bak perendaman kedelai dan penampungan bubur kedelai terlihat hitam dan berlumut yang memungkinkan adanya bahaya fisik pada produk tahu. Mesin-mesin penggiling
yang berkarat bisa saja terkikis dan menyebabkan tahu tercemar logam berat. Di sekitar industri pembuatan Tahu Sumedang juga terlihat sampah berserakan dan lalat
beterbangan yang bisa memindahkan kuman penyakit ke produk tahu. Selain kebersihan alat, kebersihan pekerja juga sangat mempengaruhi kualitas suatu produk.
Para pekerja di industri ini terutama yang bertugas mencetak tahu tidak menggunakan pakaian sehingga memungkinkan tahu yang dicetak terkontaminasi keringat pekerja.
Sehubungan dengan kondisi di atas peneliti tertarik untuk meneliti proses pembuatan tahu di Kelurahan Sari Rejo Kecamatan Medan Polonia untuk melihat
kemungkinan adanya titik kritis seperti bahaya mikrobiologi pada tahap perendaman dan pencetakan, bahaya fisik pada bubur kedelai dan pada proses penggilingan, serta
bahaya kimia pada proses penggumpalan tahu.
1.2 Perumusan Masalah
Yang menjadi permasalahan penelitian adalah pada proses pembuatan tahu, tahap mana saja yang dianggap sebagai titik kritis.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui titik kritis pada proses pembuatan Tahu Cina dan Tahu Sumedang pada industri rumah tangga di Kelurahan Sari Rejo Kecamatan Medan
Polonia.
Universitas Sumatera Utara
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui pada proses pembuatan tahu tahap apa saja yang bisa
menimbulkan bahaya bagi kesehatan titik kritis. 2.
Untuk mengetahui bahaya kimia formalin, logam berat dan kadar bahan penggumpal CaSO4 pada tahu yang diproduksi di Industri Rumah Tangga
pembuatan Tahu Cina dan Industri Rumah Tangga pembuatan Tahu Sumedang di Kelurahan Sari Rejo Kecamatan Medan Polonia.
3. Untuk mengetahui bahaya mikrobiologis pada air rendaman kedelai dan pada
tahu yang diproduksi di Industri Rumah Tangga pembuatan Tahu Cina dan Industri Rumah Tangga pembuatan Tahu Sumedang di Kelurahan Sari Rejo.
4. Untuk mengetahui bahaya fisik yang terdapat pada tahu hasil produksi
Industri Rumah Tangga pembuatan Tahu Cina dan Industri Rumah Tangga pembuatan Tahu Sumedang di Kelurahan Sari Rejo Kecamatan Medan
Polonia.
1.4 Manfaat Penelitian
Sebagai informasi yang dapat mendukung ilmu pengetahuan terutama dalam hal keamanan pangan
.
Universitas Sumatera Utara
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hazard Analysis Critical Control Point HACCP
Proses pengolahan dan pengawetan pada makanan dan minuman perlu dilakukan secara tepat dan benar, disertai dengan sistem pengawasan yang ketat
karena bahan makanan dan minuman berkaitan langsung dengan kesehatan konsumen. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi akibat buruk yang tidak diinginkan
terhadap konsumen Suprapti, 2005. Dalam buku Pangan dan Gizi karangan Sagung Seto tahun 2001, konsep
Hazard Analysis Critical Control Point HACCP pertama kali dikembangkan ketika
perusahaan Pillsbury di Amerika Serikat bersama-sama dengan US Army Nautics Research and Development Laboratories, The National Aeronautics and Space
Administration serta US Air Force Space Laboratory Projec Group pada tahun 1959 diminta untuk mengembangkan makanan untuk dikonsumsi astronot pada gravitasi
nol. Misi yang paling utama dalam pembuatan produk tersebut adalah menjamin keamanan produk agar para astronot tidak jatuh sakit. Jadi, perlu dikembangkan
pendekatan yang dapat memberi jaminan mendekati 100 aman. Tim tersebut akhirnya menyimpulkan cara terbaik untuk mendapatkan
jaminan tertinggi adalah dengan sistem pencegahan dan penyimpanan rekaman data yang baik. Konsep yang saat ini dikenal sebagai HACCP ini, jika diterapkan dengan
tepat dapat mengendalikan titik-titik yang memungkinkan menyebabkan bahaya.
Universitas Sumatera Utara
Masalah bahaya ini didekati dengan cara mengamati satu per satu bahan baku proses dari sejak di lapangan sampai dengan pengolahannya. Bahaya yang dipertimbangkan
adalah bahaya patogen, logam berat, toksin, bahaya fisik, dan kimia serta perlakuan yang mungkin dapat mengurangi cemaran itu Seto, 2001.
Pada 1985, The National Academy of Science NAS merekomendasikan penerapan HACCP dalam publikasinya “An Evaluation of The Role of
Micro biological Criteria for Food and Foods Ingredients.” International
Commisions on Microbiological Spesification for Foods ICMSF juga menerima konsep HACCP dan memperkenalkannya ke luar Amerika Serikat. Ketika NAS
membentuk The National Advisory Commitee on Microbiological Criteria for Food NACMCF, maka konsep HACCP semakin dikembangkan dengan disusunnya 7
prinsip HACCP yang dikenal sampai saat ini. Konsep HACCP kemudian diadopsi oleh berbagai negara termasuk Indonesia Mortimore dan Wallace, 2004.
Hazard Analysis Critical Control Point HACCP merupakan suatu program
pengawasan, pengendalian, dan prosedur pengaturan yang dirancang untuk menjaga agar makanan tidak tercemar sebelum disajikan. Sistem ini merupakan pendekatan
sistematis terhadap identifikasi, evaluasi pengawasan keamanan pangan secara bermakna Arisman, 2009.
Sistem HACCP terutama diterapkan dalam industri makanan besar, tetapi WHO telah membuktikan bahwa sistem ini dapat diterapkan hingga ke tingkat rumah
tangga. Konsep HACCP merupakan penggabungan dari mikrobiologis makanan, pengawasan mutu, dan penilaian risiko. Sistem HACCP bukan merupakan sistem
Universitas Sumatera Utara
jaminan keamanan pangan yang zero-risk atau tanpa resiko, tetapi dirancang untuk meminimumkan resiko bahaya keamanan.
Penelitian yang dila kukan oleh Sutrisno Koswara tentang “HACCP dan
penerapannya pada produk bakeri.” Pada tahap pembentukan adonan dan filling pengisian krimvla ke dalam roti diidentifikasi adanya mikroba salmonella aureus
yang disebabkan oleh kebersihan pekerja yang kurang. Juga terdapat salmonella dari cangkang telur yang terbawa karena pemecahan telur yang kurang hati-hati. Pad a
tahap fermentasi ditemukan bakteri dan kapang yang berasal dari kontaminasi wadah. Bahaya fisik yang ditemukan yaitu rambut dan serangga.
Tahu aci adalah tahu khas daerah Tegal yang dipotong berbentuk segitiga dan diberi pulungan aci kanji diatasnya kemudian digoreng. Pada proses pembuatan
tahu aci analisis potensi bahaya terdapat pada tahap perendaman kedelai dalam ember dengan air hangat karena air yang digunakan kurang bersih, perebusan bubur kedelai
dengan suhu yang kurang tepat, pemotongan tahu secara manual menggunakan alat yang kurang bersih karena tidak dicuci terlebih dahulu menyebabkan tahu tercemar.
Pemeriksaan laboratorium negatif untuk formalin, boraks dan e-coli Andriyani, 2010.
Universitas Sumatera Utara
Dalam buku karangan Thaheer tahun 2005, sistem HACCP terdiri dari 7 prinsip sebagai berikut:
Gambar 2.1 Tujuh Prinsip Sistem HACCP Melakukan analisa bahaya
Menentukan Titik Kendali Kritis CCPs
Menentukan batas kritis
Membuat sistem pemantauan CCP
Melakukan tindakan korektif
Menetapkan prosedur verifikasi
Melakukan dokumentasi Seluruh prosedur
Universitas Sumatera Utara
Tujuan dari penerapan HACCP dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum penerapan HACCP adalah
memelihara kesehatan masyarakat dengan cara mencegah atau mengurangi kasus keracunan pangan Haryadi, 2001. Adapun tujuan khususnya adalah:
1 Mengevaluasi cara produksi pangan untuk mengetahui bahaya yang mungkin
timbul dari pangan. 2
Memperbaiki cara produksi pangan dengan memberikan perhatian khusus terhadap tahap-tahap proses yang dianggap kritis
3 Memantau dan mengevaluasi cara-cara penanganan dan pengolahan pangan serta
penerapan sanitasi dalam memproduksi pangan 4
Meningkatkan inspeksi mandiri terhadap industri pangan oleh operator dan karyawan
2.1.1 Analisis bahaya
Bahaya hazard: agen biologis, kimia atau agen fisik atau faktor yang berpotensi untuk menimbulkan efek yang merugikan bagi kesehatan WHO, 2005.
Bahaya yang ada harus ditiadakan atau dikurangi sehingga produksi pangan dinyatakan aman. Penentuan adanya bahaya berdasarkan tiga pendekatan yaitu
keamanan pangan, sanitasi, dan penyimpangan secara ekonomi seperti penggunaan bahan yang tidak dibenarkan. Hazard analysis, adalah analisis bahaya atau
kemungkinan adanya risiko bahaya yang tidak dapat diterima. Bahaya disini adalah segala macam aspek mata rantai produksi pangan yang tidak dapat diterima karena
merupakan penyebab masalah keamanan pangan.
Universitas Sumatera Utara
Bahaya tersebut meliputi keberadaan yang tidak dikehendaki dari pencemar biologis, kimiawi, atau fisik pada bahan mentah Nurliana, 2004.
1 Bahaya kimia terjadi apabila bahan pangan terkontaminasi pestisida dan pupuk
kimia saat di lahan pertanian, logam berbahaya. Bahaya kimia juga dapat berasal dari bahan tambahan terlarang atau bahan tambahan pangan yang melebihi
takaran maksimum yang diizinkan dalam penggunaannya. Selain itu dapat juga berasal dari bahan pangan atau makanan yang tercemar racun kapang, misalnya
biji-bijian atau kacang-kacangan seperti kacang kedelai yang disimpan pada kondisi yang salah.
2 Bahaya mikrobiologi meliputi: bakteri patogen kontaminasi, pertumbuhan,
ketahanan beserta toksin-toksin yang dihasilkannya, virus, jamur dan mikotoksin, protozoa.
3 Potensi bahaya fisik seperti: serpihan gelas atau logam dari mesin atau wadah,
benda-benda asing seperti pasir, kerikil atau potongan kayu, rambut, tulang, atau bagian tubuh dari serangga dan hewan lainnya yang mencemari pangan.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1 Pengelompokan Bahaya Kimia Menurut National Advisory Commitee
on Microbiology Criteria for Food Pengelompokan
bahaya Penjelasan
Bahaya A bahaya yang dapat menyebabkan produk yang ditujukan
untuk kelompok beresiko menjadi tidak steril. Kelompok beresiko antara lain bayi, lanjut usia, orang sakit atau orang
dengan daya tahan tubuh rendah
Bahaya B yaitu produk yang mengandung bahan yang sensitif terhadap
bahaya mikro biologi Bahaya C
proses yang tidak diikuti dengan langkah pengendalian terhadap mikroba berbahaya
Bahaya D produk yang terkontaminasi ulang setelah pengolahan dan
sebelum pengepakan Bahaya E
bahaya yang potensial pada penanganan saat distribusi atau penanganan oleh konsumen sehingga menyebabkan produk
menjadi berbahaya apabila dikonsumsi
Bahaya F yaitu bahaya yang timbul karena tidak adanya proses
pemanasan akhir setelah proses pengepakan atau ketika dimasak di rumah
Sumber: Sara dan Wallace, 2004
Tabel 2.2 Pengelompokan Tingkat Bahaya Tingkat bahaya Penjelasan
Kategori 6 Jika bahan pangan mengandung bahaya A atau ditambah
dengan bahaya yang lain Kategori 5
Jika bahan pangan mengandung lima karakteristik bahaya B,C,D,E,F
Kategori 4 Jika bahan pangan mengandung empat karakteristik bahaya
antara B-F Kategori 3
Jika bahan pangan mengandung tiga karakteristik bahaya antara B
– F Kategori 2
Jika bahan pangan mengandung dua karakteristik bahaya antara B
– F Kategori 1
Jika bahan pangan mengandung satu karakteristik bahaya antara B -F
Kategori 0 Jika tidak terdapat bahaya
Sumber Sudarmaji, 2005
Universitas Sumatera Utara
2.1.2 Titik Kritis
Alir makanan food flow, yaitu perjalanan makanan dalam rangkaian proses pengolahan pangan. Titik Kritis TK adalah setiap titik, tahap atau prosedur pada
suatu sistem pengolahan pangan yang jika tidak terkendali dapat menyebabkan risiko dan jika dikendalikan dapat mencegah, mengurangi atau menghilangkan bahaya.
Titik-titik kritiskondisi rawan dalam proses pengolahan makanan bisa saja terdapat satu atau lebih dimana kondisi rawan critical point tersebut harus dikendalikan
untuk menghindarkan bahaya bagi konsumen Thaheer, 2005. Titik Kendali Kritis TKK atau Critical Control Point CCP, merupakan
suatu langkahkegiatan pengendalian dan harus diterapkan untuk mencegah atau meniadakan bahaya keamanan pangan, atau menguranginya sampai pada tingkat yang
dapat diterima. Dengan menggunakan pohon keputusan decision tree pada setiap tahapan proses pengolahan makananminuman dapat ditentukan titik kritis pada alur
proses. Titik-titik pengendalian dalam alir makanan adalah pada:
1. Penerimaan bahan. Pada tahap penerimaan bahan harus diperhatikan apakah
kualitas bahan baku masih bagus dan layak untuk diolah menjadi makananminuman
2. Pencucian bahan. Pada tahap pencucian bahan sering terjadi kontaminasi
bakteri akibat penggunaan air yang tidak bersih 3.
Perendaman. Pada tahap perendaman air yang digunakan tercemar
Universitas Sumatera Utara
4. Peracikanpersiapan bahan. Pada tahap ini sering terjadi cemaran fisik baik
dari pekerja maupun dari lingkungan. Penambahan zat-zat kimia berbahaya atau tidak sesuai takaran oleh produsen yang bisa membahayakan konsumen.
5. Pemasakan. Suhu pemasakan yang tidak tepat menyebabkan bakteri patogen
tidak mati dan bisa membahayakan konsumen 6.
Penanganan produk jadi 7.
Pengemasan dan penyajian; 8.
Anjuran kondisi penyimpanan produk jadi. Produk harus disimpan pada suhu ruangan yang tepat untuk menghindari pertumbuhan kapang atau mikroba
lainnya. Penelitian yang dilakukan oleh Nungki Nurul Aeni pada 2006 di IRT
pembuatan tahu di Plamongansari Pedurungan, kota Semarang menunjukkan adanya cemaran fisik pada kedelai yang berupa ranting, kulit kayu, kulit polong, jagung, dan
kedelai hitam. Pada tahu ditemukan cemaran berupa butiran berwarna hitam dan coklat. Hasil pengujian laboratorium menunjukkan tidak ada formalin dan bakteri
Escherichia coli tetapi ditemukan bakteri lain yang tidak terindentifikasi. Berdasarkan penetapan Titik Kendali Kritis TKK diperoleh tahap pemilihan
kedelai, proses perebusan, proses pembungkusan dengan kain dan proses penyimpanan dapat mempengaruhi kesehatan konsumen dan mutu tahu.
Universitas Sumatera Utara
Berikut adalah pohon keputusan decision tree penentuan Titik Kendali Kritis Critical Control Point yang dibantu dengan tiga pertanyaan yaitu pertanyaan 1 P1,
pertanyaan 2 P2, dan pertanyaan 3 P3.
P1
P2
P3
Gambar 2.2 Pohon Keputusan Penentuan Titik Kendali Kritis
Sumber: SNI-01-4852-1998 Sistem HACCP serta pedoman penerapannya
Apakah tahap ini khusus dirancang untuk menghilangkanmengurangi bahaya yang
mungkin terjadi sampai batas aman?
Tidak Ya
Apakah kontaminasi bahaya dapat terjadimeningkat sampai melebihi batas?
Ya Tidak
Bukan TK Apakah tahap berikutnya dapat menghilangkan
mengurangi bahaya sampai batas aman?
Ya Tidak
Titik Kritis TK Bukan TK
TKK
Universitas Sumatera Utara
2.2 Tahu
Tahu yang kaya akan protein sudah lama dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia sebagai lauk. Nama tahu adalah kata serapan dari bahasa Hokkian tauhu
yang secara harafiah berarti kedelai yang difermentasi. Tahu pertama kali muncul di Tiongkok sejak zaman Dinasti Han sekitar 2200 tahun lalu. Penemunya adalah Liu
An, seorang bangsawan yang merupakan cucu dari Kaisar Han Gaozu, Liu Bang pendiri Dinasti Han. Di Jepang tahu dikenal dengan nama tofu. Makanan ini lalu
menyebar ke Asia Timur, Asia Tenggara, dan akhirnya ke seluruh dunia, termasuk Indonesia Sarwono, 2005.
Tahu termasuk bahan pangan yang sangat mudah rusak. Secara organoleptik tanda-tanda yang dapat digunakan untuk mengetahui telah terjadinya kerusakan tahu
antara lain adalah rasa asam, bau masam sampai busuk, permukaan tahu berlendir, tesktur menjadi lunak, kekompakan berkurang Astawan, 2009.
Tahu adalah makanan yang dibuat dari kacang kedelai yang difermentasikan dan diambil sarinya. Dasar pembuatan tahu adalah melarutkan protein yang
terkandung dalam kedelai dengan menggunakan air sebagai pelarutnya Cahyadi, 2005. Dalam pembuatan tahu, digunakan beberapa macam bahan tambahan kimia
seperti bahan pelunak dan bahan penggumpal. Bahan pelunak kedelai dapat menggunakan soda abu dengan dosis 0,3 gram atau soda kue 0,5 gram10 liter air
rendaman kedelai. Ada tiga jenis bahan kimia yang dapat berfungsi sebagai bahan penggumpal protein pada proses pembuatan tahu. Ketiga bahan kimia tersebut adalah:
Universitas Sumatera Utara
1 Asam cuka CH3COOH, dengan perbandingan 2 bagian asam cuka
dengan 5 bagian air, 2
Batu tahu CaSO4 dibakar hingga menjadi bubuk putih tepung gips dan dilarutkan ke dalam air sampai mengendap. Bagian yang bening kemudian
digunakan sebagai bahan penggumpal, 3
Cairan sisa whey, cairan sisa berwarna bening yang terdapat pada bagian atas saat proses penggumpalan tahu. Cairan ini disimpan terlebih dahulu
selama 24 jam kemudian digunakan sebagai bahan penggumpal untuk proses pembuatan tahu selanjutnya.
2.2.1 Jenis-jenis Tahu
Tahu diperdagangkan dengan berbagai variasi bentuk, ukuran dan nama. Di pasar sudah banyak dikenal berbagai jenis tahu yang sudah memiliki nama dan berciri
khas Sarwono, 2005 diantaranya: 1.
Tahu Cina Tahu cina yaitu: tahu yang agak keras, biasanya dicetak segi empat agak
besar, dibungkus dengan kain kasa, rasanya lebih enak daripada tahu biasa. Tahu Cina berupa tahu putih, teksturnya lebih padat, halus, dan kenyal. Ukurannya sekitar
12 cm x 12 cm x 8 cm. Ukuran tahu relatif seragam karena proses pembuatannya dicetak dan dipres dengan mesin. Dalam pembuatannya digunakan batu tahu kalsium
sulfat sebagai bahan penggumpal protein sari kedelainya.
Universitas Sumatera Utara
2. Tahu Sumedang
Tahu Sumedang disebut juga tahu pong atau tahu kulit. Tahu ini merupakan lembaran-lembaran putih setebal kira-kira 3 cm dengan tekstur lunak dan kenyal.
Tahu putih ini di simpan dalam wadah berisi air. Tahu putih yang siap olah biasanya dipotong kecil-kecil sebelum digoreng. Tahu gorengnya berupa tahu kulit yang lunak
dan kenyal. Isinya kosong kopong- bahasa Jawa sehingga disebut tahu pong. Tahu sumedang biasanya dikonsumsi sebagai makanan ringan.
Bahan untuk membuat tahu sumedang umumnya sama dengan pembuatan jenis tahu lainnya. Hanya zat penggumpalnya yang berbeda. Pada pembuatan tahu
sumedang zat penggumpal yang digunakan yaitu biang atau disebut juga whey. Whey adalah larutan sisa penggumpalan dari proses pembuatan tahu 2-3 hari sebelumnya.
3. Tahu Bandung
Tahu Bandung berbentuk persegi kotak, tekstur agak keras dan kenyal. Warnanya kuning karena sebelumnya telah direndam air kunyit. Tahu digoreng
dengan mengoleskan sedikit minyak di wajan. 4.
Tahu Kuning Tahu Kuning mirip tahu Cina. Bentuknya tipis dan lebar. Warna kuning
dikarenakan sepuhan atau larutan sari kunyit. Tahu ini banyak digunakan dalam masakan Cina.
5. Tahu Takwa
Tahu Takwa merupakan tahu khas Kediri, Jawa Timur. Proses pengolahan tahu Takwa pada prinsipnya sama dengan tahu biasa hanya terdapat perbedaan dalam
Universitas Sumatera Utara
perendaman dan pengepresan tahu. Bahan bakunya dipilih kedelai lokal yang berbiji kecil. Penggumpalan sari kedelai menggunakan asam cuka.
6. Tahu Sutera
Tahu ini disebut juga Tahu Jepang. Tahu ini sangat lembut dan enak. Pada proses penggumpalan digunakan kalsium sulfat. Tahu ini mudah sekali rusak, namun
sekarang proses pembuatannya lebih modern sehingga produk lebih tahan lama. Oleh karena itu, tahu sutera sekarang disebut long life tofu.
2.2.3 Proses Pembuatan Tahu
Proses pembuatan tahu secara umum terdiri dari tahap sortasi yaitu memisahkan kedelai yang bagus dengan yang kurang bagus, kemudian kedelai yang
bagus dicuci, dikupas, lalu direndam. Kemudian kedelai digiling, bubur kedelai lalu direbus dan disaring. Setelah itu diberi bahan penggumpal, lalu dicetak. Berikut
adalah skema pembuatan tahu:
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2 Skema pembuatan tahu Suprapti, 2005
Kedelai yang sudah disortasi
Digiling dengan mesin penggiling Dikupas
Direndam dengan air bersih selama 45 menit Dicuci
Direbus selama 30 menit pada suhu 90°C
Disaring dengan kain saring
Susu kedelai berwarna putih susu
Digumpalkan ± 10 menit dengan suhu 75°C Gumpalan tahu
Dipres dengan alat kempa pemberat
tahu Cemaran dari
mesin penggiling
Bahaya mikrobiologis dari
keringat pekerja Kemungkinan
penambahan formalin
Kontaminasi e-coli
Universitas Sumatera Utara
2.3 Syarat Kualitas Tahu
Tahu merupakan pekatan protein kedelai dalam keadaan basah, dengan komponen terbesarnya terdiri atas protein dan air. Persyaratan standar kualitas tahu
ditetapkan dalam tabel berikut. Tabel 2.3 Persyaratan Standar Kualitas Tahu
Jenis Uji Satuan
Persyaratan
Keadaan: Bau
Rasa Warna
Penampakan Normal
Normal Putih normal atau kuning normal
Normal, tidak berlendir, dan tidak berjamur
Abu bb
Maksimal 1,0 Protein
bb Minimal 9,0
Lemak bb
Minimal 0,5 Serat kasar
bb Maksimal 0,1
Bahan tambahan makanan bb
Sesuai SNI 0222-M dan Peraturan Menteri
Kesehatan No.711MenKesPerIX1988
Cemaran logam : Timbal Pb
mgkg Maksimal 2,0
Tembaga Cu mgkg
Maksimal 30,0 Seng Zn
mgkg Maksimal 40,0
Timah Sn mgkg
Maksimal 40,0 atau 250,0 dalam kaleng
Raksa Hg mgkg
Maksimal 0,03 Cemaran Arsen As
mgkg Maksimal 1,0
Cemaran mikroorganisme : E.coli
APMg Maksimal 10
Salmonella 25 g
Negatif Sumber: SNI 01-3142-1998 Tentang Tahu
Universitas Sumatera Utara
2.3.1 Bahan Kimia
Menurut Peraturan
Menteri Kesehatan
Republik Indonesia
No 711MenKesPerIX88, beberapa bahan pengawet yang umum digunakan adalah :
benzoat, propionat, nitrit, sorbat, dan sulfit. Bahan tambahan yang dilarang : asam borat dan senyawanya, asam salisilat dan garamnya, dietilpirokarbonat, dulsin,
Kalium klorat, kloramfenikol, minyak nabati yang dibrominasi, nitrofurazon, dan formalin.
1. Boraks
Boraks barie acid borax biasa digunakan dalam industri gelas, pelicin porselain, alat pembersih dan antiseptik, dan pembasmi semut. Penggunaan boraks
apabila dikonsumsi secara terus menerus dapat mengganggu proses pencernaan usus, kelainan pada susunan saraf, depresi dan kekacauan mental. Dosis fatal boraks yaitu
antara 0,1-0,5 gram kg BB Cahyo dan Diana, 2006 2.
Formalin Syarat zat pengawet adalah mampu membunuh kontaminan mikroorganisme,
tidak toksik atau menyebabkan iritasi pada pengguna, stabil dan aktif, serta selektrif dan tidak bereaksi dengan bahan. Alasan para produsen menggunakan formalin dan
boraks sebagai bahan pengawet makanan adalah karena kedua bahan ini mudah digunakan dan mudah didapat, karena harga nya relatif murah dibanding bahan
pengawet lain yang tidak berpengaruh buruk pada kesehatan Yuliarti, 2007. Dalam dunia fotografi formalin digunakan sebagai pengeras lapisan gelatin
dan kertas. Dalam industri perikanan digunakan untuk menghilangkan bakteri yang
Universitas Sumatera Utara
hidup di sisik ikan dan untuk mengobati kulit berlendir. Di dunia kedokteran digunakan dalam pengawetan mayat. Untuk pengawetan biasanya digunakan formalin
dengan konsentrasi 10 Winarno, 2004. Formalin merupakan larutan yang digunakan sebagai desinfektan. Selain itu
juga digunakan pada industri tekstil untuk mencegah bahan menjadi kusut dan meningkatkan ketahanan bahan tenunan. Dalam bidang farmasi formalin digunakan
sebagai obat penyakit kutil karena kemampuan formalin yang dapat merusak protein. Formalin dalam saluran pencernaan dapat menyebabkan rasa sakit disertai radang.
Hal ini karena sifatnya yang merupakan iritan kuat. Formalin dapat juga menyebabkan muntah dan diare Cahyadi, 2008.
Penyimpanan tahu pada suhu rendah 15°C hanya dapat mempertahankan umur simpan tahu selama 1-2 hari, sedangkan tahu yang dibiarkan pada udara terbuka
tanpa perendaman di dalam air pada suhu kamar hanya tahan sekitar 10 jam. Tahu yang mengandung formalin atau boraks berbentuk bagus, kenyal, tidak mudah
hancur, awet hingga lebih dari 3 hari, bahkan lebih dari 15 hari pada suhu lemari es, dan berbau menyengat khas formalin Edi Afrianto, 2008.
3. Kalsium Sulfat
Secara umum terdapat dua jenis bahan pengeras makanan yang biasa digunakan yaitu bahan aluminium sulfat beserta turunan kimianya aluminium
ammonium sulfat ataupun aluminium natrium sulfat dan segala jenis turunan kimia dari garam kalsium seperti kalsium karbonat, kalsium sulfat, kalsium laktat dan
kalsium klorida.
Universitas Sumatera Utara
Garam kalsium dinilai memiliki banyak kadar kalsium yang secara langsung akan menyebabkan menumpuknya kalsium dalam darah. Jika ini terjadi, maka fungsi
syaraf akan memburuk, kinerja tubuh akan menurun, kerusakan ginjal dan menyebabkan terjadinya penggumpalan pada aliran darah dan cairan dalam tubuh
.
2.3.2 Bahaya Mikrobiologis Bahaya mikrobiologis pada tahu tergantung dari beberapa faktor, antara lain
adanya bakteri yang tahan panas seperti golongan bakteri pembentukan spora, suhu penyimpanan, adanya bakteri kontaminan yang mengkontaminasi tahu selama proses
pembuatan sampai tahu siap untuk dikonsumsi. Bakteri yang ditemukan dalam tahu biasanya dikarenakan pada proses pengolahannya terjadi kontaminasi . Sumber utama
pencemaran bakteri pada tahu biasanya berasal dari bahan mentah , tanah dan air yang menjadi sumber utama dari bakteri yang dapat menyebabkan keracunan dan
bakteri pembentuk spora seperti Bacillus sp. Lingkungan proses produksi dan karyawan atau pengolah makanan juga menjadi sumber dari kontaminasi bakteri
seperti Escherichia coli dan Salmonella Santoso, 2010 Penelitian yang dilakukan oleh Fredia dan kawan-kawan pada tahun 2012 di
industri pembuatan tahu skala rumah tangga di Ketapang Kalimantan Barat yaitu bahaya mikrobiologis yang teridentifikasi adalah mikroba aspergillus flavus
penghasil aflatoksin yang mampu hidup dalam produk pangan dan menyebabkan pembusukan lebih cepat dari biasanya. Juga ditemukan bahaya mikrobiologis pada
proses pengolahan. Kondisi tempat pengolahan yang panas menyebabkan pekerja
Universitas Sumatera Utara
tidak menggunakan pakaian sehingga keringat bisa saja jatuh ke bahan saat proses pengolahan sedang berlangsung. Di dalam keringat terkandung berbagai macam zat
sisa sekresi, bahkan dapat berpotensi sebagai migrasi virus ke produk. Bahaya kimia tidak ditemukan karena hanya menggunakan cuka, sedangkan bahaya fisik terjadi
pada proses pencetakan yaitu tempat pencetakan yang kurang bersih sehingga mengakibatkan tahu menjadi kekuning-kuningan.
Salmonella sp. adalah spesies bakteri yang tidak tahan panas, dengan demikian infeksi Salmonella dapat dicegah dengan memanaskan makanan.
Pemanasan yang disarankan untuk mencegah salmonellosis adalah pada suhu 66°C selama paling sedikit 20 menit. Sumber kontaminasi utama dari salmonella adalah
manusia yang menangani makanan maka pengendalian yang paling penting adalah dengan memperhatikan kebersihan pekerja yang terlibat langsung dengan penanganan
makanan. Pengendalian terhadap infeksi salmonella juga dapat dilakukan dengan mencegah terjadinya kontaminasi silang baik antara makanan masak dengan makanan
mentah, maupun kontaminasi dari peralatan yang tidak bersih. Arisman, 2009 Escherichia coli merupakan flora normal yang terdapat dalam saluran
pencernaan hewan dan manusia karena secara alamiah Escherichia coli merupakan salah satu penghuni tubuh, seringkali menyebabkan infeksi. Escherichia coli dapat
ditemukan tersebar di alam sekitar kita, pencemarannya tidak selalu melalui air, melainkan secara pasif dapat terjadi melalui makanan atau minuman.
Escherichia coli menjadi patogen jika jumlah bakteri ini dalam saluran pencernaan meningkat atau berada di luar usus. Escherichia coli menghasilkan
Universitas Sumatera Utara
enterotoksin yang menyebabkan beberapa kasus diare Jawetz dkk, 1995. Bila pertahanan inang normal tidak mencukupi Escherichia coli dapat memasuki aliran
darah dan menyebabkan sepsis. Suhu optimum untuk pertumbuhan Escherichia coli 37°C tetapi Escherichia
coli juga mampu tumbuh pada kisaran suhu yang lebar yaitu antara 15 °C-45°C. Strain Escherichia coli juga dapat bertahan pada pemanasan pada suhu 55°C selama
60 menit dan bahkan pada suhu 60°C selama 15 menit Willshaw dkk, 2000.
2.4 Kerangka Teori
Proses pembuatan tahu diawali dengan pemilihan mutu kedelai yaitu dengan cara memilih yang berbiji besar, kemudian dicuci dengan air bersih lalu direndam
dalam air yang banyak selama enam jam. Proses selanjutnya dilakukan, pengupasan, perendaman kembali agar biji kedelai menjadi lunak, penggilingan, sampai menjadi
bubur kedelai yang baik. Berikutnya penyaringan, pemberian zat penggumpal, dan pemotongan Sarwono dan Pieter, 2005.
Air sebagai bahan yang selalu terlibat pada setiap tahap proses pembuatan tahu berpeluang sebagai sumber kontaminasi oleh bakteri patogen yang berbahaya
bagi konsumen apabila sanitasinya kurang baik. Air yang tidak bersih akan menurunkan mutu tahu. Air ini digunakan saat pencucian, perendaman kedelai, dan
tahu yang sudah siap. Di samping itu, kebersihan diri, alat dan lingkungan kerja harus mendapat perhatian. Beberapa spesies bakteri yang umumnya terdapat di dalam air
adalah peudomonas,
chromobacterium, proteus,
micrococcus, bacillus,
Universitas Sumatera Utara
streptococcus, dan jenis enterokokus diantaranya enterobakter dan escherichia Santoso, 2010.
Selain bahaya mikrobiologis, bahaya kimia seringkali ditemukan pada produk tahu akibat penambahan bahan pengawet seperti fomalin karena sifat tahu yang tidak
tahan lama. Disimpan pada kondisi biasa suhu ruang tahu hanya tahan 1-2 hari saja. Formalin merupakan bahan tambahan yang sangat berbahaya bagi manusia karena
merupakan racun. Pada umumnya, alasan para produsen menggunakan formalin dan boraks sebagai bahan pengawet makanan adalah karena kedua bahan ini mudah
digunakan dan mudah didapat Edi Afrianto, 2008.
2.5 Prosedur Kerja