TEMA Analisis Struktural .1 Alur

4.1.4 TEMA

Mempertanyakan makna sebuah karya sastra berarti memepertanyakan tema. Setiap karya fiksi tentulah mengandung atau menawarkan tema. Tema merupakan gagasan dasar atau ide pokok yang mendasari seorang pengarang dalam menciptakan karyanya. Suatu kreasi atau suatu karya sastra tidak akan tercipta tapa adanya gagasan yang mendahuluinya. Pengarang memiliki ide dan mengangkat permasalahan kehidupan menjadi tema yang diungkapkan kembali dengan daya imajinasi yang tinggi ke dalam bentuk cerita rekaan ataua fiksi. Seperti yang dikemukakan oleh Nurgiyantoro 1995 : 25 ‘tema adalah sesuatu yang menjadi dasar cerita. Ia selalu berkaitan dengan berbagai penglaman kehidupan, seperti masalah cinta, kasih, rindu takut, maut, religius, dan sebagainya’. Jadi, melalui tema tersebut dapat diketahui apa yang menjadi gagasan dasar yang ingin disampaikan seorang pengarang kepada pembacanya yang terdapat dalam sebuah karya fiksi sesuai pengalaman dan pengamatan dengan lingkungan. Pada dasarnya untuk mengetahui tema dari sebuah karya fiksi tidaklah mudah. Ia haruslah dipahami dan ditafsirkan melalui cerita dan unsur-unsur pembangun cerita unsur-unsur intrinsik yang lain karena tema terkadang juga didukung oleh pelukisan latar, dapat tersirat dalam kelakuan tokoh atau penokohan atau bahkan tema dapat pula menjadi faktor pengikat peristiwa-peristiwa dalam suatu latar dan adakalanya tema mampu mempersatukan berbagai unsur yang bersama-sama membangun karya fiksi. Hal ini senada dengan pendapat Stanton dalam Nurgiyantoro, 1995 : 70 ‘Tema adalah makna sebuah cerita yang khusus menerangkan sebagian besar Universitas Sumatera Utara unsurnya dengan cara yang sederhana. Tema menurutnya, kurang lebih dapat bersinonim dengan ide utama’. Dari keterangan tersebut, penulis dapat menemukan tema yang terdapat dalam novel Wajah Sebuah Vagina karya Naning Pranoto. Adapun tema dari novel tersebut adalah ketidakadilan gender yang berujung pada tindak kekerasan. Seperti yang dialami tokoh utama Mira yang kerap mengalami tindak kekerasan dari orang-orang disekitarnya khususnya dari kekasihnya Mulder. Seperti yang telah dibahas pada bab sebelumnya bahwa ketidakadilan gender yang telah membudaya pada masyarakat dan telah merugikan salah satu pihak yaitu perempuan. Konsep gender yang telah melekat pada masyarakat dimana konsep gender dan konsep seks diartikan sama oleh patriarki yang ada pada masyarakat.. Konsep gender merupakan sifat khas yang dimiliki perempuan, seperti emosional, lemah, irasional serta sifat khas yang dimiliki laki-laki yaitu kuat, maskulin. Pada dasarnya sifat ini dapat dipertukarkan namun masyarakat menganggap bahwa ini merupakan ketentuan dari Tuhan sama seperti konsep seks yaitu pembagian jenis kelamin secara biologis pada jenis kelamin tertentu dan merupakan ketentuan Tuhan. Akibat pengertian konsep gender yang salah ini laki-laki semakin merasa memiliki hak atas perempuan. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut : “ Nyonya, turuti saja kemauan suami Nyonya. Dalam hidup ini, kita memang tidak bisa memperoleh segala yang kita inginkan. Lagi pula ada satu hal yang perlu kita ingat, lelaki masih tetap mendominasi dunia ini. Karena, begitu banyak hal-hal yang menguatkan status mereka sebagai pelaku utama, hem misalnya… hukum adat, hukum agama, etika, undang-undang perkawinan, dan dikokohkan lagi dengan mitos-mitos mengenai keperkasaan kaum lelaki. Bahkan, bentuk kelaminnya yang tegak seperti tombak pada saat ereksi. Sedangkan kelamin kita? Hanya berupa lobang, lobang yang pasif… untuk menerima apa yang masuk ke dalamnya” WSV : 218 . Ketidakadilan gender akhirnya berujung pada tindak kekerasan yang dialami tokoh Mira. Universitas Sumatera Utara Hal ini terlihat dari kutipan cerita berikut : Tubuhnya yang berkulit sawo matang terang tampak bilir-bilur lebam : pahanya, pinggulnya, pinggangnya, dan perutnya. Bahkan payudara dan lehernya penuh gigitan biru-biru hitam. “Oh, Nak…berapa laki-laki yang merusak vaginamu?”bisik Bu Sepuh dengan suara parau gemetar, sambil memeluk tubuh Mira yang menggigil WSV : 25. Dari kutipan tersebut terlihat bahwa Mira mengalami kekerasan fisik dan seksual. Kekerasan–kekerasan yang dialami Mira pada dasarnya disebabkan karena katakberdayaan Mira melawan kekuatan yang dimiliki laki-laki, khususnya kekasihnya Mulder untuk melepaskan Mira dari kekekerasan yang dialaminya. Ketakberdayaan Mira tersebut terlihat pada kutipan berikut : “Kalau you masih mau hidup, you harus menurut apa yang ik perintahkan. You tahu, ik sekarang lagi perlu uang banyak, maka you harus rajin bekerja…” tegas Dicky dengan gigi menggegat- nggegat. “Saya, Tuan Mulder. Saya mengerti” sahut Mira dengan tubuh gemetar dan darah yang mengalir dari bibirnya makin deras WSV : 163. Kutipan tersebut memperlihatkan ketidakberdayaan Mira terhadap perintah Mulder, Mira hanya mampu mengiyakan setiap permintaan ataupun perintah dari Mulder. Selain itu ketidakberdayaan Mira yang berujung pada tindak kekerasan seksual yang dilakukan Mulder padanya, seperti terdapat pada kutipan berikut : Mira yang sedang berdarah-darah itu menjadi sasaran nafsu buasnya. Ketika Mira menolak, Dicky memaksanya, memperkosanya, membuat Mira tidak berdaya WSV : 164. Dari uraian mengenai unsur-unsur intrinsik tersebut, dapat dilihat bahwa unsur-unsur alur, latar, penokohan , dan tema memiliki keterkaitan yang saling terjalin sehingga mampu membentuk suatu rangkaian cerita yang padu. Seperti yang terlihat pada latar, dimana pada latar diceritakan mengenai tempat asal Mira yaitu Desa Mijil di Jawa Tengah, dari latar tempat tersebut dapat kita lihat bahwa Mira merupakan gadis yang berasal dari desa yang kumuh dan miskin dengan tingkat pendidikannya yang masih sangat kurang, namun penduduknya masih sangat menjunjung tinggi adat- Universitas Sumatera Utara istiadat, seperti memposisikan laki-laki di atas perempuan. Oleh karena itu, maka karakter Mira pun terbentuk menjadi gadis yang lugu, penurut, dan terkesan bodoh sehingga dengan mudah terperdaya oleh bujukan oleh orang lain, khususnya laki-laki sehingga Mira pun kerap mendapat ketidakadilan serta kekerasan dari laki-laki. Kemudian dilihat dari latar tempat di Afrika, Mira juga bertemu dengan perempuan- perempuan seperti Bu Sepuh dan Julia yang hidup di dalam mayarakat yang menganut paham patriarki, yaitu memposisikan laki-laki lebih tinggi dari perempuan, sehingga perempuan harus tunduk pada perintah laki-laki. Hal ini semakin membentuk karakter Mira menjadi perempuan yang pasrah dan lemah terhadap ketidakadilan dan kekerasan yang dideritanya. Hubungan antara latar, penokohan, dan tema, yaitu akibat adanya paham patriarki dari masyarakat bahwa posisi laki-laki adalah lebih tinggi dari perempuan, sehingga membentuk karakter dari tokoh utama yaitu Mira menjadi perempuan yang lemah, penurut, dan gampang dirayu. Dari uraian tersebut, maka terbentuklah tema dalam novel ini yaitu, ketidakadilan gender yang berujung pada tindak kekerasan. Jadi, hubungan intrinsik seperti yang telah dikemukan tersebut dengan unsur ekstrinsik yaitu ketidakadilan dan kekerasan pada perempuan adalah dengan berangkat dari penokohan yang dimiliki oleh tokoh utama yaitu Mira yang dibentuk oleh latar atau ruang lingkup kehidupan tokoh Mira tersebut.

4.2 Ketidakadilan dan Kekerasan pada Tokoh Utama dalam Novel Wajah Sebuah Vagina

4.2.1 Bentuk-bentuk Ketidakadilan Gender pada Tokoh Utama

Universitas Sumatera Utara