Hayashi Razan Konfusianisme di Jepang

Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009 y meigaku, Pengetahuan Kuno Kogaku, dan Pengetahuan Nasional Kokugaku. Khusus tentang Kokugaku, dalam aliran ini sebenarnya hanya sedikit sekali cendekiawan yang mendapat pengaruh Konfusianisme, sebagian besar bahkan hampir semuanya berpaling dari ajaran yang berasal dari negara asing — termasuk Cina — dan secara murni mempelajari tentang budaya Jepang melalui karya klasik seperti Many shu, Kojiki, dan lain-lain. Beberapa cendekiawan Neo-Konfusianisme yang cukup terkemuka pada masa itu dalam ajarannya adalah antara lain Fujiwara Seika, Hayashi Razan, Yamazaki Ansai, Muro Ky s , dan lain-lain dari aliran Chu Hsi Shushigaku, Nakae T ju dan Kumazawa Banzan dari aliran Wang yang-ming y meigaku, Kaibara Ekken, It Jinsai, Ogy Sorai, dan lain-lain dari aliran Pengetahuan Kuno Kogaku. Dua aliran Neo-Konfusianisme yang paling besar dan sangat bersaing pada masa itu adalah Aliran Chu Hsi dan Aliran Wang Yang-ming. Tokoh-tokoh terbesar dari kedua aliran ini adalah Hayashi Razan dari aliran Chu Hsi dan Kumazawa Banzan dari aliran Wang Yang-ming.

3.2.1 Hayashi Razan

Hayashi Razan 砆 媾1583-1657 juga dikenal sebagai D shun, adalah seorang pemuda yang dewasa sebelum waktunya. Dia lahir pada tahun 1583 di Ky to, anak tertua dari Hayashi Nobutoki. Kemudian dia diadopsi oleh saudara tertua ayahnya, yaitu Yoshikatsu. Dia mulai mempelajari tentang Cina pada awal usia belasan di bawah bimbingan biarawan Zen di kuil Kenninji, Ky to, tetapi kecewa dengan metode belajar Zen dan jalan pemikir istana tradisional, dia pergi ke Fujiwara Seika — seorang penasehat Konfusian tidak resmi Tokugawa Ieyasu, dia juga yang pertama kali memperkenalkan Neo-Konfusianisme pada Tokugawa — untuk melanjutkan belajar di Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009 bawah bimbingannya. Dia sangat cakap dalam pelajaran filosofi dan kemampuan kesusasteraan. Dia kemudian direkomendasikan oleh gurunya untuk melayani Tokugawa Ieyasu sebagai guru pribadi sh gun atau penasehat resminya pada tahun 1608. Dan Hayashi terus melayani sh gun hingga generasi ketiga sh gun, yaitu Iemitsu. Setelah pengangkatannya dikatakan bahwa tidak ada satu baris pun dalam hukum atau dekrit Sh gun Tokugawa pertama yang tidak dikonsep olehnya. “Hukum yang paling penting yang telah dirumuskan sebagai suatu undang-undang dasar dalam arti yang sebenarnya bagi Sh gun Tokugawa adalah Hukum yang Mengatur Rumah Tangga Militer Buke Shohatto, Istana Keluarga Kekaisaran dan bangsawan Kinc h Narabi ni Kuge Shohatto, dan Komunitas agama Buddha beserta sekte-sektenya Shosh Jiin Hatto Tsunoda, 1958:342. Tokugawa Ieyasu adalah seorang pemimpin yang berhati-hati yang mengawasi cara kerja dua penasehatnya yang lebih senior dan yang sangat cerdik dalam melayaninya, mereka adalah Abbot Tenkai 1536-1643 dari sekte Tendai dan Elder S den 1569-1633 dari sekte Zen. Abbot Tendai adalah seorang pemimpin kuil Nikk bersama semua kuil Buddha aliran yang hanya diketahui dan dipahami oleh beberapa orang tertentu saja dan kuil Shint sikretisme di bawah yurisdiksinya. Elder S den adalah inspektur jenderal semua denominasi Zen, dengan hak istimewa tradisional mengawasi semua surat-menyurat pemerintah dengan negara asing. Razan mengemukakan pendapatnya yang keberatan mencampuri Buddha dengan hal-hal pemerintah yang sekuler, tetapi dia dikalahkan oleh Tenkai dalam sebuah perdebatan yang terjadi di hadapan Ieyasu. Sementara itu ia melanjutkan perjuangan lama Neo-Konfusian melawan Buddha — yang memang suatu lawan yang berabad-abad tuanya di Cina — Razan menemukan suatu persamaan alami dalam Shint asli dengan Neo-Konfusianisme terutama aliran Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009 Chu Hsi. Bersama suatu pandangan memperkuat persamaan ini dengan menunjukkan hal- hal dasar penyatuan agama Shint dan etika Konfusian, yang diteliti secara luas oleh Razan di dalam Shint yang hasilnya ada dalam Study of Our Shint Shrine Honch jinja- k . Mungkin inilah yang membawanya menjadi seorang ahli sejarah Jepang dan Shint di istana. Dia juga mempelajari sejarah Jepang dan menulis General History of Our State Honch tsugan 媾犍煹 dengan karya Chu Hsi yang berjudul T’ung-chien kang-mu sebagai contohnya. Razan berkarya dalam kecepatan yang luar biasa dalam filosofi, sejarah, prosa, dan puisi, baik karya Cina maupun Jepang, dan mengolah untuk menyediakan kumpulan wewenang yang akan digunakan sebagai panduan bagi tiga sh gun yang dilayaninya. Karya koleksinya menembus seratus lima puluh judul dan tempat tinggalnya di Ueno berkembang menjadi sebuah perguruan tinggi sastra liberal dengan perpustakaan pribadi terbesar di Jepang ada di dalamnya. Hayashi masih belum bisa dengan sendirinya mengatasi pengaruh Buddha dalam pemerintahan; pada faktanya, untuk mempertahankan posisinya sendiri dalam istana dia terpaksa mematuhi kebiasaan lama kaum Buddha yang mencukur ubun-ubun kepalanya bagi mereka semua yang dipercayakan dalam tugas pendidikan. Oleh karena itu dia beruntung memiliki keturunan seperti anak laki-lakinya sendiri, yaitu Shunsai atau dikenal juga sebagai Gah 媾1618-1680, dan cucu laki-lakinya H k 媾1644- 1732. Gah yang mengumpulkan 300 volume Family Genealogies silsilah keluarga kerajaan pada tahun 1643 dan yang menyelesaikan karya yang dimulai oleh Razan, yaitu General History of Our Country dalam 310 volume pada tahun 1670. Ada juga sebuah koleksi yang diselesaikannya, termasuk penjelasan pada semua Klasik Konfusian dalam 120 volume. Sebagai konsekuensi dari prestasi cendekiawan ini, perguruan tinggi memperoleh pengakuan resmi sebagai universitas kesh gunan dengan nama K bunin dan Gah dinamai Doktor Kesusasteraan Pertama K bunin gakushi. Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009 Pada tahun 1691 shogun kelima, Tsunayoshi — dia sendiri adalah seorang Konfusianis yang tekun — menganugerahkan pada H k gelar Rektor Universitas Negeri, Head of the State University Daigaku no Kami, yang menjadi turun-temurun diberikan kepada kepala keluarga Hayashi. Pada waktu yang sama, universitas dinamai ulang menjadi The School of Prosperous Peace Sh heik atau secara harfiah berarti Sekolah Damai Makmur dan ditempatkan di lokasi baru di Yushima, di mana berdiri sepanjang pemerintahan Tokugawa sebagai pusat pendidikan resmi. Bukan hanya sebagai pusat pendidikan resmi, tetapi juga sebuah pusat agama Konfusian, di mana patung Konfusius dan murid-muridnya diletakkan di dalam gedung. Sh gun datang memberi penghormatan di sana setiap tahun, dengan kepala keluarga Hayashi selalu bertindak sebagai pemimpin upacara. Hayashi Razan banyak mengajarkan tentang Konfusianisme terutama Neo- Konfusianisme aliran Chu Hsi Shushigaku. Dia juga banyak mengajarkan tentang etika bagi samurai, bagaimana seorang samurai seharusnya hidup ditengah-tengah masyarakat feodal. Dia mengatakan: “Para prajurit samurai memperoleh kemenangan dengan seni perang. Yang membuat mereka mencapai kemenangan adalah strategi. Strategi didapat dari seni damai. Inilah mengapa peraturan T’ai Kung memasukkan sebuah pasal dalam seni sipil seperti halnya sebuah pasal dalam seni militer. Dua hal ini secara bersama-sama menyusun seni yang umum. Ketika seseorang tidak bisa menggabungkan satu dengan yang lain, seperti dalam kasus Chuang Hou dan Kuan Ying, yang kurang memiliki seni damai, dan Sui Ho dan Lu Chia yang kurang memiliki seni perang, akan ada akibat yang disesali. Peperangan membutuhkan pengetahuan dari kesempatan seseorang. Tipu daya membutuhkan kerahasiaan. Kesempatan tidak mudah untuk dilihat, tetapi seseorang bisa mempelajarinya melalui tipu daya selama tipu daya Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009 itu tidak terbongkar. Oleh karena itu, mereka yang ahli dalam menangani pasukan melihat pada seni damai dan seni perang seperti tangan kanan dan kiri. Mari kita mengingat ajaran Guru Bijaksana bahwa ‘untuk memimpin suatu rakyat yang tidak terpelajar dalam perang adalah dengan melempar mereka keluar’. Mengajar orang adalah seni sipil, tetapi perang adalah seni militer. Tanpa keduanya, orang akan dibuang. Oleh karena itu dikatakan bahwa orang sipil harus juga memiliki siap siaga militer. Mungkin tidak ada kekurangberanian dalam memburu seekor harimau tanpa senjata atau menyeberangi sebuah sungai tanpa perahu, tetapi ini bukan hal yang sama dengan kecakapan dalam seni perang. Mungkin tidak ada kekurangan dalam kemurahan hati ketika menahan diri supaya jangan memenjarakan orang yang sudah tua sebagai tahanan perang, tetapi ini bukan hal yang sama dengan menguasai seni damai. Memiliki seni damai tetapi tidak memiliki seni perang, kekurangan keberanian. Memiliki seni perang tetapi tidak memiliki seni damai, kekurangan kebijaksanaan. Pertahankan keduanya dalam pikiran, menggunakan atau membubarkan pasukan mereka dan maju atau mundur berdasarkan pada waktu yang tepat. Ini adalah Jalan yang lazim. Sesuatu yang lazim adalah tidak lain seorang manusia sejati. Seseorang yang berbakti dan mempunyai misi untuk dilakukan dinamakan samurai atau shi. Seseorang yang hatinya baik dan berperilaku jujur, yang punya prinsip moral dan menguasai seni disebut samurai. Seseorang yang mengikuti pelajaran juga disebut samurai. Seseorang yang melayani di istana tanpa mengabaikan pegunungan dan hutan disebut samurai. Istilah samurai atau shi sungguh-sungguh luas. Tingkatan dalam dinasti Chou, Cina yang demikian dikatakan bahwa mereka naik dari pegawai shi menjadi pejabat tinggi; dari pejabat tinggi menjadi kepala menteri; dan dari kepala menteri menjadi pangeran. Meskipun begitu, saat seseorang menjadi kepala menteri dan masuk melayani raja untuk mengurus pemerintahan, dia juga disebut menteri-pegawai Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009 ky -shi. Di dalam istana dia adalah seorang negarawan; di lapangan dia seorang jenderal. The Book of Odes mengatakan, ‘Kuat dalam damai dan perang adalah Chi-fu suatu pola teladan bagi semua orang’ Bagaimana bisa seseorang melaksanakan tugas jabatan dan posisinya tanpa mengkombinasikan seni damai dan militer?” Tsunoda, 1958:346-347 Dengan pernyataan ini Hayashi Razan menekankan pentingnya seorang samurai tidak hanya mengerti dan menguasai seni militer tetapi juga menguasai seni damai, tentu saja dalam menguasai hal ini mereka mendapatkannya dengan mempelajari Neo- Konfusianisme. Sebagai pengikut aliran Chu Hsi, Razan mengajarkan Neo- Konfusianisme terutama aliran Chu Hsi. Dengan menguasai kedua hal ini serta mampu mengkombinasikannya, yaitu seni militer dan seni damai maka seorang samurai, menurut Razan, dapat menjadi manusia sejati yang mampu melaksanakan kewajibannya dengan baik. Karena itulah samurai mendapat perhatian khusus dalam hal pendidikan dari Tokugawa. Mengenai pembagian kelas sosial masyarakat pada masa itu, Razan menganggapnya sebagai sesuatu yang alami terjadi di jaman feodalisme, dia membagi masyarakat dalam empat kelas sosial, yaitu samurai, petani, tukang, dan pedagang. Razan mengatakan: “Surga adalah mulia, Bumi adalah hina. Surga itu tinggi sedangkan Bumi rendah. Seperti itu jugalah perbedaan di antara manusia dalam masyarakat, pangeran itu agung sementara rakyat adalah biasa. Tingkah laku yang pantas membutuhkan sebuah hirarki antara mulia dan biasa, orang tua dan muda ... kalau perbedaan antara pangeran yang agung dan rakyat biasa dipertahankan, maka negeri akan bisa diperintah ... Jika jalan yang membedakan pangeran dan rakyat, dan antara ayah dan anak itu diikuti, dan prinsip yang membedakan antara tinggi dan rendah, yang Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009 mulia dan yang tidak sopan itu dijunjung tinggi, maka Jalan Surga akan tetap menang di atas sana, dan hubungan antar manusia akan menjadi jelas di bumi ini.” Dengan pernyataan di atas, maka menurut Razan dengan memperlakukan seseorang menurut tempatnya di masyarakat, sebuah negeri akan damai dan tidak ada pertentangan. Penguasa atau pangeran, atau dalam hal ini yang dimaksud Razan adalah sh gun sama agung dan mulianya seperti Surga, sedangkan masyarakat lainnya adalah seperti Bumi yang rendah dan termasuk kelas biasa. Karenanya dalam pembagian kelasnya, Razan menekankan perlunya setiap orang sadar akan posisinya dalam masyarakat dan hal itu juga yang terus diajarkan di dalam sekolahnya. Dengan pernyataan ini juga Razan menekankan pentingnya melaksanakan lima hubungan dasar manusia gorin 媾暙 dan lima kebaikan goj 媾暙 seperti yang telah diajarkan oleh Konfusius. Mengenai gorin, Razan mengatakan, “Lao Tzu mengatakan: ‘Jalan yang dapat dibicarakan bukanlah suatu Jalan yang tak Berubah’. Apa yang ia nyatakan sebagai Jalan adalah kepasifan dan tanpa kerja keras, dan apa yang ia bicarakan adalah keadaan yang tidak membeda-bedakan sifat alami seseorang. Tetapi orang dilahirkan ke dalam dunia pada masa ini dan bahkan tidak bisa mencapai keadaan yang tidak terganggu dari keadaan jaman dahulu; berapa kurang lebih dia bisa meletakkan dirinya sendiri dalam keadaan yang tidak membeda-bedakan sifat alami seseorang? Jalan orang bijaksana berbeda dengan hal ini. Jalan mereka tercapai karena tidak lain dari kewajiban moral antara penguasa dan bawahan, ayah dan anak, suami dan istri, kakak dan adik, dan antara teman. Seseorang melakukannya dengan lima kebaikan. Lima kebaikan berakar dalam pikiran, dan prinsip yang melekat dalam pikiran seseorang disebut kebajikan. Oleh karena itu Jalan, kebajikan, kemanusiaan, kebenaran, kesusilaan, dan kebijaksanaan berbeda dalam namanya tetapi sama intisarinya. Hal ini Melda Hutabarat : Tokugawa Dan Konfusianisme, 2007 USU Repository © 2009 bukanlah apa yang Lao Tzu sebut Jalan. Jika seseorang manolak kewajiban moral manusia dan menyebut hal lain sebagai Jalan, maka itu bukanlah Jalan Konfusian, bukan Jalan para Orang Bijaksana, dan bukan Jalan Yao dan Shun.” Tsunoda, 1958:348 Dalam mewujudkan lima kebajikan, yaitu kebaikan 溿, kebenaran , kesantunan , kesetiaan , dan kebijakan 旰, Razan memberi penekanan khusus pada kebaikan karena dia percaya itu sudah mencakup empat kebajikan lainnya. Razan mengatakan, “Kebenaran merupakan dasar dari giri, yaitu tugas moral dan kewajiban manusia”. Prinsip kesopanan digunakan oleh Razan untuk membenarkan hubungan hierarki antara bangsawan dan rakyat biasa, kalangan atas dan kalangan bawah. Razan menjelaskan, “Kebijaksanaan dicapai dalam pemahaman akan prinsip kebaikan, kebenaran, dan kesusilaan”. Akhirnya kesetiaan dikaitkan dengan makoto atau ketulusan. Mikiso Hane, 1991:161 Dalam melakukan kewajiban sesuai dengan kelasnya masing-masing, maka ada hal yang mendasari semua hubungan itu, yaitu lima kebajikan yang menjadi dasar ajaran Konfusius. Kebaikan, kebenaran, kesantunan, kesetiaan, dan kebijakan pada tiap individu berbeda-beda, tergantung tempatnya dalam masyarakat. Misalnya sebagaimana kesetiaan seorang sh gun ditunjukkan dengan memberi penghidupan dan perlindungan pada daimy dan samurai, maka daimy dan samurai harus menunjukkan kesetiaannya juga kepada sh gun dengan bobot kesetiaan yang berbeda sesuai dengan aturan hubungan antara atasan dan bawahan, yaitu mereka harus taat pada semua perintah sh gun.

3.2.2 Kumazawa Banzan