Hotni Sari Dewi Siregar : Kebiasaan Ibu Dalam Melakukan Perawatan Nifas Di Nagori Raya Huluan, 2008. USU Repository © 2009
pertanian agraris. Jumlah anak mayoritas 4 – 6 anak, hal ini menunjukkan bahwa para ibu Nagori Raya Huluan belum mengikuti program berKB, hasil ini tidak
sesuai dengan pencapaian program KB nasional sebagaimana yang dikemukakan oleh Sugiri 2008 , Kepala Bagian Koordinasi BKKBN, yang menyatakan bahwa
secara nasional pada tahun 2007 jumlah rata-rata anak dalam satu keluarga yang dulu mencapai rata-rata 5,8 anak per keluarga menjadi 2,6 anak per keluarga di
tahun 2007 ,
Kabanyakan para ibu menamatkan sekolahnya pada jenjang SMU, keadaan ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan ibu cukup tinggi, berbeda
dengan yang dikemukakan oleh Ramli M 2008 dalam penelitiannya yang menyatakan bahwa pendidikan wanita pada pedesaan terbanyak adalah SD 37
,kemudian SMP sebayak 14, SMA hanya 5, dan perguruan tinggi 0,43 . Hal ini menggambarkan bahwa faktor pekerjaan, usia, pendidikan,adat dan
kebiasaan mempengaruhi hasil penelitian terkait dengan perawatan nifas yang dilakukan responden dalam penelitian ini.
5.2.2 Karakteristik responden berdasarkan perwatan nifas
Dari 24 pertanyaan mengenai perawatan nifas menurut standar kesehatan yang diambil dari teori Reeder, Martin, Griffit, antara lain:
5.2.2.1 Perawatan perineum
Responden melakukan terapi panas sesuai dengan yang teori yang terkait dalam penelitian ini, tetapi setiap masyarakat atau kebudayaan memiliki cara dan
variasi yang bereda. Ibu Nagori Raya Huluan melakukan terapi panas yang mereka sebut dengan Martataring dan menduduki abu hangat.
Martataring adalah terapi panas dengan bara api, bara api ini berada di dapur dimana ibu nifas tidur disampingnya, maka selama 40 hari ibu nifas berada
Hotni Sari Dewi Siregar : Kebiasaan Ibu Dalam Melakukan Perawatan Nifas Di Nagori Raya Huluan, 2008. USU Repository © 2009
di dapur. Menurut mereka hal ini mempermudah para tetangga atau sanak saudara untuk mengunjungi ibu sesudah melahirkan. Pada masyarakat Lombok juga
melakukan terapi panas yang mereka sebut dengan masa berdiang, dimana pada masa nifas ibu tidur dekat tungku api yang terus menyala sampai beberapa hari,
agar ibu dan bayi dalam keadaan hangat Swasono 1997. Tapi keadaan ini sangat membahayakan bagi ibu dan bayi karena dapur bukan merupakan tempat yang
terjaga kebersihannya. Sehingga dapat menyebabkan infeksi bagi ibu. Begitu juga dengan asap dari bara api dapat mengganggu pernafasan bagi ibu dan bayi. Tetapi
duduk diatas abu hangat merupakan perawatan yang hampir sama dengan konsep yaitu berupa terapi panas kering dengan menggunakan lampu atau sinar laser.
Semua ibu melakukan pembilasan khusus pada perineum menggunakan air garam, pembilasan ini sangat efektif untuk melenturkan dan mengurangi rasa
nyeri pad otot yang sakit pada perineum, dan garam juga dapat menghambat pertumbuhan bakteri atau jamur pada perineum, karena garam dengan konsentrasi
lebih dari 0,9 berupa larutan hipertonis yang mempunyai tekanan osmosis yang lebih besar dari cairan yang ada di dalam sel. Perbedaan tekanan osmosis ini dapat
menyebabkan cairan dari sel bakteri tertarik keluar sehingga bakteri lama kelamaan akan menyusut, akibatnya sel akan mati atau tidak mapu berkembang
biak.Irwansyah, 2007 Responden juga memakai pembalut untuk menampung darah nifas, tetapi
pembalut yang responden gunakan adalah kain perca kain bekas dimana kebersihan dari kain ini kurang terjamin, dibandingkan dengan pembalut yang
sudah tersedia diklinik, apotik, bidan
Hotni Sari Dewi Siregar : Kebiasaan Ibu Dalam Melakukan Perawatan Nifas Di Nagori Raya Huluan, 2008. USU Repository © 2009
5.2.2.2 Perawatan Payudara