Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
BAB II KONFUSIANISME DAN FEODALISME
2.1 Konfusianisme
Khong Fu Tzu K shi
, yang lebih tepat dikenal sebagai K’ung Ch’iu oleh Eropa diberi nama latin Konfusius, lahir pada tahun 551 SM di Tsou sebuah kota kecil
di Negera Bagian Lu yang sekarang dinamakan Provinsi Shantung. Ia lahir dan besar di masa Dinasti Chou di Cina sekitar tahun 1100-221 SM.
Sejarah politik bangsa Chou yang rumit dan panjang mula-mula berkembang di sekelompok negeri feodal yang keceraiberaiannya dan keragamannya tercermin dalam
ciri khas sosial-budaya Dinasti Chou. Bangsa Chou yang asli adalah bangsa setengah pengembara, tetapi keberhasilan mereka menaklukkan wilayah Cina pada abad kedua
belas dikatakan awal era baru karena bangsa Chou-lah yang diakui sebagai pihak yang memantapkan piramida kekuasaan kekaisaran yang memerintah Cina di masa lalu.
Sistem tersebut adalah sistem yang boleh dikatakan tidak terusik selama hampir dua ribu tahun.
Namun, bahkan kekuatan tak tertandingi yang dimiliki para penakluk itu tidak sepadan dengan luasnya wilayah yang mereka perintah sekarang. Berangsur-angsur
kekuatan politik dan hak untuk memerintah menjadi kekuasaan beberapa negeri, dan pengakuan kekuasaan pusat, yakni pengadilan Chou, telah menjadi formalitas usang,
sebagaimana halnya sistem feodalisme. Perkembangan Dinasti Chou dapat dianggap sebuah paradoks, karena di kala
kemajuan umat manusia mencapai puncaknya, sifat manusia yang tak manusiawi dan integritasnya malah sepertinya mencapai titik paling rendah. Dinasti Chou menjadi saksi
lahirnya bajak yang ditarik sapi dan digunakannya kuda sebagai hewan tunggangan,
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
penciptaan sistem irigasi pokok, pembangunan kanal dan jalan yang lebih baik, perkembangan uang, dan sistem tulis-menulis. Pada sebagian masa dinasti tersebut yang
dinamakan Chou Timur 770-221 SM, kebudayaan dan kesenian tumbuh pesat. Untuk pertama kalinya seni dekorasi menampilkan benda bergambar seperti adegan perburuan,
sesuatu yang merupakan tonggak sejarah yang bernilai seni. Runtuhnya feodalisme dan bangkitnya sejumlah negeri yang merdeka
menciptakan kelompok tuan tanah dan saudagar, dan karena itu terciptalah sumber yang subur berupa para begawan kesenian. Seni kerajinan berkembang, dalam bentuk
perunggu dan pernis, sutra berhiaskan lukisan, tatahan emas dan perak dan batu giok, hiasan batu-batuan setengah mulia. Kaum berada mengisi kehidupan mereka dengan
kemewahan yang dihasilkan dari laba yang mereka raih, mempekerjakan orang untuk menciptakan perhiasan, perabotan rumah, senjata perang, dan pernak-pernik untuk
upacara pemakaman. Pamer kemewahan dalam kehidupan kaum berada ini sungguh sangat kontras
dengan kemelaratan dan kekurangan yang dialami rakyat jelata yang kadang menjadi korban kerja paksa. Kekuasaan pemerintahan digenggam erat oleh kelompok
bangsawan baru yang terpelajar namun tak berperikemanusiaan. Beberapa diantaranya menyalahgunakan wewenang tersebut, mencari kesenangan dari bisnis tragis dengan
mengobarkan peperangan. Sikap dingin para pemimpin terhadap masalah yang dihadapi para petani menciptakan masyarakat yang semakin terpuruk, yang berhadapan dengan
lingkungan kecemburuan kecil dan pertikaian politik di antara para pemimpin dan negeri, diwarnai pengkhianatan, kemerosotan akhlak, dan korupsi. Masa dan rakyat
memekik, mendambakan tujuan dan arah yang baru. Keluarga Konfusius sama sekali bukan keluarga berada, meskipun konon dia
keturunan bangsawan. Ayahnya, K’ung Shu-Liang Hë, mantan panitera pengadilan dan
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
pejuang yang cukup terkenal. Ia telah tua dan menikah dengan seorang perempuan yang memberinya sembilan anak perempuan. Cemas karena tidak mempunyai anak laki-laki
untuk melanjutkan marganya, ia meminta Yen Chëng Tsai yang konon keturunan Po Ch’in, putra Pangeran Chou, dengan nama keluarga Chi, untuk menikah dengannya.
Perkawinannya ini akhirnya dikaruniai seorang anak laki-laki, yaitu Konfusius. Konfusius lahir dengan benjolan di dahinya sehingga dia diberi nama Ch’iu bukit.
Di saat berusia 15 tahun, Konfusius bertekad membaktikan dirinya untuk belajar, dan mungkin dalam lubuk hatinya sudah bergolak semangat luhur untuk
menciptakan perubahan dan keadilan bagi semua orang, konsep yang dipegangnya teguh sepanjang hayatnya yang sarat dengan kekecewaan.
Karena dibesarkan dalam suasana yang dapat dikatakan miskin, Konfusius memandang dunia dari kacamata seseorang yang pernah mengalami kenyataan yang
amat pahit. Usianya baru 3 tahun saat ayahnya meninggal, dan Konfusius kemudian dibesarkan oleh ibunya yang terpaksa harus bekerja rangkap untuk menafkahi keluarga.
Dalam berbagai tahap kehidupannya, Konfusius memanfaatkan kemampuannya sebagai seorang anak gembala, gembala sapi, jurutulis, dan petugas pembukuan.
Konfusius menikah pada usia 19 tahun dengan seorang dara bernama Chi Kuan. Putra sulungnya lahir setahun kemudian, ia memberinya nama K’ung Li Po-yu yang
berarti ikan gurami karena Pangeran Chou memberinya seekor ikan gurami sebagai hadiah. Belakangan ikan gurami menjadi lambang Konfusianisme. Po-yu meninggal
pada usia 50 tahun dan Konfusius yang hidup sampai usia 75 tahun, masih hidup setelah kematian putaranya. Anak laki-laki Po-yu, Tzu Szu menjadi salah satu murid terbaik
Konfusius. Karena anaknya sendiri lebih dulu wafat daripada dirinya, cucunyalah yang meneruskan menyebarkan filsafatnya. Tzu Szu adalah penulis The Doctrine of Mean
daigaku yang merupakan salah satu karya klasik utama Konfusian.
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
Pada usia 22 tahun, Konfusius merintis pendirian sekolah yang dipandang sebagai sekolah swasta pertama, memberikan pencerahan bagi mereka yang mau
menyimak tentang berbagai pandangannya mengenai perilaku pribadi, pemerintahan, dan keadilan yang ditegakkan oleh hukum. Mungkin yang terpenting adalah
keyakinannya yang terus tumbuh mengenai pentingnya pendidikan bagi masyarakat, yang mungkin berasal dari sikapnya yang amat mementingkan pembelajaran, dan
kesadaran bahwa hanya melalui pendidikanlah bisa dicapai kesetaraan sejati di antara umat manusia. Dia berpendapat bahwa pendidikan yang menyeluruh akan menghasilkan
manusia seutuhnya, dan dia menyerap aspek moral dalam pendidikan sama banyaknya dengan aspek ajaran yang terkandung dalam pendidikan itu sendiri. Karenanya
Konfusius membuka lebar pintu sekolahnya bagi siapapun yang tulus berkehendak untuk belajar. Bayaran yang diterimanya kecil sekali dan ia memang tidak menuntut
bayaran, sehingga murid-murid hanya membayar sesuai dengan kemampuan mereka. Karena memang murid-muridnya kebanyakan dari kalangan bawah.
Sebagai inspirasinya untuk masa kini dan masa mendatang, dia menengok ke masa lalu, kepada kepemimpinan legendaris Pangeran Chou, arsitek Dinasti Chou.
Dalam pandangannya mengenai perubahan, Konfusius menggalakkan keadilan hukum bagi semua orang sebagai sokoguru kehidupan dalam dunia ideal, yang menjadi tempat
terwujudnya prinsip-prinsip kemanusiaan, kesantunan, keimanan, pengabdian anak, dan indahnya sifat budiman, kejujuran, kesetiaan, dan sifat dapat dipercaya.
Pandangannya tentang pemerintah adalah bahwa setiap warga negara harus memiliki peran yang sudah ditetapkan, dan menjalankan peran tersebut dalam
perjalanan hidupnya, bahwa setiap pemerintah harus arif, menyediakan standar hidup yang baik bagi rakyatnya, dan menggalakkan pendidikan budi pekerti dan tata krama.
Sebagai contoh yang baik dari kepemimpinan yang arif, Konfusius mengagumi Kaisar
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
Yao yang legendaris sekitar 2300 SM dan penerusnya, Kaisar Shun sekitar 2200 SM, yang kearifan dan sikap welas asihnya sangat terkenal, dan yang masa pemerintahannya
konon menciptakan ‘era keemasan di masa lampau’. Sebagaimana kebiasaan di jamannya, Konfusius memupuk seni yang luhur, dan
dia menganggap musik sebagai kunci keharmonisan yang bersifat universal, dan ia mulai mempelajarinya secara mendalam pada usia 29 tahun. Menurut Konfusius, musik
adalah cerminan manusia unggul, dan menyerupai watak yang sesungguhnya, yang dapat mengungkapkan keculasan dan kemunafikan. Pada akhirnya, Konfusius
memadukan musik ke dalam filsafatnya untuk memperlihatkan kemampuan musik dalam mempengaruhi seseorang agar menjadi lebih baik atau menjadi lebih buruk.
Konfusius juga berpendapat bahwa hakikat upacara kebaktian seharusnya lebih bersifat rohaniah dan bukan lahiriah, pastilah karena pengalamannya menyaksikan betapa
berlebihannya formalitas pelaksanaan ritual pada jamannya. Konfusius berkonsultasi dengan Lao-tzu, pendiri Taoisme yang legendaris dan
penulis buku Tao Te Ching, untuk mempelajari cara menyelenggarakan upacara dan musik. Lao-tzu adalah penulis Perpustakaan Kerajaan dan lebih tua 50 tahun daripada
Konfusius sendiri. Kaitan antara Taoisme dan Konfusianisme terbayang dalam konsultasi yang terjadi di antara keduanya. Kendati kedua aliran filsafat ini saling
berselisih selama bertahun-tahun, sesungguhnya Taoisme dan Konfusianisme pada akhirnya saling mengevolusikan interpretasikan baru yang menyatukan unsur tiap-tiap
aliran. Hal ini akan tercermin di kemudian hari dalam gerakan Neo-Konfusian dan Neo- Taois. Masing-masing memiliki hal-hal yang kurang pada pihak lainnya.
Kekuatan kata-katanya berhasil menarik ke dekat Konfusius sejumlah penganut yang terus bertumbuh, yang pada akhirnya berjumlah tiga ribu orang, dan tujuh puluh
dua di antaranya dikenal sebagai murid-muridnya yang paling luas pengetahuannya.
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
Mereka memiliki posisi penting dalam mencatat ucapan sang guru dan menyebarkan ajarannya.
Terdapat pertikaian yang terus-menerus di antara sejumlah negeri pada masa Konfusius. Di negerinya sendiri, yakni di Lu, kekuatan politik diturunkan dari
pemerintah ke tangan tiga keluarga bangsawan, yang bernama keluarga Mëng-Sun, Shu- Sun, dan Chi-Sun.
Pembaharuan sosial dan moral yang digalakkan oleh Konfusius tidak mendapatkan penerimaan universal, terutama dalam lingkungan kekuasaan dan
keinginan yang kuat untuk mengimplementasikan berbagai pandangannya dalam kedudukan di pemerintahan tidak terpenuhi. Maka, konon, pada usianya yang ke-35, dia
meninggalkan Lu ditemani Pangeran Chao yang berumur pendek, yang kalah dalam pergumulan kekuasaan yang pahit, lalu menuju negeri Ch’i, dan di situlah Konfusius
bermukim selama delapan tahun. Ketika kembali ke Lu pada usia 43, Konfusius memulai pengumpulan dan
penyuntingan karya sastranya yang secara keseluruhan dinamakan enam karya klasik: The Odes
, The Book 潚 , The Book of Change 帒 , The Books of Rites
, The Book of Music
鼗 , dan The Spring and Autumn Annals 弢 . Akhirnya pada usia 51, Konfusius ditunjuk sebagai walikota Chung Tu di Lu.
Dalam waktu satu tahun, prestasinya sangat mengesankan sehingga dia naik pangkat menduduk i jabatan di Kantor Pekerjaan Umum, kemudian di Kantor Pengadilan Tinggi
di negeri Lu. Namun, di masa bakti Konfusius di lingkungan politik dapat dikatakan singkat.
Sekitar tahun 497 SM, dia sekali lagi meninggalkan Lu, ditemani oleh pengikutnya yang paling setia, mungkin dipicu oleh buruknya keadaan spiritual dan moral yang
disaksikannya di kalangan pemimpin di antara sesama pejabat seperti dirinya.
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
Konfusius memang ditakdirkan untuk berkelana dari satu negeri ke negeri lainnya selama tiga belas tahun berikutnya, terus-menerus mencari ke mana-mana,
mencari tatanan yang tepat untuk mewujudkan berbagai pemikirannya. Namun rupanya hal itu tidak ditakdirkan untuk terjadi.
Setelah beranjak tua dan lelah, dia kembali lagi ke Lu pada 484 SM, ketika usianya sudah 68 tahun, jelas sangat kecewa oleh pengalamannya menghadapi dunia
yang serakah dan sinis, tetapi tetap memegang teguh pandangannya yang luhur. Dia terus mengajar, dan kebajikan kata-katanya, sebagaimana yang didokumentasikan oleh
para pengikutnya, akan terus hidup selamanya, merupakan warisannya yang tak pernah mati bagi masa depan. Pada tahun terakhir hidupnya, Konfusius menyunting I Ching.
Konfusius meninggal pada 479 SM dan dimakamkan di Ch’ü Fu. Dewasa ini tempat peristirahatannya yang terakhir itu telah menjadi Hutan K’ung yang sangat
indah, konon meliputi tanah sepanjang delapan kilometer di masa sekarang ini, yang pada awalnya hanya berupa beberapa pohon yang ditanam oleh murid-muridnya untuk
mengenang Konfusius. Demikian pulalah ajaran Konfusius merebak, dari asalnya pada era klasik yang
terus bertahan, dan pada akhirnya melampaui berbagai ajaran lain pada 140 SM, ketika ajaran Konfusius diakui secara resmi sebagai satu-satunya filosofi.
Namun barulah pada tahun 5 M Konfusius dihormati secara anumerta melalui Perintah Kaisar untuk pertama kalinya, yaitu oleh Kaisar Ping dari dinasti Han yang
memujinya sebagai ‘yang dihormati dan cendekia’. Bahkan pada Dinasti Han Konfusianisme menjadi filsafat resmi negara Cina. Orang besar ini menerima
penghormatan utama beberapa abad kemudian, pada tahun 739 M, ketika Kaisar Hsüan dari Dinasti T’ang menghormati Konfusius untuk keunggulan ajarannya, dan
menganugerahinya gelar khusus sebagai ‘bangsawan’.
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
Pada dinasti Ch’ing, Kaisar Hsüan dari Dinasti T’ang menghormati Konfusius dengan menganugerahinya gelar ‘Maha Guru Segala Jaman’. Mungkin inilah gelar yang
paling pantas untuk orang yang kearifannya telah menjadi kekuatan yang membimbing kehidupan dan pemikiran rakyat Cina selama lebih dari 2000 tahun. Benang emas
filosofi moral dan politiknya menjadi unsur yang integral dalam masyarakat dunia.
2.2 Inti Ajaran Konfusianisme