Perbandingan Antara Tindak Pidana Pers dalam KHUP dengan Tindak Pidana

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009

C. Perbandingan Antara Tindak Pidana Pers dalam KHUP dengan Tindak Pidana

Pers dalam RUU KUHP Nasional Ada beberapa catatan perbandingan antara tindak pidana pers yang terdapat dalam KUHP dan RUU KUHP, yaitu : Pertama, hampir semua pasal tentang tindak pidana pers yang terdapat dalam KUHP dimasukkan kembali ke dalam RUU KUHP. Ini termasuk sejumlah pasal yang banyak diktitik, yakni pasal-pasal yang berisi penghinaan terhadap penguasa Haatzaai Artikelen dan pasal-pasal mengenai pencemaran nama baik. Perubahan yang dilakukan dalam RUU KUHP adalah pada perluasan definisi pers. Dalam RUU KUHP terlihat, tindak pidana pers dilebarkan dari yang semula mengikuti tiplogi pembagian tindak pidana pers Umar Senoadji tindak pidana pers dalam arti sempit ke dalam arti luas. Dalam pasal-pasal mengenai pers, tercakup semua jenis media yakni media cetak mempertunjukkan, menempelkan, media televisi menyiarkan, menempelkan gambar hingga media radio memperdengarkan rekaman. Kedua, RUU KUHP bukan memperkecil pasal-pasal mengenai delik pers. RUU KUHP sebaliknya menambah beberapa pasal mengenai tindak pidana pers. Apa yang tidak diatur dalam KUHP, ada dalam RUU KUHP. Dalam RUU KUHP terdapat tindakan pidana berupa peniadaan dan penggantian ideologi Pancasila Pasal 214 dan pidana penyebaran dan pengembangan komunisme Pasal 214. Ketiga, sejumlah tindakan pidana dalam KUHP dijabarkan atau didetilkan lebih lanjut dalam RUU KUHP. Tidak mengherankan jikalau pasal-pasal mengenai tindak pidana pers lebih banyak terdapat dalam RUU KUHP. Misalnya pasal mengenai permusuhan atau penghinaan terhadap kelompok tertentu. KUHP menggabungkan Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009 permusuhan terhadap golongan, agama dalam satu pasal. Sementara dalam RUU KUHP, pidana penghinaan terhadap kelompokgolongan dan agama ini dipisah. Dalam RUU KUHP juga dimasukkan pidana mengenai penghasutan untuk menidakan keyakinan orang terhadap agama. Tindak pidana lain yang didetilkan dijabarkan dalam RUU KUHP adalah mengenai berita bohong. Dalam KUHP hanya ada 1 pasal yang mempidanakan penyiaran berita bohong. Sementara dalam RUU KUHP, selain penyebaran berita bohong juga diatur pidana penyiaran berita yang tidak pas, tidak lengkap dan berlebihan. Dalam hal pengaturan pornografi. KUHP hanya memuat 2 pasal yang berkaitan dengan penyiaran dan penyebaran materi pornografi. Sementara dalam RUU KUHP, tindakan pidana pornografi ini diatur dari hulu hingga hilir dari model yang mengeksploitasi daya tarik seksual Pasal 472, pihak yang membuat Pasal 470 dan Pasal 474, pihak yang mendanai Pasal 476 hingga pihak yang menyiarkan dan menyebarluaskan Pasal 471 dan Pasal 474. Bahkan ketentuan dalam RUU KUHP juga menyertakan pidana terhadap pihak yang menyediakan tempat misalnya museum yang menyelenggarakan pameran seni yang dikategorikan mengeksploitasi daya tarik seksual. Keempat, RUU KUHP adanya ketentuan hukuman yang terdapat dalam KUHP, yakni pencabutan profesi. Dalam tindak pidana pers, paling tidak terdapat 7 pasal dalam RUU KUHP dimana pelaku bukan hanya dijatuhi hukuman kurungan tetapi juga pencabutan profesi. Pencabutan profesi ini dilakukan jikalau pelaku dalam menjalankan profesinya melakukan tindak pidana yang sama dan pada waktu itu belum lewat 2 dua tahun sejak adanya putusan pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam konteks pekerjaan jurnalis, wartawan bisa dicabut profesinya sebagai wartawan jikalau melakukan tindak pidana yang sama. Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009 RUU KUHP jelas tidak ramah terhadap kemerdekaan pers karena semangat yang ada dalam Rancangan KUHP terutama berkaitan dengan pers adalah semangat represif. Jika berita pers salah, maka harus dihukum dan dipidana. Ini tidak akan menumbuhkan kehidupan pers yang sehat dan demokratis. Paradigma yang dianut dalam RUU KUHP berbeda dengan paradigma yang ada dalam Undang-Undang Pers UU No. 40 tahun 1999 dan Undang-Undang Penyiaran UU No. 32 tahun 2002. Kedua Undang-Undang ini dibangun dengan prinsip membangun media dalam ranah demokrasi. Media ditempatkan sebagai mediun yang penting untuk menumbuhkan semangat demokratis dan sebagai saluran kontrol kepentingan publik. Tentu saja dalam melakukan tugasnya, pers bisa salah. Tetapi kesalahan itu tidak lantas dihukum dengan ancaman pidana. Undang-Undang pers lebih mengedepankan semangat membangun pers agar tumbuh sehat dan bertanggungjawab dengan penyelesaian lewat jalur mediasi melalui hak jawab dan penyelesaian Dewan Pers. Jika ada berita media yang tidak akurat, narasumber dapat menggunakan haknya untuk mengkoreksi pemberitaan media. Undang-Undang Pers menjamin, pers wajib memberikan hak jawab dari narasumber yang merasa diberitakan secara tidak benar oleh media. Paradigma semacam ini tidak muncul dalam RUU KUHP. Dalam RUU KUHP yang terjadi adalah kriminalisasi kegiatan jurnalis. Apabila pers salah misalnya memberitakan secara tidak benar, dihukum dengan ancaman pidana. Karena itu banyak pasal-pasal dalam RUU KUHP yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Pers UU No. 40 tahun 1999 dan Undang-Undang Penyiaran UU No. 32 tahun 2002. Salah satu ketidaksesuaian tersebut adalah pasal mengenai berita bohong RUU KUHP Pasal 632. Pasal ini hanya mengoper pasal serupa yang ada dalam KUHP Pasal Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009 171. Dalam prakteknya, pasal ini banyak dipakai oleh jaksa penuntut umum atau hakim dalam mengadili sengketa jurnalis terutama pers dinilai tidak memberitakan secara benar suatu peristiwa. Dalam RUU KUHP, media yang salah atau tidak benar dalam pemberitaan, dihukum dengan ancaman pidana. Sementara dalam UU Pers, pendekatan yang dikedepankan adalah mediasi antara pihak yang tidak puas dengan pemberitaan media. Khalayak mempunyai hak jawab, dan pers wajib melayani hak jawab tersebut. Orang yang tidak puas dengan berita media bisa mengajukan keberatan, dan pers wajib memuat ketidakpuasan narasumber. Soal berita bohong ini juga diatur dalam kode etik wartawan Kode Etik Wartawan Indonesia, butir 4 : wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis, cabul, serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila. Oleh karena itu penggunaan instrumen hak jawab, yang diatur dalam Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers menjadi penting, karena merupakan upaya untuk mewujudkan keseimbangan antara kemestian pers bebas dan upaya perlindungan kepentingan individu dari pemberitaan pers yang keliru. Penggunaan hak jawab, kewajiban hak jawab, dan hak koreksi sebagai prosedur yang harus dilalui sebelum pers diminta pertanggungjawaban hukum dalam hal terjadi adanya dugaan perbuatan melanggar hukum. Jika hak jawab tersebut tidak digunakan, maka pemberitaan yang dilakukan oleh pers mengandung kebenaran atau paling tidak mempunyai nilai estimasi karena sudah dianggap memenuhi batas minimal investigasi reporting yaitu mencari, menemukan, dan menyelidiki sumber berita, sehinga paling tidak sudah terpenuhi pemberitaan yang berimbang. Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009 Oleh karena itu, penting untuk melihat pendapat Mahkamah Agung bahwa unsur melawan hukum dalam KUHP danatau RUU KUHP tidak bisa hanya dilihat dari sudut pandang ketentuan KUHP danatau RUU KUHP. Apalagi, tindakan yang dilakukan oleh wartawan dilakukan berdasarkan.

D. Wacana Dekriminanalisasi Pers di Indonesia