Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Pers Indonesia

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009 umumnya diwakili oleh negara, melalui polisi, jaksa, hakim dan pihak masyarakat yang merasa dirugikan oleh pers, akhirnya terjadilan perang hukum.

D. Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Pers Indonesia

Ihwal perlindungan hukum dalam profesi jurnalistik khususnya media cetak sebenarnya berhubungan erat dengan dua kebutuhan dasar, yaitu 26 Yang dimaksud dengan perlindungan hukum, berkait dengan upaya penegakan hukum pers, diawali dengan terjadinya interaksi sosiologis antara pers dan masyarakat. Hubungan antara pers dan masyarakat itu, idealnya sejajar. Pers merupakan refleksi dari : 1. terkait dengan perlindungan hukum terhadap pekerja pers dengan segala kompleksitas permasalahannya; 2. menyangkut perlindungan hukum terhadap masyarakat akibat arogansi pers. Dua masalah ini idealnya diletakkan dalam perspektif bersamaan dan diimplementasikan dalam makna yang sama pula, sehingga sajian pers akan mencerminkan nilai keadilan dan perlindu-ngan terhadap HAM. Jadi, tak semata menitikberatkan pada perlindungan terhadap para pekerja pers dengan menyampingkan perlindungan terhadap masyarakat. Sebenarnya banyak efek negatif langsung maupun tidak, yang harus ditanggung warga masyarakat akibat arogansi pers. Namun keadaan itu tak cukup menyadarkan kita, dan lebih banyak tertutup oleh aspek positif yang disampaikan pers. 26 Syamsul Wahidin, Perlindungan terhadap Pekerja Pers, diakses dari situs : httpwww.banjarmasin-pos.com, tanggal 8 November 2006. Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009 hak untuk mengeluarkan pendapat, sedangkan masyarakat merupakan refleksi dari hak untuk memperoleh informasi. Selama ini yang terjadi adalah mengemukanya hubungan subordinat antara pers dan masyarakat. Akibat ketaksejajaran hubungan ini muncul mekanisme yang timpang, yang beranjak pada asumsi munculnya sesuatu yang tak benar ketika terjadi interaksi antara pers dan masyarakat. Intinya, masyarakat dalam kedudukannya sebagai penerima informasi maupun subjek yang menjadi bahan informasi merasa adanya ketidakbenaran dalam sajian pers. Mekanisme yang ditempuh dalam perspektif yuridis berdasar hukum pers melalui tiga cara 27 Kedua, hak jawab dari perspektif pers mencerminkan kurang profesionalnya pers, sehingga pencantumannya seringkali direkayasa dengan berbagai dalih untuk menutupi kesalahan. Jika hal tsb menyebabkan turunnya kredibilitas penerbitan, biasanya pencantuman hak jawab disertai catatan yang mengandung keinginan untuk menggambarkan pers bukanlah pihak yang harus dipersalahkan. : 1. hak jawab 2. jalur hukum perdata maupun pidana 3. hak jawab dan jalur hukum. Mekanisme melalui hak jawab, seringkali dipandang tak efektif, karena beberapa hal, yaitu : Pertama, orang belum tentu membaca jawaban tadi. Kendati pun menurut kode etik penyampaian hak jawab itu harus dilakukan sesuai dengan batasan tertentu, tetapi jawaban yang disampaikan tak menjamin berubahnya pendapat masyarakat me-ngenai masalah tertentu. Apalagi hak jawab tak berhubungan dengan benar-tidaknya satu sajian. 27 Ibid. Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009 Ketiga, hak jawab justru mendatangkan pertanyaan baru. Masyarakat cenderung berpegang pada sajian pertama. Berbagai pertanyaan seringkali muncul sehubungan adanya hak jawab tersebut. Melalui jalur hukum, seringkali dipandang tak efektif. Dalam kasus yang bermuatan delik pers, jalur hukum cenderung bertele-tele dan berakhir dengan ketidakpuasan pihak yang merasa dirugikan. Dari berbagai kasus menunjukkan, proses yang menunjukkan kekurangseriusan aparat dalam menangani delik pers. Ini dapat dimaklumi sehubungan posisi aparat penegak hukum yang kinerjanya memerlukan peran pers. Muncullah kerja sama yang dilembagakan dalam pola kemitraan, saling bantu, dan sebagainya. Akibatnya masyarakat yang secara tulus mengadukan pers kurang memperoleh tanggapan secara baik. Fenomena demikian mulai bergeser sejak pers menemukan kebebasaannya di era reformasi. Namun apakah hal itu akan berlanjut, masih harus ditunggu. Di sisi lain, belum ada yurisprudensi tentang tindak pidana pers. Dari berbagaikasus, seringkali diselesaikan di luar pengadilan, baik dengan prinsip win-win solution, maupun meniadakan pengaduan terhadap pers. Ukuran untuk ini tak jelas, kecuali berlindung di balik argumentasi penyelesaian berdasar hukum merupakan ultimum remidium, sehingga dipandang sah-sah saja, bahkan diutamakan penyelesaian dengan cara lain. Termasuk batasan waktu yang harus dijadikan patokan limitatif untuk menyelesaikan perkara sehubungan dengan pengaduan terhadap pers. Melalui dua jalur, juga dipandang tak efektif. Sebab, akhirnya juga menghasilkan sesuatu yang sifatnya sama. Atas dasar hal di atas, sebagian masyarakat lebih memilih penyelesaian secara Hukum Adat dengan melakukan penganiayaan, perusakan, bahkan pembunuhan terhadap orang yang dipandang harus bertanggung jawab atas munculnya sajian pers Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009 bermasalah. Cara menyelesaikan masalah dengan cara peradilan jalanan dinilai lebih efektif. Secara kuantitas hal demikian sering terjadi. Tentunya ini mengkhawatirkan bagi pekembangan kebebasan pers ke depan. Di satu sisi, hal di atas menghadirkan urgensinya perlin-dungan hukum terhadap pekerja pers dari tindakan Hukum Adat warga masyarakat yang tak puas atas sajian pers. Dari perspektif ini, terasa ketidakadilan yang diterima pekerja pers yang menyebabkan terganggunya kinerja pers. Hukum UU Pers memberikan tiga macam proteksi yang secara yuridis tak memberikan tempat sama sekali terhadap penyelesaian secara hukum adat. Pertama, proteksi kepada pekerja pers dengan adanya jaminan siapa saja yang menghalang-halangi profesi wartawan akan disanksi. Juga, orang yang menghambat penerbitan pers akan disanksi. Kedua, proteksi kepada masyarakat atas jaminan sebuah penerbitan tak boleh menyiarkan sesuatu yang bertentangan dengan nilai yang hidup di masyarakat. Nilai itu berbasis kesusilaan, kesopanan dan nilai lain yang secara universal dan peka dipegang masyarakat setempat. Ketiga, mencegah munculnya pers tanpa identitas. Untuk itu pers dituntut mencantumkan penanggung jawab secara jelas, sehingga ketika sajian bermasalah, dapat diajukan tuntutan pada alamat yang jelas. Pertanggungjawaban normatif di atas memang tak memuaskan. Bahkan sanksinya bersifat administratif, seperti keharusan membayar denda, misalnya. Sedangkan kedudukan delik pers itu juga tak pasti. Delik aduan klacht delict kah atau delik formal yang tak harus menunggu pengaduan masyarakat. Jika memang bukan klacht delict, bagaimana mekanismenya? Apalagi ketentuan yang Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009 berhubungan dengan aplikasi kinerja misalnya pencemaran nama baik, fitnah dan sebagainya tetap mengacu pada KUHP, sehingga batasan tentang delik pers itu menjadi kabur, baik konsep maupun aplikasinya. Sesuai dengan asas profesionalisme, idealnya pertanggungjawaban itu dikaitkan dengan kondisi objektif penerbitan pers yang merupakan kumpulan para profesional. Tanggung jawab harusnya dipikul oleh subjek yang memang berbuat, sesuai dengan deskripsi “politik keredaksian” yang dijadikan dasar oleh lembaga pers. Dengan demikian, akan sesuai dengan asas dalam hukum pidana, “siapa yang berbuat ia harus bertanggung jawab”. Juga, sesuai dengan prinsip keadilan paparan tentang tindak pidana secara materiil yang meletakkan kewajiban secara aktif kepada aparat penegak hukum. Perlindungan hukum terhadap pekerja pers dapat diambil dari konsep perlindungan hukum terhadap orang yang melaksanakan tugas dalam kedudukannya sebagai pegawai negeri. Yakni, orang yang mengganggu dan menyebabkan terhambatnya pekerjaan apalagi sampai melakukan intervensi secara fisik hukumannya ditambah dengan sepertiganya Pasal 212 KUHP dan seterusnya. Konsep demikian, sekurangnya menjadi upaya perlindungan hukum yang memadai. Di atas itu semua, alur berpikir hubungan antara pers dan masyarakat tak perlu dari sisi represif dengan membuat tesis tentang tidak harmonisnya hubungan pers dan masyarakat. Idealnya, karena pers sebagai institusi sosial, semestinya menyuarakan kebenaran di masyarakat. Tak semata-mata demi kebenaran, tetapi terkandung misi untuk menenteramkan dan mendamaikan masyarakat. Karena itu, fakta yang dalam takaran jurnalistik dipandang sebagai sakral dimaknai sedemikian rupa, sehingga terpulang pada seleksi apakah sebuah sajian dipandang menenteramkan dan mendamaikan mayarakat Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009 atau tidak. Kalau tidak, ada kewajiban moral untuk tak menyajikan kepada masyarakat kendati pun secara ekonomis menguntungkan. Manakala kinerja para pekerja pers sampai tahap demikian, akan terwujud pola interaksi harmonis antara pers dan masyarakat. Untuk itu, diperlukan konsistensi atas penegakan hukum terhadap terjadinya delik pers oleh aparat penegak hukum, sehingga warga masyarakat pun terayomi dari tindak arogansi pers. Sementara itu, pekerja pers juga dapat melaksanakana profesinya secara benar. Keseimbangan ini yang belum terwujud di dalam UU Pers sekarang.

BAB III TINDAK PIDANA PERS MENURUT KUH PIDANA DAN