Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI TINDAK PIDANA PERS
A. Sejarah Singkat Mengenai Tindak Pidana Pers
Berbicara mengenai tindak pidana pers pertama di Indonesia, dapat kita lihat dari ”Babad Ranggawarsitan” yang diterbitkan di Solo menjelang Perang Dunia II disebutkan
adanya sebuah kasus yang kini tergolong sebagai tindak pidana pers yang ditudingkan oleh Residen Yogyakarta berkebangsaan Inggris pada era ketika Thomas Raffles
memerintah sementara di Hindia Belanda yang memprotes pemuatan tulisan yang menjadikan sang residen itu tidak senang.
Konsekuensi kasus ini harus diambil oleh Susuhunan Surakarta, Paku Buwono IV PB IV, mengingat muskilnya status politik antara Solo dan Yogya pada masa itu. Yang
terasa kurang patut adalah sikap cuci tangan Frederik Winter selaku Pimpinan Redaksi Bramartani yang melemparkan tanggung jawabnya kepada Raden Ngabehi
Ranggawarsita yang kala itu hanyalah seorang konsultan Frederik Winter. ”Karena kekurangan kepahamannya dalam bahasa Jawa”, Winter menyerahkan kepada
Ranggawarsita keputusan pemuatan tulisan yang semula diperkirakan sebagai tulisan
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
Ranggawarsita. Mengingat Bramartani sebagai penerbitan berbahasa Jawa berdomisili di Surakarta, menjadikan Paku Buwono IV tempat bertanya sang Residen, terkena getahnya
berkaitan dengan pemuatan tulisan tanpa nama penulis itu. Kemuskilan kasus ini perlu kita perhatikan bahwa sekaligus kasus delik pers ini
melibatkan seorang residen berkebangsaan Inggris yang meminta pertanggungjawabannya antara lain melalui PB IV. Padahal yang sesungguhnya harus
bertanggung jawab tentulah sang Pemimpin Redaksi, yakni Frederik Winter, namun melemparkan tanggung jawabnya kepada Ranggawarsita
16
Kasus Bramartani mengandung beberapa hal kelabu. Pertama, pernyataan Frederik Winter yang melempar tanggung jawabnya kepada Ranggawarsita karena
Winter menganggap Ranggawarsita lebih arif tentang bahasa Jawa. Begitu teganya .
Antiklimaksnya, walaupun pada mulanya baik Winter maupun Ranggawarsita tidak mengungkapkan siapa penulisnya, namun kebetulan sang penulis muncul di
ruangan di mana kasus sedang dibicarakan antara Winter dan Ranggawarsita, yang mungkin juga disaksikan orang ketiga dari Kraton Surakarta. Maka terungkaplah misteri
penulis karangan yang tidak menyenangkan sang Residen Yogya itu. Buku babad Ranggawarsitan tidak mengungkap nama penulis tulisan yang kita
perkirakan sebuah kasus delik pertama dalam sejarah pers Indonesia itu. Memperingati hari lahir Ranggawarsita yang menurut Kalender Masehi pada 15 Maret 1802 kasus
tindak pidana pers yang kita duga sebagai yang pertama di Nusantara ini, sangat relevan dengan kembalinya kebebasan pers di Indonesia.
16
Winarta Adisubrata, Delik Pers Pertama di Indonesia, diakses dari situs : httpwww.hukumonline.com, tanggal 6 Oktober 2006.
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
Frederik Winter mengorbankan sahabatnya itu, padahal Pemimpin Redaksi Bramartani itu adalah seorang doktor bahasa Kawi yang berhasil menyusun Kamus Bahasa Kawi-
Belanda. Kasus tindak pidana pers yang melibatkan Bramartani sepintas lalu tidak ada masalah lanjutan. Tanpa ada tuntutan hukum dari pihak yang merasa dirugikan. Namun
secara deduktif dan spekulatif, peristiwa tindak pidana pers itu kita perkirakan berkaitan dengan kalimat perpisahan Ranggawarsita di mana ia menyatakan dirinya melihat tinggal
delapan hari hidupnya di dunia seperti disebutkan dalam Lukilmakful Amung kirang wolung hari kang dinulu, kasebat ing Lukil Makful. Secara harfiah kalimat perpisahan
itu dapat diartikan sesungguhnya Ranggawarsita bisa mengintip “Lukil Makful” yakni Kitab Rahasia Illahi termasuk tentang kapan maut akan kita. Suatu hal yang secara
rasional tidak masuk di akal kita bahwa Ranggawarsita memiliki kemampuan ini. Namun Ranggawarsita dapat menyatakan diri sebelum delapan hari ia dipanggil oleh Tuhan ia
sudah bisa menuliskan hari Rebo Pon lengkap dengan bulan dan tahunnya. Maka wajar timbul dua spekulasi lain yang menyebutkan, pertama Ranggawarsita meninggal karena
minum racun bunuh diri, yang tidak masuk di akal karena Ranggawarsita adalah seorang muslim yang taat beragama. Dan kalimat terakhir yang ditulisnya pun berbunyi:
Borong Anggo Suwargo Mesi Matoyo yang bermakna berserah diri kepada Allah Yang Maha Agung apakah ia akan diterima di sisiNya. Ranggawarsita meninggal pada 24
Desember 1873. Kedua, teori lain memperkirakan PB IV menyuruh Ranggawarsita bunuh diri. Suatu hal yang mengingatkan kita kepada Sokrates di jaman Yunani sekian
ribu tahun lalu. Mungkinkah Ranggaswarsita disuruh bunuh diri berkaitan dengan kasus
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
tindak pidana pers yang mengaitkan Inggris, Belanda dan Kraton Surakarta. Suatu kasus menarik bagi para peneliti sejarah pers Indonesia maupun peneliti sastra Jawa
17
Menurut Andreas Harsono, praktisi jurnalisme, sejarah pers Indonesia hampir tanpa garis sambung. Pers Indonesia hari ini bukanlah kelanjutan pers kolonial Belanda,
apalagi keturunan langsung Bataviasche Nouvelles en Politique Raisonnementen Pemberitaan dan Penalaran Politik Batavia, organisasi berita yang didirikan Jan Erdman
Jordens pada 1744 .
18
Surat kabar-surat kabar di masa kolonial Belanda mulai Bataviasche Courant sampai Slompret Melaju, Bintang Timur sampai Bintang Barat, atau Java Bode sampai
Medan Prijaji habis pengaruhnya oleh berbagai sebab. Mereka berhenti terbit karena modal cekak atau dibredel rezim kolonial. Puncaknya, penguasa perang Jepang menyapu
bersih seluruh penerbitan, sehingga Indonesia prakemerdekaan praktis hanya punya satu penerbitan, Djawa Shimbun. Baru kemudian Jepang memberikan izin pada lima
penerbitan lain: Asia Raja, Tjahaja, Sinar Baru, Sinar Matahari, dan Suara Asia. Itu pun mereka hanya dibolehkan terbit dalam bahasa Indonesia, dan operasi mereka diawasi
ketat oleh lembaga sensor Djawa Shinbunkai. Waktu Jepang terusir, Belanda mencoba menghidupkan lagi institusi-institusi pemberitaannya. Kantor Berita Aneta misalkan,
kembali didirikan menggantikan fungsi Domei. Di bawah kuasa lembaga grafika, Grafische Raad, Belanda menerbitkan sedikitnya dua surat kabar, Het Dagblad dan
Nieuwgier. Atas nama revolusi dan sebangsanya, belakangan seluruh insitusi pers peninggalan Belanda dan Jepang masuk ke dalam kerangka pikir nasionalisasi
.
17
Ibid.
18
Agus Sopyan, Meski Masih Beroperasi dalam Jargon Politik - Spirit Pelopor Pers Mahasiswa Masih Ada, diakses dari situs : http:www.pikiran-rakyat.com, Sabtu, 17 September 2005.
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
sebagaimana beralihnya perusahaan-perusahaan swasta eks mereka ke tangan pemerintah Republik Indonesia
19
Di masa inilah pers mahasiswa bermunculan, untuk kemudian menyalak pada kekuasaan Orde Baru yang mulai memperlihatkan watak aslinya sebagai rezim gila uang,
yang antara lain ditandai oleh derasnya aliran modal asing. Terbawa atau tidak oleh romantisme masa lalu, yang menempatkan pers sebagai pejuang politik, pers mahasiswa
beroperasi dalam jargon-jargon politik. Penerbitan mereka bahkan hampir susah dibedakan antara organisasi pers dan pamflet politik. Pers mahasiswa di tiga kota
perguruan tinggi terkuat -- Salemba dan Tridharma di Jakarta, Kampus, Berita ITB, Integritas dan Mahasiswa Indonesia di Bandung, atau Muhibah di Yogyakarta secara
gegap gempita mengkritik kebijakan Orde Baru seraya mengajak publik untuk terus mengawasi jalannya pemerintahan. Suara bising mereka tak berkenan di hati penguasa.
Seluruh penerbitan yang disebut tadi, ditambah Aspirasi, organ pers mahasiswa dari Palembang, kena berangus. Tapi sejarah sudah kadung teranyam dan trend setter pers
mahasiswa sudah kadung tercetak: bahwa pers mahasiswa adalah pejuang politik. .
Sejarah pers Indonesia dengan segala karakter kebebasannya barangkali baru dimulai ketika Indonesia memasuki demokrasi liberal pada 1950-an. Hanya sebentar
sebab beberapa tahun kemudian, hampir seluruh institusi pers menikah dengan organisasi-organisasi politik dan menjadi pembawa aspirasi suara politisi. Pernikahan
singkat. Pada 1970-an, situasi politik berubah drastis ketika Jenderal Soeharto tuntas mengambil alih kekuasaan dari Soekarno. Pers masuk ke dalam suatu tatanan masyarakat
yang lebih tertib.
19
Ibid
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
Sebenarnya hal tersebut bukan suatu kekeliruan, sebab media juga berurusan dengan use and gratification, kerangka berpikir yang mendasari motif pemuasan
kebutuhan pelaku media. Jurnalisme politik juga bagus untuk mengontrol kekuasaan agar tak sewenang-wenang dengan kebijakannya. Soalnya adalah sering karena mereka asyik-
masyuk dengan spektrum isu politik, isu-isu lain di sekitarnya jadi terabaikan. Pers mahasiswa sering tak punya kemampuan menyelami kebutuhan audiensnya akan
informasi-informasi aktual yang mestinya mereka dapatkan. Audiens umpamanya, tak tahu di mana letak beasiswa berada kalau mereka hendak meneruskan kuliah ke luar
negeri. Audiens juga tak tahu bagaimana menjadi hackers yang baik, membeli barang- barang murah dengan harga mahasiswa dan sebagainya. Pengelola media kampus pada
akhirnya berhutang banyak informasi kepada publiknya, dan secara otomatis memukul rata publiknya sebagai audiens politik. Yang lebih celaka, mereka mengumpat teman-
teman sendiri sebagai kaum apolitis hanya karena emoh membeli penerbitan yang mereka kelola.
Lepas dari kegelian seperti itu, tentu tidak dapat dilupakan kepeloporan mereka. Kepeloporan itu adalah banyaknya pers mahasiswa yang mulai menggunakan byline dan
pagar api firewall. Byline adalah pencantuman nama terang di bawah kepala berita atau judul artikel. Sedangkan pagar api adalah garis tipis yang membatasi wilayah berita dan
iklan. Mengacu pada penggunaan byline untuk kali pertamanya pada 1850-an oleh Charles S. Taylor, penerbit harian The Boston Globe di New England, pers Indonesia
jelas ketinggalan lebih dari satu abad. The Boston Globe sendiri menggunakan byline agar para wartawannya lebih berhati-hati dengan laporan-laporan mereka. Inovasi Taylor
ini perlahan-lahan ditiru oleh suratkabar lain, di seluruh Amerika dan sejumlah negara
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
Eropa. Bahkan di masa ini, surat kabar-surat kabar di Asia Tenggara, banyak yang menggunakan byline. Hanya pers kita saja yang kebanyakan tetap keukeuh hidup tanpa
byline. Alasan klise, kuatir membahayakan wartawan
20
B. Peraturan-Peraturan yang Mengatur Tindak Pidana Pers di Indonesia