Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pertumbuhan sektor informal merupakan ciri khas yang melekat pada pembangunan perkotaan. 1 Pedagang kakilima adalah salah satu pekerjaan sektor informal. PudjioSantoso 2012 mengatakan “keberadaan pedagang kaki lima di perkotaan acapkali dipandang sebelah mata. Mereka tidak pernah dilihat sebagai penunjang sektor riil di perkotaan yang tahan terhadap badai krisis ekonomi yang pernah melanda negara Indonesia di tahun 1998 dan krisis ekonomi global tahun 2008”. Sektor informal, khususnya pedagang kaki lima dianggap membawa masalah bagi wilayah perkotaan terutama persoalan klasik, yakni keindahan kota, mengganggu ketertiban, mendatangkan kekumuhan serta mengganggu ketertiban lalu lintas. 2 Beberapa kota besar seperti Kota Medan misalnya, menerapkan aturan penataan wilayah perkotaan yang cenderung kurang memperhatikan nasib pedagang kakilima. Penggusuran demi terciptanya kota Medan yang indah, nyaman dan terbebas dari kemacetan lalu lintas acapkali menjadi alasan utama tanpa memberikan 1 International Labour Organization ILO mendefinisikan sektor informal sebagai pekerjaan-pekerjaan di pinggiran kota besar, tetapi juga meliputi berbagai aktivitas ekonomi antara lain ditandai dengan : mudah untuk dimasuki, bersandar pada sumberdaya lokal, usaha milik sendiri, operasinya dalam skala kecil , padat karya dan teknologinya bersifat adaptif, keterampilan dapat diperoleh diluar sistem sekolah formal, dan tidak terkena langsung oleh regulasi dan pasarnya bersifat kompetitif. Kompas, 15042006 2 Pudjio Santoso, “Pembentukan Paguyuban PKL sebagai bentuk negosiasi terhadap kebijakan penggusuran oleh Pemkot Surabaya”, file:C:Userswin7DesktopPUDJIO20SANTOSO.htmakses 10 April 2015 2 ruang yang layak sebagai penggantinya. Penggusuran pedagang kakilima di pasar Titi Gantung jalan Stasiun di Kota Medan merupakan salah satu bukti ketidakberdayaan sektor informal berhadapan dengan negara.Padahal sektor informal mempunyai fungsi sebagai penampung gejolak sosial holding tank dan urbanisasi prematur, namun keberadaanya sering tergusur oleh pembangunan. 3 Ada 3 tiga kategori resistensi yaitu bisa dilakukan.Pertama, bersifat individual, spontan dan tidak terorganisasi.Kedua, tujuan resistensi agar ada Tindakan penertiban merupakan salah satu sumber terjadinya konflik antara pedagang kakilima dengan aparat pemerintah. Hal ini terjadi karena ada suatu bentuk resistensi pedagang kakilima terhadap aparat pemerintah. Sudarmawan juwono 2009 misalnya, menyebutkan aksi atau reaksi manusia tidak semata-mata bersifat moral namun ada perhitungan untung rugi masing-masing individunya.Resistensi adalah semua tindakan dari anggota masyarakat kelas bawah dengan maksud untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Para pedagang kaki lima melakukan resistensi atau melakukan perlawanan mempertahankan diri karena terpaksa untuk mempertahankan hidup. Perjuangan yang dilakukan para pedagang kakilima ini, merupakan perjuangan yang biasa namun dilakukan terus menerus. Sudarmawan Juwono 2009 juga menambahkan bahwa hal yang menarik dari konsep Scott ini adalah resistensi hanya bersifat individual atau tidak bersifat kolektif. 3 Ahmad Erani Yustika, Negara Vs. Kaum Miskin Jakarta : Pustaka Pelajar, 2003 hal 90 3 reaksi dari pihak yang dilawan.Ketiga, resistensi ini bersifat ideologis atau mengarah pada resistensi simbolis. Berbeda dengan perjuangan yang bersifat “ frontal “ maka resistensi adalah penolakan terhadap sesuatu yang tidak bisa dilawan. Sifat resistensi itu sendiri adalah informal, tersembunyi dan tidak teratur. Pudjio Santoso 2012 menegaskan meningkatnya jumlah mereka yang bekerja di sektor informal tidak terlepas dari kecenderungan pembangunan yang lebih fokus ke perkotaan dari pada pedesaan, sehingga kesempatan kerja di pedesaan makin sempit.Sektor informal dipandang sebagai alternatif pilihan yang menguntungkan bagi pendatang yang berpenghasilan rendah agar dapat mencukupi kebutuhan hidupnya . Sejak akhir tahun 1980-an, tema resistensi atau perlawanan menjadi tema penting dan menarik untuk penelitian. Tema ini menjadi trend sebab menelaah kasus- kasus yang gampang diamati serta bersifat empiris.Analisisnya banyak melihat hal- hal yang ada dalam keseharian masyarakat baik berupa kisah-kisah, tema pembicaraan, umpatan, serta puji-pujian dan prilaku lainnya.Resistensi dianggap berciri kultural sebab muncul melalui ekspresi serta tindakan keseharian masyarakat. 4 Untuk tetap dapat bertahan hidup di tengah-tengah maraknya penggusuran yang dilakukan aparat pemerintahan kota, maka para pekerja sektor informal 4 Yusran Darmawan, “Reasistensi dalam Kajian Antropologi,” artikel diakses pada 8 April 2015 http:www.timur-angin.com200908re sistensi-dalam-kajian-antropologi.html 4 khususnya pedagang kaki lima harus pandai melakukan berbagai strategi. Selama ini yang sering dilakukan para pedagang kakilima adalah strategi “balik kucing” 5 Istilah permainan tradisional jawa yang dimainkan anak-anak secara bersembunyi-sembunyi. , yakni menghilang ketika mendengar akan dilakukan penertiban dan kembali lagi pada saat situasi telah “tenang” seperti di jalan Dr. Mansyur depan kampus USU Medan. Penelitian ini mengkaji resistensi sebagai suatu perlawanan para pedagang kakilima terhadap para pengambil kebijakan yaitu pemerintah melalui Satuan Polisi Pamong Praja dan pihak terkait, yang dianggap sewenang-wenang dan merugikan pedagang kakilima khususnya. Kalau kita mengingat bahwa keberanian dalam berbagai bentuk perlawanan sangat terlihat sejak reformasi digulirkan pada akhir tahun 1997, maka demokratisasi mulai dijunjung tinggi, karena adanya keberanian warga masyarakat untuk menolak kebijakan yang tidak memihak mereka. Pada era zaman modern ini, keberadaan pedagang kaki lima PKL di kota- kota besar merupakan suatu fenomena kegiatan perekonomian rakyat yang akhir- akhir ini banyak terdapat fenomena penggusuran terhadap pedagang kaki lima yang marak terjadi. Kegiatan pedagang kaki lima merupakan salah satu bentuk kesempatan kerja sektor informal yang dianggap sebagai pedagang kecil yang mempunyai peranan. Kegiatan pedagang kaki lima merupakan salah satu fenomena kegiatan perekonomian rakyat kecil, yang dimana mereka berdagang hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok yaitu kehidupan sehari-hari. 5 Masalah pedagang kakilima tidak kunjung selesai di setiap daerah di Indonesia. Permasalahan ini muncul setiap tahun dan terus saja berlangsung tanpa ada solusi yang tepat dalam pelaksanaannya, ini dibuktikan dengan masih banyaknya pedagang kaki lima dibeberapa tempat di daerah. Herwanto 2012 menyebutkan bahwa perekonomian Pemerintah kota Surabaya pada tahun 2009 jumlah pedagang kakilima kurang lebih sebanyak 75.000 PKL. Sementara itu daya tampung kota Surabaya hanya sekitar 10.000 PKL, hal ini berarti Bahwa di Surabaya telah terjadi kelebihan PKL Tujuh kali Lipat . Keberadaan pedagang kaki lima kerap dianggap illegal karena menempati ruang publik dan tidak sesuai dengan visi kota yang sebagian besar menekankan aspek-aspek kebersihan, keindahan, dan kerapihan. Oleh karena itu pedagang kakilima seringkali menjadi target utama kebijakan-kebijakan pemerintah seperti penggusuran dan relokasi. Dimana kita ketahui bersama apabila kebijakan-kebijakan sudah dibuat maka ada sumber hukum yang berlaku. Menurut Bronislaw Malinowski, semua masyarakat memiliki hukum sebagai pengendali sosial. Hukum inilah yang digunakan masyarakat sebagai alat untuk menciptakan keamanan dalam kehidupan bermasyarakat. 6 5K yaitu ketertiban, keamanan, keindahan, kebersihan, dan kenyamanan menjadi barometer citra kota. Itulah sebabnya, kemudian para pengambil kebijakan 6 Jayanti PN Sihombing, “Perempuan di Lembaga Permasyarakatan Dalam Kajian Kemajemukan Hukum,” Skripsi Sarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, Medan, 2015 hal 2. 6 terobsesi untuk mewujudkannya, karena sekaligus untuk membuktikan kemampuanya mengelolah kota. Sedangkan dipihak lain, kebanyakan para pedagang kakilima dengan segala atribut yang serba sangat sederhana itu tidak mau tahu bahwa keberadaanya itu menimbulkan orang lain tidak nyaman, terganggu, risih, malu, citra kumuh, jorok yang penting dapat berusaha dan mendapatkan keuntungan. Pada dasarnya penulis melihat pedagang kakilima itu bersifat ambigu atau ambivalen, artinya bahwa disatu aspek keberadaan pedagang kakilima harus diakui sebagai mata pencaharian yang dapat menampung tenaga kerja dalam jumlah yang sangat basar tanpa menuntut kualifikasi tertentu. Artinya untuk bekerja sebagai pedagang kakilima tidak menuntut syarat formal termasuk pendidikan, sehingga warga yang tidak sekolah sampai lulus perguruan tinggi sekalipun dapat memasuki lapangan pekerjaan ini. Dalam situasi yang seperti ini maka akan adanya peran sektor informal yang secara langsung atau tidak membantu penciptaan kesejahteraan penduduk karena memberikan pekerjaan dan penghasilan demi kelangsungan hidup keluarganya. Coba kita bayangkan jumlah pedagang kakilima yang besar ini tidak memiliki pekerjaan sama sekali atau sebagai penganggur, maka berbagai permasalahan sosial dapat dipastikan akan lebih banyak. Sedangkan dari aspek yang lain, eksistensi pedagang kaki lima yang semakin banyak sering dituduh sebagai biang terjadinya berbagai masalah sosial. Hal ini karena disamping jumlah pedagang kakilima yang terus mengalami pertambahan juga karena tempat usaha yang pada umumnya dipilih 7 para pedagang kakilima adalah tepi jalan yang ramai dilewati orang. Oleh karena itu tidak jarang kita jumpai para pedagang kakilima, sehingga di jalan jalan tersebut cenderung mengganggu lalu lintas macet, merusak keindahan, dan ketertiban. Kawasan demikian ini diantaranya adalah jalan Dr.Mansyur, jalan Jamin Ginting, jalan Setia Budi dan sebagainya. Keadaan sosial dijalan Dr.Mansyur yang dianggap pedagang kakilima tempat yang strategis untuk berjualan. Tempat tersebut merupakan jalan utama dari fasilitas umum seperti terminal, stasiun, rumah sakit, sekolahan, pasar tradisional tidak pernah sepi dari para pedagang kakilima. Ketika keberadaan pedagang kakilima dirasakan benar-benar menjadi masalah sosial, maka pada umumnya para pengambil kebijakan baru berusaha untuk mengatasinya, dan bukannya telah ada antisipasi usaha untuk mencegah sebelum pedagang kakilima menjadi masalah. Seperti halnya pemerintah kota Medan, baru pada tahun 2009 mempunyai peraturan Wali Kota Medan Nomor 9 Tahun 2009, sebagai rujukan tentang Larangan Beraktivitas Berjualan di Badan Jalan dan Trotoar. Keyakinan saya bahwa kehadiran pedagang kakilima didasarkan pada jumlah pencari kerja lebih besar dibandingkan dengan pertumbuhan lapangan kerja yang tersedia disektor formal. Maka sektor informal khususnya pedagang kakilima merupakan penyelesaian terhadap persoalan ini. Di samping adanya orang-orang yang memang sulit dapat tertampung pada sektor formal karena tingkat pendidikan yang tidak memenuhi kualifiksai pekerjaan formal dan juga terbatasnya pekerjaan di 8 sektor formal. Menurut Clifford Geerz pasar tradisional merupakan suatu lembaga tradisional dan suatu cara hidup, suatu bentuk umum kegiatan perdagangan yang mencakup semua segi kehidupan masyarkat disamping merupakan suatu alam kebudayaan masyarakat yang hampir-hampir saja merupakan suatu kebulatan yang lengkap M. Tri Panca, 2011:25. Penataan yang dilakukan para pengambil kebijakan pada umumnya menggunakan beberapa cara. Pertama, melakukan penggusuran tanpa harus menyediakan tempat sebagai pengganti agar tetap berjualan. Dengan demikian ini sudah semestinya pihak pemerintah akan keluar sebagai pemenangnya, walaupun di atas penderitaan para pedagang kakilima. Kedua, ada juga dengan menggunakan cara merelokasi ke tempat lain yang telah disediakan itu bukan tempat yang strategis, sehingga kemunkinan besar akan mendapat penolakan dari para pedagang kakilima. Memang merupakan problem tersendiri bagi pemerintah kota untuk menyediakan lahan yang strategis usahanya para pedagang kakilima karena terbatasnya lahan tersedia. Dua cara tersebut bukanlah merupakan program yang populer, karena disamping prosesnya cenderung represif dan arogan yang juga tidak mau mendengarkan keluh kesah para pedagang kakilima. Hal ini biasanya didasari adanya anggapan bahwa pedagang kakilima merupakan “penyakit” yang harus dihilangkan. Anggapan demikian ini tidaklah keliru, karena disatu pihak di kota-kota besar seperti kota Medan, lahan ditempat strategis bukan saja mahal harganya, juga sangat terbatas. Ketiga, yaitu perenovasian tempat dimana hal itu ditunggu serta 9 diharapkan oleh para pedagang kakilima atas kebijakan pemerintah kota adalah penataan tempat yang sama, hanya saja dibuatkan fasilitas yang seragam, bersih teratur atau rapi, dan tidak menganggu lalu lintas walaupun terkadang dalam ukuran yang sedikit lebih kecil. Dalam hal kasus seperti ini, merupakan masalah yang sangat kompleks karena akan menghadapi sisi dilematis. Pertentangan antara kepentingan hidup dan kepentingan pemerintahan akan berbenturan kuat diantara keduanya. Melihat kondisi seperti ini, maka seharusnya semua tindakan pemerintah didasarkan atas kepentingan masyarakat.Geertz 1973 mengatakan, antropologi tampaknya harus berada di tengah-tengah karena posisinya tidak melulu pemekiran teori, melainkan lapangan empiris yang langsung bersumber dari warga masyarakat yang nyata.

1.2. Tinjauan Pustaka