Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
Eropa. Bahkan di masa ini, surat kabar-surat kabar di Asia Tenggara, banyak yang menggunakan byline. Hanya pers kita saja yang kebanyakan tetap keukeuh hidup tanpa
byline. Alasan klise, kuatir membahayakan wartawan
20
B. Peraturan-Peraturan yang Mengatur Tindak Pidana Pers di Indonesia
. Bukan sekadar klise, tapi juga sulit diterima nalar sehat. Dalam satu penerbitan
surat kabar, dengan ratusan kepala berita, berita rawan sering tak mencapai 10 persen. Persoalannya, apakah yang 90 persen sisanya rela dihancurkan hanya karena pemahaman
keliru tentang byline? Orang meletakkan byline pertama-tama adalah agar para wartawan terdorong untuk lebih bertanggung jawab terhadap karyanya sendiri. Ini masalah
accountability. Wartawan yang baik bekerja setransparan dan sejujur mungkin. Bagaimana dengan firewall? Ini juga pekerjaan rumah pers Indonesia. Dalam
dunia persuratkabaran, garis tipis yang memagari wilayah berita dan iklan adalah suatu keharusan. Semangat yang hendak dijunjung tinggi adalah wartawan tak boleh
mencampuri urusan bisnis, dan bisnis tak boleh sekali-sekali mendikte redaksi. Semua perlu dibuat transparan, semua ada koridornya.
Dalam suatu negara yang berpaham demokrasi, maka perlindungan hak asasi manusia harus mendapat tempat dalam konstitusi. Tanpa perlindungan konstitusional,
maka perlindungan hak asasi manusia menjadi tidak berguna. Demikian pula yang terjadi di Indonesia, sejak gerakan reformasi yang kemudian menjatuhkan Presiden Soeharto
pada 1998, telah muncul kehendak kuat dari seluruh rakyat untuk melakukan perubahan terhadap perubahan UUD 1945. Berbagai perlindungan ini, antara lain :
20
Ibid
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
1. Pasal 28F UUD Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan II 2. Pasal 20 dan 21 TAP MPR RI XVIIMPR1998 tentang Piagam HAM
3. Pasal 14 UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM 4. Undang Undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers
5. Undang Undang No 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights.
Pers sebagai alat kontrol sosial untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan abuse of power seharusnya dapat bekerja secara profesional sesuai kode etik
jurnalistik. fungsi pers sebagaimana diatur dalam pasal 5 UU Pers No 40 Tahun 1999, mengatakan bahwa: 1 Pers Nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini
dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah, 2 Pers wajib melayani Hak Jawab, 3 Pers wajib melayani Hak
Pers. Mengenai nilai-nilai kebebasan pers sendiri, hal tersebut telah diakomodir di
dalam UUD 1945 yang telah diamandemen, yaitu diatur dalam Pasal 28, Pasal 28 E Ayat 2 dan 3 serta Pasal 28 F. Oleh karena itu jelas negara telah mengakui bahwa
kebebasan mengemukakan pendapat dan kebebasan berpikir adalah merupakan bagian dari perwujudan negara yang demokratis dan berdasarkan atas hukum.
Namun demikian, perlu disadari bahwa insan pers tetaplah warga negara biasa yang tunduk terhadap hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini, bagaimanapun juga
asas persamaan dihadapan hukum atau equality before the law tetap berlaku terhadap semua warga negara Indonesia termasuk para wartawan, yang notabene adalah insan
pers. Asas persamaan di hadapan hukum tersebut juga diatur secara tegas dalam UUD
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
1945 yang telah diamandemen yaitu di dalam Pasal 27 Ayat 1 dan Pasal 28 D Ayat 1. Dengan demikian para insan pers di Indonesia tidak dapat dikecualikan atau memiliki
kekebalan immune sebagai subyek dari hukum pidana dan harus tetap tunduk terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP yang berlaku di Indonesia
21
21
Juniver Girsang, SH.MH, Perlu Kepastian Hukum Pers, diakses dari situs :
. Berdasarkan ketentuan tersebut, pers nasional dalam menyiarkan informasi
dilarang keras membuat opini atau menyimpulkan kesalahan seseorang, terlebih jika kasus yang diliput itu masih dalam proses peradilan. Penyiaran informasi itu harus
berimbang dari sumber berita pihak terkait dan sesuai dengan fakta yang terungkap di lapangan. Konsekuensi pelanggaran ketentuan tersebut akan berdampak, selain
merugikan hak asasi orang lain juga merusak nama baik perusahaan pers tersebut. Jika hak orang lain dilanggar, orang yang dirugikan itu bisa dendam atau berdampak negatif
terhadap pers. Nah, inilah salah satu penyebab mengapa sering terjadi kekerasan terhadap pers. Terkecuali, ketika pers meliput berita aktual pihak terkait mencoba menghalang-
halangi pemberitaan pers bahkan sampai mengancam pers, karena takut terbongkar skandal yang diperbuat, sesuai pasal 18 ayat 1 UU Pers, seseorang yang secara
melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan berakibat menghambat pelaksanaan Pasal 4 ayat 2 dan 3 yaitu melakukan penyensoran, pemberedelan atau pelarangan
penyiaran serta membatasi kemerdekaan pers, mencari, memperoleh dan menyampaikan gagasan dan informasi, dipi- dana paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp
500 juta.
http:www.suara- pembaruan.com, tanggal 4 September 2005.
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
Dewasa ini, saat gencarnya pemerintah memberantas berbagai praktik korupsi, kolusi, nepotisme KKN di berbagai instansi pemerintah maupun swasta, kehadiran pers
sangat dibutuhkan untuk menginformasikan berita yang benar, jujur dan adil. Namun, dalam prak- tiknya, pers sering memojokkan kesalahan seseorang, yang sebenarnya
belum tentu bersalah. Terkadang ada kesan bahwa pers mempunyai kepentingan dengan suatu pemberitaan, akhirnya yang bersangkutan dianggap publik bersalah. Ini merupakan
pelanggaran hukum asas praduga tak bersalah seperti diatur dalam Pasal 5 ayat 1 UU Pers. Padahal, seseorang itu baru dianggap terbukti bersalah, jika telah divonis bersalah
oleh pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap incrach van gewijde. Terjadinya sengketa pers, biasanya karena pemberitaan pers melukai perasaan orang lain.
Sekalipun redaksi bertanggung jawab dan berhak memuat suatu berita, ada kesan bahwa pers mempunyai kepentingan dengan suatu pemberitaan, hingga memeti-eskan suatu
tanggapan berita. Ketika diadakan hak jawab atau hak koreksi, pihak pers tak berkenan melayaninya
22
Mestinya, jika ada pihak terkait menanggapi suatu pemberitaan, penulis meminta pers terbuka, menerima dan memuat beritanya, sekaligus meminta maaf seperti yang
pernah dilakukan oleh Pemimpin Redaksi surat kabar Sinar Indonesia Baru SIB Dr GM Panggabean mengenai karikatur nasib suar-sair dan permintaan maaf Pemred surat
kabar Denmark Jyllands-Posten: Carsten Juste atas penerbitan kartun Nabi Muhammad yang memancing kemarahan muslim di seluruh dunia, sehingga persoalan demikian tak
perlu diselesaikan secara pro-yustisia hingga ke pengadilan. Cukuplah diselesaikan lewat klarifikasi pemberitaan sebagaimana diatur dalam pasal 5 ayat 2 dan 3 UU Pers.
.
22
Syahriani, Kriminalisasi Pers Vs Pilar Demokrasi, harian Waspada, edisi, Senin, 25 April 2006.
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
Akan tetapi, jika perusahaan pers tak mau melayani hak jawab maupun koreksi tersebut, pihak yang merasa dirugikan dapat menggugatnya secara perdata menggunakan
UU Pers, dengan hukuman denda paling banyak Rp 500 juta. Jadi kalau ada kasus seperti ini masuk ke pengadilan menggunakan aturan KUHP bahkan diputus hakim berdasarkan
pasal 310 atau 311 KUHP, aparat penegak hukum yang menangani kasus ini sangat keliru menggunakan payung hukum KUHP.
Karena fungsi pengadilan adalah untuk memeriksa, menerima dan mengadili perkara, maka solusinya: pertama, setiap perkara yang menyangkut sengketa pers yang
diajukan oleh penyidik kepolisian dan penuntutan kejaksaan ke pengadilan harus memperhatikan secara hati-hati fakta yang terjadi. Jika perbuatan itu dilakukan secara
langsung menghina seseorang tanpa pemberitaan pers, gunakanlah KUHP. Tetapi jika perbuatan penghinaan itu dilakukan secara tidak langsung, artinya lewat pemberitaan
pers, gunakanlah UU Pers. Kedua, jika sengketa pers tersebut tetap diajukan kejaksaan ke pengadilan
menggunakan Pasal 310 2 KUHP, hakim sesuai wewenangnya pada pasal 144 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP sebelum perkara tersebut disidangkan
dapat memerintahkan Jaksa Penuntut Umum agar mengganti atau merubah dakwaan dari pasal KUHP menjadi pasal yang terdapat didalam UU Pers. Ketiga, jika jaksa tak mau
mengubah dakwaannya, maka hakim dapat membebaskan terdakwa dari segala dakwaan jaksa vrijpraak. Persoalannya, apakah para hakim mempunyai kepekaan perasaan naluri
yang sama dalam penegakan hukum pers? Seyogyanya, Ketua Mahkamah Agung MA mengeluarkan semacam surat edaran atau instruksi Ketua MA kepada seluruh hakim agar
satu persepsi menangani sengketa pers lewat UU Pers. Keempat, jika pemerintah tetap
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
mempertahankan tindak pidana pers di dalam KUHP, kalangan pers dapat mengajukan uji material ke Mahkamah Konstitusi, sehingga polemik ganda ketentuan sengketa pers
segera tuntas selesai. Oleh karena itu, setelah terbit UU Pers No 40 Tahun 1999 yang diundangkan
tanggal 23 September 1999, segala tindak pidana pers yang berkaitan dengan pemidanaannya seperti yang tercantum di dalam Pasal 310 ayat 2 KUHP harus diadopsi
dan disempurnakan ke dalam UU Pers, sehingga UU Pers menjadi berdaya guna. Jika KUHP selalu digunakan mengadili tindak pidana pers, percuma dibentuk UU Pers.
Menurut asas hukum dan kepastian hukum hal ini sangat berbahaya bagi terciptanya penegakan hukum, karena ketika hakim menerapkan aturan KUHP, terpaksa
mengesampingkan UU Pers sebagai lex specialis dari KUHP
C. Dualisme Hukum Pers di Indonesia.