Tokugawa Dan Konfusianisme

(1)

Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009

TOKUGAWA DAN KONFUSIANISME

SKRIPSI

Skripsi ini Diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana

Dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang

Oleh:

MELDA HUTABARAT NIM: 010708003

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA

JURUSAN SASTRA JEPANG S-1

MEDAN


(2)

Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009

KATA PENGANTAR

Pujian syukur hanyalah bagi Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat, berkat dan kasih-Nya yang besar dalam hidup saya yang sampai saat ini tetap mengiringi langkah saya. Tiada kata yang cukup besar untuk menggambarkan betapa besar kuasa dan kasih yang dinyatakan-Nya dalam hidup saya.

Saya mampu menyelesaikan skripsi ini juga atas dukungan dan doa dari orang-orang terdekat. Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Drs. Syaifuddin, M.A., Ph.D. selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara atas kesempatan yang diberikan pada saya menuntut ilmu di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

2. Drs. Hamzon Situmorang, M.S., Ph.D. selaku Ketua Jurusan Sastra Jepang dan Pembimbing Satu atas kesabaran dan waktu yang anda sediakan untuk membimbing dalam mengerjakan skripsi saya, juga untuk ilmu yang anda berikan selama mengajar saya dan teman-teman di kelas.

3. Drs. Nandhi S. selaku Pembimbing Dua atas bimbingan dan waktu yang anda sediakan untuk membimbing dalam mengerjakan skripsi saya selama ini, juga untuk ilmu yang anda berikan selama anda mengajar saya dan teman-teman di kelas.

4. Seluruh dosen Jurusan Sastra Jepang Dra. Adriana Hasibuan, Drs. Pujiono, Drs. Amin Sihombing, Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum., Drs. H. Yuddi Adrian M. atas bimbingannya selama saya menuntut ilmu di Jurusan Satra Jepang.

5. Kedua orangtua saya, T. Hutabarat dan R. Nainggolan, atas doa, pengertian, dan dukungannya selama ini. Adik-adik saya, Marta, Palti, Rohani, dan Manuel atas dorongan yang diberikan agar saya tetap semangat mengerjakan skripsi ini.


(3)

Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009

6. Saudara-saudara dari UKM KMK USU seluruh unit pelayanan — terkhusus UP FS — KTB Metanoia-Megumi, KK Hikaru-Entheos-Fa’Omasi, dan KK Amazia atas doa dan dukungannya selama ini.

7. Sahabat doa dan kakakku, Saden Silitonga dan Iventura Tamba atas doa dan dukungannya selama ini.

8. Untuk semua orang yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, terima kasih banyak. Tuhan yang akan membalas setiap budi baik saudara dan rekan-rekan selama ini.

Tentulah masih banyak kekurangan dalam skripsi ini walau saya sudah semampunya mengerjakannya, dengan segala kerendahan hati saya menerima setiap kritikan dan masukan untuk semakin dapat menyempurnakan penelitian ini, juga untuk semakin mendalami ilmu mengenai kebudayaan Jepang.

Medan, 27 September 2007 Penulis


(4)

Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Menurut E. B. Taylor dalam Joko Tri Prasetya (1991:29), kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan yang lain, serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.

Kebudayaan Jepang juga mengandung hal-hal tersebut di atas, yaitu ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, dan lain-lain. Kebudayaan Jepang yang terus dipertahankan hingga saat ini oleh bangsa Jepang, tidak hanya dari hasil kebudayaan asli nenek moyang mereka yang turun-temurun, namun juga banyak mendapat pengaruh dari kebudayaan negara lain. Yang paling banyak memberikan kontribusinya dalam memperkaya kebudayaan Jepang adalah negara besar terdekatnya, yaitu Cina. Kalau ditelusuri dari sejarahnya, maka hubungan Jepang dengan Cina sudah terjalin sejak abad ke-5 pada kekuasaan Yamato. Pada abad ke-5, kekuasaan Yamato diperluas ke Korea dengan mengirimkan ekspedisi militer mereka ke sana, oleh Jing , permaisuri yang berkuasa pada masa itu menggantikan suaminya, Kaisar Chuai yang telah meninggal. Hubungan dengan Korea itu memungkinkan masuknya pengaruh Cina ke Jepang dalam bentuk tulisan dan huruf Cina (kanji媾 ), ilmu Konfusius, kalender, teknik irigasi dan agama Buddha. Hal ini karena pada masa itu Korea baru saja lepas dari masa pendudukan Cina Dinasti Han dan masih kuat melekat pengaruh kebudayaan Cina terhadap kebudayaan mereka. Maka dapat dilihat bahwa kebudayaan Cina sudah sejak


(5)

Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009

abad ke-5 mempunyai pengaruh yang mendalam pada masyarakat Jepang. Tetapi sejak awal sejarahnya, Jepang menunjukkan kemampuan tinggi untuk menyesuaikan segala apa yang masuk dari luar dengan apa yang diperlukan sendiri. Namun, sekalipun Jepang berhasil menyesuaikan kebudayaan Cina dengan kepentingan Jepang sendiri, pengaruh itu tak dapat dihilangkan sepanjang sejarah Jepang. Maka tak mengherankan, menurut Sayidiman Suryohadiprojo (1982:11), apabila hingga kini Jepang merasa dirinya dekat dengan bangsa Cina dibandingkan dengan bangsa-bangsa Asia lainnya.

Sebenarnya ada banyak sekali ajaran-ajaran para pemikir dari Cina yang sangat berkembang tidak hanya di negara asalnya sendiri tapi juga di seluruh negara di dunia, khususnya di negara Timur. Beberapa pemikir Cina yang sangat terkenal tidak hanya di jamannya tapi juga sampai sekarang antara lain Lao-Tzu (Taoisme), Khong Fu Tzu (Konfusius), dan lain-lain. Pemikir Cina yang paling besar memberi kontribusinya dalam dasar berpikir orang Jepang adalah Khong Fu Tzu. Di negeri asalnya, Cina, ajaran Konfusius sangat berkembang dan sangat mempengaruhi seluruh segi kehidupan bangsa Cina bahkan sampai saat ini. Namun di Jepang ajaran ini kurang berkembang bila dibandingkan dengan Buddha atau Shinto, meskipun demikian sebenarnya tanpa kita ketahui ajaran Konfusius pun sangat berperan besar dalam perjalanan panjang sejarah bangsa Jepang.

Menurut Koentjaraningrat (1962:220-222), kepercayaan (religi) adalah suatu sistem bagaimana masyarakat melakukan berbagai aktivitas spiritual dalam rangka berkomunikasi dengan Sang Pencipta untuk memperoleh kekuatan dari luar dirinya, sebab manusia percaya kepada suatu kekuatan gaib yang dianggap lebih tinggi dari padanya sehingga manusia melakukan berbagai hal dengan cara yang beraneka untuk mencari hubungan dengan kekuatan itu.


(6)

Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009

Menurut Sayidiman Suryohadiprojo (1982:196-197), Jepang memiliki berbagai kepercayaan yang dianut oleh warganegaranya. Mulai dari kepercayaan kuno yang diwariskan oleh nenek moyang secara turun temurun maupun kepercayaan yang terus bermunculan sesuai perkembangan jaman, juga kepercayaan yang berasal dari negara di luar Jepang. Sebut saja Shinto, Buddhisme, Konfusianisme, Taoisme, dan Kristen. Agama Jepang asli adalah Shinto ( ) yang artinya “jalannya para dewa”. Tetapi kemudian masuk agama Buddha melalui Cina dan Korea pada pertengahan abad ke-enam. Menurutnya lagi, sekarang orang Jepang pada umumnya tak ada yang hanya beragama Shinto atau Buddha saja, melainkan menganut kedua-duanya, Bahkan sering ditambah lagi dengan agama Kristen terutama sejak selesainya Perang Dunia II. Umpamanya saja, perkawinan dilakukan dalam agama Shinto, tetapi kemudian ada upacara seperti Kristen, sedangkan kalau orang meninggal upacara dilakukan menurut agama Buddha. Di rumah-rumah, terutama di daerah pedesaan, terdapat altar Shinto dan Buddha bersama-sama. Orang yang pergi ke kuil Shinto dan Buddha, mungkin juga ke gereja. Namun, Shinto dan Buddhisme merupakan kepercayaan terbesar yang dipeluk oleh masyarakat Jepang.

Menurut H. Byron Earhart (1982:1), Jepang beragama politheis, memeluk banyak kepercayaan dan agama. Tidak seperti negara-negara lainnya yang memeluk agama monotheis, di Jepang agama tidak diorganisir memiliki kitab, bangunan, maupun upacara keagamaan tertentu, melainkan Jepang meliputi sejumlah tradisi yang beberapa asli dari Jepang dan beberapa mengimport, beberapa sangat terorganisir dan beberapa tidak secara formal melembagakan. Dari waktu ke waktu tradisi ini saling berhubungan membentuk suatu warisan kepercayaan tersendiri, dan Byron menyebutnya dengan istilah "agama Jepang".


(7)

Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009

Cukup banyak penelitian yang dilakukan untuk kedua kepercayaan terbesar di Jepang ini karena memang memiliki pengaruh yang besar juga bagi bangsa Jepang, bahkan sampai saat ini. Namun secara khusus dalam penulisan ini akan dibahas mengenai Konfusianisme, yang juga berkembang di Jepang dan tentu memiliki pengaruh, baik besar atau kecil.

Konfusius saat ini dipercayai sebagai salah satu bentuk kepercayaan. Walaupun pada awalnya ajaran konfusius dari Cina ini sebenarnya merupakan kumpulan kata-kata bijak dari seorang pemikir terkenal pada masa Dinasti Zhou bernama Khong Fu Tzu, yang artinya “Guru bermarga Khong”, dan pada dasarnya bukan merupakan bentuk kepercayaan ataupun agama. Khong Fu Tzu banyak mengajarkan tentang suatu pengajaran filsafat untuk meningkatkan moral dan menjaga etika manusia sehingga bisa hidup secara harmonis. Namun karena ajarannya sangat baik pada zaman itu dan banyak yang mengikuti ajarannya, ia mulai dianggap sebagai nabi yang membawa ajaran baru yang dianggap masyarakat bahkan pemerintah sangat cocok untuk diterapkan dalam kehidupan masyarakat pada masa itu. Maka Khong Fu Tzu pun dianggap pendiri agama baru, yaitu Khong Hu Cu, atau di barat dikenal sebagai Konfusius.

Pada masa Khong Fu Tzu hidup, negaranya sedang mengalami kekacauan. Terjadi berbagai penyimpangan yang dilakukan pemerintah, disintegrasi negara, pemberontakan dan terjadi begitu banyak kejahatan, serta banyak orang hidup tanpa aturan yang jelas. Kondisi sosial Cina pada masa itu menampilkan ketidakteraturan, degradasi moral, dan anarki intelektual. Menanggapi kondisi jamannya, pemikiran Khong Fu Tzu terfokus kepada bagaimana memecahkan masalah-masalah sosial yang dihadapi negaranya. Perbaikan dan reformasi kondisi masyarakat menjadi pokok perhatian utama pada ajaran-ajaran Khong Fu Tzu. Salah satu pemikiran Khong Fu Tzu yang amat penting berkaitan dengan perbaikan masyarakatnya adalah konsep


(8)

Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009

pembetulan nama-nama. Bagi Khong Fu Tzu pembetulan nama ini merupakan usaha utama yang harus dilakukan dalam memperbaiki masyarakat (Bagus Takwin, 2001:57).

Semasa hidupnya, Khong Fu Tzu senang mengembara dan mencari pengetahuan dari berbagai pengalaman. Ia pernah menjadi pejabat negara namun pernah juga menjadi orang buangan karena perbedaan pandangan dengan penguasa, hingga akhirnya menjadi seorang guru pengelana. Maka ajarannya pun menyebar luas ke seluruh negeri Cina pada jamannya saat ia menjadi seorang guru pengelana ditemani oleh murid-muridnya yang setia padanya.

Ajaran Konfusius tidak hanya menyebar di Cina namun juga sampai ke Jepang melalui Korea yang terlebih dulu telah mempelajari ajaran ini. Pada sekitar abad 5 sampai abad 6, yaitu pada zaman Yamato, banyak orang datang dari Semenanjung Korea dan Cina lalu menetap di Jepang. Para pendatang ini kemudian dijadikan warga negara Jepang oleh pemerintah dan mereka dipekerjakan di perusahaan umum, peternakan, tekstil dan lain-lain. Secara khusus mereka juga bekerja di kantor pemerintahan, mereka menulis catatan, penghitungan, bahkan dokumen diplomatik dengan menggunakan Kanji, sehingga mulai zaman ini setiap kemajuan teknologi dan pengetahuan orang Jepang dapat diketahui melalui dokumen tertulis. Bersamaan dengan kedatangan mereka ini semakin memudahkan untuk membawa masuk buku agama Konfusius, patung dan kitab suci agama Buddha dari Cina melalui Korea ke Jepang.

Dalam sejarah Jepang, pada jaman Yamato di masa pemerintahan Sh tokutaishi, dibuat undang-undang yang dipengaruhi ajaran Buddhisme juga Konfusianisme, yaitu

Kenp j shichij ( ㌃璐媾undang-undang dasar 17 pasal). Pada jaman Edo, yaitu di

masa kejayaan Tokugawa, ajaran ini cukup berkembang, bahkan pemerintah sampai mengijinkan dibangunnya sebuah sekolah tinggi Konfusius di Edo. Mereka menyuruh anak-anak Bushi untuk belajar di sekolah tersebut. Namun karena perkembangannya,


(9)

Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009

ajaran konfusius pada jaman ini menjadi Neo-Konfusius yang ajarannya tidak jauh berbeda dengan ajaran dalam Konfusius namun mendapat pengaruh dari ajaran Buddha.

Pada jaman Edo pemegang tertinggi pemerintahan bukan dalam tangan Tenn atau Kaisar, tapi pada Pemimpin Tertinggi Militer (seiitaishogun ㌵ ), yaitu Tokugawa Ieyasu. Tenn hanya sebagai lambang pemerintahan saja tanpa memiliki wewenang apapun dalam pemerintahan. Ini karena Tokugawa Ieyasu, seorang daimy kecil di Mikawanokuni (prefektur Aichi), memenangkan peperangan pada pertempuran

hebat di Sekigahara pada tahun 1600, setelah meninggalnya Hidey shi, mengalahkan

keluarga Toyotomigata. Tiga tahun kemudian dia diangkat menjadi sh gun oleh Tenn Heika dan bermarkas di Edo yang kemudian menjadi pusat kekuasaan politik dan militer Jepang. Selama masa pemerintahannya, Tokugawa banyak melakukan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang berhubungan dengan politik, sosial, pendidikan, hukum, dan lain-lain di tengah-tengah maraknya perkembangan Konfusianisme. Hal inilah yang akan berusaha diteliti melalui skripsi yang berjudul “Tokugawa dan Konfusianisme”.

1.2 Perumusan Masalah

Dengan banyaknya ajaran Konfusius yang sangat mempengaruhi kehidupan bangsa Cina hingga saat ini, bahkan di tengah-tengah perkembangan ilmu dan teknologi, maka sebagai ajaran yang juga berkembang di Jepang, Konfusius tentu memberikan pengaruh dalam kehidupan bangsa Jepang sejak masuknya ke Jepang. Dan pengaruh itu mungkin saja masih terus dapat dirasakan oleh bangsa Jepang bahkan hingga dewasa ini namun akan lebih difokuskan pada masa rezim Tokugawa. Maka yang menjadi pertanyaan mendasar pada penelitian ini adalah:


(10)

Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009

2. Inti ajaran Konfusianisme yang diterima masyarakat pada jaman Edo.

3. Apa saja pengaruh atau peranan dari ajaran Konfusius terhadap kehidupan masyarakat pada jaman Edo.

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Ajaran Konfusius yang sesungguhnya berasal dari Cina, namun sangat besar dampak ajarannya tidak hanya di Cina tetapi juga di negara lain, seperti Asia, bahkan Eropa sangatlah menarik perhatian penulis. Ajaran ini tidak hanya mempengaruhi hal-hal dalam hubungan sosial, namun juga berperan dalam politik maupun pemerintahan. Banyak gagasan maupun hasil pemikiran Konfusius yang diterapkan dalam segala bidang khususnya untuk mengatur hubungan manusia yang satu dengan manusia yang lain. Namun ajaran Konfusius telah banyak mendapat pengaruh dari ajaran-ajaran tambahan lain, baik yang ditambahkan dari murid-muridnya maupun pihak keluarganya. Penulis akan berusaha mencari literatur lengkap mengenai ajaran Konfusius tanpa mendapat pengaruh apapun dari pihak lain untuk mendapat literatur yang akurat. Penulis hanya akan membatasi ruang lingkup masalah pada perkembangan ajaran ini di Jepang terkhusus pada jaman Edo, lalu pengaruh-pengaruh apa yang diberikan oleh ajaran ini terhadap kebudayaan asli Jepang yang mempengaruhi kehidupan masyarakat Jepang pada masa itu.

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori

a. Tinjauan Pustaka

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002:17), ajaran berasal dari kata ajar yang berarti petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui (diturut) yang mendapat imbuhan –an, sehingga artinya menjadi segala sesuatu yang diajarkan;


(11)

Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009

nasihat; petuah; petunjuk; paham. Ajaran yang biasanya berasal dari seorang tokoh atau lebih ini banyak menjadi acuan dalam berbagai bidang, misalnya hukum, sosial, ilmu pengetahuan dan teknologi, budaya, agama, dan lain-lain.

Ajaran yang diberikan oleh Konfusius adalah berupa kata-kata bijaksana yang banyak berhubungan dengan bagaimana seharusnya manusia yang satu berhubungan dengan manusia lainnya, juga mengajarkan pemerintahan yang ideal, dan lain-lain. Ajarannya berkembang dari sebuah filsafat menjadi sebuah kepercayaan oleh para pengikutnya karena kemudian dia dianggap sebagai nabi yang membawa ajaran baru.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002:856), kepercayaan berasal dari kata percaya yang berarti mengakui atau yakin bahwa sesuatu memang benar atau nyata, yang mendapat imbuhan ke-an, sehingga artinya adalah anggapan atau keyakinan bahwa sesuatu yang dipercaya itu benar atau nyata.

Dalam buku Tahap-tahap Perkembangan Kepercayaan menurut James W. Fowler yang disadur Agus Cremers (1995:45), James W. Fowler mengatakan, “Kepercayaan hendak dimengerti secara dinamis. Kepercayaan ini meliputi kenyataan bahwa pribadi menemukan arti atau ditemukan oleh arti itu. Kepercayaan mencakup baik konstruksi aktif atas keyakinan dan komitmen maupun sikap pasif dalam menerimanya. Kepercayaan mencakup segala ekspresi religius eksplisit dan seluruh pembentukan kepercayaan, dan juga segala cara untuk menemukan dan mengarahkan diri pada koherensi dalam lingkungan yang paling akhir, namun tidak bersifat religius” (Fowler, E.FDT, 1988:30)

Masih menurut Fowler dalam Agus Cremers (1995:47), “Kepercayaan adalah suatu yang universal... ciri dari seluruh hidup, tindakan, dan pengertian diri semua manusia, entah mereka menyatakan diri sebagai ‘orang yang percaya’ dan ‘orang


(12)

Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009

berkeagamaan’ atau sebagai ‘orang yang tidak percaya pada apapun’” (Fowler/Keen/Berryman, ed., Life Maps, 1978:14-101)

Bersama Cantwell Smith, Fowler dalam Agus Cremers (1995:47-48) membedakan antara faith, beliefs, dan religion. Menurutnya, faith dapat diuraikan secara tepat sebagai sesuatu yang terpisah dari penjelmaan konkret ajaran doktrinal, keyakinan-keyakinan dan pernyataan kepercayaan (beliefs), maupun dari seluruh ekspresinya dalam berbagai upacara dan simbol keagamaan (religion). Belief merupakan keseluruhan isi keyakinan dan pandangan religius yang diungkapkan dalam sejumlah representasi tertentu dan dianggap benar sebagi ajaran resmi agama yang bersangkutan. Belief adalah suatu tindakan pengetahuan yang didasarkan pada suatu tingkat evidensi yang rendah.

Religion diartikan sebagai suatu kumpulan tradisi kumulatif di mana semua

pengalaman religius dari masa lampau dipadatkan dan diendapkan ke dalam seluruh sistem bentuk ekspresi tradisional yang bersifat kebudayaan dan lembaga. Sistem bentuk ekspresi tersebut meliputi seluruh simbol, upacara, peranan, dan cara hidup konkret khas yang senantiasa harus direfleksikan dan dihidupkan kembali agar semua itu tidak merosot menjadi fosil mati dan kosong belaka. Religi atau sistem keagamaan merupakan sarana perwujudan “kepercayaan” yang bersifat tradisional dan terikat erat pada faktor-faktor historis, sosial, ekonomi, dan budaya ekstern. Tetapi religi dapat berfungsi juga sebagai penyokong, penyalur, dan acuan bagi segala perasaan dan hubungan kita dengan Yang Transenden. Religi yang demikian itu dapat menyalurkan dan mengarahkan seluruh cinta dan keinginan kita untuk berpartisipasi terhadap Yang Ilahi. Namun, religi tidak memiliki ciri personal yang merupakan inti dari faith.

Faith adalah perbuatan percaya yang intens, fundamental, dan sangat pribadi di


(13)

Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009

transenden (KBBI: di luar segala kesanggupan manusia) yang ultim, dengan penuh cinta dan kesetiaan. Faith adalah “orientasi seluruh pribadi” dan “merupakan cara fundamental untuk percaya dan menanggapi hidup, entah terjadi dalam bentuk keagamaan tradisional, seperti Kristen dan Islam, atau tidak”. Jika faith merupakan suatu tindakan fundamental dari kepercayaan hidup dan kesetiaan eksistensional, faith dapat dipandang sebagai “kepercayaan hidup” atau “kepercayaan eksistensional” yang jauh lebih fundamental dan pribadi daripada religion dan belief. Bahkan faith menjadi sumber dan asal yang memungkinkan serta mendasari religion maupun belief.

Ajaran Konfusius merupakan pengaruh terbesar terhadap sejarah panjang bangsa Tionghoa selama dua ribu tahun ini. Ajaran Konfusius ini disatukan oleh para murid-muridnya setelah dia meninggal menjadi sebuah buku, sehingga terciptalah Literatur Lengkap Ajaran Konfusius yang kemudian dijadikan sebagai kitab suci oleh para pengikutnya. Literatur lengkap ajaran Konfusius ini lebih dikenal sebagai Analects. Yang oleh para pengikut ajaran Konfusius dijadikan sebagai kitab suci.

Konfusius, nama latin yang diberikan oleh bangsa Eropa, lahir tahun 551 SM dan meninggal tahun 479 SM. Nama marganya adalah Kong dan nama panggilannya Qiu. Ia tinggal di Negara Bagian Lu (sekarang ini Qufu di Provinsi Shantong), dan keturunan bangsawan. Ayahnya menjabat sebagai pejabat pemerintahan Negara Bagian Lu. Ayah Konfusius meninggal ketika ia baru berusia tiga tahun, membuat masa kecilnya miskin. Namun ia anak yang rajin serta penuh rasa ingin tahu, yang memiliki dorongan untuk memperbaiki dirinya. Ia pun segera fasih dalam literatur nenek moyang dan menguasai topik-topik yang dipelajarinya.

Ia pecahkan monopoli para bangsawan atas pendidikan dengan mendirikan sebuah lembaga pendidikan swasta yang menerima murid dari berbagai bidang kehidupan tanpa membedakan-bedakan mereka, dan melalui ini, mempopulerkan


(14)

Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009

pendidikan. Karena alasan ini, Konfusius menjadi pengurus ibukota sebagai “Saga para Guru”. Ketika berusia 47 tahun, Konfusius menjadi pengurus ibukota dan memerintah wilayah Qufu. Belakangan ia dipromosikan menjadi Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Kehakiman. Ketika berusia 54 tahun, ia menjadi Pejabat Anggota Dewan Kehormatan Negara Bagian Lu. Namun, selama periode tersebut, pemerintahan bergelimang dalam hiburan serta menelantarkan urusan-urusan negara. Karena kecewa, Konfusius meninggalkan Negara Bagian Lu dan memimpin para muridnya dalam suatu tur ke negara-negara bagian, berusaha meyakinkan para tuan tanah feodal yang mereka kunjungi, akan filsafatnya dalam pemerintahan. Dalam perjalanan tersebut, ia mengunjungi tujuh negara bagian termasuk Wei, Zhao, Song, Zheng, Cheng, Cai, dan Chu. Setelah 14 tahun, ketika Konfusius sudah mencapai usia 68 tahun, ia pulang ke Negara Bagian Lu, dan mencurahkan diri dalam mengedit serta mengajarkan literatur klasik.

Konfusius hidup di masa akhir dari Masa Musim Semi serta Musim Gugur (tahun 770 SM hingga tahun 476 SM). Ini adalah periode ketika Dinasti Zhou merosot dan para tuan tanah feodal menguasai negara-negara bagian. Perang serta anarki merajalela di seluruh negeri. Ini adalah masa ketika adat istiadat keagamaan diabaikan, musik dicemooh, dan kekacauan merajalela. Konfusius mengkhotbahkan gagasan tentang kebajikan, dengan harapan untuk membawa perubahan terhadap masa yang kacau secara politik maupun sosial itu. Filsafat politik Konfusius didasarkan pada pendidikan moral masing-masing individu. Ia dorong setiap orang untuk berupaya berbuat baik dan mempengaruhi orang lain karenanya.

Kitab yang dipandang suci dalam agama Konfusius terdapat dalam kanon-kanon (KBBI: karya drama yang dianggap ciptaan asli seorang penulis (2002: 502)) Konfusius. Kanon tersebut terdiri dari dua bagian Wu Ching (lima kanon klasik) yang


(15)

Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009

secara tradisional dikaitkan dengan masa ajaran Konfusius atau sebelumnya, dan Ssu

Shu (empat kitab) yang berisi ajaran-ajaran Konfusius. Kelima kanon klasik itu adalah

sebagai berikut.

1. Shu Ching (Shu jing蕷 潚 )

Kitab ini merupakan kitab sejarah yang berisi kronologi peristiwa-peristiwa purbakala tentang istana dan adat istiadat. Kitab ini memiliki nilai-nilai yang sangat berharga bagi para ahli sejarah untuk melacak kehidupan anak manusia masa dua ribu tahun sebelum masehi.

2. Shih Ching (Shi jing蕷 )

Kitab ini merupakan kitab sajak, karena di dalamnya terdapat tidak kurang dari tiga ratus nyanyian dan sajak-sajak pemujaan yang menggambarkan masa-masa awal keberagamaan orang Tiongkok.

3. I Ching (Yi jing蕷 帒 )

Kitab perubahan. Di dalamnya terdapat rangkaian diagram berdasar garis-garis penuh dan garis-garis putus. Kitab ini pada dasarnya dimaksudkan untuk keperluan ramalan (horoscope).

4. Li Chi (Liji)

Ini adalah kitab kebaktian yang merupakan petunjuk pelaksanaan upacara-upacara yang bersifat kultus dan upacara-upacara di dalam istana.

5. Chun Chiu (Chun qiu蕷 弢 )

Bermakna musim semi dan musim gugur. Kitab ini berisi catatan kronologis peristiwa-peristiwa dalam wilayah Lu sejak 722 SM, sampai 481 SM, yakni pada masa pemerintahan Chun Chiu yang merupakan pecahan dari Dinasti Chou.


(16)

Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009

Sedangkan keempat kitab yang berisi ajaran-ajaran Konfusius adalah: 1. Lun Yu ( )

Terdiri dari dua puluh bab, dan kebanyakan isinya berupa anekdot-anekdot singkat dari Konfusius, dalam bentuk dialog dengan para murid atau tokoh-tokoh lainnya. Selain itu, dalam kitab ini juga ditemukan gambaran tentang bagaimana sikap Konfusius dalam menghadapi persoalan. Karenanya kitab ini dipandang sebagai sumber primer dalam mempelajari biografi Konfusius. Kitab ini disusun sekitar 70 tahun setelah dia meninggal. Kitab ini kemudian dikenal dengan Analects.

2. Ta Hsueh (Daxue媾 )

Pelajaran terbesar, yang disusun oleh cucu Konfusius yang bernama Tzu Szu, suatu karya besar tentang etika dan politik dan merupakan pengembangan dari pembahasan sebuah bab dalam Li Chi.

3. Chung Yung (Zhong yong蕷 侚 )

Suatu kitab keselarasan. Kitab ini disusun oleh Tzu Szu, berisi doktrin atau ajaran tentang makna dan kesusilaan.

4. Meng Tze ( )

Suatu kitab yang disusun oleh Meng Tze yang sangat terkenal. Literatur Barat menyebutnya dengan Mencius.

Pemerintah berasal dari bahasa Latin gubernare yang artinya mengemudi (sebuah kapal). Jadi “memerintah” di sini berarti mengemudikan. Kata bendanya adalah

governance (Latin: gubernantia), menunjukkan metode atau sistem pengemudian atau

manajemen organisasi.

Apter dalam “The International Encyclopedia of The Social Sciences” (1972) dalam KYBERNOLOGY (2003:71) mengatakan pemerintah adalah sekelompok orang yang bertanggung jawab atas penggunaan kekuasaan (exercising power).


(17)

Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009

Talizuduhu Ndraha dalam bukunya KYBERNOLOGY: Ilmu Pemerintahan Baru (2003:73-74) menyimpulkankan pendekatan produk atau fungsional bertolak dari kebutuhan manusia yang oleh karena kondisi masyarakat masih sedemikian lemah dan tak berdaya (powerless) sehingga kebutuhan tersebut belum mampu mereka penuhi sendiri (barang dan jasa), juga bertolak dari kenyataan bahwa kepentingan yang satu cenderung merugikan kepentingan yang lain dan produk yang oleh karena sifatnya dan demi keadilan dan kemanusiaan, tidak dapat di-provide oleh lembaga privat atau masyarakat umum, melainkan semata-mata hanya oleh lembaga khusus dan khas (spesifik). Produk yang dimaksud adalah jasa publik yang tidak dapat diprivatisasikan dan layanan-civil. Proses penyediaan (providing) produk itu kepada setiap orang tepat pada saat diperlukan, itulah yang disebut pemerintahan. Organ yang dianggap mampu menjalankan proses tersebut secara bertanggung jawab itulah yang disebut pemerintah.

Menurut H. Abu Ahmadi (1997:166), pemerintah adalah badan yang berhak mengatur dan berwenang merumuskan serta melaksanakan peraturan yang mengikat warganya.

Menurut Taliziduhu Ndraha (2003:492), kebijakan adalah pilihan terbaik dalam batas kompetensi dan secara formal mengikat, sedangkan kebijaksanaan adalah pilihan terbaik dalam memecahkan masalah berdasarkan hati nurani, secara etik dan moral mengikat. Sehingga beliau menyimpulkan kebijakan pemerintah adalah pilihan terbaik usaha untuk memproses nilai pemerintahan yang bersumber pada kearifan pemerintahan dan mengikat secara formal, etik, dan moral, diarahkan guna menepati pertanggungjawaban aktor pemerintahan di dalam lingkungan pemerintahan.


(18)

Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009

Dalam mengerjakan penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan penelitian historis (Historical Research), yaitu kajian logik terhadap peristiwa-peristiwa setelah peristiwa itu terjadi. Menurut Sumadi Suryabrata (1983:16) tujuan penelitian ini adalah untuk membuat rekontruksi masa lampau secara sistematis dan obyektif, dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi, memverifikasikan, serta mensistesiskan bukti-bukti untuk menegakkan fakta dan memperoleh kesimpulan kuat. Penulis menggunakan pendekatan ini oleh karena penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh ajaran Konfusius yang berasal dari Cina terhadap kebudayaan Jepang dan bagaimana perkembangan ajaran ini di Jepang terkhusus pada jaman Edo. Keseluruhan peristiwa di dalamnya suda h terjadi (historis).

Penulis juga menggunakan pendekatan penelitian sosiologis, karena pembahasan dalam pendekatan ini mencakup golongan sosial yang berperan, jenis hubungan sosial, konflik berdasarkan kepentingan, pelapisan sosial, peranan dan status sosial, dan sebagainya (Dudung Abdurrahman, 1999:11). Menurut Weber dalam Dudung Abdurrahman (1999:11) tujuan penelitian ini adalah memahami arti subyektif dari perilaku sosial, bukan semata-mata menyelidiki arti obyektifnya. Penulis menggunakan pendekatan ini adalah untuk mengetahui pengaruh ajaran ini terhadap kehidupan masyarakat melalui inti ajarannya yang diterima masyarakat pada masa itu.

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian

a. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui perkembangan ajaran Konfusius dan tokoh yang sangat

berpengaruh mengembangkan ajaran ini di Jepang pada jaman Edo.

2. Mengetahui pengaruh atau peranan dari ajaran Konfusius terhadap sejarah bangsa Jepang pada jaman Edo.


(19)

Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009

3. Mengetahui inti ajaran Konfusianisme yang diterima masyarakat Jepang pada pada jaman Edo.

b. Manfaat Penelitian

1. Menambah wawasan mengenai ajaran Konfusius dan perkembangannya di Jepang terkhusus pada jaman Edo.

2. Menambah wawasan mengenai sejarah Jepang terkhusus yang berhubungan dengan Konfusianisme.

1.6 Metode Penelitian

Dalam mengerjakan penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang menggambarkan peristiwa atau gejala apa adanya. Menurut Saifuddin Azwar (1998:7) tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan secara sistematik dan akurat fakta dan karakteristik mengenai populasi atau mengenai bidang tertentu. Penelitian ini berusaha menggambarkan situai atau kejadian. Data yang dikumpulkan semata-mata bersifat deskriptif sehingga tidak bermaksud mencari penjelasan, menguji hipotesis, membuat prediksi, maupun mempelajari implikasi. Penulis menggunakan metode ini oleh karena penelitian ini akan membuat suatu gambaran yang sistematik dan akurat tentang hubungan antara ajaran Konfusius dan perkembangannya di Jepang serta pengaruhnya pada masyarakat pada masa itu dan bila ada, pengaruhnya juga pada masyarakat dewasa ini.

Selain itu untuk pengumpulan data penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan, yaitu dengan mencari data tertulis yang berhubungan dengan ajaran-ajaran atau kata-kata bijak Konfusius serta pengaruh apa yang diberikan selama perkembangannya di Jepang. Sumber-sumber tertulis ini didapat dari berbagai buku, artikel, maupun internet baik mengenai sejarah perkembangan Konfusius di Cina,


(20)

Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009

penyebaran ajaran ini serta sejarah Jepang yang terfokus pada perkembangan ajaran Konfusius sehingga masuk ke Jepang dan peranannya dalam sejarah bangsa Jepang.


(21)

Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009

BAB II

KONFUSIANISME DAN FEODALISME

2.1 Konfusianisme

Khong Fu Tzu (K shi ), yang lebih tepat dikenal sebagai K’ung Ch’iu (oleh Eropa diberi nama latin Konfusius), lahir pada tahun 551 SM di Tsou sebuah kota kecil di Negera Bagian Lu yang sekarang dinamakan Provinsi Shantung. Ia lahir dan besar di masa Dinasti Chou di Cina (sekitar tahun 1100-221 SM).

Sejarah politik bangsa Chou yang rumit dan panjang mula-mula berkembang di sekelompok negeri feodal yang keceraiberaiannya dan keragamannya tercermin dalam ciri khas sosial-budaya Dinasti Chou. Bangsa Chou yang asli adalah bangsa setengah pengembara, tetapi keberhasilan mereka menaklukkan wilayah Cina pada abad kedua belas dikatakan awal era baru karena bangsa Chou-lah yang diakui sebagai pihak yang memantapkan piramida kekuasaan kekaisaran yang memerintah Cina di masa lalu. Sistem tersebut adalah sistem yang boleh dikatakan tidak terusik selama hampir dua ribu tahun.

Namun, bahkan kekuatan tak tertandingi yang dimiliki para penakluk itu tidak sepadan dengan luasnya wilayah yang mereka perintah sekarang. Berangsur-angsur kekuatan politik dan hak untuk memerintah menjadi kekuasaan beberapa negeri, dan pengakuan kekuasaan pusat, yakni pengadilan Chou, telah menjadi formalitas usang, sebagaimana halnya sistem feodalisme.

Perkembangan Dinasti Chou dapat dianggap sebuah paradoks, karena di kala kemajuan umat manusia mencapai puncaknya, sifat manusia yang tak manusiawi dan integritasnya malah sepertinya mencapai titik paling rendah. Dinasti Chou menjadi saksi lahirnya bajak yang ditarik sapi dan digunakannya kuda sebagai hewan tunggangan,


(22)

Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009

penciptaan sistem irigasi pokok, pembangunan kanal dan jalan yang lebih baik, perkembangan uang, dan sistem tulis-menulis. Pada sebagian masa dinasti tersebut yang dinamakan Chou Timur (770-221 SM), kebudayaan dan kesenian tumbuh pesat. Untuk pertama kalinya seni dekorasi menampilkan benda bergambar seperti adegan perburuan, sesuatu yang merupakan tonggak sejarah yang bernilai seni.

Runtuhnya feodalisme dan bangkitnya sejumlah negeri yang merdeka menciptakan kelompok tuan tanah dan saudagar, dan karena itu terciptalah sumber yang subur berupa para begawan kesenian. Seni kerajinan berkembang, dalam bentuk perunggu dan pernis, sutra berhiaskan lukisan, tatahan emas dan perak dan batu giok, hiasan batu-batuan setengah mulia. Kaum berada mengisi kehidupan mereka dengan kemewahan yang dihasilkan dari laba yang mereka raih, mempekerjakan orang untuk menciptakan perhiasan, perabotan rumah, senjata perang, dan pernak-pernik untuk upacara pemakaman.

Pamer kemewahan dalam kehidupan kaum berada ini sungguh sangat kontras dengan kemelaratan dan kekurangan yang dialami rakyat jelata yang kadang menjadi korban kerja paksa. Kekuasaan pemerintahan digenggam erat oleh kelompok bangsawan baru yang terpelajar namun tak berperikemanusiaan. Beberapa diantaranya menyalahgunakan wewenang tersebut, mencari kesenangan dari bisnis tragis dengan mengobarkan peperangan. Sikap dingin para pemimpin terhadap masalah yang dihadapi para petani menciptakan masyarakat yang semakin terpuruk, yang berhadapan dengan lingkungan kecemburuan kecil dan pertikaian politik di antara para pemimpin dan negeri, diwarnai pengkhianatan, kemerosotan akhlak, dan korupsi. Masa dan rakyat memekik, mendambakan tujuan dan arah yang baru.

Keluarga Konfusius sama sekali bukan keluarga berada, meskipun konon dia keturunan bangsawan. Ayahnya, K’ung Shu-Liang Hë, mantan panitera pengadilan dan


(23)

Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009

pejuang yang cukup terkenal. Ia telah tua dan menikah dengan seorang perempuan yang memberinya sembilan anak perempuan. Cemas karena tidak mempunyai anak laki-laki untuk melanjutkan marganya, ia meminta Yen Chëng Tsai yang konon keturunan Po Ch’in, putra Pangeran Chou, dengan nama keluarga Chi, untuk menikah dengannya. Perkawinannya ini akhirnya dikaruniai seorang anak laki-laki, yaitu Konfusius. Konfusius lahir dengan benjolan di dahinya sehingga dia diberi nama Ch’iu (bukit).

Di saat berusia 15 tahun, Konfusius bertekad membaktikan dirinya untuk belajar, dan mungkin dalam lubuk hatinya sudah bergolak semangat luhur untuk menciptakan perubahan dan keadilan bagi semua orang, konsep yang dipegangnya teguh sepanjang hayatnya yang sarat dengan kekecewaan.

Karena dibesarkan dalam suasana yang dapat dikatakan miskin, Konfusius memandang dunia dari kacamata seseorang yang pernah mengalami kenyataan yang amat pahit. Usianya baru 3 tahun saat ayahnya meninggal, dan Konfusius kemudian dibesarkan oleh ibunya yang terpaksa harus bekerja rangkap untuk menafkahi keluarga. Dalam berbagai tahap kehidupannya, Konfusius memanfaatkan kemampuannya sebagai seorang anak gembala, gembala sapi, jurutulis, dan petugas pembukuan.

Konfusius menikah pada usia 19 tahun dengan seorang dara bernama Chi Kuan. Putra sulungnya lahir setahun kemudian, ia memberinya nama K’ung Li Po-yu yang berarti ikan gurami karena Pangeran Chou memberinya seekor ikan gurami sebagai hadiah. Belakangan ikan gurami menjadi lambang Konfusianisme. Po-yu meninggal pada usia 50 tahun dan Konfusius yang hidup sampai usia 75 tahun, masih hidup setelah kematian putaranya. Anak laki-laki Po-yu, Tzu Szu menjadi salah satu murid terbaik Konfusius. Karena anaknya sendiri lebih dulu wafat daripada dirinya, cucunyalah yang meneruskan menyebarkan filsafatnya. Tzu Szu adalah penulis The Doctrine of Mean (daigaku) yang merupakan salah satu karya klasik utama Konfusian.


(24)

Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009

Pada usia 22 tahun, Konfusius merintis pendirian sekolah yang dipandang sebagai sekolah swasta pertama, memberikan pencerahan bagi mereka yang mau menyimak tentang berbagai pandangannya mengenai perilaku pribadi, pemerintahan, dan keadilan yang ditegakkan oleh hukum. Mungkin yang terpenting adalah keyakinannya yang terus tumbuh mengenai pentingnya pendidikan bagi masyarakat, yang mungkin berasal dari sikapnya yang amat mementingkan pembelajaran, dan kesadaran bahwa hanya melalui pendidikanlah bisa dicapai kesetaraan sejati di antara umat manusia. Dia berpendapat bahwa pendidikan yang menyeluruh akan menghasilkan manusia seutuhnya, dan dia menyerap aspek moral dalam pendidikan sama banyaknya dengan aspek ajaran yang terkandung dalam pendidikan itu sendiri. Karenanya Konfusius membuka lebar pintu sekolahnya bagi siapapun yang tulus berkehendak untuk belajar. Bayaran yang diterimanya kecil sekali dan ia memang tidak menuntut bayaran, sehingga murid-murid hanya membayar sesuai dengan kemampuan mereka. Karena memang murid-muridnya kebanyakan dari kalangan bawah.

Sebagai inspirasinya untuk masa kini dan masa mendatang, dia menengok ke masa lalu, kepada kepemimpinan legendaris Pangeran Chou, arsitek Dinasti Chou. Dalam pandangannya mengenai perubahan, Konfusius menggalakkan keadilan hukum bagi semua orang sebagai sokoguru kehidupan dalam dunia ideal, yang menjadi tempat terwujudnya prinsip-prinsip kemanusiaan, kesantunan, keimanan, pengabdian anak, dan indahnya sifat budiman, kejujuran, kesetiaan, dan sifat dapat dipercaya.

Pandangannya tentang pemerintah adalah bahwa setiap warga negara harus memiliki peran yang sudah ditetapkan, dan menjalankan peran tersebut dalam perjalanan hidupnya, bahwa setiap pemerintah harus arif, menyediakan standar hidup yang baik bagi rakyatnya, dan menggalakkan pendidikan budi pekerti dan tata krama. Sebagai contoh yang baik dari kepemimpinan yang arif, Konfusius mengagumi Kaisar


(25)

Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009

Yao yang legendaris (sekitar 2300 SM) dan penerusnya, Kaisar Shun (sekitar 2200 SM), yang kearifan dan sikap welas asihnya sangat terkenal, dan yang masa pemerintahannya konon menciptakan ‘era keemasan di masa lampau’.

Sebagaimana kebiasaan di jamannya, Konfusius memupuk seni yang luhur, dan dia menganggap musik sebagai kunci keharmonisan yang bersifat universal, dan ia mulai mempelajarinya secara mendalam pada usia 29 tahun. Menurut Konfusius, musik adalah cerminan manusia unggul, dan menyerupai watak yang sesungguhnya, yang dapat mengungkapkan keculasan dan kemunafikan. Pada akhirnya, Konfusius memadukan musik ke dalam filsafatnya untuk memperlihatkan kemampuan musik dalam mempengaruhi seseorang agar menjadi lebih baik atau menjadi lebih buruk. Konfusius juga berpendapat bahwa hakikat upacara kebaktian seharusnya lebih bersifat rohaniah dan bukan lahiriah, pastilah karena pengalamannya menyaksikan betapa berlebihannya formalitas pelaksanaan ritual pada jamannya.

Konfusius berkonsultasi dengan Lao-tzu, pendiri Taoisme yang legendaris dan penulis buku Tao Te Ching, untuk mempelajari cara menyelenggarakan upacara dan musik. Lao-tzu adalah penulis Perpustakaan Kerajaan dan lebih tua 50 tahun daripada Konfusius sendiri. Kaitan antara Taoisme dan Konfusianisme terbayang dalam konsultasi yang terjadi di antara keduanya. Kendati kedua aliran filsafat ini saling berselisih selama bertahun-tahun, sesungguhnya Taoisme dan Konfusianisme pada akhirnya saling mengevolusikan interpretasikan baru yang menyatukan unsur tiap-tiap aliran. Hal ini akan tercermin di kemudian hari dalam gerakan Konfusian dan Neo-Taois. Masing-masing memiliki hal-hal yang kurang pada pihak lainnya.

Kekuatan kata-katanya berhasil menarik ke dekat Konfusius sejumlah penganut yang terus bertumbuh, yang pada akhirnya berjumlah tiga ribu orang, dan tujuh puluh dua di antaranya dikenal sebagai murid-muridnya yang paling luas pengetahuannya.


(26)

Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009

Mereka memiliki posisi penting dalam mencatat ucapan sang guru dan menyebarkan ajarannya.

Terdapat pertikaian yang terus-menerus di antara sejumlah negeri pada masa Konfusius. Di negerinya sendiri, yakni di Lu, kekuatan politik diturunkan dari pemerintah ke tangan tiga keluarga bangsawan, yang bernama keluarga Mëng-Sun, Shu-Sun, dan Chi-Sun.

Pembaharuan sosial dan moral yang digalakkan oleh Konfusius tidak mendapatkan penerimaan universal, terutama dalam lingkungan kekuasaan dan keinginan yang kuat untuk mengimplementasikan berbagai pandangannya dalam kedudukan di pemerintahan tidak terpenuhi. Maka, konon, pada usianya yang ke-35, dia meninggalkan Lu ditemani Pangeran Chao yang berumur pendek, yang kalah dalam pergumulan kekuasaan yang pahit, lalu menuju negeri Ch’i, dan di situlah Konfusius bermukim selama delapan tahun.

Ketika kembali ke Lu pada usia 43, Konfusius memulai pengumpulan dan penyuntingan karya sastranya yang secara keseluruhan dinamakan enam karya klasik:

The Odes ( ), The Book (), The Book of Change (), The Books of Rites ( ),

The Book of Music (), dan The Spring and Autumn Annals (弢 ).

Akhirnya pada usia 51, Konfusius ditunjuk sebagai walikota Chung Tu di Lu. Dalam waktu satu tahun, prestasinya sangat mengesankan sehingga dia naik pangkat menduduk i jabatan di Kantor Pekerjaan Umum, kemudian di Kantor Pengadilan Tinggi di negeri Lu.

Namun, di masa bakti Konfusius di lingkungan politik dapat dikatakan singkat. Sekitar tahun 497 SM, dia sekali lagi meninggalkan Lu, ditemani oleh pengikutnya yang paling setia, mungkin dipicu oleh buruknya keadaan spiritual dan moral yang disaksikannya di kalangan pemimpin di antara sesama pejabat seperti dirinya.


(27)

Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009

Konfusius memang ditakdirkan untuk berkelana dari satu negeri ke negeri lainnya selama tiga belas tahun berikutnya, terus-menerus mencari ke mana-mana, mencari tatanan yang tepat untuk mewujudkan berbagai pemikirannya. Namun rupanya hal itu tidak ditakdirkan untuk terjadi.

Setelah beranjak tua dan lelah, dia kembali lagi ke Lu pada 484 SM, ketika usianya sudah 68 tahun, jelas sangat kecewa oleh pengalamannya menghadapi dunia yang serakah dan sinis, tetapi tetap memegang teguh pandangannya yang luhur. Dia terus mengajar, dan kebajikan kata-katanya, sebagaimana yang didokumentasikan oleh para pengikutnya, akan terus hidup selamanya, merupakan warisannya yang tak pernah mati bagi masa depan. Pada tahun terakhir hidupnya, Konfusius menyunting I Ching.

Konfusius meninggal pada 479 SM dan dimakamkan di Ch’ü Fu. Dewasa ini tempat peristirahatannya yang terakhir itu telah menjadi Hutan K’ung yang sangat indah, konon meliputi tanah sepanjang delapan kilometer di masa sekarang ini, yang pada awalnya hanya berupa beberapa pohon yang ditanam oleh murid-muridnya untuk mengenang Konfusius.

Demikian pulalah ajaran Konfusius merebak, dari asalnya pada era klasik yang terus bertahan, dan pada akhirnya melampaui berbagai ajaran lain pada 140 SM, ketika ajaran Konfusius diakui secara resmi sebagai satu-satunya filosofi.

Namun barulah pada tahun 5 M Konfusius dihormati secara anumerta melalui Perintah Kaisar untuk pertama kalinya, yaitu oleh Kaisar Ping dari dinasti Han yang memujinya sebagai ‘yang dihormati dan cendekia’. Bahkan pada Dinasti Han Konfusianisme menjadi filsafat resmi negara Cina. Orang besar ini menerima penghormatan utama beberapa abad kemudian, pada tahun 739 M, ketika Kaisar Hsüan dari Dinasti T’ang menghormati Konfusius untuk keunggulan ajarannya, dan menganugerahinya gelar khusus sebagai ‘bangsawan’.


(28)

Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009

Pada dinasti Ch’ing, Kaisar Hsüan dari Dinasti T’ang menghormati Konfusius dengan menganugerahinya gelar ‘Maha Guru Segala Jaman’. Mungkin inilah gelar yang paling pantas untuk orang yang kearifannya telah menjadi kekuatan yang membimbing kehidupan dan pemikiran rakyat Cina selama lebih dari 2000 tahun. Benang emas filosofi moral dan politiknya menjadi unsur yang integral dalam masyarakat dunia.

2.2 Inti Ajaran Konfusianisme

Menurut Boye de Mente (1989:26) Konfusius mendasarkan ajarannya pada penghormatan terhadap tradisi, pada tingkatan yang terutama didasarkan pada hubungan antara anggota keluarga dan antara rakyat dan penguasanya.

Masih menurut Boye de Mente, semua hubungan ini ditetapkan dengan suatu ketentuan tingkah laku yang kaku yang dinamakan Li atau ‘etiket’, yang didasarkan pada kepatuhan anak pada orangtua, kepatuhan pada upacara yang telah ditentukan, dan kepatuhan pada seorang penguasa yang memerintah dengan persetujuan rakyat yang diperintah yang mengakui kebajikan dan kemampuannya. Dasar terakhir dari sistem Konfusius adalah latihan dan pengalaman yang terus-menerus dalam seni kebudayaan seperti musik, tulisan indah, melukis, dan kesusastraan sebagai bagian dari pendidikan moral yang penting untuk menaikkan manusia dari tingkat kebiadaban.

Menurut C. Alexander Simpkins dan Annelen Simpkins (2000:65) ajaran pokok Konfusian berkisar antara cara hidup dan cara menjalani hubungan. Kehidupan sehari-hari menjadi fokus utama ajarannya. Membuat kehidupan menjadi yang terbaik adalah sasarannya. Konfusius menunjukkan cara untuk menghadapi masalah dan cara untuk berubah sehingga manusia dapat membangkitkan inti batin kebijaksanaan, potensi dalam diri kita yang belum tersalurkan, dan menjadi orang yang bijaksana.


(29)

Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009

Mereka membagikan pokok ajaran Konfusius sebagai berikut. 1. Jen (溿媾jin)

Jen adalah kemurahan hati, cinta yang agung, mengekspresikan Tao

kemanusiaan. Jen adalah sumber utama keluhuran: kebijaksanaan, cinta, belas kasih, kesetaraan. Jen adalah sumber utama keluhuran yang terwujud sebagai yi atau kebaikan. Moralitas berawal dari cinta kasih. Jen menunjuk pada kemanusiaan, sifat alami manusia sendiri, dan selalu mencakup hal-hal lainnya. Jen adalah kualitas yang unik pada manusia dan membedakannya dari binatang.

Konfusius dan Mensius percaya bahwa sifat alami manusia pada hakikatnya baik, walau perbuatan manusia dapat saja negatif. Dengan upaya pribadi dan pelajaran dari budaya, orang dapat menjadi baik.

Mencius mengatakan bahwa orang yang bijak tidak memiliki musuh. Jen memerlukan kebajikan yang altruistik, tulus, dan bersimpati terhadap sesama. Menjalani hidup sesuai dengan jen berarti hidup yang sinkron dan selaras dengan kebajikan penuh cinta yang ada di dalam diri.

Cinta yang mengorbankan segalanya tanpa pamrih terhadap keluarga kita adalah prinsip yang utama. Kepatuhan anak, inti dari budaya Cina, adalah ekspresi jen dalam keluarga. Ketika seorang memperlakukan keluarganya dengan jen berarti dia melakukan kebajikan, menyatukan keluarganya, komunitasnya, negerinya, dan akhirnya seluruh dunia dengan kebajikan yang penuh cinta kasih.

Jen memiliki dua kutub aspek tindakan praktis yang saling berhubungan — chung dan shu— yang membimbing seseorang dalam hal-hal yang seharusnya

dilakukan maupun hal-hal yang tidak perlu dilakukan. Chung atau jalan tengah adalah sesuatu yang positif dan jernih. Serupa dengan aturan emas, chung menuntun perilaku seseorang dalam pengertian aktif, memberitahu agar memperlakukan sesama dengan


(30)

Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009

baik sesuai dengan standar yang sejati, yakni dengan kebajikan. Juga memampukan agar mengembangkan rasa kebaikan, yakni hal-hal yang seharusnya dilakukan sesuai dengan hubungan peranannya di dalam kehidupan dan lingkungan hidup. Memperlakukan sesama dengan empati dan sungguh-sungguh. Chung bersifat aktif, positif, dan tegas: bertindak sesuai dengan cinta dan respek yang bajik, tanpa pamrih dan dengan tulus. Standar penilaian untuk memilih dan menentukan hal-hal yang seyogianya dilakukan adalah sesuatu yang telah ada di dalam diri manusia itu, menyatu dengan sifat alaminya. Pilihan mengenai cara memperlakukan orangtua, keluarga, atau sesama manusia di dalam hubungan harus sesuai dengan standar itu.

Shu adalah kutub yin dari jen, kesediaan untuk menerima, panduan untuk

bertingkah laku. Shu berarti menjalani hidup dengan altruisme tanpa mengharapkan sifat timbal baliknya. Shu biasa disebut Aturan Perak, yaitu jangan melakukan sesuatu kepada orang lain kalau anda tidak mau orang lain melakukan hal itu terhadap anda.

2. Li (ri) dan Wen

Li adalah keluhuran yang fundamental—yakni bentuk atau prinsip. Li

diekspresikan sebagai kesopanan, perilaku, bentuk hubungan, dan tindakan. Li mencakup ritual, adat-istiadat, dan pola hidup. Chu Hsi percaya bahwa li dan chi adalah dasar dari segala yang ada. Li telah ditafsirkan dengan banyak cara, tetapi maknanya selalu kembali pada hakikat bentuk, yakni bentuk yang ada di dalam diri manusia.

Dalam Konfusianisme, bentuk adalah yang utama. Bentuk adalah prinsip dan prinsip adalah bentuk. Bentuk dianggap sebagai lambang kebijaksanaan sejati, atau persepsi yang tercerahkan.

Dalam situasi sosial, li adalah roh atau semangat yang memberikan makna atau memungkinkan munculnya makna.


(31)

Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009

Berbeda dengan filsafat Barat yang memisahkan yang ideal dari yang nyata, Konfusianisme menghubungkan keduanya. Kofusianisme mengajarkan bahwa bentuk suatu objek nyata di dunia ini terkait erat dan diciptakan oleh bentuknya sendiri. Bentuk hadir lebih dulu, barulah hakikat mengikuti. Bentuk diekspresikan melalui bentuk nyata di dunia ini, bukan sebagai sesuatu ideal yang melaluinya. Di sini li ada.

Adat kebiasaan, ritual, dan tradisi sama-sama mengandung li, tetapi li sendiri tidak terbatas pada bentuk, kebiasaan, ritual, atau tradisi itu sendiri. Li adalah roh dari kebiasaan, ritual, atau tradisi itu sendiri. Karenanya Konfusius percaya mempelajari hal-hal klasik yang diikuti dengan partisipasi penuh hormat dalam ritual, kebiasaan, dan tradisi akan menuju pada pemahaman yang tercerahkan. Menyelidiki sifat alami segala hal akan membantu orang yang dengan tulus melakukan pencarian, sehingga mereka memahami li tertentu yang terdapat pada semua itu, dan pada gilirannya akan menemukan li itu sendiri.

Li terwujud sebagai bentuk hubungan di dalam masyarakat. Prinsip li dalam sifat

alami manusia mendorong manusia untuk menentukan baik dan buruk, benar dan salah di dalam perilakunya. Kepatuhan anak dan kasih sayang adalah suatu konsekuensi langsung dari li yang melekat dalam hubungan umat manusia.

Konfusius sangat mencintai seni, menganggap seni memiliki salah satu pengaruh yang paling besar terhadap manusia. Ketika dikombinasikan dengan li, wen (budaya dan seni) membantu manusia mengolah keselarasan dan mempromosikan keluhuran. Di antara seni yang dirujuk sebagai wen adalah musik, hasil pertukangan, puisi, arsitektur, semua kualitas estetis dan berbudaya dalam karya cipta manusia.

Seni memiliki daya untuk membebaskan roh dan mengentaskan kemanusiaan ke tingkat yang terbaik. Cinta dan rasa hormat Konfusius terhadap seni berasal dari penglihatannya terhadap dampak seni yang positif dan kuat terhadap manusia. Misalnya


(32)

Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009

jika anda pernah berdiri di depan Patung liberty, mengunjungi Louvre, memperhatikan lukisan karya Lembrandt, atau mendengarkan simfoni Beethoven, mungkin akan terasa seperti melayang. Jiwa anda terasa dihargai ketika anda membiarkan diri merasakannya dengan penuh penghayatan dan lembut. Seni adalah salah satu aspek penting dalam budaya manusia dan seharusnya kita melibatkan diri kita sendiri di dalamnya (Simpkins, 2000:81).

3. Chung (侚)

Chung adalah tengah-tengah atau pusat yang merupakan titik keseimbangan,

semacam indera keenam dalam sifat kemanusiaan. Chung adalah sesuatu yang bersifat aktif, positif, dan menunjukkan Jalan. Konfusius dan Mensius menyatakan bahwa kodrat manusia yang sepenuhnya berkembang adalah standar, upaya batin yang jujur untuk mendapatkan kebenaran, kompas untuk menemukan arah yang harus ditempuh dalam perjalanan hidup manusia.

Jalan tengah adalah pusat kepribadian, yakni garis yang menjadi standar untuk pengolahan diri. Simpkins memberinya contoh sebagai berikut. Misalnya meskipun penguasa bijak diharapkan menetapkan standar bagi rakyatnya, tetapi standar yang digunakan oleh si pemimpin sendiri ada di dalam batinnya. Tuan tanah hingga petani sama-sama memiliki standar perilaku di pusat mereka, sifat manusia yang bajik.

Jalan tengah adalah pusat yang menengahi hal-hal ekstrem. Konfusius dan Mensius menasihati orang agar terjadi keseimbangan. Karena dalam keseimbangan ditemukan kebijaksanaan (Simpkins, 2000:88).


(33)

Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009

Chün-tzu (orang bijak) adalah manusia sejati yang benar-benar tulus dan jujur

terhadap sifat alaminya. Konfusius percaya bahwa ketulusan muncul lebih dulu. Tidak seorang pun dapat menempuh jalur menuju menuju tercapainya kebijaksanaan jika ia tidak memiliki ketulusan.

Semua orang pernah melakukan kesalahan, tetapi sedikit saja yang bersikap rendah hati dengan mengakui ketika mereka salah dan memperbaiki tindakan mereka yang salah. Konfusius menekankan sikap yang rendah hati dan jujur, terutama ketika tidak ada orang lain yang meyaksikannya untuk menegurnya atau mendisiplinkannya.

Sifat alami manusia pada dasarnya baik. Mengekspresikan hal-hal yang posititif dari sifat alami manusia adalah pilihan yang dianugerahkan dalam perjalanan hidup. Mengembangkan diri seutuhnya pada jalur Konfusian berarti tidak sekedar belajar menghargai kebaikan yang tidak kentara di dalam diri sendiri, melainkan juga mencintai jalan hidup yang sesuai dengannya. (Alexander Simpkins, 2000:93)

Konfusius berprinsip seseorang harus menyelesaikan peran yang dimainkannya di dalam kehidupan ini, apapun peran yang dijalaninya. Jika ingin mengembangkan diri menjadi manusia sejati, sesorang perlu belajar untuk hidup dengan bijaksana, menyatukan hal-hal terbaik yang diberikan pengetahuan ke dalam dirinya.

Kalangan Neo-Konfusian menambahkan dimensi lain dalam pembelajaran ketika mempelajari prinsip melalui li. Orang bijak berusaha memahami segala hal seputar dunia dengan mengeksplorasi prinsip yang merupakan hakikat di balik segala hal. Dengan demikian, pengertian yang diperoleh tidak pernah dangkal. Pikiran yang mendalam dan cermat harus selalu disertai dengan pembelajaran. Pembelajaran tanpa berpikir itu menyia-nyiakan waktu, sedangkan berpikir tanpa belajar merupakan sesuatu yang berbahaya.


(34)

Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009

Salah satu hal yang dimiliki orang bijak adalah kemuliaan. Kemuliaan adalah soal perilaku, bukannya sesuatu yang melekat dalam diri ketika manusia dilahirkan. Kemuliaan adalah tindakan, hal-hal yang manusia lakukan, bukannya sesuatu yang diwariskan berdasarkan keturunan. Seseorang bergerak menuju arah kualitas yang dimiliki kaum bijak, apabila ia mengembangkan kehangatan dan kebaikan yang sejati dan ramah. Dengan menjadi tenang dan tenteram di dalam batin, orang bijak menginspirasi orang lain untuk sepenuhnya merasa tenteram.

Orang bijak yang sejati adalah orang yang tenang dan tenteram. Ketenangan diperoleh karena dapat menemukan hal-hal yang positif dalam situasi maupun dalam watak orang lain. Orang yang lebih mulia menekankan kualitas positif pada orang lain dan membantu mereka menjadi demikian. Orang biasa hanya melihat hal-hal negatif.

Orang lain dapat dipengaruhi secara positif oleh kekuatan batin orang bijak. Kualitas baik yang dimulai dari batin individu dimaksudkan untuk membantu orang lain secara umum. Karenanya Konfusius mendorong murid-muridnya untuk sepenuhnya mengembangkan kemanusiaan yang termuat dalam sifat alami mereka yang terdalam, bukan sekedar untuk perkembangan pribadi, melainkan juga demi perkembangan sesama. Akan selalu ada harapan bagi dunia, tidak peduli betapa terkadang hidup tampak begitu berat, jika manusia meningkatkan diri.

2.3 Feodalisme

Menurut Roderick Martin (1993:165) masyarakat feodal adalah masyarakat yang militeristis yang hidup di “atas” tanah yang terpecah belah. Ciri utama sistem feodal adalah penyerahan diri seseorang ke tangan orang lain sekedar untuk memperoleh perlindungan dan pemeliharaan, yang di dalam hubungan antara tuan tanah dengan


(35)

Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009

petani biasanya berupa pemberian pinjaman sebidang tanah. Penyerahan diri ini terjadi pada dua tingkatan: raja menerima penyerahan diri dari para tuan tanah dan tuan tanah menerima penyerahan diri dari para petani (M. Bloch dalam Martin, 1993:166).

Di Jepang masa feodal berlangsung selama kira-kira tujuh ratus tahun. Di awali dari jaman Kamakura hingga jaman Edo. Keberlangsungan feodalisme di Jepang hampir sama di setiap jamannya, yaitu dipimpin oleh seorang Sh gun (pemimpin militer atau pemerintahan Buke), sehingga pemerintahannya berbentuk pemerintahan militer, namun memiliki sifat “feodal” yang tidak sama. Pada masa Kamakura masih ada semacam perimbangan antara istana, yang mewakili sisa-sisa pemerintahan kerajaan, dan Bakufu ( ), lembaga yang digunakan sh gun untuk menjalankan kekuasaannya. Pada masa Muromachi, meski raja dan sh gun sama-sama tinggal di ibu kota, Jepang bergeser lebih jauh menuju tipe pemerintahan dan masyarakat feodal sejati. Pada masa Edo mulai peralihan ke negara modern, meski lembaga vasal (tuan tanah) tetap menjadi kunci status sosial dan kekuasaan. Ketiga tahap ini didahului dengan masa-masa perang saudara. (W.G. Beasly, 2003:94)

Awal dimulainya feodalisme di Jepang adalah dengan terbentuknya Bushi pada jaman Heian akhir, yang merupakan para samurai yang mempunyai kekuatan militer untuk menjaga tanah milik pribadi di wilayahnya. Kaum samurai ini membentuk komunitas bushi yang mengutamakan suku terkuat dan berpengaruh, diantaranya yang terkuat adalah suku Genji dan Heishi.

Lewat pertengahan abad ke-11, kekuasaan yang diktator dari keluarga Fujiwara—yang mendapat kedudukan dalam pemerintahan karena mengawinkan anak perempuannya dengan putra mahkota. Karena putra mahkota naik tahta saat dia masih kecil, maka Fujiwara menjadi wali Kaisar memimpin pemerintahan bahkan hingga Kaisar cukup dewasa untuk memimpin pemerintahan, Fujiwara tetap menjadi orang


(36)

Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009

yang memegang kepemimpinan dalam pemerintahan— menjadi lemah. Setelah Kaisar Shirakawa turun tahta dan menjadi j k ( ), yang kemudian melanjutkan politik dengan menggunakan goshoj k yang disebut dewan (pemerintahan dewan). Karena yang memegang kekuasaan secara nyata adalah goshoj k maka jabatan wali dan penasehat Kaisar tinggal nama saja.

Pada pertengahan abad ke-12, terjadi pertentangan kaisar dengan j k , juga perkelahian dalam keluarga Fujiwara, yang kemudian berperang di dalam kota dan mendapat dukungan dari kaum samurai Genji dan Heishi—disebut perang H gen-Heiji

(1156-1159). Pada masa ini kaum samurai pun berkembang.

Taira Kiyomori yang mengalahkan orang-orang j k dan Genji dalam perang

H gen-Heiji menggenggam kekuasaan politik yang mengganti keluarga Fujiwara dan

j k . Kiyomori pada tahun 1167 menjadi perdana menteri dan seluruh keluarganya pun diberi kedudukan tinggi di istana kekaisaran. Kemudian membangun pelabuhan Hy go

(di K be), melakukan perdagangan dengan Cina (kekaisaran S ch ), dan menghasilkan keuntungan besar. Kaum Heishi diberi tanah garapan yang banyak, dan mempunyai pengaruh yang kuat.

Kaisar Goshirakawah yang memiliki ketidakpuasan terhadap cara kerja Heishi memanggil lagi kaum Genji yang melarikan diri dari wilayah yang dihancurkan dalam perang H gen-Heiji, yang kemudian memulai perang kembali dengan kaum Heishi.

Minamoto Yoritomo, Minamoto Yoshitsune adik laki-lakinya dan Minamoto Yoshinaka sepupunya menyerang kaum Heishi di setiap tempat di seluruh negeri. Keluarga Heishi dihancurkan pasukan militer Yoshitsune di wilayah Dannoura (Selat Shimonoseki di Yamaguchi-ken) yang dinamakan perang Dannoura (Dannoura no tatakai) dalam sebuah pertempuran laut atau lebih tepatnya pertempuran antara samurai di dalam kapal-kapal.


(37)

Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009

Minamoto Yoritomo yang menang terhadap keluarga Heishi membuat daerah basis di Kamakura (perfektur Kamagawa), dan memulai persiapan penguasaan seluruh negeri. Kemudian, Yoshitsune mengkhianati Yoritomo, dia melarikan diri dan ditolong

oleh keluarga Fujiwara di sh (wilayah T hoku) yang akhirnya berhasil dihancurkan.

Pada tahun 1192 Yoritomo diangkat menjadi seiitai sh gun oleh istana kekaisaran dan memulai pemerintahan bushi di Kamakura. Pemerintahan itu disebut dengan Bakufu (Pemerintahan Sh gun). Pemerintahan Kamakura yang dimulai oleh Yoritomo berlangsung kira-kira selama 140 tahun.

Yoritomo memberikan tanah kepada samurai yang giat berperang, mengikat mereka sebagai pengikut (yang disebut gokenin媾 淸) dalam hubungan atasan dan

bawahan (shujukankei媾兤 ). Sementara itu ia mengangkat orang-orang

berpengaruh sebagai pegawai pemerintahan (shugo-jit 媾 · ) di setiap wilayah.

Shugo (gubernur-militer) bertanggung jawab menjaga ketertiban umum terutama di

provinsinya dengan melatih gokenin, jit bertugas mengawasi dan memungut pajak dari tanah milik pribadi (sh en媾 ) memastikan semua pajak dibayar pada waktunya oleh tuan tanah tempat ia mengabdi. Para samurai di masa damai tinggal di desa pertanian, melatih petani cara bertani, dan melakukan latihan perang. Kemudian di masa perang mereka pergi ke Kamakura berperang untuk sh gun, disebut Izakamakura.

Setelah Yoritomo meninggal kekuasaan pemerintahan Bakufu berpindah kepada

keluarga H j di tempat kelahiran Masako, yaitu istri Yoritomo. Setelah membunuh

Sanetomo, yaitu generasi ketiga Sh gun —putera kedua Yoritomo— keluarga H j mengangkat Sh gun dengan memilih anak-anak bangsawan yang lalu dikirim ke Ky to ketika mencapai usia dewasa. Dengan cara ini sh gun, seperti halnya kaisar, menjadi pemimpin-perlambang Kemudian pemerintahan yang sebenarnya mengangkat keluarga


(38)

Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009

Awal abad ke-13 mantan kaisar Gotoba berpikir untuk menghidupkan kembali pemerintahan yang berpusat pada kaisar. Ia menghimpun dukungan di kalangan para

samurai di Jepang tengah dan barat lalu menyerang Kant (disebut perang J ky , 1221). Tetapi pasukan Gotoba dikalahkan mentah-mentah oleh pasukan H j Yoshotoki dan

pengaruh keluarga H j atas Bakufu kembali menjadi kuat. Setelah perang ini,

dibuatlah undang-undang yang disebut j eishikimoku (goseibaishikimoku). Karena undang-undang ini menetapkan tentang hak dan kewajiban gokenin maka ini menjadi undang-undang pertama Buke. Banyak sh en milik mantan kaisar yang disita, beberapa tidak lama kemudian dikembalikan kepada pemilik masing-masing tetapi diletakan di bawah pengawasan gokenin, selebihnya dibagi-bagikan kepada keluarga H j dan sekutu-sekutunya. Kekuasaan dan imbalan penghasilan untuk jit dirinci dengan jelas, yang menyiratkan ancaman bagi penghasilan kaisar dan para bangsawan di istana. Ahli

waris Yoshitoki, Yasutoki, ditempatkan di Ky to sebagai gubernur dengan nama

jabatan Rokuhara Tandai. Go-Toba diasingkan, dan kaisar yang sedang berkuasa diganti dengan kaisar baru yang ditentukan oleh Kamakura.

Awal abad ke-13, Kubhilai Khan dari suku mongol menguasai negara Cina, ia mulai memulihkan martabat internasional Cina yang dicerminkan oleh sistem upeti, dan berpikir bahwa Jepang adalah bagian dari Cina. Karenanya ia mengirimkan sepucuk surat kepada “raja” Jepang, memerintahkan agar Jepang mengirim utusan ke Cina untuk

menyampaikan rasa hormat kepadanya. H j Tokimune yang memangku jabatan wali -raja saat itu di Kamakura, tidak mempedulikan surat itu. Akibatnya Kubhilai Khan

mengirim armada dan mendarat di utara Ky sh pada tahun 1274, namun mereka kalah. Pada tahun 1275 dan 1279 utusan baru dari raja Mongol tiba di Jepang dan menuntut agar Jepang tunduk. Para utusan itu dihukum mati. Kemudian pada tahun 1281 datang


(39)

Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009

pantai Ky sh . Dua bulan kemudian angin besar datang dan memporak-porandakan kapal-kapal Mongol dan menenggelamkannya. Bangsa Jepang menyebutnya Kamikaze (angin surga/dewa).

Selama peperangan itu bakufu mengalami banyak kerugian dalam ekonomi, kemudian wilayah yang diserang Mongol menjadi tanah sitaan. Gokenin yang banyak dirugikan dalam peperangan ini tidak mendapat bagian dari barang rampasan perang maupun tanah yang disita. Mereka merasa tidak puas dengan bakufu yang dianggap tidak tahu berterima kasih, sehingga mereka tidak mau lagi patuh pada bakufu. Hal ini menyebabkan kekuatan bakufu melemah. Melihat melemahnya pengaruh bakufu, kaisar Go-Daigo memanggil para gokenin yang tidak puas dengan keluarga H j dan memulai perang melawan bakufu. Tahun 1333 bakufu Kamakura runtuh.

Tahun 1334, Kaisar Godaigo memulai politik yang baru dengan berpusat pada kaisar (Genmunoshinsei). Tetapi para samurai yang membentuk politik Buke memiliki ketidakpuasan terhadap politik ini. Ashikaga Takauji yang masih mempunyai kekuatan lebih pada waktu jatuhnya pemerintahan Bakufu melakukan pemberontakan dengan

mengumpulkan para samurai, dan masuk menyerang Ky to. Tentara kaisar mengalami

kekalahan dan melarikan diri ke Yoshino (perfektur Nara).

Tahun 1336, Takauji menaikkan ke atas tahta sang kaisar yang baru pilihannya

sendiri di Ky to (Kekaisaran Utara), dan pada tahun 1338 menjadi sh gun, membuka pemerintahan Bakufu di Muromachi dekat Ky to. Pemerintahan militer keluarga Ashikaga ini membuat rumah yang indah yang disebut dengan Hana no Gosho di

Muromachi Ky to dibuat oleh generasi ketiga shogun, yaitu Ashikaga Yoshimitsu, cucu

dari Takauji. Jaman ini disebut jaman Muromachi.

Di lain pihak, Kaisar Godaigo melarikan diri ke Yoshino membawa serta regalia kerajaan, karena tanpa regalia tidak ada pemimpin yang sah. Karena ia membuat


(40)

Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009

kekaisaran di Yoshino (Kekaisaran Selatan), maka situasi yang saling berlawanan terjadi antara kedua kekaisaran ini. Perang saudara ini terus berlangsung berulang kali sampai tahun 1392 pertempuran dimenangkan oleh Ashikaga Yoshimitsu. Jaman yang terdapat dua kekaisaran, yaitu Kekaisaran Utara dan Selatan disebut jaman Kekaisaran Utara Selatan (Nanbokuch jidai媾 煹惛璉).

Dalam pemerintahan militer di Muromachi hubungan antara sh gun dan bushi lemah maka ada shug yang memiliki kekuatan memperluas tanah milik pribadi, kemudian mereka menyimpan kekuatan militer dan mempunyai kekuatan untuk memerintah daerah itu (tanah milik pribadi/sh en). Shugo yang menjadi tuan tanah ini disebut Shugodaimy ( ).

Semenjak akhir jaman Kamakura ada bajak-bajak laut berhasil menghancurkan kondisi-kondisi di samudera mulai dari Semenanjung Korea sampai Semenanjung Cina. Kemudian Yoshimitsu mengawasi, mengintai bajak laut sementara itu mulai mengadakan hubungan dagang secara formil dengan Cina (Kekaisaran Min ch ) dan mendapat keuntungan yang besar. Bila perdagangan tidak dilakukan, maka bajak laut beraksi kembali.

Tahun 1467, pada waktu pemerintahan sh gun generasi ke-8, Ashikaga Yoshimasa, para daimy dibagi dua. Karena dibagi dua maka menimbulkan peperangan

selama sebelas tahun antara daimy ( ninnoran媾 溿崢巐). Kemudian dalam

peperangan ini, kedua belah pihak tentara kelelahan, karena perang ini kekuatan sh gun

pun lemah, dan lahirnya sistem tanah garapan menjadi bangkrut. Lalu sekarang yang mempunyai kekuatan adalah orang bawahan yang menjadi berkuasa karena menentang golongan atas, hal ini disebut masyarakat gekokuj . Jaman seperti ini disebut jaman sengoku (sengokujidai媾 惛璉). Di jaman ini ada penguasa baru yang disebut


(41)

Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009

Di jaman Muromachi teknik pertanian berkembang, adanya penggunaan kereta uap, bidang pertanian diselenggarakan secara luas di mana satu tahun dua kali panen. Dalam pertanian, masyarakat desa maju dan para petani membuat perkumpulan yang ada di setiap desa, kemudian setiap perkumpulan berkumpul untuk berunding tentang masalah perkembangan pertanian dan pajak tahunan. Kemudian masyarakat petani yang mempunyai ikatan antara desa menjadi solid dan bersatu memohon kepada Bakufu untuk meringankan pajak, apabila tidak didengar maka para petani itu mengambil senjata dan menyerang Bakufu. Selain itu mereka menyerang gudang bawah tanah dan kedai sake (serangan ini disebut tsuchiikki). Selanjutnya ada pemberontakan-pemberontakan berdasarkan agama yang disebut Ikk ikki. Kemudian pada waktu ini para daimy juga diserang (Yamashiro no Kuniikki).

Sengokudaimy melengkapi peralatan-peralatan perang dengan mengumpulkan

para pedagang dan industriawan yang ada di Jepang dan dikumpulkan di daerah-daerah, karena dia membela para pedagang dan industriawan maka industri pun menjadi maju. Distribusi barang-barang menjadi luas ke seluruh daerah dan didirikan kota kecil, bahkan bertambah pula pedagang besar (tonya) yang melakukan bisnis transportasi. Lalu dibentuk Za (kelompok usaha bersama), maka setiap daerah dibuat produksi barang-barang asli daerahnya masing-masing.

Pada jaman Muromachi ini, karena pemerintahan militer berada di Ky to, para

bushi dan kuge (masyarakat golongan atas istana yang bercampur baur dengan

bangsawan istana) melebur akhirnya membuat suatu budaya baru yang disebut budaya

Buke, yaitu kebudayaan militer yang baru. Kebudayaan buke ini sebenarnya merupakan

kebudayaan yang memiliki suatu kesederhanaan yang mendapat pengaruh dari Zensh (Buddha sekte Zen) dan pengaruh Min Ch (kebudayaan kota) yang ada di Ky to,


(42)

Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009

kemudian kebudayaan ini menyebar ke seluruh wilayah sehingga lahir kebudayaan

Minsh (rakyat biasa di seluruh daerah.).

Ketika Hideyoshi wafat anaknya dan penggantinya, Hideyori, masih berusia 5 tahun. Sebelum kematiannya, Hideyoshi telah membentuk sebuah dewan yang terdiri dari lima orang daimy untuk menyertai anaknya. Figur yang dominan dari dewan tersebut adalah Ieyasu, yang segera menunjukkan bahwa ia sama sekali tidak mau terikat oleh sumpah untuk menjaga Hideyori.

Sebuah perkembangan yang dimainkan Ieyasu adalah perpecahan di antara jenderal-jenderal Hideyoshi, yaitu antara pegawai-pegawai dan perwira-perwira perang. Para pegawai dipimpin oleh Ishida Mitsunari (1560-1600) dan termasuk juga Kato Kiyomasa (1562-1611). Para jenderal yang memiliki reputasi di medan perang memandang benci kepada para pegawai yang naik dengan menjilat.

Ketika mulai kelihatan bahwa Ieyasu bermaksud untuk mengumpulkan kekuatan ke dalam tangannya sendiri, Mitsunari memanggil para pendukung keluarga Toyotomi yang loyal untuk bersatu dengannya mengeyahkan Ieyasu. Hal ini menimbulkan konfrontasi di Sekigahara, Honshu Tengah, pada bulan Oktober 1600. Dua pihak yang bertentangan dapat dipisahkan secara kasar menurut wilayah geografinya: klan-klan bagian barat mendukung Mitsunari sedangkan klan-klan bagian timur mendukung Ieyasu. Dalam sebuah pertempuran pada tanggal 20 Oktober, Ieyasu membujuk salah satu jenderal Mitsunari dari anggota klan Mori untuk berkhianat, dengan begitu Ieyasu memenangkan pertempuran. Pihak Mitsunari menderita kekalahan yang hebat dan Mitsunari sendiri akhirnya ditawan, diarak keliling Kyoto, Osaka, dan Sakai, kemudian ia dieksekusi. Keluarga Ieyasu akhirnya tampil sebagai pengganti Hideyoshi.

Lalu Ieyasu menyita harta benda para daimy yang mendukung Mitsunari. Sebagian dari mereka kehilangan seluruh harta bendanya dan sebagian lagi kehilangan


(43)

Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009

harta bendanya secara drastis. Toyotomi Hideyoshi diijinkan untuk mempertahankan tiga propinsi dengan 650.000 koku. Namun kehadirannya masih merupakan ancaman bagi keluarga Tokugawa karena sentimen pro-Toyotomi masih kuat di daerah tersebut. Banyak jenderal yang loyal kepada keluarga Toyotomi, yang telah membantu Ieyasu dalam pertempuran di Sekigahara, semata-mata karena ketidakpercayaan dan kebencian mereka terhadap Mitsunari. Akibatnya Ieyasu harus berhati-hati dalam hubungannya dengan keluarga Toyotomi. Tetapi beberapa tahun kemudian pasukan Tokugawa berhasil memusnahkan keluarga Toyotomi.

Pada tahun 1603 Ieyasu dinamai Seii tai sh gun oleh kaisar Go-Yozei. Ieyasu berhasil melakukan perubahan-perubahan yang tepat pada pokok keluarga, untuk menelusuri kembali asal-usulnya, yaitu klan Minamoto. Dia tetap mempertahankan Edo sebagai markas besarnya dan menjadi ibukota yang sah secara de facto. Pada tahun 1605 Ieyasu mengundurkan diri dari jabatan sh gun dan sebagai gantinya ialah anaknya, Hidetada (1579-1632). Tetapi sampai hari kematiannya ia tetaplah pemimpin sejatinya. Dia berkonsentrasi untuk mengorganisir sistem-sistem politik dan sosial demi menjamin kelangsungan pemerintahan Tokugawa bahkan setelah kematiannya nanti. (Hane, 1991:133)

Pada tahun 1623 Hidetada digantikan oleh Iemitsu (1604-1651), seorang sh gun yang cakap tetapi kejam yang mencabut paksa Kekristenan dan menutup negara Jepang (disebut sakoku). Iemitsu juga mempererat kontrol-kontrol Bakufu atas daimy dan membentuk sebuah sistem sankinkoutai, yang menuntut daimy untuk menghabiskan sekali dua tahun waktu mereka di Edo. Pada faktanya, sistem politik dari pemerintahan Tokugawa memperoleh bentuk dasarnya selama rezim Iemitsu. Pada tahun 1651 ia digantikan oleh Ietsuna (1641-1680). Ada sedikit gangguan pada pemerintahan baru ini


(44)

Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009

untuk menjatuhkan Bakufu. Tetapi konspirasi tersebut berhasil dihentikan sebelum menimbulkan suatu pemberontakan. Tetapi Ietsuna gagal berperan dalam pemerintahan secara aktif dan menyerahkan urusan-urusan kenegaraan pada awalnya kepada pamannya yang bertindak sebagai wakil raja, dan kemudian kepada penasehat, yang memerintah sebagai komite. Sejak kepemimpinan seorang sh gun tidak lagi menjadi hal yang penting pada masa Ietsuna, maka ketika ia meninggal beberapa dari penasehatnya mendukung penerapan Kamakura Bakufu dan mengusulkan untuk melantik salah satu keluarga kerajaan sebagai sh gun. Usulan tersebut tidak diindahkan, tetapi bagaimanapun juga, adik laki-laki Ietsuna, Tsunayoshi (1646-1709), dinobatkan sebagai

sh gun pada tahun 1680.

Pada masa awal pemerintahannya, Tsunayoshi dibantu oleh anggota majelis/penasehat yang cakap, dan ia berlatih tentang kepemimpinan yang kuat. Separuh masa kepemimpinannya, para pelayan dan pembesarnya semakin memperoleh kekuasaan yang kadang-kadang disalahgunakan. Tsunayoshi sangat melindungi anjing karena dia lahir pada tahun anjing dan ia dinasehati oleh tabib-tabib yang berlagak pandai bahwa ia akan memiliki putera mahkota jika ia memperlakukan anjing dengan baik. Pada puncaknya ia menjadi sangat fanatik akan hal ini dan akan menghukum siapa saja yang berani menyakiti anjing. Akhirnya sh gun melarang pembunuhan atas setiap makhluk hidup. Seorang samurai dieksekusi hanya karena membunuh seekor burung layang-layang. Tidak ada ikan, kerang, dan unggas yang boleh dijual di Edo. Bahkan tidak ada seorang pun yang berani memukul nyamuk. Meskipun Tsunayoshi melakukan itu sebagian karena kepercayaan Buddhanya tetapi ia tidak mengembangkannya kepada prinsip jangan membunuh manusia.


(45)

Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009

Pada sisi positifnya, Tsunayoshi berhasrat untuk belajar. Dia mendorong pengkajian Konfusius dan mendirikan sebuah akademi Konfusius. Dia juga mendukung penyusunan sejarah.

Pada awalnya keuangan Bakufu dalam kondisi yang baik. Tetapi pada generasi berikutnya biaya-biaya semakin membengkak dan tidak seimbang dengan pendapatan. Banyak proyek-proyek yang menghabiskan dana, salah satu contohnya adalah pembangunan tempat suci T sh g di Nikk untuk menghormati Ieyasu. Kota Edo banyak mengalami kebakaran yang hebat dan banyak pertambangan-pertambangan emas dan perak tidak lagi produktif. Tsunayoshi tidak hanya berfoya-foya tetapi juga banyak memulai renovasi pada kuil-kuil dan tempat suci lainnya. Sebagai akibatnya defisit Bakufu semakin meningkat. Untuk mengatasi krisis keuangan tersebut, Tsunayoshi menurunkan nilai mata uang pada tahun 1695 dan menciptakan sebuah situasi inflasi. Meskipun pendapatan negara semakin bertambah karenanya namun defisit kembali menimpanya pada akhir masa pemerintahannya. Pada 1708, pada tahun terakhir pemerintahan Tsunayoshi, keuangan Bakufu sekitar 760.000-770.000 ryo, tidak seimbang dengan pengeluaran yang mencapai 1,4 juta ryo.

Pada masa Tsunayoshi berkembang kebudayaan masyarakat perkotaan, yaitu era kebudayaan Genroku di mana kabuki dan joruri sangat berkembang. Sebuah insiden terkenal yang melibatkan 47 samurai yang membalas dendam atas kematian pemimpinnya terjadi pada masa kesh gunan Tsunayoshi. Hal ini disebutkan sebagai sebuah contoh mulia dari ksatria-ksatria sejati yang memenuhi kewajibannya terhadap tuan mereka.

Sh gun yang keenam, yaitu Ienobu (1663-1713), mempekerjakan salah satu

orang yang paling cakap dari cendekiawan Tokugawa, yaitu Arai Hakuseki (1657-1725) untuk memperbaiki kebobrokan rezim sebelumnya. Salah satu hal pertama yang


(1)

Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Pada awalnya ajaran Konfusianisme yang disebarkan oleh Konfusius tidak mendapatkan tempat di kalangan penguasa, karena dianggap tidak cocok bagi pemerintahan saat itu, Dinasti Chou di Cina, yang lebih mementingkan kepentingan pribadinya daripada kepentingan rakyat. Justru masyarakat dari kalangan bawah yang tertarik untuk mempelajari Konfusius. Namun setelah mendapatkan gelar resmi sebagai filsafat negara Cina pada Dinasti Han, filosofi ini mulai dipelajari oleh para penguasa, juga bagi para cendekiawan yang ingin masuk menjadi pegawai negeri, karena untuk bisa menjadi pegawai negeri di Cina — bahkan hingga saat ini — harus lulus ujian Konfusianisme.

Pada masa Tokugawa Jepang ajaran Konfusianisme dipelajari hanya oleh kalangan atas, terkhusus bushi. Hal ini yang menyebabkan rezim Tokugawa bisa bertahan dua abad lebih di Jepang. Lapisan masyarakat di bawah bushi tidak mendapat kesempatan untuk mempelajarinya, kalaupun ingin, mereka tidak punya waktu untuk memikirkan hal itu karena disibukkan dengan tugasnya mengolah lahan pertanian (petani), menghasilkan bahan-bahan kerajinan (tukang), dan mencari untung dengan barang dagangannya (pedagang). Konfusianisme menekankan hubungan yang harmonis antara atasan dan bawahan dengan lima kebajikan (goj ) yang terdapat di dalamnya. Seorang penguasa tidak seharusnya memerintah dengan tangan besi, tetapi dengan terlebih dahulu menunjukkan teladan moralnya sehingga rakyat pun akan menjadi rakyat yang baik secara moral. Begitulah yang diajarkan oleh Konfusius juga Mensius. Namun tidak demikian yang terjadi pada masa Tokugawa. Dengan kesulitan ekonomi


(2)

Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009

pada masa itu, masyarakat kelas bawah yang paling dirugikan bahkan dimanfaatkan oleh kelas atas di mana mereka seharusnya dilindungi oleh kelas atas. Mereka diharuskan membayar pajak yang tinggi kepada pemerintah, terkhusus petani (n min). Ajaran Banzan banyak mendukung hak-hak bagi masyarakat kelas bawah seperti halnya bagi masyarakat kelas atas, sedikit berbeda dengan Razan yang kurang memperhatikan kondisi masyarakat kelas bawah.

Konfusius mengajarkan tentang pentingnya seseorang menduduki jabatan tertentu termasuk dalam pemerintahan berdasarkan prestasi dan jasanya, seperti yang juga diajarkan oleh cendekiawan Konfusian di Jepang. Namun yang terjadi di Jepang pada masa itu adalah dalam pemberian jabatan tertentu, termasuk jabatan dalam pemerintahan, dilakukan secara turun-temurun.

Ajaran Konfusianisme di Cina menjadi sebuah agama resmi sejak Dinasti Han. Tetapi pada jaman Edo, walau Konfusianisme berkembang sangat pesat dan menjadi filosofi resmi, Konfusianisme hanya menjadi sebuah etika moral bukan aliran kepercayaan atau agama. Namun khusus pada masa pemerintahan Tsunayoshi (1646-1709), yaitu pada tahun 1680-1709, Konfusianisme menjadi ajaran yang paling utama harus dikenal dan didalami oleh kalangan atas melebihi tahun-tahun sebelum dan sesudahnya karena Tsunayoshi sendiri adalah pengikut Konfusianisme yang taat.

Pengaruh terbesar ajaran Konfusianisme yang masih terasa bahkan hingga Jepang dewasa ini adalah kebudayaan sempai-k hai yang berasal dari lima hubungan dasar manusia (gorin) menurut Konfusius, yaitu antara atasan dan bawahan, suami dan istri, ayah dan anak, kakak dan adik, serta sesama teman. Lima hubungan dasar manusia ini diterapkan dengan lima kebajikan (goj ), yaitu kebaikan (jin), kebenaran (shin), kesantunan (rei), kesetiaan (gi), dan kebijakan (chi). Perasaan kesetiaan bangsa Jepang yang kuat terhadap keluarga, perusahaan tempat mereka bekerja (karyawan yang


(3)

Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009

bekerja di perusahaan yang mempekerjakannya sampai dia meninggal), negara sebagai tanah air mereka adalah warisan Konfusianisme.

Mengakarnya sistem pendidikan yang kokoh di Jepang juga merupakan warisan Konfusianisme karena pendidikan mulai dianggap penting sejak Konfusianisme menyebar dengan luas melalui bidang pendidikan pada jaman Edo, walau yang mempelajarinya pada masa itu terbatas pada kelas bushi. Tetapi sebenarnya banyak cendekiawan Konfusius dari berbagai aliran yang membangun sekolah pribadi dan menerima murid-murid baik dari kalangan bushi maupun rakyat biasa, untuk mengajari mereka tentang Konfusianisme.

4.2 Saran

Bangsa Jepang adalah salah satu bangsa yang tetap menjaga warisan leluhurnya bahkan sampai di jaman modern dewasa ini. Mereka juga menghormati dan menjalin hubungan yang baik dengan bangsa Cina yang banyak memberikan kontribusi dalam kebudayaan asli mereka, khususnya dalam hal ini adalah ajaran Konfusianisme. Sebagai kaum intelektual, kita juga perlu menjaga warisan kebudayaan asli yang telah diwariskan oleh para leluhur kita walau kini jaman semakin maju dan banyak tradisi-tradisi yang mulai ditinggalkan. Dengan mempelajari budaya bangsa asing, kita bisa belajar juga mempertahankan budaya asli bangsa kita.

Kesetiaan bangsa Jepang terhadap keluarga dan bangsa perlu kita tiru, di mana pun mereka berada mereka tetap ingat tanggung jawabnya terhadap keluarga juga terhadap bangsa dan negaranya. Orangtua terhadap anak-anak ketika anak-anak mereka belum bisa berdikari, anak-anak terhadap orangtuanya ketika orangtuanya berusia lanjut. Sebagai mahasiswa kita juga harus setia terhadap keluarga dan bangsa kita. Bila suatu hari nanti kita selesai menuntut ilmu di perguruan tinggi dan meraih sukses di


(4)

Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009

dunia kerja, kita tidak melupakan kedua orangtua atau keluarga yang telah membantu keberhasilan kita. Suatu hari nanti mereka tidak bisa mengerjakan segala sesuatunya sendiri maka giliran kita yang membantu mereka semampu kita. Serta ilmu yang kita geluti perlu kita tekuni dengan sungguh-sungguh dan kita amalkan untuk turut dalam membangun bangsa.

Pendidikan dianggap sangat penting di Jepang, semua orang diwajibkan untuk sekolah dan sekolah wajib ini gratis dari pemerintah. Walau di Indonesia pendidikan masih mahal, kita perlu menekankan pentingnya pendidikan bagi setiap orang tanpa membedakan perempuan atau laki-laki, kaya atau miskin, tua atau muda. Adanya program-program beasiswa dari perusahaan yang bonafit bisa kita anjurkan bila ada orang-orang yang kurang mampu tapi punya tekad kuat untuk belajar di lembaga pendidikan formal. Bagi kita yang punya kesempatan untuk menuntut ilmu di perguruan tinggi, kita harus mensyukurinya dan berusaha sebaik mungkin dalam menuntut ilmu karena apa yang kita dapatkan tidak sia-sia. Kita bisa menggunakannya untuk mengembangkan kebudayaan bangsa kita sendiri dengan belajar mengenai budaya bangsa asing.


(5)

Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009

Daftar Pustaka

1983. Kodansha Encyclopedia of Japan Book 3. Tokyo: Kodansha Ltd.

Abdurrahman, Dudung. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu.

Azwar, Saifuddin. 1998. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Beasley, W. G. 2003. Pengalaman Jepang. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Carmody, Dennis Lardner dan John Tully Carmody. 2000. Jejak Rohani Sang Guru

Suci: Memahami Spritualitas Buddha, Konfusius, Yesus, Muhammad. Jakarta:

PT RajaGrafindo Persada.

Cremers, Agus. 1995. Tahap-tahap Perkembangan Kepercayaan Menurut James W.

Fowler. Yogyakarta: PT Kanisuis.

De Mente, Boye Lafayette. 1991. Etiket dan Etika Bisnis dengan Orang Cina. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara.

Earhart, H. Byron. 1982. Japanese Religion: Unity and Diversity. Third Edition. California: Wadsworth Publishing Company.

Hane, Mikiso. 1991. Premodern Japan: A Historical Survey. USA: Westview Press. Ishii, Ryosuke. 1988. Sejarah Institusi Politik Jepang. Jakarta: Yayasan Karti

Sarana dan PT Gramedia.

Harahap, Syahrin. 1994. Sejarah Agama-agama. Medan: PT Pustaka Widyasarana. Honjo, Eijiro. 1939. Economic Review: Memoirs of the Department of Ecomics in

Imperial University of Kyoto. Volume XV. Japan: The Department of

Economics in the Imperial University of Kyoto. (http://www.econ.kyoto-u.ac.jp/review/10000175.pdf)


(6)

Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009

Kitagawa, Joseph M. 1966. Religion in Japanese History. New York: Colombia University Press.

Mathar, Moch. Qasim. 2003. Sejarah, Teologi, dan Etika Agama-agama. Yogyakarta: Dian/Interfidei.

Prasetya, Joko Tri. 1998. Ilmu Budaya Dasar (MKDU). Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.

Simpkins, C. Alexander dan Annelen M. Simpkins. 2000. Simple Confucianism:

Tuntunan Hidup Luhur. Jakarta: Penerbit PT Bhuana Ilmu Populer.

Suryohadiprojo, Sayidiman. 1982. Manusia dan Masyarakat Jepang dalam Perjoangan

Hidup. Jakarta: Penerbit UI Pustaka Bradjaguna.

Suryabrata, Sumadi. 1983. Metodologi Penelitian. Jakarta: CV Rajawali. Takwin, Bagus. 2001. Filsafat Timur. Yogyakarta: Jalasutra.

Tsunoda, Ryusaku. 1958. Source of Japanese Tradition vol. II. New York: Columbia University Press.