Perspektif Budaya Jawa dalam Melakukan Perawatan Ibu Nifas di Desa Rawang Lama Kecamatan Rawang Panca Arga Kabupaten Asahan Tahun 2014

(1)

PERSPEKTIF BUDAYA JAWA DALAM MELAKUKAN PERAWATAN IBU NIFAS DI DESA RAWANG LAMA KECAMATAN RAWANG

PANCA ARGA KABUPATEN ASAHAN TAHUN 2014

TESIS

Oleh NANI JAHRIANI

127032086/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PERSPEKTIF BUDAYA JAWA DALAM MELAKUKAN PERAWATAN IBU NIFAS DI DESA RAWANG LAMA KECAMATAN

RAWANG PANCA ARGA KABUPATEN ASAHAN TAHUN 2014

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Kesehatan Reproduksi Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh NANI JAHRIANI

127032086/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Judul Tesis : PERSPEKTIF BUDAYA JAWA DALAM MELAKUKAN PERAWATAN IBU NIFAS DI DESA RAWANG LAMA KECAMATAN RAWANG PANCA ARGA KABUPATEN ASAHAN TAHUN 2014

Nama Mahasiswa : Nani Jahriani Nomor Induk Mahasiswa : 127032086

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi : Kesehatan Reproduksi

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Drs. R. KintokoRochadi, M.K.M)

Ketua Anggota

(dr. Yusniwarti Yusad, M.Si)

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)


(4)

Telah Diuji

pada Tanggal : 07 Juli 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M Anggota : 1. dr.Yusniwarti Yusad, M.Si

2. dr. Ria Masniari Lubis, M.Si 3. Dra. Syarifah, M.S


(5)

PERNYATAAN

PERSPEKTIF BUDAYA JAWA DALAM MELAKUKAN PERAWATAN IBU NIFAS DI DESA RAWANG LAMA KECAMATAN

RAWANG PANCA ARGA KABUPATEN ASAHAN TAHUN 2014

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Juli 2014

Nani Jahriani 127032086/IKM


(6)

ABSTRAK

Masa nifas (puerperium) adalah masa yang dimulai setelah plasenta keluar dan berakhir ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan semula. Perawatan ibu nifas yang dilakukan budaya Jawa secara turun temurun memiliki dampak baik positif maupun negatif terhadap kesehatan ibu dan anak. Oleh karena itu penelitian ini penting untuk diketahui oleh tenaga kesehatan agar lebih mudah melakukan pendekatan dalam memberikan pelayanan kesehatan.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif fenomenologi yang bertujuan untuk mengidentifikasi budaya Jawa dalam melakukan perawatan ibu nifas. Informan penelitian ini berjumlah tujuh orang dengan kriteria ibu nifas yang bersuku Jawa dan bersedia diwawancarai. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam dengan menggunkan alat perekam dan alat tulis.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa informan melakukan pantangan makan tertentu dan pantangan aktifitas tertentu, melakukan kebiasaan minum air wejahan, wuwungan, memakai pilis, tapelan dan kusuk. Perawatan khusus jalan lahir dilakukan dengan senden, penguapan dan penggunaan batu atau batu hangat. Informan merawat payudara dengan cara memijat dan membersihkan puting susu sebelum menyusui. Seluruh informan tidak pernah melakukan hubungan seksual selama nifas dan dalam penelitian ini informan memakai alat kontrasepsi beberapa bulan setelah selesai masa nifas.

Kesimpulan penelitian ini adalah dampak positif perawatan masa nifas perspektif budaya jawa yaitu minum air wejahan yang berguna untuk meningkatkan nafsu makan, kusuk yaitu dapat mengurangi ketegangan otot – otot dan perawatan payudara yaitu memperlancar keluarnya air susu ibu serta larangan melakukan hubungan seksual selama masa nifas dapat mencegah terjadinya perdarahan dan infeksi. Adapun perawatan yang lain berupa pantangan makan, pantangan aktifitas, wuwungan, pilisan, tapelan, senden, penguapan, penempelan batu atau abu hangat serta waktu pemakaian alat kontrasepsi memberikan dampak negatif terhadap kesehatan ibu dan bayinya. Oleh karena itu diharapkan kepada tenaga kesehatan untuk memberikan komunikasi informasi edukasi tentang perawatan – perawatan yang mendukung untuk kesehatan ibu dan bayinya baik selama hamil, bersalin maupun nifas.


(7)

ABSTRACT

The period of confinement (puerperium) is the period when the placenta begins to come out and ends when the womb restores. Taking care of confinement mothers in the Javanese culture from generation to generation has positive and negative effects on the health of mothers and their children. Therefore, this research was very important to be known by health care providers to make them easier in providing health care.

The research used qualitative phenomenological method which was aimed to identify Javanese culture in taking care of confinement mothers. There were seven informants with the criteria of Javanese confinement mothers who were willing to be interviewed. The data were gathered by conducting in-depth interviews, using a recorder and some stationery.

The result of the research showed that the informants were abstain from eating certain foods and doing certain activities; they made a habit of drinking ‘wejahan’ water, doing ‘wuwungan’, using ‘pilis’, ‘tapelan’, and massage. Special care for birth canal was done by senden and spa, by using stones and warm stones. They took care of their breasts by massaging the breasts and cleaning the nipples before breastfeeding.

The conclusion of the research was that positive effects of taking care of mothers during the confinement in the Javanese cultural perspective were drinking wejahan water which was beneficial for increasing appetite, massaging to reduce muscle tight, breast caring to expedite breast milk, and prohibiting sexual intercourse during confinement to prevent from bleeding and infection. Other activities were not eating or doing any activities; wuwungan, pilisan, tapelan, senden, spa,warm stones or ash and the period of using contraception devices had negative effects on the health of mothers and their children. It is recommended that health care providers provide information about any cares for confinement mothers in order to support the health of mothers and their children during their pregnancy, childbirth, and confinement.


(8)

KATA PENGANTAR

Segala Puji dan Syukur penulis ucapkan kepada ALLAH SWT atas berkah dan rahmat serta pertolongan-Nya yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini dengan judul “Perspektif Budaya Jawa dalam Melakukan Perawatan Ibu Nifas di Desa Rawang Lama Kecamatan Rawang Panca Arga Kabupaten Asahan Tahun 2014”.

Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Kesehatan Reproduksi, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Dalam menyusun tesis ini penulis mendapat bantuan, dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.


(9)

4. Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi M.KM. selaku ketua komisi pembimbing dan dr. Yusniwarti Yusad M.Si selaku anggota komisi pembimbing yang dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing hingga terselesainya tesis ini.

5. dr. Ria Masniari Lubis, Msi dan Dra. Syarifah, Ms selaku penguji tesis yang dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing saya mulai dari proposal hingga penyusunan tesis selesai.

6. Dosen dan staf di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

7. Kepala Desa Rawang Lama Kecamatan Rawang Panca Arga Kabupaten Asahan yang telah memberikan izin kepada peneliti serta bantuan dalam mempermudah pelaksanaan penelitian ini.

8. Teristimewa buat Suami dan Ananda serta orang tua tercinta, yang telah memberikan kasih sayang, pertolongan dan doa yang tidak pernah putus selama ini.

9. Rekan-rekan seperjuangan Mahasiswa Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Angkatan 2012 Minat studi Kesehatan Reproduksi.

10. Informan penelitian ini yang dalam penelitian ini dengan pertimbangan etika maka nama, alamat dan identitas informan pelaku disamarkan untuk melindungi informan dari bermacam-macam hal yang merugikan dan merusak nama baik informan.


(10)

Penulis menyadari atas segala keterbatasan, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini dengan harapan semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang kesehatan, dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.

Medan, Juli 2014 Penulis

Nani Jahriani 127032086/IKM


(11)

RIWAYAT HIDUP

Nani Jahriani, lahir pada tanggal 09 Januari 1985 di Bandar Pulo, anak dari pasangan Ayahanda Mulyono dan Ibunda Semi.

Pendidikan formal dimulai dari sekolah dasar di Sekolah Dasar Negeri 116894 Kuala Beringin Tahun 1997, Sekolah Menengah Pertama SMPN 6 Londut tamat Tahun 2000, Sekolah Menengah Atas SMAN 1 Aek Kanopan tamat Tahun 2003, Kuliah D-III Kebidanan Imelda Medan tamat Tahun 2006, Kuliah D-IV Bidan Pendidik Poltekkes Depkes Medan Medan tamat Tahun 2008.

Peneliti mengikuti pendidikan lanjutan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Kesehatan Reproduksi, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara sejak tahun 2012 dan menyelesaikan pendidikan tahun 2014.

Pada tahun 2006 - 2007 peneliti pernah bekerja di Rumah Sakit Imelda Medan, tahun 2008 – 2011 peneliti bekerja di Akademi Kebidanan DR. Rusdi Medan, tahun 2011 sampai dengan sekarang peneliti bekerja di Akademi Kebidanan As Syifa Kisaran.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Permasalahan ... 6

1.3 Tujuan Penelitian... 6

1.4. Manfaat Penelitian... 7

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1 Masa Nifas... 8

2.1.1 Pengertian Masa Nifas ... 8

2.1.2 Tujuan Asuhan Masa Nifas ... 10

2.1.3 Program dan Kebijakan Nasional Masa Nifas ... 10

2.1.4 Tahapan Masa Nifas ... 11

2.1.5 Kebutuhan Dasar Ibu Nifas ... 11

2.1.6 Perawatan Masa Nifas yang di Perlukan ... 14

2.2 Pengertian Budaya... 24

2.3 Budaya Jawa ... 26

2.4 Perawatan Ibu Nifas Berdasarkan Aspek Budaya ... 28

2.5 Kerangka Berpikir ... 31

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 33

3.1 Jenis Penelitian ... 33

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian... 33

3.2.1 Lokasi Penelitian ... 33

3.2.2 Waktu Penelitian ... 33

3.3 Informan Penelitian ... 34

3.3.1 Penelusuran Informan ... 34

3.4 Instrumen Penelitian ... 35

3.5 Metode Pengumpulan Data ... 35

3.6 Metode Analisa Data ... 36


(13)

BAB 4. HASIL PENELITIAN... 38

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian... 38

4.2 Hasil Penelitian... 40

4.2.1 Informan Pertama... 40

4.2.2 Informan Kedua... 42

4.3.3 Informan Ketiga... 45

4.4.4 Informan Keempat... 48

4.5.5 Informan Kelima... 49

4.6.6 Informan Keenam... 52

4.7.7 Informan Ketujuh... 54

BAB 5. PEMBAHASAN... 57

5.1 Pantangan Selama Masa Nifas... 58

5.1.1 Pantangan Makan... 58

5.1.2 Pantangan Aktivitas... 60

5.2 Kebiasaan Ibu Nifas... 61

5.2.1 Minum Air Wejahan... 61

5.2.2 Mandi Keramas (Wuwungan)... 63

5.2.3 Pemakaian Pilis... 64

5.2.4 Tapelan... 64

5.2.5 Kusuk... 66

5.3 Perawatan Jalan Lahir... 68

5.3.1 Penguapan... 68

5.3.2 Senden... 69

5.3.3 Menempelkan Batu atau Abu Hangat... 70

5.4 Perawatan Payudara... 71

5.5 Hubungan Seksual Pada Masa Nifas... 72

5.6 Pemakaian Alat Kontrasepsi... 73

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN... 75

6.1 Kesimpulan... 75

6.2 Saran... 77

DAFTAR PUSTAKA... 79 LAMPIRAN


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman

1. Lembar Persetujuan ... 83

2. Panduan Kuisioner ... 85

3. Surat Izin Penelitian ... 86


(15)

ABSTRAK

Masa nifas (puerperium) adalah masa yang dimulai setelah plasenta keluar dan berakhir ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan semula. Perawatan ibu nifas yang dilakukan budaya Jawa secara turun temurun memiliki dampak baik positif maupun negatif terhadap kesehatan ibu dan anak. Oleh karena itu penelitian ini penting untuk diketahui oleh tenaga kesehatan agar lebih mudah melakukan pendekatan dalam memberikan pelayanan kesehatan.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif fenomenologi yang bertujuan untuk mengidentifikasi budaya Jawa dalam melakukan perawatan ibu nifas. Informan penelitian ini berjumlah tujuh orang dengan kriteria ibu nifas yang bersuku Jawa dan bersedia diwawancarai. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam dengan menggunkan alat perekam dan alat tulis.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa informan melakukan pantangan makan tertentu dan pantangan aktifitas tertentu, melakukan kebiasaan minum air wejahan, wuwungan, memakai pilis, tapelan dan kusuk. Perawatan khusus jalan lahir dilakukan dengan senden, penguapan dan penggunaan batu atau batu hangat. Informan merawat payudara dengan cara memijat dan membersihkan puting susu sebelum menyusui. Seluruh informan tidak pernah melakukan hubungan seksual selama nifas dan dalam penelitian ini informan memakai alat kontrasepsi beberapa bulan setelah selesai masa nifas.

Kesimpulan penelitian ini adalah dampak positif perawatan masa nifas perspektif budaya jawa yaitu minum air wejahan yang berguna untuk meningkatkan nafsu makan, kusuk yaitu dapat mengurangi ketegangan otot – otot dan perawatan payudara yaitu memperlancar keluarnya air susu ibu serta larangan melakukan hubungan seksual selama masa nifas dapat mencegah terjadinya perdarahan dan infeksi. Adapun perawatan yang lain berupa pantangan makan, pantangan aktifitas, wuwungan, pilisan, tapelan, senden, penguapan, penempelan batu atau abu hangat serta waktu pemakaian alat kontrasepsi memberikan dampak negatif terhadap kesehatan ibu dan bayinya. Oleh karena itu diharapkan kepada tenaga kesehatan untuk memberikan komunikasi informasi edukasi tentang perawatan – perawatan yang mendukung untuk kesehatan ibu dan bayinya baik selama hamil, bersalin maupun nifas.


(16)

ABSTRACT

The period of confinement (puerperium) is the period when the placenta begins to come out and ends when the womb restores. Taking care of confinement mothers in the Javanese culture from generation to generation has positive and negative effects on the health of mothers and their children. Therefore, this research was very important to be known by health care providers to make them easier in providing health care.

The research used qualitative phenomenological method which was aimed to identify Javanese culture in taking care of confinement mothers. There were seven informants with the criteria of Javanese confinement mothers who were willing to be interviewed. The data were gathered by conducting in-depth interviews, using a recorder and some stationery.

The result of the research showed that the informants were abstain from eating certain foods and doing certain activities; they made a habit of drinking ‘wejahan’ water, doing ‘wuwungan’, using ‘pilis’, ‘tapelan’, and massage. Special care for birth canal was done by senden and spa, by using stones and warm stones. They took care of their breasts by massaging the breasts and cleaning the nipples before breastfeeding.

The conclusion of the research was that positive effects of taking care of mothers during the confinement in the Javanese cultural perspective were drinking wejahan water which was beneficial for increasing appetite, massaging to reduce muscle tight, breast caring to expedite breast milk, and prohibiting sexual intercourse during confinement to prevent from bleeding and infection. Other activities were not eating or doing any activities; wuwungan, pilisan, tapelan, senden, spa,warm stones or ash and the period of using contraception devices had negative effects on the health of mothers and their children. It is recommended that health care providers provide information about any cares for confinement mothers in order to support the health of mothers and their children during their pregnancy, childbirth, and confinement.


(17)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Asuhan masa nifas diperlukan dalam periode ini karena masa nifas merupakan masa yang kritis baik bagi ibu maupun bayinya, diperkirakan bahwa 60% kematian ibu terjadi setelah persalinan, dan 50% kematian setelah persalinan terjadi dalam 24 jam pertama (Ambarwati dan Wulandari, 2010).

Periode paska persalinan meliputi masa transisi kritis bagi ibu dan bayi secara fisiologis, emosional dan sosial. Baik negara maju ataupun negara berkembang, perhatian utama bagi ibu dan bayi banyak tertuju pada masa kehamilan dan persalinan, sementara keadaan yang sebenarnya justru merupakan kebalikanya, oleh karena resiko kesakitan dan kematian ibu serta bayi lebih sering terjadi pada masa paska persalinan (Prawirohardjo, 2008).

Meskipun tergolong Negara maju, warga Taiwan, China, Hongkong dan Singapura, masih secara ketat menjalankan sebuah tradisi lama yang masih berlangsung diantara masyarakat Tionghoa berupa (Zuo yue zi) atau Co guek lai yaitu ibu nifas harus duduk sepanjang satu bulan serta mengkonsumsi bahan makanan yang sudah ditentukan. Demikian pula untuk sebagian kecil masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia, dan diberbagai negara dipenjuru dunia lainnya. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga estetika dan keindahan tubuh wanita setelah melahirkan, bukan semata – mata karena untuk meningkatkan kesehatan ibu dan bayinya


(18)

(Ayung, 2013).

Larangan makanan tertentu juga ada pada masyarakat di Meksiko yaitu setiap ibu paska persalinan dilarang makan makanan yang bersifat dingin seperti tomat, bayam dan jenis buah – buahan yang asam dengan alasan keasamanya dapat mempersulit penyembuhan kesehatan ibu nifas (Harnany A.S, 2006).

Di Indonesia ditemukan angka kejadian tarak (Pantang) terhadap Makanan pada ibu nifas sebesar 35-45%. Sedangkan di Jawa timur tahun 2000 angka kejadian tarak (pantang) terhadap makanan pada ibu nifas sebesar 39,6% (Suprabowo, 2006).

Data menunjukan bahwa seperempat dari wanita usia reproduktif di negara berkembang mengalami kesakitan yang berhubungan dengan kehamilan, persalinan, nifas. Setiap tahunnya komplikasi persalinan menyebabkan kematian wanita didunia, kematian bayi berusia satu minggu dan bayi lahir mati.Dampak sosial dan ekonomi dari kejadian ini dapat dipastikan sangatlah besar, baik bagi keluarga, masyarakat, maupun angka kerja disuatu negara (Syafrudin dan Meriam, 2010).

Dalam SDKI 2012, angka kematian ibu meningkat menjadi 359 per 100.000 kelahiran hidup. Target penurunan kematian maternal merupakan salah satu indikator kelima MDGs (Millenium Development Goals) yang harus dicapai pada tahun 2015 menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup. Untuk mencapai target tersebut MDGs mengeluarkan program EMAS (Expanding Maternal and Neonatal Survival) dengan tujuan angka kematin ibu dan bayi menurun menjadi 25% (BKKBN, 2013).

Penyebab kematian maternal berdasarkan data Profil Kesehatan Indonesia 2008, dikelompokan menjadi penyebab langsung dan tidak langsung. Penyebab


(19)

langsung kematian maternal yaitu perdarahan (28%), eklamsi (26%) dan infeksi (11%). Sedangkan penyebab tidak langsung (35%) kematian maternal terkait dengan kondisi sosial, ekonomi, geografi serta budaya masyarakat.

Masalah kematian maupun kesakitan pada ibu dapat dihubungkan dengan faktor sosial budaya didalam masyarakat. Selain itu, karena faktor kepercayaan, pengetahuan dan persepsi mengenai berbagai pantangan makanan dan aktifitas tertentu seringkali membawa dampak baik positif maupun negatif terhadap kesehatan ibu dan anak (Mass, 2004).

Menurut Syafrudin dan Meriam (2010) banyak sekali pengaruh atau faktor yang menyebabkan berbagai aspek kesehatan di negara kita, bukan hanya karena pelayanan medik yang tidak memadai atau kurangnya perhatian dari instansi kesehatan, tetapi banyak yang mempengaruhi kesehatan di Indonesia, antara lain masih adanya pengaruh sosial budaya yang turun temurun masih dianut sampai saat ini.

Perawatan nifas penting baik untuk ibu maupun bayinya. Perawatan nifas ini memberikan kesempatan untuk mengobati komplikasi yang timbul dalam persalinan dan untuk memberikan informasi penting kepada ibu tentang cara merawat dirinya dan bayinya. Perawatan paling dini pada periode setelah melahirkan sangat penting karena dalam dua hari pertama setelah melahirkan sangat krusial, kematian ibu dan neonatal paling banyak terjadi dalam dua hari pertama setelah melahirkan (BKKBN, 2013).


(20)

Berdasarkan penelitian Alwi (2007) di Papua, penduduk Kamoro mempercayai berbagai jenis pantangan makanan yang harus dipatuhi. Hampir semua jenis makanan yang dipantangkan mengandung protein tinggi seperti ikan belut, burung kasuari, penyu dan kelapa putih. Banyak masyarakat dari berbagai budaya percaya adanya hubungan antara makanan dengan kesehatan ibu nifas yang kurang tepat, masyarakat memberikan perlindungan yang bersifat terlalu monoton terhadap ibu nifas sehingga pantangan makanan harus semuanya dipatuhi karena kepercayaan mereka terhadap kekuatan sakti dari roh, setan atau yang disebut mbii.

Perilaku yang kurang mendukung selama masa nifas juga terjadi di Kecamatan Bangsri Kabupaten Jepara yaitu 41,7% ibu nifas berpantang mengkonsumsi makanan tertentu berupa daging dan ikan yang lebih dikaitkan dengan agar ASI (air susu ibu) tidak berbau amis yang dapat menyebabkan muntah jika disusukan ke bayinya (Suryawati, 2007).

Dalam penelitian Wulyanto dan Winaryati (2007) di Demak terdapat 63,1% ibu nifas melakukan beberapa pantangan aktifitas yaitu harus berbaring ditempat tidur sebulan penuh, disebabkan oleh budaya yang telah turun temurun dengan alasan akan mendapat bala (musibah) bagi yang melanggarnya sehingga akan berdampak pada ibu dan anaknya. Sedangkan pantangan pada makanan tertentu lebih cenderung demi kesehatan ibunya, agar segera cepat pulih kembali, bahkan dari hasil penelitian ini ada 86,2% ibu nifas menderita anemia.

Budaya Minang juga terdapat upaya yang dilakukan untuk pemulihan tingkat kebugaran tubuh, dengan melakukan perawatan mandi betangeh. Mandi betangeh itu


(21)

adalah rebusan dari daun-daunan rempah, seperti daun jeruk purut, daun kunyit, daun sereh, daun setawa, daun sedingin, daun seringa-ringa, daun asam-asam semua direbus selama 1 jam dalam belanga besar, setelah di rebus, dibuka tutup belanganya dan ibu menggunakan kain atau sarung lalu duduk di atas bangku dan ditutupi tikar. Mandi betangeh ini dilakukan sebanyak 4-6 kali selama masa nifas. Selain itu, anjuran lain berupa minum kopi yang sudah dicampur dengan kuning telur ayam kampung yang bertujuan untuk mengeluarkan darah kotor (Hayati, 2011).

Beberapa fakta - fakta yang terjadi pada masyarakat tentang perawatan pada ibu hamil dan nifas, dapatlah dikatakan bahwa memang benar ada beberapa nilai kepercayaaan masyarakat yang berhubungan dengan perawatan ibu hamil dan ibu nifas. Mengingat dan mempertimbangkan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang terdiri dari beraneka ragam suku dan budaya, maka fenomena tersebut sangat wajar terjadi. Pengetahuan tentang aspek budaya merupakan hal yang penting diketahui oleh tenaga kesehatan untuk memudahkan dalam melakukan pendekatan dan pelayanan kesehatan. Karena tidak semua perawatan yang dilakukan dengan berpedoman pada warisan leluhur tersebut bisa diterima sepenuhnya, bisa saja perawatan-perawatan yang dilakukan tersebut memberikan dampak kesehatan yang kurang menguntungkan bagi ibu dan bayinya. Hal ini tentu saja memerlukan perhatian khusus untuk mengatasinya (Swasono, 1998).

Dari studi pendahuluan pada ibu – ibu nifas di desa Rawang Lama Kabupaten Asahan Provinsi Sumatera Utara. Ibu nifas disini juga melakukan pantangan makan makanan tertentu diantaranya ikan dengan alasan supaya jalan lahirnya cepat pulih


(22)

seperti sebelum hamil dan agar ASI tidak berbau amis. Sedangkan makanan yang dianjurkan berupa makanan kering dan tidak bersantan. Kebiasaan penguapan pada jalan lahir ibu nifas juga dilakukan pada masyarakat desa Rawang Lama khususnya dilakukan pada masyarakat Jawa. Sewaktu dilakukan wawancara terhadap bidan desa Rawang Lama dijumpai ada ibu nifas dengan masalah anemia dan masalah ASI tidak keluar.

Dari uraian diataslah peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang perspektif budaya Jawa dalam melakukan perawatan masa nifas di Desa Rawang Lama Kecamatan Rawang Panca Arga Kabupaten Asahan.

1.2 Permasalahan

Kentalnya budaya masyarakat pantang makan dan aktifitas tertentu pada ibu nifas di Indonesia dapat berdampak negatif pada kesehatan ibu, oleh karena itu peneliti ingin mengetahui bagaimanakah perspektif budaya Jawa dalam melakukan perawatan ibu nifas di Desa Rawang Lama Kecamatan Rawang Panca Arga Kabupaten Asahan Tahun 2014.

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui perspektif budaya Jawa dalam melakukan perawatan ibu nifas di Desa Rawang Lama Kecamatan Rawang Panca Arga Kabupaten Asahan Tahun 2014.


(23)

1.4 Manfaat Penelitian

1. Bagi ibu hamil, ibu nifas dan keluarga

Hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan bagi tenaga kesehatan dalam pemberian KIE kepada masyarakat sehingga meningkatkan pengetahuan ibu hamil, nifas dan keluarga dalam melakukan perawatan masa nifas yang mempercepat pemulihan kesehatan ibu.

2. Bagi Tenaga Kesehatan

Memberikan advokasi, komunikasi informasi edukasi (KIE) pada ibu hamil dan nifas sewaktu berkunjung ke tenaga kesehatan tentang perawatan masa nifas yang mendukung meningkatkan kesehatan ibu.

3. Bagi Desa Rawang Lama

Hasil penelitian ini mampu memberikan informasi kepada pihak yang berkompeten (stake holder) di Desa Rawang Lama untuk menyusun langkah-langkah yang strategis, tepat, dan lebih kontekstual yang bekerjasama dengan tenaga kesehatan untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat dalam melakukan perawatan masa nifas yang mempercepat pemulihan kesehatan ibu dan bayinya.


(24)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Masa Nifas

2.1.1 Pengertian Masa Nifas

Masa nifas (puerperium) adalah masa yang dimulai setelah plasenta keluar dan berakhir ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan semula (sebelum hamil). Masa nifas berlangsung selama kira-kira 6 minggu (Sulistyawati, 2009).

Menurut Suherni, dkk (2009) masa nifas disebut juga masa postpartum atau puerperium yaitu masa atau waktu sejak bayi dilahirkan dan plasenta keluar dan lepas dari rahim, sampai enam minggu berikutnya, disertai dengan pulihnya kembali organ-organ yang berkaitan dengan kandungan, yang mengalami perubahan seperti perlukaan dan lain sebagainya berkaitan saat melahirkan.

Selama masa pemulihan tersebut berlangsung, ibu akan mengalami banyak perubahan, baik secara fisik maupun psikologis. Sebenarnaya sebagian besar bersifat fisiologis, namun jika tidak dilakukan pendampingan melalui asuhan kebidanan maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi keadaan patologis.

Masa nifas merupakan masa yang cukup penting bagi tenaga kesehatan untuk selalu melakukan pemantauan karena pelaksanaan yang kurang maksimal dapat menyebabkan ibu mengalami berbagai masalah, bahkan dapat berlanjut pada komplikasi masa nifas, seperti sepsis puerperalis. Jika ditinjau dari penyebab kematian para ibu, infeksi merupakan penyebab kematian terbanyak nomor dua


(25)

setelah perdarahan sehingga sangat tepat jika para tenaga kesehatan memberikan perhatian yang tinggi pada masa ini. Adanya permasalahan pada ibu akan berimbas juga kepada kesejahteraan bayi yang dilahirkanya karena bayi tersebut tidak akan mendapatkan perawatan maksimal dari ibunya.

Setelah berhasil melewati masa kehamilan dan persalinan secara aman, kaum wanita tetap berada dalam resiko dan bahkan berada dalam resiko tertinggi kematian yang disebabkan oleh kesakitan paska persalinan, yakni terjadinya perdarahan. Penanganan kesakitan ini cukup problematis karena pada masa ini kaum wanita kecil kemungkinannya untuk tetap berhubungan dengan penyedia pelayanan kesehatan. Sehingga perawatan lebih lanjut sesudah melahirkan atau dalam masa nifas sangat dibutuhkan bantuan dan pengawasan demi pulihnya kesehatan seperti sebelum melahirkan. Disamping itu peran gizi sebagai penyebab atau faktor yang memperburuk situasi komplikasi persalinan perlu mendapat perhatian. Karena status gizi yang buruk memberikan kontribusi pada tiga dari empat penyebab utama kematian ibu (Wulyanto dan Winaryati, 2007).

Paska persalinan perlu mendapat perhatian yang serius bagi seorang ibu. Dalam masa ini ibu nifas harus selalu memperhatikan fisiknya menyangkut konsumsi makanan dan aktifitasnya. Untuk itu ibu nifas masih perlu periksa kepada dokter atau bidan. Dalam hal paska persalinan ini, ibu nifas kurang begitu perhatian. Banyak hal dilakukan ibu nifas berkenaan dengan pantangan, karena budaya yang berlaku dimasyarakat begitu kental.


(26)

2.1.2 Tujuan Asuhan Masa Nifas

Asuhan yang diberikan kepada ibu nifas bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan fisik dan psikologis bagi ibu dan bayi; pencegahan, diagnosa dini, dan pengobatan komplikasi pada ibu; merujuk ibu ke asuhan tenaga ahli bilamana perlu; mendukung dan memperkuat keyakinan ibu, serta memungkinkan ibu untuk dalam situasi keluarga dan budaya yang khusus; imunisasi ibu terhadap tetanus; mendorong pelaksanaan metode yang sehat tentang pemberian makan anak, serta peningkatan pengembangan hubunga yang baik antara ibu dan anak (Sulistyawati, 2009).

2.1.3 Program dan Kebijakan Nasional dalam Asuhan Masa Nifas

Untuk menilai status ibu dan bayi baru lahir serta mencegah mendeteksi dan menangani masalah-masalah yang terjadi maka perlu dilakukan kunjungan pada masa nifas paling sedikit 4 kali yaitu kunjungan pertama 6 – 8 jam yang bertujuan mencegah perdarahan masa nifas karena atonia uteri. Mendeteksi dan merawat penyebab lain perdarahan, dan merujuk bila perdarahan berlanjut. Memberikan konseling kepada ibu atau salah satu anggota keluarga bagaimana mencegah perdarahan masa nifas karena atonia uteri. Pemberian ASI awal, membantu melakukan hubungan antara ibu dan bayi baru lahir, juga menjaga bayi tetap sehat dengan cara mencegah hipotermia.

Kunjungan kedua 6 hari setelah persalinan yang tujuannya untuk memastikan involusi uterus berjalan normal, yaitu uterus berkontraksi dan fundus di bawah umbilikus. Menilai adanya tanda-tanda infeksi atau perdarahan abnormal. Memastikan ibu mendapat cukup makanan, cairan dan istirahat. Memastikan ibu


(27)

menyusui dengan baik dan tidak memperlihatkan tanda-tanda penyulit. Memberikan konseling pada ibu mengenai asuhan pada bayi, tali pusat, menjaga bayi tetap hangat dan merawat bayi sehari-hari.

Kunjungan ketiga 2 minggu setelah persalinan yaitu tujuannya sama dengan sewaktu kunjungan kedua. Selanjutnya kunjungan keempat 6 minggu setelah persalinan yang bertujuan untuk mengetahui tentang penyulit-penyulit yang dialami oleh ibu dan bayinya, juga memberikan konseling untuk mendapatkan pelayanan KB secara dini (Sulistyawati, 2009).

2.1.4 Tahapan Masa Nifas

Masa nifas dapat dibagi kedalam 3 periode yaitu pertama : puerperium dini berupa kepulihan dimana ibu telah diperbolehkan berdiri dan berjalan – jalan. Kedua : puerperium intermedial berupa kepulihan menyeluruh alat – alat genetalia yang lamanya 6 – 8 minggu. Dan ketiga : remote puerperium yaitu waktu yang diperlukan untuk pulih kembali dan sehat sempurna terutama apabila ibu selama hamil atau persalinan mempunyai komplikasi (Ambarwati dan Wulandari, 2010).

2.1.5 Kebutuhan Dasar Selama Pemulihan Masa Nifas

Ada beberapa kebutuhan dasar ibu dalam masa nifas yaitu:

a. Gizi : Ibu nifas dianjurkan untuk makan dengan diet berimbang, cukup, karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral, mengkonsumsi makanan tambahan. Asupan cairan 3 liter/hari, 2 liter di dapat dari air minum dan 1 liter dari cairan yang ada pada kuah sayur, buah dan makanan yang lain, mengkonsumsi tablet besi 1 tablet tiap hari selama 40 hari, mengkonsumsi


(28)

vitamin A 200.000 iu. Pemberian vitamin A dalam bentuk suplementasi dapat meningkatkan kualitas ASI, meningkatkan daya tahan tubuh dan meningkatkan kelangsungan hidup anak.

b. Kebersihan Diri : Menjaga kebersihan seluruh tubuh selama masa nifas dapat mencegah infeksi dan alergi kulit pada bayi. Karena kulit ibu yang kotor disebabkan keringat atau debu yang bersentuhan langsung dengan kulit bayi dapat menimbulkan alergi pada bayinya (Sulistyawati, 2009). Pada masa nifas, seorang ibu sangat rentan terhadap infeksi. Oleh karena itu, pakaian, tempat tidur dan lingkungan sangat penting untuk dijaga (Saleha, 2009). Ibu nifas dianjurkan untuk menjaga kebersihan seluruh tubuh, dan juga dianjurkan ibu membersihkan daerah kelamin dengan sabun dan air, mengganti pembalut setiap kali mandi, minimal setelah buang air. Menjaga kebersihan vagina harus jadi perhatian utama, karena vulva yang dibersihkan akan meningkatkan resiko terjadinya infeksi. Vulva (bibir kemaluan) harus selalu dibersihkan dari depan ke belakang. Apabila terjadi pembengkakan dapat dikompres dengan es dan untuk mengurangi rasa tidak nyaman dapat dengan duduk berendam di air hangat setelah 24 jam pascapersalinan. Dianjurkan ibu untuk mencuci tangan dengan sabun dan air sebelum menyentuh kelamin, anjurkan ibu tidak sering menyentuh luka episiotomi atau laserasi. Pada ibu post sectio caesaria (SC), luka tetap di jaga agar tetap bersih dan kering, tiap hari di ganti balutan (Handayani, 2003).


(29)

c. Istirahat dan tidur : Pada umumnya orang menjadi cepat marah, kesal, dan merasa tidak dapat menghadapi hidup ketika mereka kelelahan. Kebanyakan wanita yang baru melahirkan akan sangat lelah selama berminggu-minggu dan bulan-bulan pertama, bahkan kadang-kadang tahun-tahun pertama dari kehidupan bayinya (Nolan, 2004). Ibu nifas dianjurkan istirahat cukup untuk mengurangi kelelahan, tidur siang atau istirahat selagi bayi tidur, kembali ke kegiatan rumah tangga secara perlahan-lahan, mengatur kegiatan rumahnya sehingga dapat menyediakan waktu untuk istirahat pada siang kira-kira 2 jam dan malam 7-8 jam. Kurang istirahat pada ibu nifas dapat mengurangi jumlah ASI, memperlambat involusi, yang akhirnya bisa menyebabkan perdarahan, serta depresi.

d. Eliminasi : Dalam 6 jam ibu nifas sudah bisa buang air kecil (BAK) secara spontan. urine dalam jumlah yang banyak akan di produksi dalam waktu 12-36 jam setelah melahirkan, ureter yang berdilatasi akan kembali normal dalam waktu 6 minggu. Selama 48 jam pertama nifas (puerperium), terjadi kenaikan dueresis sebagai berikut : pengurasan volume darah ibu, autolisis serabut otot uterus. Buang air besar (BAB) biasanya tertunda selama 2-3 hari, karena edema persalinan, diet cairan, obat-obatan analgetik, dan perenium yang sangat sakit, bila lebih 3 hari belum BAB bisa diberikan obat laksantia, ambulasi secara dini dan teratur akan membantu dalam regulasi BAB, asupan cairan yang adekaut dan diet tinggi serat sangat dianjurkan (Suherni dkk, 2009).


(30)

2.1.6 Perawatan Masa Nifas yang Perlu di Perhatikan a. Perawatan Perineum

Perawatan khusus untuk perineum dianjurkan, khususnya bagi ibu nifas yang mendapat jahitan untuk menutup episiotomi atau robekan, atau jika perineum sangat lecet atau bengkak. Tujuan dasar dari perawatan perineum adalah untuk mengurangi nyeri, mempercepat penyembuhan, dan mencegah infeksi. Jahitan akan hilang dalam waktu dua sampai empat minggu dan jaringan biasanya pulih dalam waktu empat sampai enam minggu, meskipun ibu akan merasa kurang nyaman untuk beberapa waktu. Ketidaknyamanan selama berhubungan seksual dapat berlangsung selama beberapa bulan. Adapun cara untuk merawat perineum yang bertujuan untuk memberikan rasa nyaman dan mengurangi resiko infeksi, yaitu :

1. Kompres es pada perineum segera sesudah melahirkan untuk mengurangi rasa sakit dan pembengkakan. Gunakan kompres es secara berkala selama beberapa hari. Dapat juga meletakkan es yang dihancurkan atau kain pembasuh basah yang dibekukan dalam kantung yang bersleting dan membungkusnya dengan beberapa lembar pembalut perineum. Atau dapat membasahi pembalut yang bersih dengan witchhazel beku memberikan peredaan nyeri pada daerah robekan, daerah episiotomi dan wasir.

2. Senam kontraksi dasar panggul yang dilakukan cukup sering (kegel) akan dapat membantu proses penyembuhan luka perineum. Juga membantu mengembalikan kekuatan dan tonus otot pada dasar panggul. Dapat mulai


(31)

melakukan Kegel segera sesudah melahirkan. Kekuatan dasar panggul biasanya akan membaik berangsur-angsur.

3. Sehabis berkemih, bersihkan diri dengan menyiramkan air hangat ke daerah perineum dari depan ke arah anus. Selalu usap atau keringkan dari depan ke belakang untuk mecegah infeksi perineum akibat organisme di daerah anus. 4. Basuh rendam dapat membantu mengurangi nyeri perineum. Duduklah dalam

baskom bersih berisi air hangat selama sepuluh sampai dua puluh menit. Berbaringlah selama lima belas menit atau lebih untuk mengurangi pembengkakan perineum yang disebabkan oleh air hangat. Jika menginginkan, gunakan air dingin untuk basuh rendam. Air dingin ini menyejukan dan tidak memperbesar pembengkakan.

5. Saat duduk dapat diberi bantal dan plastik berbentuk donat untuk tempat duduk. Bentuk donat mengangkat perineum dari permukaan tempat duduk. Dengan menggulung handuk mandi yang panjang dan membentuk koil gulung dalam bentuk sepatu kuda. Duduklah dengan bokong didukung handuk. Duduk pada bantal yang dirancang untuk menyusui atau menopang bayi juga membantu meningkatkan kenyamanan. Duduk kadang-kadang menimbulkan rasa sakit jika ada jahitan. Meskipun mengherankan, beberapa wanita merasa lebih nyaman jika duduk dipermukaan yang lembut keras ketimbang duduk di permukaan yang lembut atau bantal donat (keduanya cenderung membuat tepi irisan terbuka). Jika memilih duduk di permukaan yang keras, duduklah pada satu sisi bokong terlebih dahulu; kemudian dengan kedua sisi. Cara ini


(32)

membantu menekan luka irisan dan tidak begitu sakit. Cobalah permukaan keras maupun lembut dan gunakan pilihan yang terasa lebih nyaman (Peni dkk, 2007).

b. Perawatan Payudara

Selama masa nifas payudara perlu diinspeksi dan dipalpasi dua kali sehari untuk mengetahui apakah payudara terasa bengkak, pegal atau sakit. Hal ini dilakukan untuk segera mengetahui jika terjadi sesuatu yang tidak lazim yang dapat mengambat proses menyusui maka segara bisa diatasi (Farrer, H, 2001).

Menurut pakar ASI Dr. Utami Roesli Sp.A. dalam seminar ASI mengungkapkan bahwa sesungguhnya bukan menyusui yang mengubah bentuk payudara, tapi proses kehamilanlah yang menyebabkan perubahan itu. Namun bukan berarti tidak ada cara membuat payudara tetap terlihat indah dan kencang. Apalagi pada ibu paska melahirkan dan saat menyusui. Selain terlihat indah, perawatan payudara yang dilakukan secara teratur dan benar akan memudahkan bayi mengkonsumsi ASI dan mengurangi luka saat menyusui. Perawatan payudara merupakan suatu tindakan yang mudah dilaksanakan, baik oleh ibu sendiri maupun dibantu orang lain yang dilaksanakan mulai hari pertama atau kedua setelah melahirkan. Perawatan payudara bertujuan untuk melancarkan sirkulasi darah dan mencegah tersumbatnya aliran susu sehingga mempelancar pengeluaran ASI, serta menghindari terjadinya pembengkakan dan kesulitan menyusui, selain itu juga menjaga kebersihan payudara agar tidak mudah terkena infeksi. Adapun langkah-langkah dalam perawatan payudara :


(33)

1. Pengurutan Payudara

Licinkan kedua tangan dengan minyak tempatkan kedua telapak tangan diantara kedua payudara lakukan pengurutan, dimulai dari arah atas lalu arah sisi samping kiri kemudian kearah kanan, lakukan terus pengurutan kebawah atau melintang. Lalu kedua tangan dilepas dari payudara, ulangi gerakan 20-30 kali untuk setiap satu payudara. Menyokong payudara kiri dengan tangan kiri, kemudian dua atau tiga jari tangan kanan mulai dari pangkal payudara dan berakhir pada puting susu. Lakukan tahap mengurut payudara dengan sisi kelingking dari arah tepi kearah putting susu. Lakukan gerakan 20-30 kali. Menyokong payudara dengan satu tangan, sedangkan tangan lain mengurut dan menggenggam dari pangkal menuju ke putting susu. Langkah gerakan 20-30 kali.

2. Pengompresan

Kompres kedua payudara dengan washlap hangat selama 2 menit, kemudian ganti dengan kompres dingin selama 1 menit. Kompres bergantian selama 3 kali berturut-turut dengan kompres air hangat. Menganjurkan ibu untuk memakai BH khusus untuk menyusui.

3. Perawatan puting susu

Putting susu memegang peranan penting pada saat menyusui. Air susu ibu akan keluar dari lubang-lubang pada putting susu oleh karena itu putting susu perlu dirawat agar dapat bekerja dengan baik, tidak semua wanita mempunyai putting susu yang menonjol (normal). Ada wanita yang mempunyai putting


(34)

susu dengan bentuk yang mendatar atau masuk kedalam, bentuk putting susu tersebut tetap dapat mengeluarkan ASI jika dirawat dengan benar. Langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk merawat putting susu: Setiap pagi dan sore sebelum mandi putting susu (daerah areola mamae), satu payudara diolesi dengan minyak kelapa atau baby oil 3 – 4 kali. Jika putting susu normal, lakukan perawatan dengan oleskan minyak pada ibu jari dan telunjuk lalu letakkan keduanya pada Putting susu dengan gerakan memutar dan ditarik-tarik selama 30 kali putaran untuk kedua putting susu. Jika puting susu datar atau masuk kedalam lakukan tahapan berikut: Letakkan kedua ibu jari disebelah kiri dan kanan putting susu, kemudian tekan dan hentakkan kearah luar menjahui putting susu secara perlahan. Letakkan kedua ibu jari diatas dan dibawah putting susu lalu tekan serta hentakkan kearah putting susu secara perlahan. Kemudian untuk masing-masing putting digosok dengan handuk kasar agar kotoran-kotoran yang melekat pada putting susu dapat terlepas. Terakhir payudara dipijat untuk mencoba mengeluarkan ASI. Lakukan langkah-langkah perawatan diatas 4-5 kali pada pagi dan sore hari, sebaiknya tidak menggunakan alkohol atau sabun untuk membersihkan putting susu karena akan menyebabkan kulit kering dan lecet. Penggunaan pompa ASI atau bekas jarum suntik yang dipotong ujungnya juga dapat digunakan untuk mengatasi masalah pada putting susu yang terbenam.


(35)

c. Mobilisasi

Menurut Saleha (2009) Ibu nifas yang tidak memiliki penyulit atau komplikasi diperbolehkan bangun dari tempat tidur dalam 24 – 48 jam setelah bersalin (early ambulation). Umumnya wanita sangat lelah setelah melahirkan, lebih-lebih bila persalinan berlangsung lama, oleh karena itu ibu harus cukup istirahat, dimana ia harus tidur terlentang selama delapan jam paska persalinan untuk mencegah perdarahan paska persalinan. Kemudian ia boleh miring ke kiri dan ke kanan untuk mencegah terjadinya trombosis dan tromboemboli. Pada hari kedua ibu dapat duduk, hari ketiga ibu dapat jalan-jalan dan hari keempat atau kelima boleh pulang. Mobilisasi ini tidak mutlak, bervariasi tergantung pada adanya komplikasi persalinan, nifas, dan sembuhnya luka (Saefuddin dkk, 2002).

d. Diet/ Makanan

Masalah diet perlu mendapat perhatian pada masa nifas untuk dapat meningkatkan kesehatan dan pemberian ASI. Makanan selama menyusui tidak saja akan berpengaruh terhadap kesehatan ibu yang baru melahirkan, tetapi juga pada bayinya. Ibu yang menyusui perlu mendapatkan gizi untuk memproduksi ASI. Oleh karena itu bila asupan gizi ibu kurang, maka kebutuhan gizi yang diperlukan untuk memproduksi ASI akan diambil dari tubuh ibu. Dalam sehari ibu menyusui memerlukan 2700 - 2900 kalori dalam bentuk asupan makanannya. Ibu menyusui membutuhkan tambahan protein sebanyak 20 - 25%, kalsium sampai 45%, zat besi sebanyak 4%. Ibu menyusui membutuhkan gizi seimbang untuk kesehatan ibu dan


(36)

peningkatan kualitas dan kuantiats ASI (Kasdu, 2004). Makanan yang diberikan harus bermutu tinggi dan cukup kalori, yang mengandung cukup protein, banyak cairan, serta banyak mengkonsumsi buah-buahan dan sayuran (Winkjosastro dkk, 2005).

e. Buang Air Kecil

Buang air kecil harus secepatnya dilakukan sendiri. Terkadang ibu nifas sulit buang air kecil karena pada persalinan musculus sphincter vesica urethare mengalami tekanan oleh kepala janin dan spasme oleh iritasi mcusulus sphincter ani. Selain itu juga karena adanya pembengkakan kandung kemih yang terjadi selama persalinan. Bila kandung kemih penuh dan ibu sulit buang air kecil sebaiknya dilakukan kateterisasi, sebab jika air seni/kencing tidak dikeluarkan akan mengundang terjadinya infeksi.

f. Buang Air Besar

Pada ibu paska persalinan dalam 3 – 4 hari setelah persalinan sebaiknya ibu sudah buang air besar (BAB). Jika ibu mengalami susah buang air besar atau konstipasi hal ini merupakan hal yang fisiologis karena adanya perubahan hormon paska persalinan. Jalan keluar atau solusi ibu paska persalinan yang mengalami konstipasi bisa diberikan obat pencahar (laxantia) peroral atau parenteral, atau yang lebih praktis sekarang adalah mikrolax.


(37)

g. Suhu Badan

Suhu badan ibu yang akan melahirkan dalam keadaan sehat tidak lebih dari 37,2 Celcius. Sesudah bersalin, suhu badan ibu naik ± 0,5 Celcius dari keadaan normal, tapi tidak melebihi 38 C. Sesudah 12 jam pertama melahirkan, umumnya suhu badan akan kembali normal. Bila suhu badan lebih dari 38 Celcius, mungkin ada infeksi (Winkjosastro dkk, 2002).

h. Uterus

Setelah janin dilahirkan fundus uteri kira-kira setinggi pusat, segera setelah plasenta lahir, tinggi fundus uteri kurang lebih 2 jari di bawah pusat. Uterus menyerupai suatu buah advokat gepeng berukuran panjang kurang lebih 15 cm, lebar kurang lebih 12 cm dan tebal kurang lebih 10 cm. Dinding uterus sendiri kurang lebih 5 cm, sedangkan pada bekas implantasi plasenta lebih tipis daripada bagian lain. Pada hari ke-5 postpartum uterus kurang lebih setinggi 7 cm di atas simfisis atau pertengahan antara simfisis dan pusat, sesudah 12 hari uterus tidak dapat diraba lagi di atas simfisis. Bagian bekas implantasi plasenta merupakan suatu luka yang kasar dan menonjol ke dalam kavum uteri, setelah persalinan (Saefuddin dkk, 2002).

Ligamen-ligamen dan diafragma pelvis serta fasia yang meregang sewaktu kehamilan berangsur-angsur akan mengecil pada saat masa nifas. Tidak jarang ligamentum rotundum menjadi kendor yang mengakibatkan uterus jatuh ke belakang. Tidak jarang pula seorang ibu mengeluh kandungannya turun setelah melahirkan oleh karena ligament, fasia, jaringan penunjang alat genitalia menjadi agak kendor. Luka-luka jalan lahir, seperti bekas episiotomi yang telah dijahit, Luka-luka pada vagina dan


(38)

serviks bila tidak terlalu luas akan mudah sembuh, kecuali bila terdapat infeksi (Winkjosastro dkk, 2002).

Rasa mules yang timbul akibat kontraksi uterus dan biasanya lebih terasa sedang menyusui. Hal ini dialami selama 2-3 hari sesudah bersalin. Perasaan sakit ini juga timbul bila masih ada sisa selaput ketuban, plasenta atau gumpalan di cavum uteri. Dengan adanya kontraksi yang baik maka akan memudahkan keluarnya sisa – sisa yang ada didalam uterus. Oleh karena itu sangat penting diajarkan kepada ibu dan keluarga tentang memeriksa kontraksi pada uterus ibu. Namun apabila ibu nifas memiliki kebiasaan memakai gurita sejak dua jam pertama segera setelah melahirkan maka akan menyulitkan ibu dan tenaga kesehatan memeriksa fundus apakah berkontraksi dengan baik atau tidak (Prawirohardjo A, 2002).

Sama halnya dengan pendapat Endjun (2002) bahwa pemasangan gurita tidak baik untuk kesehatan ibu serta mengganggu kenyamanan ibu. Pemasangan gurita yang terlalu ketat dalam jangka waktu yang lama menyebabkan aliran darah di tungkai kurang lancar sehingga tungkai terasa sakit/bengkak.

i. Laktasi

Sesudah persalinan ibu dianjurkan segera menyusui bayinya untuk merangsang produksi ASI dan merangsang kontraksi uterus. Kecuali ibu atau bayinya sedang sakit yang tidak memungkinkan untuk ibunya menyusui. Walaupun demikian dianjurkan bayi tetap minum ASI, jika tidak memungkinkan menyusui, maka ASI dapat diperah dan diberikan dengan sendok. Namun jika bayinya cacat atau sumbing (labiognato palatoschizis) ASI juga bisa diberikan melalui sonde. Dalam


(39)

artian sebisa mungkin bayi baru lahir diusahakan harus mengkonsumsi ASI. Hal-hal yang diberitahukan kepada ibu nifas yaitu menyusui bayi segera setelah lahir minimal 30 menit bayi telah disusukan, ajarkan cara menyusui yang benar, memberikan ASI secara penuh 6 bulan tanpa makanan lain (ASI eklusif), menyusui tanpa jadwal atau sesuka bayi (on demand). Diluar menyusui hindari memberikan dot/kompeng pada bayi, tapi berikan dengan sendok, penyapihan bertahap meningkatkan frekuensi makanan dan menurunkan frekuensi pemberian ASI.

j. Senam Nifas

Selama kehamilan dan persalinan ibu banyak mengalami perubahan fisik seperti dinding perut menjadi kendor, longgarnya liang senggama dan otot dasar panggul. Untuk mengembalikan kepada keadaan normal dan menjaga kesehatan agar tetap prima, senam nifas sangat baik dilakukan pada ibu setelah melahirkan. Ibu tidak perlu takut untuk banyak bergerak, karena dengan ambulansi dini (bangun dan bergerak setelah beberapa jam melahirkan) dapat membantu rahim untuk kembali kebentuk semula. Untuk memperkuat otot dasar panggul juga bisa dilakukan senam kegel, teknik ini dapat dilakukan dimana saja, kapan saja, dan dalam posisi apa saja. Latihan atau teknik peregangan otot dasar pelvik dan otot-otot abdomen ketika kekuatan ibu telah pulih kembali dan memasuki awal periode penyesuaian terhadap proses sesudah persalinan, teknik tersebut dikenal dengan “Kegel’s Exercise”. Kontraksi otot yang dihasilkan dari exercise ini akan merapatkan jaringan kulit dan jaringan di bawah kulit, serta mempercepat pemulihan luka jalan lahir. Dengan latihan ini juga dapat mengencangkan otot – otot perut (Handayani, 2003).


(40)

k. Hubungan Seks

Hubungan suami istri atau intim aman dilakukan setelah darah merah berhenti, dan ibu dapat memasukan satu atau dua jari kedalam vagina tanpa rasa nyeri. Ada kepercayaan/budaya yang memperbolehkan melakukan hubungan seks setelah 40 hari atau 6 minggu, oleh karena itu perlu didiskusikan antara suami dan istri.

l. Keluarga Berencana

Idealnya setelah melahirkan boleh hamil lagi setelah 2 tahun. Pada dasarnya ibu tidak mengalami ovulasi selama menyusui ekslusif atau menyusui selama 6 bulan tanpa makanan dan minuman pendamping lainnya (metode amenorhe laktasi). Meskipun setiap metode kontrasepsi beresiko, tetapi menggunakan kontrasepsi jauh lebih aman. Jelaskan pada ibu berbagai macam metode kontrasepsi yang diperbolehkan selama menyusui. Metode hormonal, khususnya oral ( estrogen-progesteron) bukanlah pilihan pertama bagi ibu yang menyusui.

2.2 Pengertian Budaya

Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, dan adat istiadat. Semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat yang berfungsi sebagai tempat berlindung, kebutuhan makan dan minum, pakaian dan perhiasan, serta mempunyai kepribadian. Organisasi faktor-faktor biologis, psikologis dan sosialisasi yang mendasari perilaku individu. Masyarakat di Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, beribu-ribu suku bangsa ada di


(41)

dalamnya dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda-beda. Keanekaragaman budaya ini merupakan kekayaan bangsa yang tiada ternilai tingginya. Kekayaan tersebut harus dipahami terus dari generasi ke generasi.

Menurut pendapat EB. Taylor (Syafrudin dan Meriam tahun 2010) kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum dan adat istiadat. Sedangkan menurut pendapat Selo Soemardjan dan Soelaaeman Soemardi (Syafrudin dan Meriam tahun 2010) kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat yang berfungsi sebagai tempat berlindung, kebutuhan makan dan minum, pakaian dan perhiasan serta mempunyai kepribadian yaitu organisasi faktor – faktor biologis, psikologis dan sosialisasi yang mendasari perilaku manusia.

Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar berfikir, merasa, mempercayai dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya. Bahasa, persahabatan, kebiasaan makan, praktik komunikasi, tindakan-tindakan social, kegiatan-kegiatan ekonomi dan politik, dan teknologi, semua itu berdasarkan pola-pola budaya (Mulyana dan Rahmat, 2002).

Kebudayaan kesehatan masyarakat membentuk, mengatur, dan mempengaruhi tindakan atau kegiatan setiap individu dalam suatu kelompok sosial yang dapat memenuhi berbagai kebutuhan kesehatan baik yang berupa upaya mencegah penyakit ataupun menyembuhkan diri dari penyakit. Telah disadari adanya kenyataan-kenyataan perilaku menyimpang dalam perawatan kesehatan yang dikaitkan dengan kebudayaan. Namun tidak semua perawatan yang didasarkan oleh kebudayaan dapat


(42)

merugikan kesehatan, sebagian perawatan yang didasarkan oleh kebudayaan juga memiliki manfaat bagi kesehatan (Kalangie, 1994).

Budaya merupakan salah satu dari perwujudan atau bentuk interaksi yang nyata sebagai manusia yang bersifat sosial. Budaya yang berupa norma, adat istiadat menjadi acuan perilaku manusia dalam kehidupan dengan yang lain. Pola kehidupan yang berlangsung lama dalam suatu tempat, selalu diulangi, membuat manusia terikat dalam proses yang dijalaninya. Keberlangsungaan terus – menerus dan lama merupakan proses internalisasi dari suatu nilai-nilai yang mempengaruhi pembentukan karakter, pola pikir, pola interaksi perilaku yang kesemuanya itu akan mempunyai pengaruh pada pendekatan intervensi keperawatan (cultural nursing approach) (Putra S, 2012).

2.3 Budaya Jawa

Suku Jawa merupakan suku terbesar di Indonesia, baik dalam jumlah maupun luas penyebarannya. Mereka kerap menyebut dirinya sebagai Wong Jowo atau Tiang Jawi. Orang Jawa telah menyebar hampir ke semua pulau besar di Indonesia sejak abad ke-18. Selain menyebar di wilayah nusantara, suku Jawa pada saat itu juga sudah dibawa ke Suriname (Amerika Selatan).

Budaya suku Jawa secara turun-temurun salah satunya adalah mengonsumsi jamu. Mengonsumsi jamu kerap menjadi pilihan karena dianggap lebih alami dan tidak ada efek samping. dr. Dante Saksono, SpPD, PhD, dari RS Cipto Mangunkusumo mengakui memang orang yang memiliki masalah di ginjal harus


(43)

lebih berhati-hati mengonsumsi jamu. Maka dari itu jika ingin minum jamu harus yang sudah benar-benar teruji secara klinis. Minum jamu bisa berbahaya jika tidak disertai dengan banyak minum air. Air putih ini membantu cairan yang disaring ke ginjal tidak terlalu pekat sehingga tidak mengganggu kerja ginjal. Begitu juga halnya pada perawatan masa nifas, orang Jawa kerap sekali melakukan perawatan dengan mengkonsumsi Jamu (Putra S, 2012).

Dalam makanan dan kesehatan banyak ditemukan masalah yang berhubungan dengan kepercayaan-kepercayaan, pantangan-pantangan, dan upacara-upacara yang seringkali mencegah orang memanfatkan makanan yang tersedia bagi mereka. Kebiasaan makanan beragam dalam konteks budaya, mengubah kebiasaan atau pola makanan tradisional bukan hal yang mudah, mengingat dari semua kebiasaan yang paling sulit diubah adalah kebiasaan makanan. Apa yang kita sukai dan tidak kita sukai, kepercayaan-kepercayaan kita terhadap apa yang dapat dimakan atau tidak dapat dimakan, dan keyakinan kita dalam hal makanan yang berhubungan kesehatan dan ritual, telah ditanamkan sejak usia muda. Kebiasaan makan sebagaimana halnya dengan kebiasaan-kebiasaan lain hanya dapat dimengerti dalam konteks budaya secara menyeluruh (Saptandari P, 2012).

Dalam penelitian Dewi (2009) perawatan yang biasa banyak dilakukan wanita Jawa pada awal memasuki masa nifas adalah mandi wajib nifas. Dengan tujuan untuk menghilangkan najis setelah proses persalinan. Mandi ini hanya dilakukan satu kali selama masa nifas, tepatnya esok hari setelah proses persalinan, dan dilakukan pada pagi hari. Perawatan yang lain yaitu irigasi vagina dengan menggunakan air rebusan


(44)

daun sirih. Tujuan dari perawatan ini adalah untuk menghilangkan kuman dan bau vagina. Air rebusan daun sirih dipakai sebagai irigari vagina sebelum melakukan mandi wajib nifas dan setiap selesai buang air kecil maupun air besar. Air rebusan daun sirih, yang digunakan untuk irigasi vagina ini terkadang bagi sebagian wanita nifas dicampur dengan daun sere. Kemudian menapali perut sampai ke vagina dengan menggunakan daun sirih. Tujuan dari perawatan ini dimaksudkan agar tubuh dan vagina tidak bau. Namun sebelum ditempelkan ke kulit perut, terlebih dahulu daun sirih diganggang diatas api, kemudian diolesi dengan minyak makan, agar mudah melekat jika ditempelkan. Pemasangan daun sirih ini dilakukan setelah pemakaian parem dan sebelum pemasangan gurita.

2.4 Perawatan Ibu Nifas Berdasarkan Aspek Budaya

Dalam konteks kehamilan dan kelahiran bayi, setiap masyarakat memiliki cara – cara budaya mereka sendiri untuk memahami dan menanggapi peristiwa pertumbuhan janin dan kelahiran bayi, yang sudah dipraktekan jauh sebelum masuknya sistem medis biomedikal di lingkungan komuniti mereka. Berbagai kelompok masyarakat juga mempunyai cara – cara tertentu dalam mengatur aktivitas – aktivitas mereka saat menghadapi wanita yang hamil dan bersalin. Demikian pula didalam berbagai kebudayaan terdapat cara – cara tertentu sebagai respons mereka saat menanggapi kematian bayi dan ibunya (Swasono, 1998).

Meskipun kelahiran dan kehamilan bayi secara unversal dilihat dalam pengertian dan kepentingan yang sama, yakni untuk kelangsungan umat manusia,


(45)

namun dalam kehidupan berbagai kelompok masyarakat, terdapat bermacam – macam dalam menanggapi proses itu. Berbagai kelompok masyarakat yang menitikberatkan perhatian mereka terhadap aspek kultural dari kehamilan dan kelahiran menganggap proses ini sebagai tahapan hidup yang harus dijalani (Syafrudin dan Meriam, 2010).

Persalinan berjalan lancar merupakan hal wajar, apabila terjadi hal – hal yang mengganggu persalinan (anak lahir cacat, lahir mati, ibu meninggal saat melahirkan) dinyatakan ada hubungan antara musibah dengan ketidaktaatan dan pelanggaran atas tradisi dan kebiasaan nenek moyang.

Menurut pendekatan biososiokultur dalam kajian antropologi, kehamilan dan kelahiran tidak hanya dilihat dari aspek biologis dan fisiologisnya saja, tetapi dilihat juga sebagai proses yang mencakup seperti pandangan budaya mengenai kehamilan dan kelahiran, wilayah tempat kelahiran berlangsung, para pelaku, atau penolongnya, cara pencegahan bahaya dan pusat kekuatan dalam pengambilan keputusan mengenai pertolongan, serta perawatan bayi dan ibunya.

Selain itu ditemukan pula sejumlah pengetahuan dan perilaku budaya yang dinilai tidak sesuai dengan prinsip – prinsip kesehatan menurut ilmu kedokteran atau bahkan memberikan dampak kesehatan yang kurang menguntungkan bagi ibu dan anaknya.

Terbentuknya janin dan kelahiran bayi merupakan suatu fenomena yang wajar dalam kelangsungan hidup manusia, namun setiap kebudayaan atau setiap daerah


(46)

mempunyai persepsi atau pandangan, interpretasi dan respon perilaku yang berbeda – beda.

Pengaruh sosial budaya sangat jelas terlihat pada ibu hamil dan keluarga yang menyambut masa-masa kehamilan. Upacara-upacara yang diselenggarakan mulai dari kehamilan 3 bulan, 7 bulan, masa melahirkan dan masa nifas sangat beragam menurut adat istiadat daerah masing-masing (Syafrudin, 2009).

Faktor yang paling mempengaruhi status kesehatan masyarakat terutama bagi ibu hamil, bersalin, dan nifas adalah lingkungan, selain itu pendidikan dari masing-masing dari kaum ibu tersebut. Seandainya mengetahui dan memahami hal-hal yang mempengaruhi status kesehatan terhadap hal itu, maka diharapkan masyarakat tidak melakukan kebiasaan atau adat istiadat yang merugikan kesehatan khususnya bagi ibu nifas (Syafruddin, 2009).

Pada kenyataannya keadaan ini tidak hanya dapat mencakup dari aspek biologis saja tetapi juga sosiokultural. Hal ini dapat diketahui dari respon yang berbeda/bervariasi untuk setiap masyarakat yang memiliki cara-cara khusus seperti pengobatan, larangan, dan praktek budaya yang berbeda pula (Swasono, 1998).

Sama halnya dengan penelitian Sari (2004) budaya melayu juga memiliki aturan selama perawatan masa nifas berupa pantangan keluar rumah selama 40 hari. Dengan alasan kondisi ibu yang belum pulih total akan mudah terserang penyakit dan ada juga yang mengatakan kalau ibu yang baru selesai melahirkan diganggu oleh roh jahat. Larangan lain yaitu tidak mengkonsumsi sayuran yang licin seperti kangkung.


(47)

Pada masyarakat Bajo di Saloso, Kabupaten Kendari, untuk keselamatan ibu dan bayinya dilakukan upacara adat dengan berbagai syarat dan aturan yang harus dipenuhi selama maupun sebelum proses upacara tersebut terlaksana. Begitu juga pada masyarakat Aceh yang memiliki aturan berupa pantangan meninggalkan rumah selama 44 hari bagi wanita yang baru melahirkan. Anjuran untuk berbaring selama masa nifas, perawatan nifas dengan pengurutan, penghangatan badan, konsumsi minuman berupa jamu-jamuan dan pantangan makan - makanan tertentu (Swasono, 1998).

Perawatan nifas pada masyarakat Aceh juga memiliki kebiasaan yang dilakukan turun temurun sesuai dengan hasil penelitian Juliana (2010) bahwa seseorang setelah melahirkan dirawat oleh ibu kandungnya dan selang satu hari setelah melahirkan dimandikan serta dibilas vaginanya dengan daun sirih dilanjutkan badan diolesi parem dan dahi diolesi pilis. Selama tujuh hari dilakukan tutum mata atau memanasi mata dengan kain yang dibasahi dengan air hangat agar penglihatan kembali terang. Tidak hanya itu, pengurutan juga rutin dilakukan untuk memperbaiki peranakan dan memakai gurita agar perutnya tetap kencang serta dilakukanya penghangatan badan dengan sale atau batu hangat.

2.5 Kerangka Berpikir

Dalam penelitian ini perawatan ibu masa nifas mengacu pada konsep yang dikemukakan oleh Reeder, Martin, Griffi (1997) yaitu perawatan ibu nifas yang


(48)

meliputi perawatan perineum, perawatan payudara, pemulihan kesehatan, seksualitas dan pemilihan alat kontrasepsi.

Masa nifas merupakan suatu peristiwa alamiah yang harus dilewati oleh seorang ibu. Pada masa nifas ibu akan mengalami pemulihan pada kondisi seperti sebelum hamil dalam waktu 6 – 8 minggu. Oleh karena itu besar peranan ibu dan keluarga dalam mempercepat pemulihan kesehatan ibu seperti sebelum hamil. Selain faktor dari tenaga kesehatan, faktor lingkungan dan keluarga juga mempengaruhi proses pemulihan ibu masa nifas. Setiap ibu nifas dan keluarga memiliki cara atau tradisi/kebiasaan yang berbeda dalam melakukan perawatan masa nifas, yang mana hal ini dilatarbelakangi oleh budaya yang mereka miliki. Namun tidak semua faktor sosial budaya memiliki dampak positif terhadap pemulihan ibu masa nifas, tidak jarang faktor sosial budaya juga menyumbangkan dampak negatif terhadap kesehatan ibu. Dalam hal ini tenaga kesehatan diharapkan berperan aktif dalam memberikan pendidikan kesehatan yang mendukung pemulihan ibu selama perawatan masa nifas.


(49)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan jenis fenomenologi yaitu penelitian ini menjelaskan atau mengungkap makna konsep atau fenomena pengalaman yang didasari oleh kesadaran yang terjadi pada beberapa individu. Penelitian ini dilakukan dalam situasi yang alami, sehingga tidak ada batasan dalam memaknai atau memahami fenomena yang dikaji dengan tujuan untuk mendapatkan informasi yang mendalam sehingga dapat memberikan pemahaman yang lebih besar untuk mengetahui dasar bagi pengambil keputusan atau tindakan yang dilakukan masyarakat tertentu (Sumantri, 2011).

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah di Desa Rawang Lama Kecamatan Rawang Panca Arga Kabupaten Asahan, dengan alasan masih ada ibu nifas yang melakukan kebiasaan perawatan masa nifas secara turun temurun dari keluarganya seperti Ibu nifas suku Jawa melakukan pantangan makanan dan pantangan aktifitas tertentu serta melakukan pengasapan pada ibu nifas.

3.2.2 Waktu Penelitian


(50)

3.3 Informan Penelitian

Informan dalam penelitian ini adalah ibu nifas yang ada di Desa Rawang Lama Kecamatan Rawang Panca Arga Kabupaten Asahan. Adapun yang menjadi kriteria informan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Ibu yang sedang mengalami masa nifas 2. Ibu nifas yang bersuku Jawa

3. Ibu nifas yang bersedia untuk diwawancarai 3.3.1 Proses Penelusuran Informan

Informan penelitian yang ditelusuri adalah ibu yang sedang mengalami masa nifas. Langkah awal peneliti menelusuri informan adalah dengan menemui bidan desa Rawang Lama dengan memberitahukan terlebih dahulu tujuan peneliti, selanjutnya menanyakan tentang data data ibu yang memiliki suku Jawa dan yang sedang mengalami masa nifas di desa Rawang lama. Bidan desa dalam penelitian ini adalah sebagai key informan sehingga seluruh informan yang diwawancara oleh peneliti berdasarkan data yang ada pada bidan desa. Kunjungan peneliti menuju informan penelitian juga didampingi oleh bidan desa sehingga mempermudah peneliti melakukan pembinaan hubungan dekat dengan informan dan menggali informasi tentang perawatan masa nifas budaya Jawa kepada informan peneliti.

Peneliti yang didampingi oleh bidan desa dalam menelusuri informan mempertimbangkan alamat tempat tinggal dirawatnya ibu nifas, sehingga peneliti mengunjungi alamat informan yang lebih dekat dahulu, kemudian peneliti melakukan wawanca sesuai dengan panduan wawancara penelitian ini.


(51)

3.4 Instrumen Penelitian

Didalam penelitian kualitatif instrumen penelitian adalah peneliti sendiri, sehingga diperlukan peneliti yang memiliki kemampuan untuk menjalin hubungan baik (Raport) dengan informan, termasuk mengembangkan empati. Supaya hasil wawancara dapat terekam dengan baik, maka peneliti menyediakan bukti bahwa telah melakukan percakapan dengan informan. Maka peneliti menggunakan alat bantu yaitu alat perekam, kamera dan alat tulis. Kemudian hasil percakapan dipindahkan secara tertulis kedalam bentuk narasi.

3.5 Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan melalui pendekatan petunjuk umum wawancara yaitu mengharuskan pewawancara membuat kerangka dan garis besar pokok – pokok yang dirumuskan dan tidak perlu ditanyakan secara berurutan, petunjuk wawancara hanyalah berisi petunjuk secara garis besar tentang proses dan isi wawancara untuk menjaga agar pokok – pokok yang direncanakan dapat seluruhnya tercakup. Dimana petunjuk itu mendasarkan diri atas anggapan bahwa ada jawaban yang secara umum akan sama diberikan oleh para informan pelaksanaan wawancara dan pengurutan pertanyaan disesuaikan dengan keadaan informan dalam konteks wawancara yang sebenarnya (Moleong, 2013).

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer yang diperoleh dari wawancara. Data sekunder diperoleh dari catatan (data) bidan desa Rawang Lama yang mencantumkan data – data ibu yang


(52)

sedang mengalami masa nifas. Untuk membangun wawancara yang baik, peneliti terlebih dahulu mengembangkan rappot. Rappot adalah membina hubungan yang baik antara peneliti dengan informan, sehingga terjadi kerjasama yang baik (cooperative). Kerjasama akan terjadi bila ada sebelumnya kepercayaan (trust). Jadi peneliti harus membangun, membina hubungan yang baik antara peneliti dan informan.

3.6 Metode Analisis Data

Analisis data dalam penelitian fenomenologi ini adalah dimulai dengan mengorganisasikan semua data atau gambaran menyeluruh tentang fenomena pengalaman yang telah dikumpulkan, selanjutnya membaca data secara keseluruhan dan membuat catatan pinggir mengenai data yang dianggap penting kemudian melakukan pengkodean data. Menemukan dan mengelompokan makna pernyataan yang dirasakan oleh informan dengan melakukan horizonaliting yaitu setiap pernyataan pada awalnya diperlakukan memiliki nilai yang sama, selanjutnya pernyataan yang tidak relevan dengan topik dan pertanyaan maupun pernyataan yang bersifat repetitif atau tumpang tindih dihilangkan. Pernyataan tersebut kemudian dikumpulkan kedalam unit makna lalu ditulis gambaran tentang bagaimana pengalaman tersebut terjadi. Selanjutnya peneliti mengembangkan uraian secara keseluruhan dari fenomena tersebut, sehingga menemukan esensi dari fenomena tersebut. Kemudian mengembangkan textural description (mengenai fenomena yang terjadi pada informan) dan structural description (yang menjelaskan bagaimana


(53)

fenomena itu terjadi). Peneliti kemudian memberikan penjelasan secara naratif mengenai esensi dari fenomena yang diteliti dan mendapatkan makna pengalaman informan mengenai fenomena tersebut. Langkah akhir analisa data dalam penelitian ini adalah membuat laporan pengalaman setiap informan, setelah itu gabungan dari gambaran tersebut ditulis (Sumantri A, 2011).

3.7 Keabsahan Data

Untuk menetapkan keabsahan (trustworthiness) data diperlukan tehnik pemeriksaan. Pelaksanaan teknik pemeriksaan didasarkan atas sejumlah kriteria yang digunakan yaitu derajat kepercayaan (credibility), keteralihan (transfelability), kebergantungan (dependability), dan kepastian (confirmability).


(54)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian perspektif budaya Jawa dalam melakukan perawatan ibu nifas di lakukan di Desa Rawang Lama Kecamatan Rawang Panca Arga Kabupaten Asahan. Penelitian ini dimulai dengan melakukan kajian awal studi literatur terkait dengan fokus penelitian. Secara geografis desa Rawang Lama terletak pada garis 1013’50” -202’32” Lintang Utara dan 99020’44”-1000

Desa Rawang Lama terdiri dari 12 dusun dengan berbagai macam suku yaitu Jawa, batak, Aceh, Minang, Melayu, Betawi, Banjar dan Cina. Mayoritas suku di Desa Rawang Lama adalah suku Jawa yaitu sebesar 65%. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode fenomenologi yaitu penelitian yang menjelaskan atau mengungkap makna konsep atau fenomena pengalaman masyarakat budaya Jawa dalam melakukan perawatan ibu nifas.

19’10 Bujur Timur. Desa Rawang Lama terletak pada garis khatulistiwa dengan batas-batas wilayah : Sebelah Utara berbatasan dengan desa Rawang Pasar IV. Sebelah Selatan berbatasan dengan Gambir Baru. Sebelah Timur berbatasan dengan desa Pasar V. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Pondok Bungur.

Sejarah singkat lahirnya desa Rawang diawali oleh kunjungan salah satu pemuda yang sekarang sudah meninggal dan dianggap sebagai salah satu pendiri dan tokoh masyarakat dari Sidempuan yang merantau ke Asahan, karena lokasi desa


(55)

tersebut masih hutan si tokoh masyarakat tersebut menentukan lokasi wilayahnya dengan melempar batu. Sejauh mana lemparan batunya, seluas itu pula wilayah atau tanah yang berhak untuk dimilikinya dan diolahnya. Begitulah seterusnya setiap pengunjung calon masyarakat desa Rawang Lama yang datang dalam menentukan lokasi tempat tinggalnya, sampai akhirnya didirikanlah dan ditentukanlah desa Rawang yang berkembang sampai sekarang menjadi sebuah kecamatan Rawang Panca Arga Kabupaten Asahan dan salah satu nama desanya adalah desa Rawang Lama.

Masyarakat desa Rawang Lama merupakan pendatang dari berbagai daerah dan berbagai jenis budaya. Salah satu budaya yang ada adalah budaya Jawa, seiring berjalannya waktu dan perkembangan jaman, masyarakat yang memiliki budaya Jawa berkembang dan jumlahnyapun bertambah sehingga masyarakat yang tinggal di desa Rawang Lama mayoritas memiliki budaya Jawa. Budaya Jawa yang ada di desa Rawang Lama terdiri dari berbagai asal yang berbeda sehingga dalam melakukan adat ataupun upacara yang berhubungan dengan budaya dilakukan dengan petunjuk dan pendapat tokoh masyarakat budaya Jawa atau orang yang dituakan. Begitu juga halnya awal munculnya perawatan ibu masa nifas menurut budaya Jawa, masyarakat Jawa melakukannya karena adanya kebiasaan – kebiasaan yang sudah dilakukan secara turun temurun oleh keluarganya. Sehingga sampai sekarang ini kebiasaan tersebut terus dilakukan dengan anggapan selain untuk mempercepat pemulihan kesehatan ibu nifasnya juga untuk meneruskan kebiasaan – kebiasaan menurut budaya Jawa.


(56)

4.2 Hasil Penelitian

Dalam penelitian ini, jumlah informan sebanyak 7 informan dengan alasan bahwa data yang diperlukan sudah jenuh dan tidak ditemukan lagi adanya informasi baru tentang perawatan ibu nifas menurut budaya Jawa. Adapun hasil wawancara yang dilakukan adalah sebagai berikut :

4.2.1 Informan Pertama

Informan penelitian yang pertama berusia 29 tahun, sudah memiliki anak 3 dengan jenis persalinan keseluruhan spontan, pendidikan terakhir informan adalah SMP, saat diwawancarai informan sedang mengalami masa nifas hari ke empat belas. Pekerjaan informan sebagai ibu rumah tangga dan selama masa nifas informan dirawat oleh ibu kandungnya yang juga bersuku Jawa.

Menurut informan pertama bahwa lamanya masa nifas berkisar antara 36 – 40 hari sesuai dengan ungkapannya yaitu “Biasanya itu lamanya 36 hari sampai 40 hari bu”. Artinya jika 36 hari informan belum sembuh total maka ditunggu sampai rentang waktu masa nifas 40 hari, jadi informan beranggapan maksimal waktu pulihnya ibu masa nifas yaitu 40 hari. Informan juga mematuhi larangan – larangan yang diperoleh dari keluarganya secara turun temurun yang jika dilanggar dapat memperlambat proses pemulihan, selain itu juga informan harus mematuhi larangan keluar rumah karena anggapan informan jika dilanggar larangan tersebut baik ibunya ataupun bayinya bisa kesambet yang diartikan kena makhluk – makhluk halus (ghaib) seperti yang diutarakannya yaitu “Dilarang makan yang macem – macem membahayakan badan kitalah, makannya yang kereng – kereng kayak tempe goreng,


(57)

bawang goreng pakek kecap gitulah biar cepat sembuh. ga boleh keluar rumah itu kata orang tua dulu takut kesambet”.

Selain larangan – larangan selama masa nifas, informan juga melakukan kebiasaan – kebiasaan dengan anggapan jika tidak dilakukan maka proses pemulihan kesehatan akan berlangsung lama, selain itu juga informan melakukan kebiasaan – kebiasaan ini untuk menjaga keindahan bentuk tubuh agar tetap langsing. Kebiasaan yang dilakukan selama masa nifas bertujuan untuk pemulihan kesehatan diantaranya adalah “Minum air wejahan biasanya kalok habis melahirkan biar seger badannya. Itu air direbus dikasih tumbar,kunyit, asem jawa, gula merah direbus jadi satu biar seger katanya. Wuwungan, yang rambutnya panjang dikeramasin trus pucukannya itu ditaruk kemata aernya. Yaa kalok rambutnya pendek aer diujung rambutnya ditarok ditangan langsung dimasukan kematalah. Pake pilis habis mandi, pakek kunyit, pakek kapur dikening kita gunanya untuk darah putih biar gak naek. Habis mandi kita harus tapelan perut terus diguritain, centengan. Tapelan itu jeruk nipis dicampur kapur taruk keperut kita langsung diguritain biar perut kita lebih kencang, ramping lagi kayak semula. Trus kusuk sebelum mandi supaya otot – otot kita tidak pegal.

Kebiasaan – kebiasaan yang lain dikerjakan oleh ibu nifas selain bertujuan untuk meningkatkan pemulihan kesehatan juga untuk mempercepat pemulihan alat genetalia atau luka pada jalan lahir dan agar rapet lagi kemaluannya seperti sebelum hamil diantaranya adalah “Senden biar kemaluannyapun rapet. Pake abu anget yang udah dilapisi gombal trus diduduki fungsinya sama juga kayak penguapan itu


(58)

mengencangkan kewanitaan kita dan merapetkan kewanitaan kita. Penguapan, Itu penguapan yang ngrebus daun sirih, daun sereh direbuskan terus didudukan ada asapnya supaya katanya wangi dan lebih rapet lagilah..

Informan penelitian ini juga beranggapan bahwa perawatan khusus pada payudara selama masa nifas harus dilakukan dengan tujuan agar ASInya lancar. Hal ini dengan cara “ Rajin pake air anget, putingnya itu dibersihkan kotorannya supaya bisa keluar dan diuyek – uyek sebelum nyusui bayi biar gak gumpal susunya. Udah gitu trus rajin dikusuk biar cepat keluar susunya”. Selama masa nifas informan beranggapan tentang hubungan seksual sangat dilarang sesuai dengan paparanya yaitu “ Yaa kebanyakan semua orang taulah, klo masa nifas ga boleh dicampuri itukan dilarang oleh agama”

Pemakaian alat kontrasepsi pada masa nifas menurut informan yaitu “Menunggu alangan. Nunggu masa nifas siap trus alangan lagi. Biasanya itu ampe 7 bulan alangan lagi. Habis alangan baru pake KB”.

4.2.2 Informan Kedua

Informan penelitian yang kedua berusia 25 tahun, sudah memiliki anak 2 dengan jenis persalinan keseluruhan spontan, pendidikan terakhir informan adalah SMA, saat diwawancarai informan sedang mengalami masa nifas hari ke dua puluh satu. Pekerjaan informan sebagai ibu rumah tangga dan selama masa nifas informan dirawat oleh ibu mertua yang juga bersuku Jawa.

Menurut informan kedua lamanya waktu masa nifas yaitu 40 hari atau sebutan lain masa nifas menurut informan adalah selapan, sesuai dengan


(59)

pernyataanya “Selapan yaa. Yaa 40 hari”. Larangan selama masa nifas juga dilakukan oleh informan kedua ini yaitu “Dilarang makan ikan takut gatal dan gak boleh makan sayur yang berkuah nanti lukanya lama kering. Jangan banyak jalan dulu biar cepat sembuh lukanya sama gak boleh keluar rumah biar gak kena sawan”. Informan berpendapat bahwa mengkonsumsi makan makanan yang mengandung protein tinggi seperti ikan akan menyebabkan alergi atau gatal pada bekas luka jalan lahirnya sehingga dikhawatirkan lukanya akan lama sembuh sedangkan pendapat informan tentang dilarangnya keluar rumah untuk menghindari terkenanya sawan atau teguran makhluk – makhluk halus yang dapat memberi penyakit pada bayi atau ibunya, karena informan dan keluarga beranggapan bahwa ibu dan bayi selama masa nifas sangat disukai oleh makhluk – makhluk halus.

Kebiasaan – kebiasaan selama masa nifas yang dilakukan oleh informan kedua yaitu “Pakek tapelan diperut biar nggak nggoyor. Tapelan itu dari perasan jeruk nipis ditambah kapur. Yaa memang agak panas, tapi katanya nenek – nenek kami dulu gitu. Informan memaksakan diri membuat rasa tidak nyaman menjadi nyaman untuk dilakukan selama masa nifas karena informan beranggapan bahwa tapelan ini akan mengembalikan bentuk perutnya seperti sebelum hamil demi menjaga keindahan bentuk tubuhnya.

Selain itu perawatan atau kebiasaan yang sering dilakukan adalah “Siap melahirkan langsung dikasih minum air wejahan biar maremlah katanya”. Hal ini bertujuan bahwa meminum air wejahan akan membuat tubuh ibu nifas dan ASI nya akan segar dan wangi.


(60)

Kusuk juga merupakan kebiasaan yang rutin dilakukan oleh informan yaitu untuk menghindari rasa lelah karena tubuh dan pikiran selama masa nifas beradaptasi dengan kondisi dan perawatan bayi seperti yang diungkapkan oleh informan “Sama kusuk rutin aja perlima hari sekali biar gak capek”. Jika kusuk tidak dilakukan menurut informan ibu akan mudah merasa lelah sehingga tidak bisa merawat bayinya dan menjaga kesehatan dan keindahan tubuhnya dengan baik.

Selain itu informan memiliki kebiasaan meneteskan air pada bilasan terakhir dari ujung rambut setelah mandi karena jika tidak dilakukan akan menyebabkan pandangan informan akan menjadi rabun seperti yang diungkapkan informan yaitu “Mandi keramas setiap pagi, sama matanya ditetesi air terakhir dari ujung rambut biar darah putihnya gak naik. Itu terus – terusan sampe potel tali pusatnya. Sama pakek pilis dikening, kayak yang saya pakek ini loh bu”.

Kebiasaan yang dilakukan oleh informan khusus dalam merawat luka jalan lahirnya supaya cepat sembuh antara lain seperti yang diutarakan yaitu “Senden biar gak lasak jadi itunya gak mencong – mencong. Kalo duduk sekali – kali nduduki abu anget, bara yang udah jadi abu dibungkus daun pisang dan kain baru diduduki, angetnya buat enak jadi lukanya cepat kering”. Dalam hal ini perawatan khusus ini menurut informan tidak bisa dilakukan sembarangan karena saat inilah perawatan yang menentukan jalan lahir untuk kembali bagus dan rapet sehingga pasangan akan merasa senang.

Perawatan khusus untuk payudara menurut informan kedua tidak ada. Sedangkan tentang melakukan hubungan seksual selama masa nifas menurut


(61)

informan adalah sangat dilarang seperti pernyataanya yaitu “ Gak pernah melakukan, itu dilarang nanti bisa bluiding”. Pemakaian alat kontrasepsi setelah masa nifas

menurut informan beberapa bulan setelah melahirkan seperti ungkapanya yaitu “Beberapa bulan siap melahirkan”.

4.2.3 Informan Ketiga

Informan penelitian yang ketiga berusia 26 tahun, sudah memiliki anak 1 dengan jenis persalinan keseluruhan spontan, pendidikan terakhir informan adalah SMP, saat diwawancarai informan sedang mengalami masa nifas hari ke dua belas. Pekerjaan informan sebagai ibu rumah tangga dan selama masa nifas informan dirawat oleh ibu mertua yang juga bersuku Jawa.

Lamanya masa nifas menurut informan ketiga sampai kondisi ibu nifas dalam keadaan sehat dan bisa melaksanakan aktifitas seperti sebelum hamil yaitu selama 40 hari seperti yang diungkapkan oleh informan “Lamanya yoo....40 hari wes sehatlah bu”. Pantangan atau larangan yang dilakukan oleh informan antara lain “Nek ugung selapan gak oleh metu omah wedine kesambet, takutnya bayinya nggak gelem nyusu.Trus pantangan mangane eneng mene bu, gak oleh mangan iwak amis ngku amis, ngku bayine nek nyusu injo muntah (klo belum siap masa nifasnya tidak boleh keluar rumah takutnya kesambet ntr bayinya tidak mau nyusu. Trus pantangan makannya ada lagi bu, tidak boleh makan ikan nanti amis, nanti bayinya kalok nyusu bisa muntah)”. Dalam hal ini informan berpendapat bahwa selama masa nifas seorang ibu yang baru melahirkan harus dibantu oleh orang lain dan mematuhi larangan – larangannya karena jika dilanggar bayi atau ibunya akan terkena mahkluk


(62)

– mahkluk halus yang salah satu akibatnya membuat bayi tidak mau menyusu selain itu juga dikaitkan oleh makanan yang tidak boleh dikonsumsi seperti ikan karena ikan berbau amis sehingga akan mempengaruhi aroma ASI yang menyebabkan bayinya akan muntah saat menyusui.

Kebiasaan – kebiasaan yang dilakukan informan selama masa nifas ada beberapa hal dan menurut informan jika kebiasaan ini tidak dilakukan seorang ibu nifas akan mengalami gangguan kesehatan seperti mata rabun, badan cepat lelah dan rusak, dan bentuk tubuh akan tidak bagus dilihat sehingga hal ini mengharuskan seorang ibu nifas untuk melakukannya, seperti yang diungkapkan oleh informan ini yaitu “ Siap nglahiri sesokne mandi keramas tiap hari sampe potel pusat bayine. Kusuk siap melahirno, nek mbengikan capek, pegel – pegel. Iku tiap lima hari sekali sampe selapan. Kan ngurus bayi tiap malem jadi ampun capekkk e. Rajin ngombe jamu. Ndok kene spesial eneng ngedol jamu khusus ngge wong siap nglahirno. Nek gak ngombe jamu ngku susune gak kentel. Trus dolesi keningne ambe pilis men motone nggak kabur. Kayak ngeneloh!. Perute ditempelin perasaan jeruk nipis dan kapur biar cepat langsing. Ayu. Rasane memang panas sih. (Setelah melahirkan besoknya mandi keramas tiap hari sampai puput tali pusat anaknya. Kusuk setelah melahirkan, kalok malam kan capek, pegel – pegel, itu tiap lima hari sekali sampai siap masa nifas. Kan kalok ngurus bayi tiap malam, jadi ampuuun capeknya. Rajin minum jamu, disini ada spesial jual jamu untuk orang siap melahirkan karna kalo tidak minum jamu nanti susunya tidak kental. Trus diolesi keningnya dengan pilis


(63)

supaya matanya tidak kabur. Seperti ini loh!. Perutnya ditempelin perasan jeruk nipis dan kapur, biar cepat langsing, cantik. Memang rasanya panas sih)”.

Perawatan khusus untuk jalan lahir supaya cepat pulih dan bisa rapet lagi seperti sebelum hamil dilakukan informan yaitu “Posisine iku yo harus senden wae gak oleh lasak bu. Nempelno batu bata yang wes dibakar bu, ditempelno dibungkus kain tebel men angete teroso, iku iso dijepet opo diduduki yang penting kene ikunye men ngurangi rasa sakit. Nek isuk njagong neng kursi rotan yang ngisore eneng rebus – rebusan daon men uape men kenek ikune. Jadi badane seger, pegel – pegele ilang, men cepet kering lukanya. (posisinya harus senden atau setengah duduk tidak boleh lasak. Menempelkan batu bata yang sudah dibakar bu, ditempelkan dibungkus kain tebal biar hangatnya aja yang terasa, itu bisa dijepit atau diduduki yang penting kena itunya biar ngurangi rasa sakit. Kalo pagi duduk diatas kursi rotan yang bawahnya ada rebus – rebusan daun biar uapnya kena itunya. Jadi badannya segar, pegal – pegalnya hilang, biar cepat kering lukanya)”.

Menurut informan ketiga bahwa perawatan khusus payudara selama masa nifas tidak ada seperti yang diutarakannnya “Koyokne ora enenglah bu. (Sepertinya tidak adalah bu)”. Selain itu selama masa nifas juga informan berpendapat bahwa hubungan seksual tidak boleh dilakukan “Gak oleh bu kan dilarang bu”. Dalam pemakaian alat kontrasepsi setelah masa nifas, informan berpendapat ”Nggak perlu pake KB bu, gak campur wong esek berdarah jadi nunggu telung bulan. (Tidak perlu memakai KB bu, kan masih berdarah jadi tunggu tiga bulan)”.


(1)

(2)

Keterangan : Makanan yang dikonsumsi ibu nifas


(3)

(4)

Keterangan : Penguapan


(5)

Keterangan Gambar diatas : Penguapan


(6)

Dokumen yang terkait

Determinan Kecemasan Wanita Pra Menopause di Desa Rawang Lama Kecamatan Rawang Panca Arga Kabupaten Asahan Tahun 2014

2 88 130

Resiprositas Tradisi Nyumbang (Kajian Antropologi Tentang Strategi Mempertahankan Eksistensi Tradisi Nyumbang Hajatan Pada Masyarakat Jawa Di Desa Rawang Pasar IV, Kecamatan Rawang Panca Arga, Kabupaten Asahan)

11 145 138

PERUBAHAN MAKNA GONDANG NAPOSO BULUNG DI DESA RAWANG PASAR VI KECAMATAN RAWANG PANCA ARGA KABUPATEN ASAHAN.

0 4 24

Sistem Database Data Pasien pada Puskesmas Rawang Pasar IV Kecamatan Rawang Panca Arga Kabupaten Asahan Menggunakan Visual Basic 2010

0 0 12

Sikap Petani Terhadap Bantuan Sarana Produksi Pertanian Dalam Upaya Peningkatan Produksi Padi Sawah (Kasus : Desa Rawang Baru Kecamatan Rawang Panca Arga Kabupaten Asahan)

0 0 15

Sikap Petani Terhadap Bantuan Sarana Produksi Pertanian Dalam Upaya Peningkatan Produksi Padi Sawah (Kasus : Desa Rawang Baru Kecamatan Rawang Panca Arga Kabupaten Asahan)

0 0 2

Sikap Petani Terhadap Bantuan Sarana Produksi Pertanian Dalam Upaya Peningkatan Produksi Padi Sawah (Kasus : Desa Rawang Baru Kecamatan Rawang Panca Arga Kabupaten Asahan)

0 0 7

Sikap Petani Terhadap Bantuan Sarana Produksi Pertanian Dalam Upaya Peningkatan Produksi Padi Sawah (Kasus : Desa Rawang Baru Kecamatan Rawang Panca Arga Kabupaten Asahan)

0 0 15

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Kecemasan - Determinan Kecemasan Wanita Pra Menopause di Desa Rawang Lama Kecamatan Rawang Panca Arga Kabupaten Asahan Tahun 2014

0 0 24

DETERMINAN KECEMASAN WANITA PRA MENOPAUSE DI DESA RAWANG LAMA KECAMATAN RAWANG PANCA ARGA KABUPATEN ASAHAN TAHUN 2014 TESIS

0 0 18