Wacana Dekriminanalisasi Pers di Indonesia

Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009 Oleh karena itu, penting untuk melihat pendapat Mahkamah Agung bahwa unsur melawan hukum dalam KUHP danatau RUU KUHP tidak bisa hanya dilihat dari sudut pandang ketentuan KUHP danatau RUU KUHP. Apalagi, tindakan yang dilakukan oleh wartawan dilakukan berdasarkan.

D. Wacana Dekriminanalisasi Pers di Indonesia

Dekriminalisasi karya jurnalistik dalam media pers kini sudah menjadi tuntutan zaman yang tidak terelakkan. Tuntutan ini tidak memungkinkan kita menarik kembali sejarah kebebasan ke masa lampau. Kebebasan itu termasuk kebebasan pers, yang merupakan bagian satu paket yang tidak terpisahkan dari kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat yang dimiliki setiap warga, seperti demonstran, aktivis advokasi, dan penceramah. Perkembangan kebebasan manusia di banyak negara sudah demikian jauh sehingga dipandang tidak lagi wajar, bahkan tidak patut untuk menjatuhkan sanksi hukum pidana penjara kepada para pencipta karya pemikiran kreatif, seperti karya jurnalistik, pendapat, atau ekspresi. Berkat perjuangan yang amat panjang dari para pendukung kebebasan, keterbukaan, dan demokrasi, perkembangan itu kini amat berbeda dari, umpamanya, sikap para penguasa pemerintahan lima abad lalu. Ketika dunia cetak- mencetak baru mengawali sejarahnya di Eropa sekitar 500 tahun silam, seorang pejabat tinggi Inggris mengingatkan, Kita harus menghancurkan percetakan. Jika tidak, percetakan akan menghancurkan kita. Tetapi, para pencetak terus mencetak segala rupa gagasan pada mesin cetak berukuran kecil dan sederhana. Ketekunan ini hanya berbekal Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009 keyakinan pada kata-kata pemikir besar bahwa Kita harus mengetahui kebenaran, dan kebenaran akan membuat kita bebas 28 Di Inggris pada masa itu, mengkritik raja, para menteri, dan parlemen, dipandang sebagai kejahatan. Hakim Agung Inggris bahkan menetapkan, Menulis masalah pemerintah-tidak menjadi soal, apakah itu memuji atau mencela-adalah tindak kejahatan karena tidak seorang pun berhak mengatakan sesuatu tentang pemerintah. Hukuman bagi pelanggaran terhadap ketetapan ini ialah memotong daun telinga, mengiris lidah, dan siksaan lain, hukuman mati Gertrude Hartman, Builders of the Old World. Penindasan terhadap arus informasi dan pendapat di Inggris mencerminkan kekhawatiran di Eropa bahwa percetakan telah menjadi alat untuk berekspresi dan melakukan pembaruan melalui produk bacaan. Ketakutan demikian juga menyebar ke wilayah koloni Inggris di Benua Amerika. Gubernur Inggris di Virginia, Sir William Berkeley, pada tahun 1671 mengatakan, berterima kasih kepada Tuhan karena wilayah kekuasaannya terbebas dari kegiatan cetak-mencetak . 29 Ketakutan itu menular ke Hindia Belanda 41 tahun kemudian. Seharusnya Indonesia sudah memiliki surat kabar pertama pada tahun 1712. Tetapi, De Heeren Zeventien, 17 direktur VOC Perserikatan Dagang Hindia Timur, di Nederland melarang rencana penerbitan surat kabar itu di Batavia karena takut para pesaingnya mendapat keuntungan dari berita perdagangan yang dimuat di koran itu. Barulah 32 tahun kemudian, pada tahun 1744, pemerintah liberal dari Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron von Imhoff membolehkan penerbitan surat kabar pertama di negeri ini, . 28 Atmakusumah, Dekriminalisasi Pers Tuntutan Zaman, Harian Kompas, edisi 12 Maret 2005. 29 Ibid Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009 Bataviasche Nouvelles en Politique Raisonnementen Berita dan Penalaran Politik Batavia. Nasib koran pertama ini tetap buruk. Hampir dua tahun kemudian, pada 20 Juni 1746, gubernur jenderal terpaksa memberedelnya atas perintah para direktur VOC yang menganggap koran itu merugikan dan membahayakan. Barangkali karena mereka ketakutan kepada para pesaing dagang yang memperoleh informasi dari Bataviasche Nouvelles. Setelah itu, pemberedelan media pers hampir terus terjadi di Hindia Belanda. Demikian pula pada masa penjajahan Jepang selama Perang Dunia II bahkan setelah Indonesia merdeka. Pemberedelan terakhir terjadi pada tahun 1994, 250 tahun sejak kelahiran surat kabar pertama di negeri ini dan empat tahun sebelum pemerintahan Orde Baru berakhir 30 Dewasa ini di Indonesia muncul wacana tentang adanya dekriminalisasi pers di Indonesia. Hal ini dilatarbelakangi keinginan untuk meningkatkan kebebasan pers. Adanya delik pers di dalam Rancangan Undang-Undang RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP mengundang protes berbagai organisasi wartawan dan Dewan Pers. Mereka meminta delik atau tindak pidana tentang pers dicabut dari RUU KUHP karena sudah diatur secara khusus dalam UU Pokok Pers nomor 40 Tahun 1999, sesuai asas lex specialis derogate lex generale peraturan yang khusus mengesampingkan peraturan umum. Di negara demokrasi, penyelenggaraan pers tidak boleh dikontrol dan diintervensi oleh pemerintah. Dan umumnya penyelenggaraan pers didasarkan pada asas self regulating. Kalaupun harus diatur pihak eksternal umumnya diatur oleh suatu badan pengatur independen. Di tempat kita disebut dewan pers untuk pers cetak dan atau KPI untuk pers elektronik. . 30 Ibid Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009 Dalam organisasi pengawasan pers, secara sederhana ada dua pelaku kontrol yang lazim berlaku di negara demokrasi, yaitu: 1. Pelaku kontrol internal, terdiri dari hati nurani wartawan sendiri, editor, dan ombudsman media yang bersangkutan. 2. Pelaku kontrol eksternal yang berisi kontrol dari masyarakat, media watch, organisasi wartawanpers, dewan persKPI, dan jalur hukum apabila terjadi pelanggaran dalam karya jurnalis diproses secara civil defamation, sedangkan pelanggaran berita non karya jurnalis secara criminal defamation Dan apabila ternyata lembaga ombudsman, media watch, organisasi wartawanpers, dewan pers, KPI, pada kenyataannya gagal dalam mengontrol pers, hal ini yang kemudian kelak dapat menjadi dalih bagi penganut konsep pers otoriter, agar pemerintah kembali turun tangan mengontrol pers 31 Di negara semacam USA, Belanda, Jepang, Korea Selatan, Australia dan lain- lain, mereka mengembangkan politik hukum medianya antara lain bercirikan tidak menganut criminal defamation; tidak memenjarakan wartawan karena karya jurnalistik yang dihasilkannya; melainkan menganut civil defamation, karya jurnalis yang terkandung pencemaran nama baik, perusahaan pers dapat dihukum denda. Tetapi bukan berarti watawan lantas tidak bisa dikriminalkan. Sepanjang hasil karyanya merupakan . 31 Ampuan Situmeang SH, MH, Disampaikan pada : Diskusi Mengurai Delik Pers dalam RUU KUHP, yang diselenggarakan oleAliansi Jurnalis Independen AJI Indonesia dan Aliansi Reformasi KUHP, Batam, 21 September 2006. Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009 malpraktek jurnalisme atau penyalahgunaan profesi mediapers, wartawan tetap bisa dikriminalkan 32 Berita yang merupakan hasil malpraktek antara lain bercirikan . 33 Hal-hal tersebut diatas dapat dijadikan sebagai modus operandi bagi wartawan untuk dapat dikriminalkan. Kriminalisasi karena malpraktek jurnalistik, dimasukkan dalam kerangka menjaga substansi kemerdekaan pers tetap terpelihara dan terhindar karena gangguan operasi kerja wartawan yang terselipkan unsur present of actual malice : 1. Tidak untuk kepentingan umum, tetapi misalnya untuk kepentingan pemerasan 2. Hasil fabrikasi; 3. Berintensi malice, misalnya untuk melampiaskan dendam kepada seseorang atau instansi tertentu. 34 Lalu bagaimana cara menyelesaikan permasalahan hukum akibat pemberitaan pers. Berdasarkan UU no. 401999 tentang Pers, apabila terjadi pelanggaran pemberitaan bisa diselesaikan dengan cara . 35 c. menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik : 1. Melalui mekanisme penyelesaian dewan pers; yakni berdasarkan UU No. 40 tahun 1999, pasal 15 ayat 2 huruf c dan d3, yang berbunyi sebagai berikut : “Dewan Pers melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut: 32 Amirudin dalam makalah yang berjudul “Kriminalisasi atas Kebebasan Pers dalam Perspektif pers, Disampaikan pada : Diskusi Mengurai Delik Pers dalam RUU KUHP, yang diselenggarakan oleAliansi Jurnalis Independen AJI Indonesia dan Aliansi Reformasi KUHP, Batam, 21 September 2006. 33 Banjar Nakon Brudar, Delik Pers, Jakarta, Chalia Indonesia,1994, hal. 22 34 Pasal 15 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Memebicarakan Peran Dewan Pers melaksanakkan fungsi-fungsinya. 35 Jakop Oetama, Pers Indonesia Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus, Jakarta, Penerbit buku Kompas, Oktober 2001. Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009 d. memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers; Penjelasan pasal 15 Ayat 2, menyatakan : “Pertimbangan atas pengaduan dari masyarakat sebagaimana dimaksud ayat 2 huruf d adalah yang berkaitan dengan Hak Jawab, Hak Koreksi, dan dugaan pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik”. Dewan Pers dapat mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasuskasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers, yang antara lain apabila terbukti permintaan maaf terbuka, kesepakatan ganti rugi, dan melakukan skorsing sampai tindakan pemecatan terhadap wartawan yang salah. Dalam konteks itu, tugas-tugas Dewan Pers hanyalah sebatas sampai menghasilkan Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi PPR. Yang berwewenang melaksanakan sanksi adalah media yang bersangkutan itu sendiri. Bila media ternyata tidak bersedia melaksanakan sanksi sebagai tindak lanjut dari PPR yang diterbitkan Dewan Pers, maka Dewan Pers akan mempublikasikan secara terbuka kepada umum, dengan harapan yang melakukan penilaian akhirnya publik. 2. Mekanisme penyelesaian kedua adalah melalui jalur hukum, yakni berdasarkan UU No. 40 tahun 1999, Pasal 18 ayat 2 dan 3. Kemudian apabila ternyata berita yang dihasilkan terbukti bersalah dan atau bukan merupakan hasil karya jurnalistik tetapi adalah hasil malpraktek maka berlaku Pasal Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009 12 Penjelasan, UU No. 40 tahun 1999 yang dapat diproses dalam perkara pidana sesuai mekanisme KUHP. Berikut ini beberapa peraturan mengenai pers, yaitu 36 36 Jakop Oetama. Berpikir Luang tentang Keindonesiaan. Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2001. : 1. UU pers Lex Specialis 2. Dekriminalisasi Pers Pasal 50 KUHP atau Pasal 31 RUU KUHP 3. RUU Keterbukaan Informasi 4. RUU Perlindungan Saksi 5. Asas “Absence of Malice” Pasal 18, ayat 2 menyatakan : “Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat 1 dan ayat 2, serta Pasal 13 dipidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 lima ratus juta rupiah” 3. Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat 2 dan Pasal 12 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 seratus juta rupiah Penjelasan pasal 18 Ayat 2, menyatakan : “Dalam hal pelanggaran pidana yang dilakukan oleh perusahaan pers, maka perusahaan tersebut diwakili oleh penanggungjawab sebagaimana dimaksud dalam penjelasan pasal 12”. Penjelasan Pasal 12, menyatakan : “Sepanjang menyangkut pertanggungjawaban pidana menganut ketentuan perundang- undangan yang berlaku”. Pasal 50 KUHP, menyatakan : Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009 “Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan Undang- Undang, tidak dipidana”. Oleh karena itu, beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah 37 37 Sapto Pradityo, Politisi Dukung Anti Kriminalisasi Pers, Majalah Tempo, edisi Kamis, 2 September 2004. : 1. Perlu fatwa atau Peraturan MA yang menyatakan UU No. 40 tahun 1999 adalah Lex Specialis, sebagaimana diatur di dalam Pasal 311 ayat 1 UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, yaitu : “Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya, dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat tahun”. Selanjutnya Pasal 1365 dan pasal 1372 KUH Perdata, sebagai berikut : Pasal 1365 berbunyi : “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Pasal 1372 berbunyi : “Tuntutan perdata tentang hal penghinaan adalah bertujuan mendapat penggantian kerugian serta pemulihan kehormatan dan nama baik. Dalam menilai satu dan lain, Hakim harus memperhatikan berat-ringannya penghinaan, begitu pula pangkat, kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak, dan pada keadaan”. Zulfikar : Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Pers Dalam Persfektif Hukum Pidana Dan RUU KUHP Indonesia, 2007. USU Repository © 2009 Jika UU Pers, bukan lex specialis, UU ini justru memperberat hukuman bagi pers, bukannya melindungi l KUHP Pasal 63 ayat 1 yang berbunyi : “Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan itu; jika berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat”. 2. Setiap komplain harus ditanggapi secara serius 3. Perlu ditawarkan Hak Jawab, Hak Koreksi, Klarifikasi, Jasa Ombudsman atau penyelesaian melalui Dewan pers.

BAB IV TINJAUAN YURIDIS MENGENAI TINDAK PIDANA PERS