Konsep Dasar Asuhan Keperawatan dengan Kebutuhan Rasa Nyaman ; Nyeri .1 Defenisi Nyeri

4

BAB II PENGELOLAHAN KASUS

2.1 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan dengan Kebutuhan Rasa Nyaman ; Nyeri 2.1.1 Defenisi Nyeri McCaffery 1980 menyatakan bahwa nyeri adalah segala sesuatu yang dikatakan seseorang tentang nyeri tersebut dan terjadi kapan saja saat seseorang mengatakan merasakan nyeri. Defenisi ini menempatkan seorang pasien sebagai expert ahli di bidang nyeri, karena hanya pasienlah yang tahu tentang nyeri yang ia rasakan. Bahkan nyeri adalah sesuatu yang sangat subjektif, tidak ada ukuran yang objektif padanya, sehingga hanyalah orang yang merasakannya yang paling akurat dan tepat dalam mendefinisikan nyeri Prasetyo, 2010. Nyeri merupakan sensasi yang rumit, unik, universal, dan bersifat individual. Dikatakan bersifat individual karena respon individu terhadap sensasi nyeri beragam dan tidak bisa di samakan dengan yang lainnya. Nyeri diartikan berbeda-beda antar individu tergantung presepsinya. Walaupun demikian, ada satu kesamaan mengenai presepsi nyeri. Secara sederhana, nyeri dapat diartikan sebagai suatu sensasi yang tidak menyenangkan baik secara sensori maupun emosional yang berhubungan dengan adanya suatu kerusakan jaringan atau faktor lain, sehingga individu merasa tersiksa, menderita yang akhirnya akan mengganggu aktivitas sehari-hari, psikis, dan lain-lain Asmadi, 2008. Nyeri abdomen merupakan sensasi subjektif tidak menyenangkan yang terasa di setiap regio abdomen. Nyeri abdomen akut biasanya digunakan untuk menggambarkan nyeri dengan onset mendadak, dan durasi pendek. Nyeri abdomen kronis biasanya digunakan untuk menggambarkan nyeri berlanjut, baik yang berjalan dalam waktu lama atau berulanghilang timbul. Nyeri kronis dapat berhubungan dengan eksaserbasi akut Grace Borley, 2007.

2.1.2 Penyebab Nyeri

Penyebab nyeri dapat diklasifikasikan ke dalam dua golongan yaitu penyebab yang berhubungan dengan fisik dan berhubungan psikis. Secara fisik misalnya penyebab nyeri adalah trauma baik trauma mekanik, termis, kimiawi, maupun elektrik, neoplasma, peradangan, gangguan sirkulasi darah, dan lain-lain. Secara psikis penyebab nyeri dapat terjadi oleh karena adanya trauma psikologis Asmadi, 2010. Universitas Sumatera Utara

2.1.3 Fisiologi Nyeri

Munculnya nyeri sangat berkaitan erat dengan reseptor dan adanya rangsangan. Reseptor nyeri yang dimaksud adalah nociceptor merupakan ujung-ujung saraf sangat bebas yang memiliki sedikit mielin yang tersebar pada kulit dan mukosa, khususnya pada visera, persendian, dinding arteri, hati dan kantong empedu. Reseptor dapat memberikan respon akibat adanya stimulasi atau rangsangan. Stimulasi tersebut dapat berupa kimiawi, termal, listrik atau mekanis Alimul, 2008.

2.1.4 Klasifikasi Nyeri

Klasifikasi nyeri secara umum di bagi menjadi dua, yakni nyeri akut dan nyeri kronis. Nyeri akut terjadi setelah terjadinya cedera akut, penyakit, atau intervensi bedah dan memiliki awitan yang cepat dengan intensitas yang bervariatif ringan sampai berat dan berlangsung untuk waktu singkat Meinhart McCaffery, 1983; NH; 1986. Nyeri akut berdurasi singkat kurang dari 6 bulan, memiliki onset yang tiba-tiba, dan terlokalisir. Nyeri biasanya diakibatkan oleh trauma, bedah, atau inflamasi Prasetyo, 2010. Nyeri kronis merupakan nyeri yang timbul secara perlahan-lahan, biasanya berlangsung dalam waktu cukup lama, yaitu lebih dari enam bulan. Yang termasuk dalam kategori nyeri kronis adalah nyeri terminal, sindrom nyeri kronis dan nyeri psikosomatis Smeltzer Bare, 2001.

2.1.5 Teori-Teori Nyeri

1. The Specificity theory Teori Spesifik Menurut teori spesifik ini, timbulnya sensasi nyeri berhubungan dengan pengaktifan ujung-ujung serabut saraf bebas oleh perubahan mekanik, rangsangan kimia, atau temperatur yang berlebihan. Persepsi nyeri yang dibawa oleh serabut saraf nyeri diproyeksikan oleh spinotalamik ke spesifik pusat nyeri di talamus Asmadi, 2008. 2. The Intensity Theory Teori Intensitas Nyeri adalah hasil rangsangan yang berlebihan pada reseptor. Setiap rangsangan sensori punya potensi untuk menimbulkan nyeri jika intensitasnya cukup kuat Asmadi, 2008. Universitas Sumatera Utara 3. The Gate Control Theory Teori Kontrol Pintu Teori ini menjelaskan tentang transmisi nyeri. Kegiatannya bergantung pada aktivitas seraf saraf aferen berdiameter besar atau kecil yang dapat mempengaruhi sel saraf di substansia gelatinosa. Aktivitas seraf yang berdiameter besar menghambat transmisi yang artinya “pintu ditutup”, sedangkan seraf saraf yang berdiameter kecil mempermudah transmisi yang artinya “pintu dibuka” Asmadi, 2008.

2.1.6 Faktor yang mempengaruhi Respon Nyeri

Nyeri yang dialami oleh pasien dipengaruhi oleh sejumlah faktor, termasuk pengalaman masa lalu dengan nyeri, ansietas, usia, dan pengharapan tentang penghilang nyeri efek plasebo. Faktor-faktor ini dapat meningkatkan atau menurunkan persepsi nyeri pasien, meningkat dan menurunnya toleransi terhadap nyeri dan pengaruh sikap respons terhadap nyeri Smeltzer Bare, 2001. 1. Pengalaman Masa Lalu dengan Nyeri Cara seseorang berespons terhadap nyeri adalah akibat dari banyak kejadian nyeri selama rentang kehidupannya. Bagi beberapa orang, nyeri masa lalu dapat saja menetap dan tidak terselesaikan, seperti pada nyeri berkepanjangan atau kronis dan persisten. Individu yang mengalami nyeri berbulan-bulan atau bertahun-tahun dapat menjadi mudah marah, menarik diri, dan depresi Smeltzer Bare, 2001. Efek yang tidak diinginkan yang diakibatkan dari pengalaman sebelumnya menunjukkan pentingnya perawat untuk waspada terhadap pengalaman masa lalu pasien dengan nyeri. Jika nyerinya teratasi dengan cepat dan adekuat, individu mungkin lebih sedikit ketakutan terhadap nyeri dimasa mendatang dan mampu mentoleransi lebih baik Ansietas dan Nyeri Smeltzer Bare, 2001. 2. Ansietas dan nyeri Meskipun umum diyakini bahwa ansietas akan meningkatkan nyeri, mungkin tidak seluruhnya benar dalam semua keaadan. Riset tidak memperlihatkan sutu hubungan yang konsisten antara ansietas dan nyeri juga tidak memperlihatkan bahwa pelatihan pengurangan stres praoperatif menurunkan nyeri saat pascaoperatif. Namun ansietas yang relevan atau berhubungan dengan nyeri dapat meningkatkan persepsi pasien terhadap nyeri. Secara umum, cara yang lebih efektif ntuk menghilangkan nyeri adalah dengan mengarahkan pengobatan pada nyeri ketimbang ansietas Budaya dan Nyeri Smeltzer Bare, 2001. Universitas Sumatera Utara 3. Budaya dan Nyeri Budaya dan etniksitas mempunyai pengaruh pada bagaimana seseorang berespons terhadap nyeri Bagaimana nyeri diuraikan atau seseorang berprilaku dalam berespons terhadap nyeri. Namun, budaya dan etnik tidak mempengaruhi persepsi nyeri Zatzick dan Dimsdale, 1990. Mengenali nilai-nilai kebudayaan yang dimiliki seseorang dan memehami mengapa nilai-nilai ini berbeda dari nilai-nilai kebudayaan lainnya membantu untuk menghindari mengevaluasi perilaku pasien berdasarkan pada harapan dan nilai budaya seseorang. Namun demikian sama pentingnya untuk menyamaratakan pasien secara budaya. Perawat yang mengetahui perbedaan budaya akan mempunyai pemahaman yang lebih besar tentang nyeri pasien dan akan lebih akurat dalam mengkaji nyeri dan respons-respons perilaku terhadap nyeri juga efektif dalam menghilangkan nyeri pasien Smeltzer Bare, 2001. 4. Usia dan Nyeri Pengaruh usia pada persepsi nyeri dan toleransi nyeri tidak diketahui secara luas. Pengkajian nyeri pada lansia mungkin sulit karena perubahan fisiogis dan psikologis yang menyertai proses penuaan. Cara lansia berespons terhadap nyeri dapat berbeda dengan cara berespons orang yang lebih muda. Atau nyeri pada lansia mungkin dialihkan jauh dari tempat cedera atau penyakit. Penilaian tentang nyeri dan keadekuatan pengobatan harus didasarkan pada laporan nyeri pasien dan pereda nyeri ketimbang didasarkan pada usia Smeltzer Bare, 2001. 5. Efek Plasebo Efek plasebo terjadi ketika seseorang berespons terhadap pengobatan atau tindakan lain karena suatu harapan bahwa pengobatan atau tidakan tersebut memberikan hasil bukan karena tindakan atau pengobatan tersebut benar-benar beakerja. Efek plasebo timbul dari produksi alamiah endogen endorfin dalam sistem kontrol desenden. Efek ini merupakan respons fisiologis sejati yang dapat diputar balik oleh nalokson, suatu antagonis narkotik Smeltzer Bare, 2001.

2.1.7 Nyeri pada Difuse Peritonitis

Nyeri peritonitis lebih terlokalisir karena peritoneum parientalis kaya akan persarafan sensori. Contoh klasik pada nyeri peritonitis ditemukan pada apendisitis. Mula-mula nyeri dirasakan didaerah periumbilikal dan bersifat kolik akibat peradangan organ viseral di daerah midgut. Kemudian peradangan menyebar dan terjadi peritonisme Universitas Sumatera Utara lokal dengan nyeri tekan persisten pada fossa iliaka kanan. Bila kemudian terjadi perforasi akan menjadi peritonitis generalisata dengan nyeri yang hebat diseluruh perut jika tidak ditanganni Davey, 2005. Nyeri pada penyakit difuse peritonitis disebabkan karena terjadi peradangan pada membran mukosa pada abdomen dan organ viscera peritoneum yang dapat disebabkan oleh perforasi apendisitis, salpingitis, perforasi ulkus gastroduodenal, ruptura saluran cerna, obstruksi dan strangulasi saluran cerna. Rangsangan peritoneum menimbulkan nyeri tekan dan defans muskular akibat adanya darah dalam cavitas peritoneum Suratun dan Lusianah, 2010. Akibat infiltrasi dan proliferasi mokroorganisme menyebabkan edema jaringan dan terjadi eksudasi cairan ke rongga peritoneum. Peristaltik usus menurun dan bahkan dapat hilang sehingga memicu terjadinya ileus paralitik. Usus menjadi atonia dan meregang sehingga kekurangan cairan menjadi semakin hebat. Oleh karena itu terjadi perpindahan cairan yang masifke ruang cavitas abdomen intersisiel maka terjadi hipovolemia dan dapat menimbulkan syok. Klien akan merasakan nyeri hebat apabila terjadi rangsangan peritoneum, maka menimbulkan keluhan nyeri yang tiba-tiba atau mendadak, nyeri yang hebat pada perut menyebabkan pola tidur klien, apabila klien merasakan nyeri pada saat sedang tidur klien langsung terbangun dan tidak dapat tidur kembali. Klien juga mengalami mual muntah karena proses patologis organ viseral obstruksi usus secara sekunder akibat iritasi peritoneal sehingga menyebabkan penderita kekurangan asupan nutrisi kurang dari kebutuhan Suratun dan Lusianah, 2010.

2.1.8 Penilaian Nyeri Hayward 1975 mengembangkan sebuah alat ukur nyeri painometer dengan

skala longitudinal yang pada salah satu ujungnya tercantum nilai 0 untuk keadaan tanpa nyeri dan ujung lainnya nilai 10 untuk kondisi nyeri paling hebat. Untuk mengukurnya, penderita memilih salah satu bilangan yang menurutnya paling menggambarkan pengalaman nyeri yang terakhir kali ia rasakan, dan nilai ini dapat dicatat pada sebuah grafik yang dibuat menurut waktu. Intensitas nyeri ini sifatnya subjektif dan dipengaruhi oleh banyak hal, seperti tingkat kesadaran, konsentrasi, jumlah distraksi, tingkat aktivitas, dan harapan keluarga. Intensitas nyeri dapat dijabarkan dalam sebuah skala nyeri dengan beberapa kategori. Universitas Sumatera Utara Tabel 2.1 Skala Nyeri Menurut Hayward Skala Keterangan 1-3 4-6 7-9 10 Tidak nyeri Nyeri ringan Nyeri sedang Sangat nyeri, tetapi masih dapat dikontrol dengan aktivitas yang biasa dilakukan Sangat nyeri dan tidak bisa dikontrol Sedangkan skala nyeri McGill McGill scale mengukur intensitas nyeri dengan menggunakan lima angka, yaitu : 0 = tidak nyeri 1 = Nyeri ringan 2 = Nyeri sedang 3 = Nyeri berat 4 = Nyeri sangat berat 5 = Nyeri hebat Selain kedua skala di atas, ada pula skala wajah, yakni Wong-Baker FACES Rating Scale yang ditujukan untuk klien tidak mampu menyatakan intensitas nyerinya melalui skala angka. Ini termasuk anak-anak yang tidak mampu berkomunikasi secara verbal dan lansia yang mengalami gangguan kognisi dan berkomunikasi. Gambar 2.1 Skala Faces Gambar 2.2 Skala Intensitas Nyeri Numerik 0-10 Universitas Sumatera Utara Gambar 2.3 Skala Analog visual VAS Gambar 2.4 Skala Deskriptif Verbal 2.2 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan dengan Masalah Kebutuhan Dasar Nyeri 2.2.1 Pengkajian