2.3.1 Bahan Kimia
Menurut Peraturan
Menteri Kesehatan
Republik Indonesia
No 711MenKesPerIX88, beberapa bahan pengawet yang umum digunakan adalah :
benzoat, propionat, nitrit, sorbat, dan sulfit. Bahan tambahan yang dilarang : asam borat dan senyawanya, asam salisilat dan garamnya, dietilpirokarbonat, dulsin,
Kalium klorat, kloramfenikol, minyak nabati yang dibrominasi, nitrofurazon, dan formalin.
1. Boraks
Boraks barie acid borax biasa digunakan dalam industri gelas, pelicin porselain, alat pembersih dan antiseptik, dan pembasmi semut. Penggunaan boraks
apabila dikonsumsi secara terus menerus dapat mengganggu proses pencernaan usus, kelainan pada susunan saraf, depresi dan kekacauan mental. Dosis fatal boraks yaitu
antara 0,1-0,5 gram kg BB Cahyo dan Diana, 2006 2.
Formalin Syarat zat pengawet adalah mampu membunuh kontaminan mikroorganisme,
tidak toksik atau menyebabkan iritasi pada pengguna, stabil dan aktif, serta selektrif dan tidak bereaksi dengan bahan. Alasan para produsen menggunakan formalin dan
boraks sebagai bahan pengawet makanan adalah karena kedua bahan ini mudah digunakan dan mudah didapat, karena harga nya relatif murah dibanding bahan
pengawet lain yang tidak berpengaruh buruk pada kesehatan Yuliarti, 2007. Dalam dunia fotografi formalin digunakan sebagai pengeras lapisan gelatin
dan kertas. Dalam industri perikanan digunakan untuk menghilangkan bakteri yang
Universitas Sumatera Utara
hidup di sisik ikan dan untuk mengobati kulit berlendir. Di dunia kedokteran digunakan dalam pengawetan mayat. Untuk pengawetan biasanya digunakan formalin
dengan konsentrasi 10 Winarno, 2004. Formalin merupakan larutan yang digunakan sebagai desinfektan. Selain itu
juga digunakan pada industri tekstil untuk mencegah bahan menjadi kusut dan meningkatkan ketahanan bahan tenunan. Dalam bidang farmasi formalin digunakan
sebagai obat penyakit kutil karena kemampuan formalin yang dapat merusak protein. Formalin dalam saluran pencernaan dapat menyebabkan rasa sakit disertai radang.
Hal ini karena sifatnya yang merupakan iritan kuat. Formalin dapat juga menyebabkan muntah dan diare Cahyadi, 2008.
Penyimpanan tahu pada suhu rendah 15°C hanya dapat mempertahankan umur simpan tahu selama 1-2 hari, sedangkan tahu yang dibiarkan pada udara terbuka
tanpa perendaman di dalam air pada suhu kamar hanya tahan sekitar 10 jam. Tahu yang mengandung formalin atau boraks berbentuk bagus, kenyal, tidak mudah
hancur, awet hingga lebih dari 3 hari, bahkan lebih dari 15 hari pada suhu lemari es, dan berbau menyengat khas formalin Edi Afrianto, 2008.
3. Kalsium Sulfat
Secara umum terdapat dua jenis bahan pengeras makanan yang biasa digunakan yaitu bahan aluminium sulfat beserta turunan kimianya aluminium
ammonium sulfat ataupun aluminium natrium sulfat dan segala jenis turunan kimia dari garam kalsium seperti kalsium karbonat, kalsium sulfat, kalsium laktat dan
kalsium klorida.
Universitas Sumatera Utara
Garam kalsium dinilai memiliki banyak kadar kalsium yang secara langsung akan menyebabkan menumpuknya kalsium dalam darah. Jika ini terjadi, maka fungsi
syaraf akan memburuk, kinerja tubuh akan menurun, kerusakan ginjal dan menyebabkan terjadinya penggumpalan pada aliran darah dan cairan dalam tubuh
.
2.3.2 Bahaya Mikrobiologis Bahaya mikrobiologis pada tahu tergantung dari beberapa faktor, antara lain
adanya bakteri yang tahan panas seperti golongan bakteri pembentukan spora, suhu penyimpanan, adanya bakteri kontaminan yang mengkontaminasi tahu selama proses
pembuatan sampai tahu siap untuk dikonsumsi. Bakteri yang ditemukan dalam tahu biasanya dikarenakan pada proses pengolahannya terjadi kontaminasi . Sumber utama
pencemaran bakteri pada tahu biasanya berasal dari bahan mentah , tanah dan air yang menjadi sumber utama dari bakteri yang dapat menyebabkan keracunan dan
bakteri pembentuk spora seperti Bacillus sp. Lingkungan proses produksi dan karyawan atau pengolah makanan juga menjadi sumber dari kontaminasi bakteri
seperti Escherichia coli dan Salmonella Santoso, 2010 Penelitian yang dilakukan oleh Fredia dan kawan-kawan pada tahun 2012 di
industri pembuatan tahu skala rumah tangga di Ketapang Kalimantan Barat yaitu bahaya mikrobiologis yang teridentifikasi adalah mikroba aspergillus flavus
penghasil aflatoksin yang mampu hidup dalam produk pangan dan menyebabkan pembusukan lebih cepat dari biasanya. Juga ditemukan bahaya mikrobiologis pada
proses pengolahan. Kondisi tempat pengolahan yang panas menyebabkan pekerja
Universitas Sumatera Utara
tidak menggunakan pakaian sehingga keringat bisa saja jatuh ke bahan saat proses pengolahan sedang berlangsung. Di dalam keringat terkandung berbagai macam zat
sisa sekresi, bahkan dapat berpotensi sebagai migrasi virus ke produk. Bahaya kimia tidak ditemukan karena hanya menggunakan cuka, sedangkan bahaya fisik terjadi
pada proses pencetakan yaitu tempat pencetakan yang kurang bersih sehingga mengakibatkan tahu menjadi kekuning-kuningan.
Salmonella sp. adalah spesies bakteri yang tidak tahan panas, dengan demikian infeksi Salmonella dapat dicegah dengan memanaskan makanan.
Pemanasan yang disarankan untuk mencegah salmonellosis adalah pada suhu 66°C selama paling sedikit 20 menit. Sumber kontaminasi utama dari salmonella adalah
manusia yang menangani makanan maka pengendalian yang paling penting adalah dengan memperhatikan kebersihan pekerja yang terlibat langsung dengan penanganan
makanan. Pengendalian terhadap infeksi salmonella juga dapat dilakukan dengan mencegah terjadinya kontaminasi silang baik antara makanan masak dengan makanan
mentah, maupun kontaminasi dari peralatan yang tidak bersih. Arisman, 2009 Escherichia coli merupakan flora normal yang terdapat dalam saluran
pencernaan hewan dan manusia karena secara alamiah Escherichia coli merupakan salah satu penghuni tubuh, seringkali menyebabkan infeksi. Escherichia coli dapat
ditemukan tersebar di alam sekitar kita, pencemarannya tidak selalu melalui air, melainkan secara pasif dapat terjadi melalui makanan atau minuman.
Escherichia coli menjadi patogen jika jumlah bakteri ini dalam saluran pencernaan meningkat atau berada di luar usus. Escherichia coli menghasilkan
Universitas Sumatera Utara
enterotoksin yang menyebabkan beberapa kasus diare Jawetz dkk, 1995. Bila pertahanan inang normal tidak mencukupi Escherichia coli dapat memasuki aliran
darah dan menyebabkan sepsis. Suhu optimum untuk pertumbuhan Escherichia coli 37°C tetapi Escherichia
coli juga mampu tumbuh pada kisaran suhu yang lebar yaitu antara 15 °C-45°C. Strain Escherichia coli juga dapat bertahan pada pemanasan pada suhu 55°C selama
60 menit dan bahkan pada suhu 60°C selama 15 menit Willshaw dkk, 2000.
2.4 Kerangka Teori