Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
yang berkaitan dengan pemidanaannya seperti yang tercantum di dalam Pasal 310 ayat 2 KUHP harus diadopsi dan disempurnakan ke dalam UU Pers, sehingga UU
Pers menjadi berdaya-guna. Jika KUHP selalu digunakan mengadili delik pers, percuma dibentuk UU Pers. Menurut asas hukum dan kepastian hukum hal ini sangat
berbahaya bagi terciptanya penegakan hukum, karena ketika hakim menerap- kan aturan KUHP, terpaksa mengesampingkan UU Pers sebagai lex specialis dari KUHP.
B. UU No. 40 tahun 1999 sebagai Lex Specialis Peraturan Pers Indonesia
Semua wartawan Indonesia berkeinginan undang-undang persnya menjadi lex specialis, mengalahkan UU lain yang berlaku umum. Namun, di sini terdapat
persimpangan jalan untuk itu, apakah UU itu tidak atau perlu diperbaiki. Mereka yang berpendapat tidak memerlukan perbaikan beranggapan sudah tepat Undang-Undang UU
Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers langsung menjadi lex specialis. Mereka yang lain menganggap UU tersebut belum memenuhi syarat untuk menjadi lex specialis. Karena
itu, harus dilakukan revisi. Menteri Negara Komunikasi dan Informasi bulan lalu di Jakarta mengatakan, UU No 40 tahun 1999 adalah lex specialis. Media kurang
memerhatikan pernyataan penting tersebut sehingga tidak ada yang menyiarkan atau memuatnya. Pernyataannya ini kemudian diperbaiki, menjadi, nantinya UU itu akan
menjadi lex specialis. Artinya, diperlukan perbaikan atasnya. Ucapan populer dalam kaitan ini adalah, Lex specialis derogat legi lex generalis. Maksudnya, ketentuan
khusus mengenyampingkan ketentuan umum. UU No 40 tahun 1999 khusus dibuat sebagai lex specialis, hanya mengatur dan menyelesaikan masalah yang timbul akibat
peran dan fungsi pers menjalankan kegiatan jurnalistik. Masih menurut pemahamannya,
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
UU No 40 tahun 1999 dan Kode Etik Wartawan Indonesia KEWI adalah satu tarikan napas
42
Perbedaan pendapat yang tajam terjadi, yaitu menyangkut kesalahan pemberitaan. Bila terjadi kesalahan pemberitaan, menurut satu pihak adalah kesalahan
proses pencarian berita. Yang dilanggar adalah kode etik, bukan tindak pidana. Penyelesaiannya melalui kode etik jurnalistik, dalam hal ini pemenuhan Hak Jawab,
yakni perbaikan atas berita yang dianggap salah itu. Pihak lain beranggapan, pemenuhan Hak Jawab bisa jadi tidak cukup. Mereka yang dirugikan masih boleh mengadu ke polisi
untuk kemudian berproses ke pengadilan. Tidak jarang terjadi yang dirugikan langsung membawanya ke proses pengadilan. Di sini kesalahan pemberitaan itu dianggap sebagai
tindak pidana. Yang salah bukan prosesnya melainkan produknya. Pelakunya si wartawan dapat diancam pidana kurungan penjara.
.
Pihak lain yang kurang sependapat dengan hal tersebut di atas mengatakan, untuk menjadi lex specialis ada syaratnya. Syarat utamanya, kedua tatanan itu berada
dalam satu rezim hukum yang sama. Di dalam KUHP umpamanya, ada pasal-pasal tentang tindak kejahatan yang digolongkan terorisme. UU Antiterorisme diberlakukan
sebagai lex specialis karena rezim hukumnya sama, di kedua aturan itu ada tentang tindak terorisme. Sementara UU No 40 tahun 1999 tentang Pers tidak berimpitan atau tidak
mempunyai rezim hukum yang sama dengan KUHP. UU Pers kita tidak mengatur tindak pidana pers. Karena itu, di sini tidak berlaku pengertian lex specialis.
42
Frans Hendra Winarta, UU Pers Lex Specialis atau Bukan,, harian Kompas, edisi 3 April 2006.
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
Mereka yang segaris dengan paham Kode Etik berpendapat, kesalahan jurnalistik seyogianya diselesaikan dengan mekanisme jurnalistik. Kata-kata jangan
dibalas dengan kurungan. Pemberitaan yang salah dapat diperbaiki. Memperbaiki berita pertama-tama harus datang dari kesadaran redaksi media yang bersangkutan. Masyarakat
mempunyai hak untuk memperbaikinya, yang disebut Hak Jawab dan Hak Koreksi. Di dalam KEWI disebutkan secara nyata. Kedua hak itu juga dinyatakan dalam UU No. 40
tahun 1999. Sayangnya, dalam praktik, media tidak begitu bersikap positif dalam menanggapi Hak Jawab dan Hak Koreksi. Sebagian media papan bawah dalam mutu,
bahkan tak acuh terhadap kedua hak masyarakat itu. Sebagian yang lain melayaninya dengan sekadarnya, misalnya memuat sedikit koreksi di ruang surat pembaca. Hanya
sebagian kecil media yang memuat koreksi di tempat yang sama dengan berita yang salah dalam ruang yang cukup besar
43
43
Ibid
. Dalam undang-undang dinyatakan, media massa yang memuat pemberitaan yang salah wajib memuat Hak Jawab. Jika media yang
bersangkutan tidak melakukannya, diancam bayar denda Rp 500 juta Pasal 18 UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers. Dalam kaitan itu, kasus Majalah Tempo dengan Tommy
Winata tidak perlu berproses ke pengadilan apalagi bervonis kurungan misalnya. Majalah Tempo diproses hukum karena dianggap salah dalam pemberitaan Pasar Tanah Abang
cukup memberi layanan Hak Jawab kepada Tommy Winata. Bagaimana jika Tommy Winata tidak puas? Paling-paling redaktur dihukum denda, yang membayarnya bukan
pribadi melainkan perusahaan. Penerapan KUHP dalam kasus Tempo-Tommy di atas dianggap sebagai kriminalisasi pers. Masyarakat pers menentangnya. Hal yang
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
menyangkut kesalahan profesional etika tidak harus dianggap sebagai tindak kejahatan biasa pidana.
KUHP sendiri adalah produk hukum penjajah Belanda yang berusia sangat tua. Dalam waktu tidak lama, KUHP akan diperbaiki besar-besaran. Banyak hal sudah tidak
sesuai dengan perkembangan zaman sekarang. Memang benar UU No 40tahun 1999 hanya menyangkut kegiatan jurnalisme seperti disebutkan dalam Pasal 1. Itu oleh
sementara pihak dianggap belum cukup untuk menyebutnya sebagai lex specialis. Selain itu, UU ini belum mandiri karena banyak pasalnya masih menyebutkan berlakunya UU
lain. Contohnya, dalam penjelasan Pasal 12 tertulis, Sepanjang menyangkut pertanggungjawaban pidana menganut ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Yang dimaksud tentulah KUHP. Tentang hal itu, Penyebutan pertanggungjawaban pidana di situ bukanlah menyangkut pidana pers melainkan pidana lain. Contohnya, wartawan
yang mencuri akan dihukum sesuai KUHP. Kalau benar seperti itu, mengapa disebutkan secara khusus dalam penjelasan? Bukankah memang sudah semestinya tindak pidana lain
itu urusan KUHP. Jadi, tidak perlu dinyatakan dalam penjelasan. Penjelasan tersebut menekankan tindak pidana pers, yang bukan pelanggaran profesikode etik, berurusan
dengan KUHP. Apalagi secara nyata dalam penjelasan tentang hal umum dinyatakan dengan jelas pada alinea terakhir, untuk menghindari pengaturan yang tumpang tindih,
undang-undang ini tidak mengatur ketentuan yang sudah diatur dengan ketentuan
Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007.
USU Repository © 2009
peraturan perundang-undangan lainnya. UU yang diberlakukan secara lex specialis harus dinyatakan dengan jelas, baik itu di dalam batang tubuh ataupun di penjelasannya
44
C. Mekanisme Kontrol Kebebasan Pers Indonesia