Sedang
di Jawa, pengangkatan anak yang diangkat dan orang tuanya sendiri tidak memutuskan pertalian keluarga. Anak angkat masuk kehidupan rumah tangganya
orang tua yang mengambil anak itu, sebagai anggota rumah tangganya, akan tetapi ia berkedudukan sebagai anak kandung dengan fungsi untuk meneruskan keturunannya
bapak angkat”.
Di Batak Karo, anak angkat sebelum orang tua angkat mempunyai anak kandung sendiri, mempunyai kedudukan dan hak yang sama dengan anak kandung
60
Dikutip dalam bukunya Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hlm. 48.
Pita Christin Suzanne Aritonang : Kedudukan Anak Angkat Dalam Hukum Adat Batak Toba Setelah Berlakunya..., 2008 USU e-Repository © 2008
terhadap harta peninggalan orang tua angkatnya sebagai ahli waris. Akan tetapi bila ia diangkat anak setelah orang tua angkat mempunyai anak kandung, maka ia tidak
berhak mewarisi harta pusaka asli.
61
Mengenai kedudukan anak angkat pada umumnya dapat dikatakan sama dengan kedudukan anak kandung dengan orang tua kandungnya.
62
Bila dikatakan anak kandung berwenang mengurus dan mengelola serta mengerjakan harta benda
berupa sawah, ladang, kebun dari orang tua demikian pula anak angkat dapat melakukannya. Anak angkat sama seperti anak kandung mempunyai kewenangan
dalam pengurusan hari tua orang tua angkat, menjaga dan memeliharanya dalam keadaaan sakit serta menyelenggarakan hari-hari terakhirnya bila meninggal.
Dampak pengangkatan anak berbeda-beda untuk masing-masing daerah. Akibat hukum yang terpenting dari pengangkatan anak adalah hal-hal yang termasuk
dalam kekuasaan orang tua, hak waris, hak alimentasi pemeliharaan dan juga soal nama.
63
Berikut akan diuraikan mengenai kedudukan anak angkat dalam masyarakat hukum adat Batak Toba di Tarutung berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan, antara lain : 1.
Menurut adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat Batak Toba di Kecamatan Tarutung, bahwa latar belakang atau motivasi dilakukannya
61
B. Bastian Tafal, Op.Cit., hlm. 50.
62
R. Van Dijk, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Penerbitan W. Van Hoeve, Bandung, 1954, hlm. 33.
63
Djaja S. Meliala, Op. Cit., hlm. 5.
Pita Christin Suzanne Aritonang : Kedudukan Anak Angkat Dalam Hukum Adat Batak Toba Setelah Berlakunya..., 2008 USU e-Repository © 2008
pengangkatan anak lebih kepada kepentingan dari orang tua yang mengangkat anak daripada kepentingan anak yang diangkat tersebut, yaitu karena tidak
mempunyai keturunan. Oleh karena pasangan suami-isteri tersebut belum mempunyai anak setelah sekian tahun menikah, maka ada keinginan untuk
mengangkat anak.
64
Hal ini dapat dilihat bahwa dari 15 responden yang melakukan pengangkatan anak, terdapat 6 responden yang melakukan
pengangkatan anak hanya karena tidak mempunyai anak keturunan dan dari 2 Penetapan Pengadilan Negeri Tarutung terdapat 1 Penetapan Pengadilan
Tarutung, yang mana didalam surat permohonan pengangkatan anak disebutkan alasan atau latar belakang memohon pengangkatan anak adalah karena tidak
mempunyai keturunan setelah 10 tahun menikah. 2.
Menurut adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat Batak Toba di Tarutung, bahwa setelah dilakukannya pengangkatan anak itu berdasarkan adat
yang berlaku dalam masyarakat Batak Toba di Tarutung maka hubungan kekeluargaan antara anak angkat tersebut dengan orang tua kandungnya
menjadi putus. Dari 15 responden yang melakukan pengangkatan anak, kelimabelas responden tersebut menyebutkan bahwa setelah dilakukannya
pengangkatan anak tersebut secara adat yang berlaku dalam masyarakat Batak Toba di Tarutung, maka hubungan kekeluargaan antara anak angkat tersebut
menjadi putus dengan orang tua kandungnya.
64
Wawancara dengan P.Hutagalung, Pemuka Adat di Tarutung, pada tanggal 8 Mei 2008.
Pita Christin Suzanne Aritonang : Kedudukan Anak Angkat Dalam Hukum Adat Batak Toba Setelah Berlakunya..., 2008 USU e-Repository © 2008
Akan tetapi dalam kenyataaannya, ada terjadi bahwa setelah dilakukannya pengangkatan anak, hubungan kekeluargaan antara anak angkat tersebut dengan
orang tua kandungnya tetap terjalin, tidak putus. Hal ini dikarenakan anak yang diangkat tersebut berasal dari kerabat sendiri, sehingga orang tua angkatnya
tidak tega untuk melarang orang tua kandungnya untuk selalu menjenguk anak kandungnya tersebut.
65
3. Menurut adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat Batak Toba di
Tarutung, mengenai asal-usul anak angkat tersebut tidak diberitahukan kepada anak angkat tersebut. Bahkan dalam masyarakat Batak Toba di Tarutung, orang
tua yang melakukan pengangkatan anak tersebut berusaha untuk merahasiakan hal tersebut dan sama sekali tidak ada niat untuk memberitahukan asal-usul
yang sebenarnya mengenai anak angkat tersebut sampai kapanpun. Yang sering terjadi dalam masyarakat, bahwa anak angkat tersebut mengetahui tentang asal-
usulnya dari orang lain pihak ketiga yang dengan sengaja melakukannya karena merasa tidak senang dengan orang tua angkatnya tersebut. Hal ini
menyebabkan anak angkat tersebut, setelah mengetahui mengenai asal-usulnya tersebut, lari dan menjadi benci terhadap orang tua angkatnya tersebut.
66
4. Menurut adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat Batak Toba di
Tarutung, bahwa anak angkat tersebut tidak lagi mewaris dari orang tua kandungnya oleh karena hubungan kekeluargaan antara anak angkat tersebut
65
Ibid.
66
Wawancara dengan P. Hutagalung, Pemuka Adat di Tarutung, pada tanggal 8 Mei 2008.
Pita Christin Suzanne Aritonang : Kedudukan Anak Angkat Dalam Hukum Adat Batak Toba Setelah Berlakunya..., 2008 USU e-Repository © 2008
dengan orang tua kandungnya telah putus. Berdasarkan adat yang berlaku dalam masyarakat Batak Toba di Tarutung, kedudukan anak angkat itu sama seperti
anak kandung. Oleh karena itu, anak angkat hanya mewaris dari orang tua angkatnya.
Dalam hal pembagian harta warisan, menurut adat Batak Toba dahulu, terdapat perbedaan pembagian harta warisan antara anak laki-laki dengan anak
perempuan. Terhadap anak laki-laki akan mendapat tanah, rumah dan harta tidak bergerak lainnya, sedangkan anak perempuan hanya mendapat harta
berupa pemberian dari orang tuanya dan biasanya adalah harta bergerak. Ada tiga jenis pemberian yang dilakukan terhadap anak perempuan, yaitu :
67
a. Pauseang pauseang berasal dari perkataan patu yang merupakan kata
depan dan seang yang artinya sayang; jadi pauseang berarti sesuatu yang menunjukkan kasih sayang yang diberikan pada saat anak perempuan
tersebut kawin. Dengan pemberian pauseang ini, martabat anak perempuan di lingkungan keluarga suaminya dianggap tinggi. Pauseang
ini berupa sawah, alat-alat rumah tangga, emas dan benda-benda berharga lainnya. Anak perempuan tidak dapat meminta langsung pauseang dari
orang tuanya, tetapi harus melalui perantara saudara laki-lakinya. Setelah anak perempuan melahirkan anaknya yang pertama buha baju, diberikan
sebidang tanah oleh ompung nenek si bayi yang disebut dengan indahan
67
Berlin Nainggolan, Hukum Waris Pada Masyarakat Batak Toba Di Tapanuli Utara, Karya Ilmiah, Fakultas Hukum USU, Medan, 1996, hlm. 8.
Pita Christin Suzanne Aritonang : Kedudukan Anak Angkat Dalam Hukum Adat Batak Toba Setelah Berlakunya..., 2008 USU e-Repository © 2008
arian secara harfiah berarti nasi untuk makan siang atau sering juga disebut dengan ulos na so ra buruk selimut yang tidak pernah buruk..
b. Pemberian yang dilakukan seorang ayah kepada anak perempuannya
selagi masih kecil. c.
Ada harta bawaan serta panjarnya yang diserahkan pada pertunangan anak perempuan selagi ia masih kecil.
Ada 3 alasan sehingga anak perempuan tidak mendapat warisan dan tidak ikut dalam keluarga sebagai ahli waris :
68
a. Anak perempuan telah mendapat harta warisan dari orang tua suaminya.
Dengan perkawinan itu anak perempuan telah masuk menjadi anggota keluarga suaminya. Tidak mungkin lagi dia mengikuti kewajiban terhadap
orang tuanya, dia hanya memberikan bantuan sesuai dengan kemampuannya dan tidak dipaksakan.
b. Karena anak perempuan tidak memperluas anggota marga orang tuanya,
tetapi memperluas anggota marga keluarga pihak suaminya. c.
Sesuai dengan kepercayaan orang Batak, bahwa hanya roh nenek moyang laki-laki lah yang dapat memberikan berkat, roh perempuan tidak dapat.
Jika dikatakan bahwa anak perempuan mempunyai hak atas harta kekayaan yang ditinggalkan ayahnya, itu dalam arti bahwa ia dapat menghimbau saudara
laki-lakinya agar diberikan sebagian dari kekayaan yang ditinggalkan oleh ayah mereka. Anak sulung yang mengambil keputusan harus mempertimbangkan hak
68
Ibid.
Pita Christin Suzanne Aritonang : Kedudukan Anak Angkat Dalam Hukum Adat Batak Toba Setelah Berlakunya..., 2008 USU e-Repository © 2008
dan kepentingan semua adiknya yang laki-laki dan jatah yang harus diberikan kepada semua adik perempuan. Penjatahan bagian yang pantas kepada boru
biasanya diterima sebagai penyelesaian yang adil oleh pihak-pihak yang bersangkutan yang tidak setuju, tetapi memerlukan pendapat pihak yang ketiga
yang berdiri sama tengah. Dalam pembagian jatah tidak ada amarah, rasa sakit hati dan ribut-ribut di dalam keluarga, karena yang diinginkan adalah agar
penyelenggaraan harga peninggalan berjalan dalam suasana damai, keadaan seperti ini akan mendorong para ahli waris untuk secara sukarela
menyelenggarakan pertemuan para saudara perempuan dari yang meninggal atau menyerahkan kepada hakim permintaan untuk mendapat pembagian yang
sepatutnya. Dimana tujuan waris bukan untuk mendapat keuntungan untuk diri sendiri, melainkan untuk menentukan jatah yang seharusnya diterima oleh anak-
anak perempuan sepeninggal orang tuanya.
69
5. Menurut adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat Batak Toba di
Tarutung, pengangkatan anak itu hanya dilakukan berdasarkan kebiasaan setempat. Sebelum berlakunya Undang-Undang Perlindungan Anak, tidak ada
masyarakat Batak Toba yang meminta penetapan pengadilan. Padahal, selain dilakukan berdasarkan adat Batak Toba yang berlaku dalam masyarakat Batak
Toba di Tarutung dapat juga diminta Penetapan Pengadilan Negeri Tarutung
69
Ibid, hlm. 10.
Pita Christin Suzanne Aritonang : Kedudukan Anak Angkat Dalam Hukum Adat Batak Toba Setelah Berlakunya..., 2008 USU e-Repository © 2008
untuk menjaga kepentingan yang terbaik bagi anak angkat dengan memberikan jaminan adanya kepastian hukum.
70
B. Kedudukan Anak Angkat Dalam Hukum Adat Batak Toba di Tarutung