Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Menurut E. B. Taylor dalam Joko Tri Prasetya 1991:29, kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan yang lain, serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Kebudayaan Jepang juga mengandung hal-hal tersebut di atas, yaitu ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, dan lain-lain. Kebudayaan Jepang yang terus
dipertahankan hingga saat ini oleh bangsa Jepang, tidak hanya dari hasil kebudayaan asli nenek moyang mereka yang turun-temurun, namun juga banyak mendapat pengaruh
dari kebudayaan negara lain. Yang paling banyak memberikan kontribusinya dalam memperkaya kebudayaan Jepang adalah negara besar terdekatnya, yaitu Cina. Kalau
ditelusuri dari sejarahnya, maka hubungan Jepang dengan Cina sudah terjalin sejak abad ke-5 pada kekuasaan Yamato. Pada abad ke-5, kekuasaan Yamato diperluas ke Korea
dengan mengirimkan ekspedisi militer mereka ke sana , oleh Jing , permaisuri yang
berkuasa pada masa itu menggantikan suaminya, Kaisar Chuai yang telah meninggal. Hubungan dengan Korea itu memungkinkan masuknya pengaruh Cina ke Jepang dalam
bentuk tulisan dan huruf Cina kanji 媾 , ilmu Konfusius, kalender, teknik irigasi dan
agama Buddha. Hal ini karena pada masa itu Korea baru saja lepas dari masa pendudukan Cina Dinasti Han dan masih kuat melekat pengaruh kebudayaan Cina
terhadap kebudayaan mereka. Maka dapat dilihat bahwa kebudayaan Cina sudah sejak
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
abad ke-5 mempunyai pengaruh yang mendalam pada masyarakat Jepang. Tetapi sejak awal sejarahnya, Jepang menunjukkan kemampuan tinggi untuk menyesuaikan segala
apa yang masuk dari luar dengan apa yang diperlukan sendiri. Namun, sekalipun Jepang berhasil menyesuaikan kebudayaan Cina dengan kepentingan Jepang sendiri, pengaruh
itu tak dapat dihilangkan sepanjang sejarah Jepang. Maka tak mengherankan, menurut Sayidiman Suryohadiprojo 1982:11, apabila hingga kini Jepang merasa dirinya dekat
dengan bangsa Cina dibandingkan dengan bangsa-bangsa Asia lainnya. Sebenarnya ada banyak sekali ajaran-ajaran para pemikir dari Cina yang sangat
berkembang tidak hanya di negara asalnya sendiri tapi juga di seluruh negara di dunia, khususnya di negara Timur. Beberapa pemikir Cina yang sangat terkenal tidak hanya di
jamannya tapi juga sampai sekarang antara lain Lao-Tzu Taoisme, Khong Fu Tzu Konfusius, dan lain-lain. Pemikir Cina yang paling besar memberi kontribusinya
dalam dasar berpikir orang Jepang adalah Khong Fu Tzu. Di negeri asalnya, Cina, ajaran Konfusius sangat berkembang dan sangat mempengaruhi seluruh segi kehidupan
bangsa Cina bahkan sampai saat ini. Namun di Jepang ajaran ini kurang berkembang bila dibandingkan dengan Buddha atau Shinto, meskipun demikian sebenarnya tanpa
kita ketahui ajaran Konfusius pun sangat berperan besar dalam perjalanan panjang sejarah bangsa Jepang.
Menurut Koentjaraningrat 1962:220-222, kepercayaan religi adalah suatu sistem bagaimana masyarakat melakukan berbagai aktivitas spiritual dalam rangka
berkomunikasi dengan Sang Pencipta untuk memperoleh kekuatan dari luar dirinya, sebab manusia percaya kepada suatu kekuatan gaib yang dianggap lebih tinggi dari
padanya sehingga manusia melakukan berbagai hal dengan cara yang beraneka untuk mencari hubungan dengan kekuatan itu.
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
Menurut Sayidiman Suryohadiprojo 1982:196-197, Jepang memiliki berbagai kepercayaan yang dianut oleh warganegaranya. Mulai dari kepercayaan kuno yang
diwariskan oleh nenek moyang secara turun temurun maupun kepercayaan yang terus bermunculan sesuai perkembangan jaman, juga kepercayaan yang berasal dari negara di
luar Jepang. Sebut saja Shinto, Buddhisme, Konfusianisme, Taoisme, dan Kristen. Agama Jepang asli adalah Shinto
yang artinya “jalannya para dewa”. Tetapi kemudian masuk agama Buddha melalui Cina dan Korea pada pertengahan abad ke-
enam. Menurutnya lagi, sekarang orang Jepang pada umumnya tak ada yang hanya beragama Shinto atau Buddha saja, melainkan menganut kedua-duanya, Bahkan sering
ditambah lagi dengan agama Kristen terutama sejak selesainya Perang Dunia II. Umpamanya saja, perkawinan dilakukan dalam agama Shinto, tetapi kemudian ada
upacara seperti Kristen, sedangkan kalau orang meninggal upacara dilakukan menurut agama Buddha. Di rumah-rumah, terutama di daerah pedesaan, terdapat altar Shinto dan
Buddha bersama-sama. Orang yang pergi ke kuil Shinto dan Buddha, mungkin juga ke gereja. Namun, Shinto dan Buddhisme merupakan kepercayaan terbesar yang dipeluk
oleh masyarakat Jepang. Menurut H. Byron Earhart 1982:1, Jepang beragama politheis, memeluk
banyak kepercayaan dan agama. Tidak seperti negara-negara lainnya yang memeluk agama monotheis, di Jepang agama tidak diorganisir memiliki kitab, bangunan, maupun
upacara keagamaan tertentu, melainkan Jepang meliputi sejumlah tradisi yang beberapa asli dari Jepang dan beberapa mengimport, beberapa sangat terorganisir dan beberapa
tidak secara formal melembagakan. Dari waktu ke waktu tradisi ini saling berhubungan membentuk suatu warisan kepercayaan tersendiri, dan Byron menyebutnya dengan
istilah agama Jepang.
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
Cukup banyak penelitian yang dilakukan untuk kedua kepercayaan terbesar di Jepang ini karena memang memiliki pengaruh yang besar juga bagi bangsa Jepang,
bahkan sampai saat ini. Namun secara khusus dalam penulisan ini akan dibahas mengenai Konfusianisme, yang juga berkembang di Jepang dan tentu memiliki
pengaruh, baik besar atau kecil. Konfusius saat ini dipercayai sebagai salah satu bentuk kepercayaan. Walaupun
pada awalnya ajaran konfusius dari Cina ini sebenarnya merupakan kumpulan kata-kata bijak dari seorang pemikir terkenal pada masa Dinasti Zhou bernama Khong Fu Tzu,
yang artinya “Guru bermarga Khong”, dan pada dasarnya bukan merupakan bentuk kepercayaan ataupun agama. Khong Fu Tzu banyak mengajarkan tentang suatu
pengajaran filsafat untuk meningkatkan moral dan menjaga etika manusia sehingga bisa hidup secara harmonis. Namun karena ajarannya sangat baik pada zaman itu dan banyak
yang mengikuti ajarannya, ia mulai dianggap sebagai nabi yang membawa ajaran baru yang dianggap masyarakat bahkan pemerintah sangat cocok untuk diterapkan dalam
kehidupan masyarakat pada masa itu. Maka Khong Fu Tzu pun dianggap pendiri agama baru, yaitu Khong Hu Cu, atau di barat dikenal sebagai Konfusius.
Pada masa Khong Fu Tzu hidup, negaranya sedang mengalami kekacauan. Terjadi berbagai penyimpangan yang dilakukan pemerintah, disintegrasi negara,
pemberontakan dan terjadi begitu banyak kejahatan, serta banyak orang hidup tanpa aturan yang jelas. Kondisi sosial Cina pada masa itu menampilkan ketidakteraturan,
degradasi moral, dan anarki intelektual. Menanggapi kondisi jamannya, pemikiran Khong Fu Tzu terfokus kepada bagaimana memecahkan masalah-masalah sosial yang
dihadapi negaranya. Perbaikan dan reformasi kondisi masyarakat menjadi pokok perhatian utama pada ajaran-ajaran Khong Fu Tzu. Salah satu pemikiran Khong Fu Tzu
yang amat penting berkaitan dengan perbaikan masyarakatnya adalah konsep
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
pembetulan nama-nama. Bagi Khong Fu Tzu pembetulan nama ini merupakan usaha utama yang harus dilakukan dalam memperbaiki masyarakat Bagus Takwin, 2001:57.
Semasa hidupnya, Khong Fu Tzu senang mengembara dan mencari pengetahuan dari berbagai pengalaman. Ia pernah menjadi pejabat negara namun pernah juga
menjadi orang buangan karena perbedaan pandangan dengan penguasa, hingga akhirnya menjadi seorang guru pengelana. Maka ajarannya pun menyebar luas ke seluruh negeri
Cina pada jamannya saat ia menjadi seorang guru pengelana ditemani oleh murid- muridnya yang setia padanya.
Ajaran Konfusius tidak hanya menyebar di Cina namun juga sampai ke Jepang melalui Korea yang terlebih dulu telah mempelajari ajaran ini. Pada sekitar abad 5
sampai abad 6, yaitu pada zaman Yamato, banyak orang datang dari Semenanjung Korea dan Cina lalu menetap di Jepang. Para pendatang ini kemudian dijadikan warga
negara Jepang oleh pemerintah dan mereka dipekerjakan di perusahaan umum, peternakan, tekstil dan lain-lain. Secara khusus mereka juga bekerja di kantor
pemerintahan, mereka menulis catatan, penghitungan, bahkan dokumen diplomatik dengan menggunakan Kanji, sehingga mulai zaman ini setiap kemajuan teknologi dan
pengetahuan orang Jepang dapat diketahui melalui dokumen tertulis. Bersamaan dengan kedatangan mereka ini semakin memudahkan untuk membawa masuk buku agama
Konfusius, patung dan kitab suci agama Buddha dari Cina melalui Korea ke Jepang. Dalam sejarah Jepang,
pada jaman Yamato di masa pemerintahan Sh tokutaishi, dibuat undang-undang yang dipengaruhi ajaran Buddhisme juga Konfusianisme, yaitu
Kenp j shichij ㌃璐媾undang-undang dasar 17 pasal. Pada jaman Edo, yaitu di
masa kejayaan Tokugawa, ajaran ini cukup berkembang, bahkan pemerintah sampai mengijinkan dibangunnya sebuah sekolah tinggi Konfusius di Edo. Mereka menyuruh
anak-anak Bushi untuk belajar di sekolah tersebut. Namun karena perkembangannya,
Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009
ajaran konfusius pada jaman ini menjadi Neo-Konfusius yang ajarannya tidak jauh berbeda dengan ajaran dalam Konfusius namun mendapat pengaruh dari ajaran Buddha.
Pada jaman Edo pemegang tertinggi pemerintahan buk an dalam tangan Tenn
atau Kaisar, tapi pada Pemimpin Tertinggi Militer seiitaishogun ㌵ , yaitu
Tokugawa Ieyasu. Tenn hanya sebagai lambang pemerintahan saja tanpa memiliki
wewenang apapun dalam pemerintahan. Ini karena Tokugawa Ieyasu, seorang daimy kecil di Mikawanokuni prefektur Aichi, memenangkan peperangan pada pertempuran
hebat di Sekigahara pada tahun 1600, setelah meninggalnya Hidey shi, mengalahkan keluarga Toyotomigata. Tiga tahun kemudian dia diangkat menjadi sh gun oleh
Tenn Heika dan bermarkas di Edo yang kemudian menjadi pusat kekuasaan politik dan
militer Jepang. Selama masa pemerintahannya, Tokugawa banyak melakukan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang berhubungan dengan politik, sosial, pendidikan,
hukum, dan lain-lain di tengah-tengah maraknya perkembangan Konfusianisme. Hal inilah yang akan berusaha diteliti melalui skripsi yang berjudul “Tokugawa dan
Konfusianisme”.
1.2 Perumusan Masalah