Latar Analisis Struktural .1 Alur

Mira yang sedang diocehkan Mulder, sedang menyambut hadirnya sang maut yang mula-mula berupa cahaya berwarna kuning keemasan, kemudian berubah menjadi cahaya putih bersinar-sinar. Cahaya itu membebaskan Mira dari semua penderitaan yang menyiksanya WSV : 249. Dengan demikian urutan cerita yang diceritakan dalam novel Wajah Sebuah Vagina menunjukkan bahwa novel ini memiliki alur campuran progresif-regresif.

4.1.2 Latar

Suatu peristiwa tidak mungkin terjadi bila tidak ada latar. Dengan kata lain, semua karya fiksi mempunyai latar atau setting. Latar atau setting merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam karya fiksi. Latar dapat mewarnai cerita, karena merupakan pijakan yang jelas mengenai cerita. Latar menggambarkan realitas berupa tempat kejadian sehingga tempat atau suasana itu seperti benar dan nyata. Menurut Abrams dalam Nurgiyantoro, 1995:216, latar atau setting disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat terjadinya peristiwa- peristiwa yang diceritakan. Unsur latar mengacu pada tempat, waktu, dan sosial. Latar memberikan pijakan secara konkret dan jelas. Aminuddin 2000: 67 mengatakan “Setting adalah latar peristiwa dalam karya fiksi, baik berupa tempat, waktu, maupun peristiwa, serta memiliki fungsi fisikal.” Selanjutnya Hudson dalam Sudjiman 1987: 44 membedakan latar sosial dan latar fisikmaterial. “Latar sosial mencakup keadaan masyarakat, kelompok- kelompok sosial dan sikapnya, adat kebiasaan, cara hidup, bahasa dan lain-lain yang melatari peristiwa. Adapun yang dimaksud dengan latar fisik adalah tempat dalam wujud fisiknya, yaitu bangunan, daerah, dan sebagainya.” Berdasarkan beberapa pendapat para ahli tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan latar adalah suatu pijakan pada cerita secara konkret dan jelas sehingga memberikan kesan realistis kepada pembaca melalui penggambaran tempat, waktu, dan keadaan suatu kelompok atau masyarakat Universitas Sumatera Utara tertentu yang diciptakan pengarang sehingga cerita dapat dipahami secara lebih mendalam. Dalam novel Wajah Sebuah Vagina karya Naning Pranoto terdapat latar fisik, yang berupa tempat, latar waktu yang berhubungan dengan kapan terjadinya peristiwa, dan latar sosial yaitu penggambaran mengenai masyarakat dalam cerita ini. Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan. Hampir keseluruhan dari novel ini berlatarkan Benua Afrika tepatnya di Afrika Selatan di Desa Mpeseo, Kwa-Zulu Natal, di Durban. Hal tersebut tampak pada awal cerita hingga akhir cerita dan terlihat pada kutipan cerita berikut ini : “Afrika? Afrika? Bumi Afrika? Jadi, aku masih berada di Afrika. Oh…ohhh…Simbok…Bapak…Siiimmboookkk…tolong bawa aku pulang ke Mijil…”WSV : 13. “Saya tidak bisa membandingkannya, karena saya tidak tahu keadaan desa ini, selain di rumahmu. O iya, Mpeseo ini dimana letaknya?” “Di Afrika Selatan—wilayah Kwa-Zulu Natal…” WSV : 39. Malam itu, bulan purnama juga menghiasi hamparan langit Durban yang biru. Bahkan pancarannya lebih indah dibandingkan dengan bulan purnama yang tampil di Mpeseo, yang baru saja dinikmati Mira dan Totti. Sebab bulan purnama di Durban, bayangannya terpantul indah di permukaan air laut bak wajah seorang perempuan anggun elok WSV : 113. “Dia tidur. Biarkan dia tidur, Nak. Kalau dia bisa tidur, berarti bebas dari kesakitan, sahut Bu Sepuh, sambil menyembunyikan kegelisahannya dalam mengahadapi kondisi Mira yang kritis. Bu Sepuh sedang memikirkan, bagaimana seandainya Mira meninggal di Bumi Afrika? Siapa yang akan membawa jenazahnya ke Java? WSV : 225. Selain di Afrika Selatan, latar tempat pada novel ini juga terjadi di Indonesia tepatnya di Jakarta, Surabaya, dan Jawa Tengah. Hal tersebut tampak pada kutipan cerita berikut ini : “ Tidak. Begitu Mulder melamar saya, saya tidak langsung dinikahi. Kami hidup bersama. Mulder menyewa rumah mewah Kebayoran-Baru—wilayah elit di Jakarta Selatan. Saya tinggal di rumah mewah itu…” WSV : 52. “Tidak. Karena Pak Lurah terus mengancam-ancam saya, saya lalu pergi ke Surabaya—menemui seorang tetangga saya yang katanya kerja di sebuah Universitas Sumatera Utara restoran. Namanya Mbak Dinah. Ternyata, Mbak Dinah menjadi mucikari. Dia tega menjaual saya,…” WSV : 49. Saya menjual vagina sekitar lima tahun, sampai akhirnya saya berhenti karena dilamar Kang Suhar”. Mira berbisik, “Ternyata, menjadi istri Kang Suhar tidak bisa mengantongi uang sebanyak yang saya dapatkan ketika kerja di Wisma—Sumringah, bordil yang dikelola Mbak Dinah WSV :50. “Namanya Desa Mijil—di Jawa Tengah, tanahnya kering berkapur. Tanaman pangan enggan tumbuh di sana. Kami tidak bisa menanam padi, kecuali jagung, singkong dan gadung. Itu semua makanan bergizi rendah bukan? Selain itu, Mijil juga ee…anu…anu…,” tiba-tiba kalimat Mira tersendat…” “E…saya punya kenangan pahit, sangat pahit di Mijil. Maka, saya meninggalkan Mijil”. Mira seperti tercekik WSV : 45. Selain latar tempat, novel ini juga diperkuat dengan latar waktu. Latar waktu berhubungan dengan “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar waktu dalam novel Wajah Sebuah Vagina terdapat pada kutipan berikut “ Latar waktu pertama kali pada Oktober 1982, ketika Mira ditemukan masyarakat Zulu, Afrika dalam keadaan tubuh yang penuh luka. Latar tersebut dapat dilihat pada sub judul dari novel tersebut, yaitu : BAB I Belaian Tixo-Roh Besar, Oktober 1982 WSV : 9. Latar waktu tersebut juga diperkuat dengan kutipan berikut: “Kakak jadi WTS?” Totti mengeja pertanyaanya. “Ya, karena tidak ada jalan lain yang bisa saya lakukan pada waktu itu, selain menjadi WTS, tanggap Mira geram WSV : 49. Kata WTS pada kutipan cerita tersebut menunjukkan bahwa kejadian pada novel tersebut bukan terjadi pada masa kini, tetapi terjadi pada tahun 80-an, karena penggunaan kata WTS pada saat itu digunakan untuk menyebut istilah pelacur berbeda dengan zaman sekarang yang lebih menghaluskan pemakaian kata untuk menyebut istilah pelacur dengan istilah tunasusila. Atau dengan kata lain pemakaian kata sekarang lebih halus dibandingkan dengan pemakaian kata dahulu. Universitas Sumatera Utara Latar waktu pada novel tersebut juga terjadi pada Desember 1982. Hal tersebut terlihat pada sub judul novel tersebut, yaitu : BAB VIII Tarian Angin, Natal 1982 WSV : 191. Latar tersebut diperkuat pada kutipan cerita berikut : Perayaan Natal masih kurang dua minggu lagi, tetapi suasananya telah menggema dan menceriakan Durban dan kota-kota lainnya di Afrika Selatan, sejak awal Desember WSV : 191. Latar waktu selanjutnya terjadi pada Januari 1983. Hal tersebut terlihat pada sub judul novel tersebut, yaitu : Matahari Kuning, Akhir Januari 1983 WSV : 224. Latar waktu yang telah dipaparkan dalam novel ini seolah-olah meyakinkan pembaca bahwa kisah dalam novel ini benar-benar terjadi pada waktu tersebut. Latar tempat dan waktu dalam novel tersebut akan diperkuat dengan latar sosial. Latar sosial mencakup hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat. Latar sosial dalam novel ini ditunjukkan pada penggunaan beberapa bahasa Zulu, Afrika dimana latar tempat yang paling dominan dalam novel ini. Misalnya Tixo yang berarti roh besar, sawubona yang berarti selamat pagi, granny untuk menyebut nenek, yebo yang artinya iya. Selain bahasa Zulu tersebut, dalam novel ini juga ada penggunaan bahasa Belanda yang dipakai oleh tokoh Mulder yang merupakan orang Belanda, seperti pemakaian kata ik yang berarti saya dan you yang berarti kamu. Selain kedua bahasa tersebut, bahasa Jawa juga dipergunakan dalam novel ini yang kerap dipakai oleh tokoh Mira yang memang merupakan gadis keturunan Jawa. Misalnya simbok yang berarti ibu, edan yang berarti gila, matur nuwun yang berarti terima kasih, Gusti yang berarti Tuhan, telo pendem yang berarti ubi jalar. Universitas Sumatera Utara Penggunaan jenis-jenis bahasa tersebut terlihat pada kutipan berikut : “Ya, ada. Tapi namanya berbeda. Kami menyebutnya telo pendem—itu dalam bahasa Jawa. Dalam bahasa Indonesia disebut ubi jalar atau ubi manis”. “Yebo…, bahasa Jawa. Maksud kakak bahasa yang dipergunakan di Java Island, tempat asal kakak seperti kemarin yang kakak ceritakan pada Granny…”WSV : 34. “No, no… no… cukup. Cukup. Jangan paksa ik kalau you mau aman” WSV : 139.

4.1.3 Penokohan