Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
B A B V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat dikemukakan dalam skripsi ini, adalah : 1. Pengaturan kebebasan pers menurut KUHP dan perbandingannya di dalam RUU
KUHP, adalah : a. Hampir semua pasal mengenai tindak pidana pers yang terdapat dalam KUHP
dimasukkan kembali ke dalam RUU KUHP. Ini termasuk sejumlah pasal yang banyak diktitik, yakni pasal-pasal yang berisi penghinaan terhadap penguasa
Haatzaai Artikelen dan pasal-pasal mengenai pencemaran nama baik. Perubahan
yang dilakukan dalam RUU KUHP adalah pada perluasan definisi pers. Dalam
RUU KUHP terlihat, tindak pidana pers dilebarkan dari yang semula mengikuti tiplogi pembagian tindak pidana pers Umar Senoadji tindak pidana pers sempit
ke tindak pidana pers dalam arti luas. Dalam pasal-pasal mengenai pers, tercakup semua jenis media yakni media cetak mempertunjukkan, menempelkan, media
televisi menyiarkan, menempelkan gambar hingga media radio
memperdengarkan rekaman. b. RUU KUHP bukan memperkecil pasal-pasal mengenai tindak pidana pers. RUU
KUHP sebaliknya menambah beberapa pasal mengenai tindak pidana pers. Apa yang tidak diatur dalam KUHP, diatur dalam RUU KUHP.
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
c. Sejumlah tindakan pidana dalam KUHP dijabarkan atau didetilkan lebih lanjut dalam RUU KUHP. Tidak mengherankan jikalau pasal-pasal mengenai tindak
pidana pers lebih banyak terdapat dalam RUU KUHP. Misalnya pasal mengenai permusuhan atau penghinaan terhadap kelompok tertentu. KUHP menggabungkan
permusuhan terhadap golongan, agama dalam satu pasal. Sementara dalam RUU KUHP, pidana penghinaan terhadap kelompok golongan dan agama ini dipisah.
Dalam RUU KUHP juga dimasukkan pidana mengenai penghasutan untuk menidakan keyakinan orang terhadap agama. Tindak pidana lain yang didetilkan
dijabarkan dalam RUU KUHP adalah mengenai berita bohong. Dalam KUHP hanya ada 1 pasal yang mempidanakan penyiaran berita bohong. Sementara
dalam RUU KUHP, selain penyebaran berita bohong juga diatur pidana penyiaran berita yang tidak pas, tidak lengkap dan berlebihan. Dalam hal pengaturan
pornografi. KUHP hanya memuat 2 pasal yang berkaitan dengan penyiaran dan penyebaran materi pornografi. Sementara dalam RUU KUHP, tindakan pidana
pornografi ini diatur dari hulu hingga hilir dari model yang mengeksploitasi daya tarik seksual, pihak yang membuat, pihak yang mendanai hingga pihak yang
menyiarkan dan menyebarluaskan . Bahkan ketentuan dalam RUU KUHP juga menyertakan pidana terhadap pihak yang menyediakan tempat misalnya
museum yang menyelenggarakan pameran seni yang dikategorikan meneksploitasi daya tarik seksual.
d. RUU KUHP memuat kembali ketentuan hukuman yang terdapat dalam KUHP, yakni pencabutan profesi. Dalam tindak pidana pers, paling tidak terdapat 7 pasal
dalam RUU KUHP dimana pelaku bukan hanya dijatuhi hukuman kurungan tetapi
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
juga pencabutan profesi. Pencabutan profesi ini dilakukan jikalau pelaku dalam menjalankan profesinya melakukan tindak pidana yang sama dan pada waktu itu
belum lewat 2 dua tahun sejak adanya putusan pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam konteks pekerjaan jurnalis, wartawan
bisa dicabut profesinya sebagai wartawan jikalau melakukan tindak pidana yang sama.
2. Pengaturan dan efektifitas pemberlakuan UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers dan UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran untuk menanggulangi tindak pidana pers
ini, sebagai berikut : UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers telah menjadi tonggak dalam sejarah
kemerdekaan pers di Indonesia. UU Pers ini lahir karena desakan masyarakat pers yang menginginkan adanya jaminan kemerdekaan pers yang kuat melalui instrumen
hukum. Jaminan yang diinginkan oleh masyarakat pers-pun akhirnya didapat dan UU Pers dalam catatan penulis menjadi satu-satunya UU yang tidak memiliki pengaturan
lebih lanjut dalam bentuk apapun dan menjadikan Dewan Pers menjadi organlembaga negara independen. Namun jaminan kemerdekaan secara legal formal
nampak belum cukup menjamin anggota masyarakat pers lepas dari segala bentuk tindak kekerasan dan juga berbagai tuntutan hukum, baik pidana ataupun perdata, dari
individu atau kelompok masyarakat yang merasa dirugikan dengan adanya pemberitaan pers.
Paradigma yang dianut dalam RUU KUHP berbeda dengan paradigma yang ada dalam Undang-Undang Pers UU No. 40 tahun 1999 dan Undang-Undang Penyiaran
UU No. 32 tahun 2002. Kedua Undang-Undang ini dibangun dengan prinsip
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
membangun media dalam ranah demokrasi. Media ditempatkan sebagai mediun yang penting untuk menumbuhkan semangat demokratis dan sebagai saluran kontrol
kepentingan publik. Tentu saja dalam melakukan tugasnya, pers bisa salah. Tetapi kesalahan itu tidak lantas dihukum dengan ancaman pidana. Undang-Undang pers
lebih mengedepankan semangat membangun pers agar tumbuh sehat dan bertanggungjawab dengan penyelesaian lewat jalur mediasi melalui hak jawab dan
penyelesaian Dewan Pers. Jika ada berita media yang tidak akurat, narasumber dapat menggunakan haknya untuk mengkoreksi pemberitaan media. Undang-Undang Pers
menjamin, pers wajib memberikan hak jawab dari narasumber yang merasa diberitakan secara tidak benar oleh media.
3. Mekanisme kontrol kebebasan pers di Indonesia, adalah : Pers sebagai alat kontrol sosial untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan
kekuasaan abuse of power seharusnya dapat bekerja secara profesional sesuai kode etik. jurnalistik. Fungsi pers sebagaimana diatur dalam pasal 5 UU Pers No. 40 Tahun
1999, mengatakan bahwa: a. Pers Nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan
menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.
b. Pers wajib melayani Hak Jawab. c. Pers wajib melayani Hak Koreksi. Berdasarkan ketentuan tersebut, pers nasional
dalam menyiarkan informasi dilarang keras membuat opini atau menyimpulkan kesalahan seseorang, terlebih jika kasus yang diliput itu masih dalam proses
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
peradilan. Penyiaran informasi itu harus berimbang dari sumber berita pihak terkait dan sesuai dengan fakta yang terungkap di lapangan.
Mekanisme kontrol etika diperlukan untuk dapat melindungi pihak lain dari penyalahgunaan penderitaan. Kontrol tersebut dapat dilakukan melalui cara :
a. Melalui Organisasi Profesi. Mekanisme kontrol melalui organisasi profesi dapat dilakukan sepanjang ada satu
organisasi jurnalis yang kuat, berpengaruh, dan berwibawa. Selain itu seluruh jurnalis tergabung dalam satu organisasi jurnalis atau setidaknya mempunyai
kewajiban untuk bergabung dengan salah satu organisasi jurnalis. Mekanisme ini sangat ideal karena sebagai contoh tentang pelaksanaan prinsip self regulating
society yang bebas dari pengaruh pihak manapun termasuk negara. Namun praktek inipun membutuhkan berbagai parameter sehingga organisasi jurnalis
memperoleh kepercayaan dari masyarakat. Tanpa kepercayaan yang tinggi dari masyarakat, maka akan sulit kontrol tersebut dilaksanakan melalui organisasi
profesi. c.
Melalui Lembaga Pengadilan Mekanisme kontrol melalui pengadilan merupakan salah satu mekanisme resmi
yang diakui dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum. Namun penggunaan mekanisme ini berbahaya, karena melegitimasi campur tangan negara dalam suatu
masyarakat sipil yang terorganisir. Selain itu, penggunaan mekanisme itu tidak memberikan pembelajaran bagi peningkatan profesionalitas.
c. Melalui Lembaga Quasi Negara
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
Mekanisme ini digunakan ketika tidak ada satupun organisasi profesi jurnalis yang kuat, berpengaruh, dan berwibawa. Mekanisme ini merupakan pilihan yang
baik jika tidak ada kewajiban bagi jurnalis untuk bergabung di salah satu organisasi profesi. Namun, lembaga ini haruslah diberikan kewenangan yang
cukup untuk dapat melakukan penindakan dan memberikan sanksi terhadap setiap pelanggaran etika.
d. Pentingnya Pembentukan RUU P4 Penyelesaian Perselisihan Pemberitaan Pers. Pembentukan RUU P4 ini sangat penting untuk mengatasi berbagai kelemahan
dari UU Pers. UU Pers sedari awal memiliki kelemahan yang juga diakui oleh Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa diperlukan adanya improvisasi dalam
menciptakan yurisprudensi agar perlindungan hukum terhadap insan pers dan sekaligus juga menempatkan UU Pers sebagai lex specialist karena diakui sendiri
oleh Mahkamah Agung bahwa UU Pers belum mampu memberikan perlindungan terhadap kemerdekaan pers terutama dalam hal adanya delik pers karena tidak
adanya ketentuan pidana dalam UU Pers dan diberlakukan ketentuan KUHP.
B. Saran – Saran