Hubungan Kebijakan dengan Kekuasaan

11 menjadi Public Space 8 Seperti diketahui selama ini, studi kebijakan kebanyakan menerima input dari ilmu politik, administrasi publik, kebijakan sosial, kajian organisasi, hubungan internasional dan sebagainya. Antropologi sendiri baru belakangan ini diakui oleh . Trotoar yang digunakan untuk berjualan dapat mengganggu para pejalan kaki, seringkali kehadiran pedagang kaki lima tersebut mengganggu arus lalu lintas karena para konsumen pengguna jasa memarkirkan kendaraannya dipinggir jalan. Ketidakteraturan tersebut mengakibatkan Public Space kelihatan kumuh sehingga tidak nyaman lagi untuk bersantai ataupun berkomunikasi. Untuk mengatasi masalah sektor informal, diperlukan ketegasan dari pemerintah kota. Selama ini, pemerintah hanya melakukan “penertiban” dalam mengatasi masalah sektor informal. Namun hal tersebut terbukti tidak efektif, karena setelah para pedagang kaki lima tersebut ditertibkan maka beberapa hari kemudian mereka akan kembali ketempat semula untuk berjualan. Selain itu, ada kecenderungan tempat yang digunakan untuk berjualan tersebut diperjualbelikan, padahal mereka berjualan dilokasi Public Space yang merupakan milik pemerintah.Hal tersebut dapat dikatakan sebagai tindakan melanggar hukum.

1.2.2. Hubungan Kebijakan dengan Kekuasaan

8 Public Space merupakan tempat umum dimana masyarakat bisa bersantai, berkomunikasi, dan menikmati pemandangan kota. Tempat umum tersebut bisa berupa taman, trotoar, halte bus, dan lain- lain 12 banyak penulis memberi input terhadap kajian kebijakan. 9 Selama ini, walaupun de facto antropologi kebijakan telah ada, tapi identitasnya sebagai antropologi kebijakan tidak begitu jelas lacking a clear identity; malahan sering disebut dengan sesuatu yang lain, atau tidak langsung disebut dengan antropologi kebijakan. 10 “Michael Hardt dan A. Negri 2004 dalam bukunya yang berjudul War and Democracy in the Age of Empire, menyebutkan bahwa resistensi memiliki bentuk yang berbeda-beda sepanjang sejarah dan hal ini terjadi secara garis besar karena adanya perubahan didalam masyarakat. Secara spesifik, perubahan bentukresistensi ini konvergen dengan perubahan dalam struktur buruh dan bentuk organisasi produksi masyarakat, karena pada dasarnya struktur buruh dan bentukorganisasi produksi akan membentuk komposisi masyarakat dan resistensi munculdari masyarakat sendiri. Bagaimana struktur buruh dan bentuk organisasi produksimembentuk komposisi masyarakat dapat dipahami secara sederhana melaluikelas-kelas sosial didalam masyarakat yang sering kali dikategorikan dengan kelasatas, kelas menengah dan kelas bawah berdasarkan tingkat Fikarwin Zuska 2005 mengatakan “bahwa kebijakan policy itu sebenarnya tidak bisa dipisahkan dari pada isu kekuasaan. Dalam hal ini kebijakan dapat diartikan dengan cara bagaimana pemerintah memainkan kekuasaan melalui kebijakan-kebijakan. Kalau kita melihat kebijakan maka seringkali dikaitkan dengan pemerintah sebagai alat atau instrument.Padahal kita ketahui bersama bahwa pemerintah memainkan kekuasaannya yang terdapat di dalam relasi-relasi antara pemerintah dan individu-individu Fikarwin, 2005. 9 Fikarwin Zuska, “Penghampiran Antropolgi atas Kebijakan dan Kekuasaan Berefleksi dari Kebijakan Otonomi Daerah,” Jurnal Antropologi Sosial Budaya, No. 3 Desember, 2005, hal .1 10 Fikarwin Zuska, “Penghampiran Antropolgi atas Kebijakan dan Kekuasaan Berefleksi dari Kebijakan Otonomi Daerah,” Jurnal Antropologi Sosial Budaya, No. 3 Desember, 2005, hal .1 13 perekonomiannya,secara implisit menjelaskan posisinya dalam struktur organisasi produksimasyarakat.” 1.2.3. Pedagang Kaki Lima 1.2.3.1. Pengertian Pedagang Kaki Lima