Tindak Pidana Pers di dalam UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009 Jika UU Pers, bukan lex specialis, UU ini justru memperberat hukuman bagi pers, bukannya melindungi l KUHP Pasal 63 ayat 1 yang berbunyi : “Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan itu; jika berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat”. 2. Setiap komplain harus ditanggapi secara serius 3. Perlu ditawarkan Hak Jawab, Hak Koreksi, Klarifikasi, Jasa Ombudsman atau penyelesaian melalui Dewan pers.

BAB IV TINJAUAN YURIDIS MENGENAI TINDAK PIDANA PERS

MENURUT UU No. 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS

A. Tindak Pidana Pers di dalam UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers selanjutnya disebut dengan UU Pers telah menjadi tonggak dalam sejarah kemerdekaan pers di Indonesia. UU Pers ini lahir karena desakan masyarakat pers yang menginginkan adanya jaminan kemerdekaan pers yang kuat melalui instrumen hukum. Jaminan yang diinginkan oleh masyarakat pers pun akhirnya didapat dan UU Pers dalam catatan penulis menjadi satu-satunya UU yang tidak memiliki pengaturan lebih lanjut dalam bentuk apapun dan menjadikan Dewan Pers menjadi organlembaga negara independen. Namun jaminan kemerdekaan secara legal formal nampak belum cukup menjamin anggota masyarakat pers lepas dari segala bentuk tindak kekerasan dan juga berbagai tuntutan hukum, baik pidana ataupun perdata, dari individu atau kelompok masyarakat yang merasa dirugikan dengan adanya pemberitaan pers 38 Meski Mahkamah Agung melalui putusannya No 1608 KPID2005 dalam kasus Bambang Harymurti telah menyatakan bahwa kebebasan pers merupakan conditio sine qua non bagi terwujudnya demokrasi dan Negara berdasar atas hukum, maka tindakan hukum yang diambil terhadap pers yang menyimpang tidak boleh membahayakan sendi-sendi demokrasi dan negara berdasarkan hukum oleh karena itu proses pemidanaan terhadap pers tidak mengandung upaya penguatan pers bebas malah membahayakan kehidupan pers bebas. Sampai saat ini masih terdapat empat perkara pemidanaan terhadap pemberitaan pers yang masih dalam proses pengadilan. Yaitu kasus Supratman Redaktur Eksekutif Harian Rakyat Merdeka dalam kasus penghinaan terhadap Presiden, Risang Bima Wijaya Pemimpin Redaksi Radar Yogya dalam kasus . 38 S. Sinancari Ecep, UU Pers Nasional, diakses dari situs : httpwww.hukumonline.com, tanggal 20 Januari 2006. Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009 pencemaran nama baik, Teguh Santosa Redaktur Eksekutif Rakyat Merdeka Online dalam kasus penodaaan terhadap agama, dan Karim Paputungan Pemimpin Redaksi Harian Rakyat Merdeka, dalam kasus pencemaran nama baik. Sementara dalam konteks gugatan perdata melalui putusan Mahkamah Agung MA No 903 KPDT2005 dalam kasus Tomy Winata Vs. PT Tempo Inti Media, Zulkifli Lubis, Bambang Harymurti, Fikri Jufri, Toriq Hadad, Achmad Taufik, Bernarda Burit, Cahyo Junaedi dan putusan MA No 3173 KPDT1993 dalam kasus Surat kabar Harian Garuda, Y Soeryadi, Syawal Indra, Irianto Wijaya, Yayasan Obor Harapan Medan Vs. Anif kembali menegaskan tentang harus didahulukannya penggunaan hak jawab, kewajiban hak jawab, dan hak koreksi sebagai prosedur yang harus dilalui sebelum pers diminta pertanggungjawaban hukum dalam hal terjadi adanya dugaan perbuatan melanggar hukum. Dalam kasus ini Mahkamah Agung berpegang pada pendapatnya bahwa kebebasan pers merupakan prinsip dasar yang dijamin dalam UUD dan system kenegaraan Republik Indonesia oleh karena itu hak jawab dan penyelesaian melalui lembaga pers merupakan prinsip yang mengatur keseimbangan lembaga pers dan individu atau kelompok. Maka penggunaan hak jawab atau penyelesaian melalui lembaga pers merupakan tonggak yang harus ditempuh sebelum memasuki upaya hukum lain. Namun, berdasarkan catatan AJI Indonesia, selama 2006 masih terdapat 7 tuntutan hukum, pidana dan perdata, terhadap media dan jurnalis. Ujian terhadap UU Pers untuk mampu menyandang gelar lex specialist masih menemui jalan panjang dan berliku. Oleh karena itu dibutuhkan suatu terobosan untuk mengukuhkan kemerdekaan pers yang telah dijamin oleh UUD RI dan juga instrumen Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009 hukum lainnya serta berbagai putusan Mahkamah Agung. Terobosan ini dapat dilakukan melalui revisi UU Pers, akan tetapi revisi ini akan mengundang reaksi keras dari anggota masyarakat pers, karena pada umumnya masyarakat pers memandang curiga bahwa revisi UU Pers justru akan mengundang campur tangan pemerintah seperti yang telah terjadi dalam UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran serta berpotensi untuk melemahkan kemerdekaan pers yang telah dijamin oleh UU Pers. Terobosan lain yang perlu dipikirkan adalah membentuk RUU tentang Penyelesaian Perselisihan Pemberitaan Pers RUU P4 untuk merespon berbagai tuntutan pidana maupun gugatan perdata yang melanda media dan jurnalis di Indonesia dan juga merespon kebuntuan perdebatan tentang penting tidaknya revisi terhadap UU Pers. Pers sebagai alat kontrol sosial untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan abuse of power seharusnya dapat bekerja secara profesional sesuai kode etik. jurnalistik. Fungsi pers sebagaimana diatur dalam pasal 5 UU Pers No. 40 Tahun 1999, mengatakan bahwa: 1 Pers Nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah, 2 Pers wajib melayani Hak Jawab, 3 Pers wajib melayani Hak Koreksi. Berdasarkan ketentuan tersebut, pers nasional dalam menyiarkan informasi dilarang keras membuat opini atau menyimpulkan kesalahan seseorang, terlebih jika kasus yang diliput itu masih dalam proses peradilan. Penyiaran informasi itu harus Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009 berimbang dari sumber berita pihak terkait dan sesuai dengan fakta yang terungkap di lapangan 39 Dewasa ini, saat gencarnya pemerintah memberantas berbagai praktik korupsi, kolusi, nepotisme KKN di berbagai instansi pemerintah maupun swasta, kehadiran pers sangat dibutuhkan untuk menginformasikan berita yang benar, jujur dan adil. Namun, dalam praktiknya, pers sering memojokkan kesalahan seseorang, yang sebenarnya belum tentu bersalah. Terkadang ada kesan bahwa pers mempunyai kepentingan dengan suatu pemberitaan, akhirnya yang bersangkutan dianggap publik bersalah. Ini merupakan pelanggaran hukum asas praduga tak bersalah seperti diatur dalam Pasal 5 ayat 1 UU . Konsekuensi pelanggaran ketentuan tersebut akan berdampak, selain merugikan hak asasi orang lain juga merusak nama baik perusahaan pers tersebut. Jika hak orang lain dilanggar, orang yang dirugikan itu bisa dendam atau berdampak negatif terhadap pers. Inilah salah satu penyebab mengapa sering terjadi kekerasan terhadap pers. Terkecuali, ketika pers meliput berita aktual pihak terkait mencoba menghalang-halangi pemberitaan pers bahkan sampai mengancam pers, karena takut terbongkar skandal yang diperbuat, sesuai Pasal 18 ayat 1 UU Pers, seseorang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan berakibat menghambat pelaksanaan Pasal 4 ayat 2 dan 3 yaitu melakukan penyensoran, pemberedelan atau pelarangan penyiaran serta membatasi kemerdekaan pers, mencari, memperoleh dan menyampaikan gagasan dan informasi, dipidana paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta. 39 Binsar Gultom, Berdayakan UU Pers untuk Mengadili Delik Pers, Harian Kompas, edisi 2 Juli 2006. Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009 Pers. Padahal, seseorang itu baru dianggap terbukti bersalah, jika telah divonis bersalah oleh pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap incrach van gewijde. Terjadinya sengketa pers, biasanya karena pemberitaan pers melukai perasaan orang lain. Sekalipun redaksi bertanggung jawab dan berhak memuat suatu berita, ada kesan bahwa pers mempunyai kepentingan dengan suatu pemberitaan, hingga memeti- eskan suatu tanggapan berita. Ketika diadakan hak jawab atau hak koreksi, pihak pers tak berkenan melayaninya. Mestinya, jika ada pihak terkait menanggapi suatu pemberitaan, penulis meminta pers terbuka, menerima dan memuat beritanya, sekaligus meminta maaf seperti yang pernah dilakukan oleh Pemimpin Redaksi Pemred surat kabar Sinar Indonesia Baru SIB Dr GM Panggabean mengenai karikatur nasib suar-sair dan permintaan maaf Pemred surat kabar Denmark Jyllands-Posten Carsten Juste, atas penerbitan kartun Nabi Muhammad yang memancing kemarahan muslim di seluruh dunia, sehingga persoalan demikian tak perlu diselesaikan secara pro-yustisia hingga ke pengadilan. Cukuplah diselesaikan lewat klarifikasi pemberitaan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat 2 dan 3 UU Pers. Akan tetapi, jika perusahaan pers tak mau melayani hak jawab maupun koreksi tersebut, pihak yang merasa dirugikan dapat menggugatnya secara perdata menggunakan UU Pers, dengan hukuman denda paling banyak Rp 500 juta. Jadi kalau ada kasus seperti ini masuk ke pengadilan menggunakan aturan KUHP bahkan diputus hakim berdasarkan Pasal 310 atau 311 KUHP, aparat penegak hukum yang me- nangani kasus ini sangat keliru menggunakan payung hukum KUHP 40 40 Ibid . Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009 Fungsi pengadilan adalah untuk memeriksa, menerima dan mengadili perkara, maka solusinya, adalah sebagai berikut 41 4. Jika pemerintah tetap mempertahankan delik pers di dalam KUHP, kalangan pers dapat mengajukan uji material ke Mahkamah Konstitusi, sehingga polemik ganda ketentuan sengketa pers segera tuntas selesai. Oleh karena itu setelah terbit UU Pers No 40 Tahun 1999 yang diundangkan tanggal 23 September 1999, segala delik pers : 1. Setiap perkara yang menyangkut sengketa pers yang diajukan oleh penyidik kepolisian dan penuntutan kejaksaan ke pengadilan harus memperhatikan secara hati-hati fakta yang terjadi. Jika perbuatan itu dilakukan secara langsung menghina seseorang tanpa pemberitaan pers, gunakanlah KUHP. Tetapi jika perbuatan penghinaan itu dilakukan secara tidak langsung, artinya lewat pemberitaan pers, gunakanlah UU Pers. 2. Jika sengketa pers tersebut tetap diajukan kejaksaan ke pengadilan menggunakan Pasal 310 2 KUHP, hakim sesuai wewenangnya pada pasal 144 Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana KUHAP sebelum perkara tersebut disidangkan dapat memerintahkan Jaksa Penuntut Umum agar mengganti atau merubah dakwaan dari pasal KUHP menjadi pasal yang terdapat didalam UU Pers. 3. Jika jaksa tak mau mengubah dakwaannya, hemat saya hakim dapat membebaskan terdakwa dari segala dakwaan jaksa vrijpraak. Persoalannya, apakah para hakim mempunyai kepekaan perasaan naluri yang sama dalam penegakan hukum pers? Seyogyanya, Ketua Mahkamah Agung MA mengeluarkan semacam surat edaran atau instruksi Ketua MA kepada seluruh hakim agar satu persepsi me- nangani sengketa pers lewat UU Pers. 41 Ibid Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009 yang berkaitan dengan pemidanaannya seperti yang tercantum di dalam Pasal 310 ayat 2 KUHP harus diadopsi dan disempurnakan ke dalam UU Pers, sehingga UU Pers menjadi berdaya-guna. Jika KUHP selalu digunakan mengadili delik pers, percuma dibentuk UU Pers. Menurut asas hukum dan kepastian hukum hal ini sangat berbahaya bagi terciptanya penegakan hukum, karena ketika hakim menerap- kan aturan KUHP, terpaksa mengesampingkan UU Pers sebagai lex specialis dari KUHP.

B. UU No. 40 tahun 1999 sebagai Lex Specialis Peraturan Pers Indonesia