Dualisme Hukum Pers di Indonesia.

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009 mempertahankan tindak pidana pers di dalam KUHP, kalangan pers dapat mengajukan uji material ke Mahkamah Konstitusi, sehingga polemik ganda ketentuan sengketa pers segera tuntas selesai. Oleh karena itu, setelah terbit UU Pers No 40 Tahun 1999 yang diundangkan tanggal 23 September 1999, segala tindak pidana pers yang berkaitan dengan pemidanaannya seperti yang tercantum di dalam Pasal 310 ayat 2 KUHP harus diadopsi dan disempurnakan ke dalam UU Pers, sehingga UU Pers menjadi berdaya guna. Jika KUHP selalu digunakan mengadili tindak pidana pers, percuma dibentuk UU Pers. Menurut asas hukum dan kepastian hukum hal ini sangat berbahaya bagi terciptanya penegakan hukum, karena ketika hakim menerapkan aturan KUHP, terpaksa mengesampingkan UU Pers sebagai lex specialis dari KUHP

C. Dualisme Hukum Pers di Indonesia.

Kemerdekaan dan kebebasan pers di Indonesia mulai mendapatkan ruang setelah reformasi pada tahun 1998. Hal ini bahkan semakin dipertegas dengan pengakuan dan landasan hukum melalui UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers untuk menggantikan Undang-Undang Pokok Pers No. 21 Tahun 1982 yang dinilai represif dan membelenggu kemerdekaan dan kebebasan pers. 23 Seperti yang telah disebutkan di atas, landasan hukum bagi kemerdekaan dan kebebasan pers tertuang dalam Pasal 2 dan Pasal 4 UU No. 40 Tahun 1999. Lebih dari itu, undang-undang yang sama juga menegaskan adanya ancaman hukuman bagi siapapun yang menghalangi kemerdekaan pers, sebagaimana tertuang dalam Pasal 18 23 Juniver Girsang, Op.cit, hal. 5. Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009 ayat 1 UU No. 40 tahun 1999, yang berbunyi : “setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berkaitan menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat 2 dan ayat 3 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 dua tahun atau denda paling banyak Rp. 500 juta”. Landasan hukum yang diberikan oleh UU No. 40 tahun 1999 itu semakin kuat setalah muncul amandemen UUD 1945 yang antara lain menyatakan di dalam Pasal 28 F, bahwa : “setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengna menggunakan segala jenis saluran yang ada”. 24 Meskipun demikian, setiap kebebasan tentu memiliki batas yang disepakati berdasarkan kaidah kultural dalam kehidupan bermasyarakat. Begitu pula kemerdekaan dan kebebasan pers tidak berari tanpa batas, tanpa rambu-rambu hukum. Ditegaskan dalam Pasal 5 ayat 1 UU No. 40 tahun 1999 yang menyatakan bahwa pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengna menghormati norma-norma agama dan kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Pada bagian Penjelasakan mengenai pasal ini dikemukakan : “pers nasional dalam menyiarkan Berpijak pada dua landasan hukum tersebut, yaitu Pasal 28 F UUD 1945 dan UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, maka pers mendapatkan jaminan hukum yang kokoh dalam menjalankan kemerdekaan dan kebebasannya di Indonesia. Jaminan terhadap kemerdekaan dan kebebasan pers adalah hal yang wajar, dan bahkan sudah seharusnya, karena kebebasan pers merupakan salah satu dimensi hak asasi manusia. 24 Perubahan Keempat Amandemen UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 10 Agustus 2002. Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009 informasi, tidak menghakimi atua membuat kesimpulan seseorang, terlebih lagi umum kasus-kasus yang masih dalam proses peradilan, serta dapat mengakomodasikan kepentingan semua pihak yang terkait dalam pemberitaan tersebut”. Pasal 5 ayat 1 beserta Penjelasannya inilah yang dinilai, terutama oleh kalangan pers, sebagai rambu hukum untuk kebebasan dan kemerdekaan pers yang dimilikinya. Namun, dalam perkembangannya konsep kemerdekaan dan kebebasan pers, terutama soal batas-batasnya, kerap dimaknai secara berbeda antara pers dan masyarakat. Rumusal Pasal 5 ayat 1 UU No. 40 tahun 1999 seringkali diangap terlalu luas untuk ditafsirkan secara hukum, dalam arti tidak memberikan klausul-klausul rinci atau kriteria apa saja yang tergolong menghormati norma-norma agama dan kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bresalah itu. Masyarakat umum tidak mendapatkan gambaran dan kepastian hukum tentang, misalnya apakah tindakan penghinaan, pencemaran nama baik, menyatakan permusuhan dan sebagainya, termasuk pelanggaran oleh pers atau tidak. Bahkan, tidak berlebihan pula jika akhrinya masyarakat menganggap pasal tersebut tidak jelas dan terlalu melindungi konsep kebebasan dan kemerdekaan pers. 25 Sebaliknya, pihak pers menilai Pasal 5 ayat 1 UU No. 40 tahun 1999 beserta Penjelasannya tersebut sudah cukup jelas, dan sebagai implementasinya, di dunia pers dikenal prinisp dan etika jurnalistik, yaitu fair jujur, cover both sides berimbang dari kedua belah pihak, check and recheck, objektif, tidak mencampurkan fakta dan opini, serta tidak bias. Sekalipun demikian, sebagian masyarakat tetap menilai bahwa makna kebebasan dan kemerdekaan pers yang dituangkan dalam karya jurnalistik atau pemberitaan sering kelewat batas. Bahkan sampai muncul istilah pers “kebablasan”. 25 Lukas Luwarso, Kebebasan Pers dan Penegakan Hukum, Dewan Pers UNESCO, 2003, hal. 5. Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009 Berita yang disajikan oleh pers dianggap kerap menimbulkan efek negatif yang harus ditanggung oleh warga masyarakat akibat arogansi pers yang menafsirkan kemerdekaan dan kebebasan pers dengan terlampau longgar. Memang harus diakui, di satu sisi pers merupakan representasi dari hak untuk mengeluarkan pendapat dan hak untuk memperoleh informasi. Namun, di sisi lain, sebagian masyarakat menilai interaksi antara masyarakat dan pers semestinya sejajar, tetapi dalam praktiknya telah terjadi ketimpangan. Masyarakat, baik sebagai penerima maupun sebagai subjek informasi, sering merasakan adanya ketidakbenaran dalam pemberitaan yang disajikan oleh pers. Ketimpangan antara pers dan sebagian masyarakat pada akhirnya memunculkan berbagai kecaman terhadap pers. Bahkan dalam kasus-kasus tertentu, masyarakat juga memperkarakan pers ke pengadilan dengan tujuan memenjarakan pidana penjara insan pers. Padahal, pihak pers berharap setiap kasus pers harus diselesaikan bukan dengan KUHP sepanjang menyangkut karya jurnalistik, melainkan dengan UU Pers. Di luar karya jurnalistik, misalnya seorang wartawan melakukan pencurian, pemerasan, pembunuhan dan sebagainya barulah digunakan KUHP. Pada kenyataannya, perbedaan pandangan hukum dualisme hukum ini telah muncul dalam sejumlah perkara hukum pers di Indonesia. Hal ini memunculkan dua kubu yang saling berseberangan. Kubu pertama adalha pihak yang merasa telah terjadi pembelengguan kebebasan pers melalui jalur hukum pidana KUHP di luar UU Pers. Kubu ini umumnya diwakili oleh pihak pers. Sedangkan kubu lainnya adalah pihak yang merasa bahwa pers sudah “kebablasan” sehingga perlu diterapkan KUHP. Kubu ini Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009 umumnya diwakili oleh negara, melalui polisi, jaksa, hakim dan pihak masyarakat yang merasa dirugikan oleh pers, akhirnya terjadilan perang hukum.

D. Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Pers Indonesia