Undang-undang Keormasan Nomor 81985: Puncak Pertentangan

BAB IV DINAMIKA HUBUNGAN PELAJAR ISLAM INDONESIA

DENGAN PEMERINTAH ORDE BARU

A. Undang-undang Keormasan Nomor 81985: Puncak Pertentangan

Salah satu cara Orde Baru memantapkan kekuasaan dan mengeliminasi Islam-politik ialah dengan mengembangkan ideologi Pancasila. Bila sebelumnya Pancasila hanya dikenal sebagai konsensus nasional, maka pada zaman Orde Baru mulai dijadikan sumber dari segala sumber hukum, jiwa seluruh rakyat Indonesia, kepribadian dan pandangan hidup yang telah diuji kebenaran, keampuhan dan kesaktiannya, serta penuntun dan pegangan hidup bagi sikap dan tingkah-laku setiap manusia Indonesia. 1 Pancasila juga dianggap sebagai anugrah Tuhan berdasarkan kodrat manusia, dan bukan pemberian negara, masyarakat atau golongan. 2 Keinginan pemerintah menyeragamkan tafsiran mengenai Pancasila merupakan motivasi dari pencanangan asas tunggal bagi seluruh organisasi politik orpol dan organisasi kemasyarakatan ormas. Pemerintah khawatir pada pihak yang masih “ragu-ragu” terhadap Pancasila mengingat masih ada identitas atau asas lain selain Pancasila di dalam Anggaran Dasar ADAnggaran Rumah Tangga ART ormas dan orpol. Sikap pemerintah ini juga tidak terlepas dari gerak perlawanan umat Islam ketika MPR membahas Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila P4 dan Aliran Kepercayaan 1 Lihat naskah Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, bagian Pendahuluan. 2 Kalimat-kalimat ini antara lain dapat kita temukan pada buku-buku pelajaran SMP untuk SLTA yang di terbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 56 untuk dimuat ke dalam GBHN pada tahun 1978. Dalam pidato tanpa teksnya di Pekanbaru tanggal 27 Maret 1980 Soeharto menyatakan: “Dari perkembangan pembentukan Undang-undang Kepartaian dan Golongan Karya sampai kepada pelaksanaan Sidang Umum MPR masih membuktikan pula akan keragu-raguan daripada Pancasila, terutama proses dari ketetapan MPR No. II mengenai Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, sampai kepada walk out. Begitu pula dari penyelesaian Undang-undang Pemilihan Umum, perubahan atau perbaikan Undang-undang Pemilihan Umum, dan yang akhir-akhir ini juga masih belum menampakkan usaha bersama dan kesepakatan kita. Dan ada yang walk out pula. Karena itulah… kita harus selalu meningkatkan kewaspadaan memilih patner, kawan, teman yang benar-benar mempertahankan Pancasila dan tidak sedikit pun ragu-ragu terhadap Pancasila itu” 3 Ketika itu, fraksi Partai Persataun Pembangunan PPP melakukan walk out dari sidang. Jadi, tampaknya pemerintah benar-benar menginginkan agar Pancasila dijadikan tolak ukur segala sesuatu, termasuk oleh agama. Sebetulnya masalah asas Pancasila dalam organisasi kemasyarakatan telah dibahas sejak tahun 1966 dalam paket Rancangan UU Kepartaian, Keormasan, dan Kekaryaan. Namun, karena tidak ada kesamaan pendapat diantara fraksi di DPR-Gotong Royong saat itu, maka pembahasannya ditunda. 4 Pemerintah sadar bahwa negara belum kuat sehingga perhatian lebih dipusatkan pada konsolidasi di tingkat suprastruktur terutama lembaga legislatif dan eksekutif. Setelah Pemilihan Umum 1971 berlangsung sukses, pemerintah mempersoalkan lagi asas Pancasila ini. Akan tetapi, hanya berhasil mendesakkannya pada organisasi-organisasi politik dengan tetap membiarkan ciri asas masing-masing. 5 Berdasarkan legitimasi dari Pemilihan Umum 1971, pemerintah melanjutkan pembinaan struktur politik dengan menata kekuatan 3 Lihat Syamsuddin Haris, PPP dan Politik Orde Baru, Jakarta,: Grasindo, 1991, hlm. 47. Lihat juga P. Bambang Siswoyo, Sekitar Petisi 50, Solo: CV Mayasari, 1983. 4 Ali Moertopo, Strategi Politik Nasional, Jakarta: CSIS, 1974, hlm. 55. 5 Lihat UU No.3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya. infrastruktur yakni organisasi-organisasi kemasyarakatan, dan sukses hingga Pemilihan Umum 1977. Setelah itu, pemerintah pun memasyarakatkan Pancasila melalui program Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila P4 yang telah dimasukkan ke dalam Garis-garis Besar Haluan Negara GBHN sembari terus memikirkan gagasan asas tunggal untuk tahun berikutnya. 6 Akan tetapi, karena masyarakat dianggap belum siap, maka Rancangan UU Keormasan ini batal diajukan. Apalagi pemerintah sedang dikejar persiapan Pemilihan Umum 1982. Setelah Pemilu 1982, tepatnya pada Sidang Umum MPR 1983, pemerintah memperoleh legitimasi kembali untuk merealisasikan gagasan tentang asas tunggal bagi organisasi politik orpol dan organisasi kemasyarakatan ormas. 7 Hal penting yang perlu dikemukakan berkaitan dengan pengembangan Pancasila ini ialah menyangkut dasar-dasar yang dipakai pemerintah Orde Baru dalam memaknai hingga menetapkannya sebagai asas tunggal. Pancasila yang lahir kurang lebih satu jam dari pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945 telah menjadi konsensus nasional sejak kemerdekaan Indonesia. Masing-masing golongan masyarakat di Indonesia dapat menerima konsep Pancasila dalam pidato Soekarno itu dengan alasan bahwa sila-silanya sesuai dengan nilai-nilai yang mereka anut. Umat Islam juga dapat menerimanya, rneskipun kecewa dengan pencoretan tujuh kata dalam sila pertama Pancasila sebagaimana tertuang dalam Piagam Jakarta. Umat Islam berharap dapat mewarnai Pancasila 6 Departemen Dalam Negeri RI, “Pokok-Pokok Pikiran yang Melandasi Penyusunan RUU Organisasi Kemasyarakatan,” makalah, 17 Agustus 1979. 7 Sabar Simatupang memaparkan proses pembahasan RUU Keormasan Tahun 1985 ini dalam skripsinya berjudul “Peranan dan Interaksi Kekuatan-Kekuatan Politik di DPR RI: Studi Kasus Proses Pembahasan RUU Keormasan Tahun 1985,” Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI, Jakarta, 1990. terutama melalui sila Ketuhanan Yang Maha Esa karena dianggap mengandung inti ajaran Islam yaitu prinsip Tauhid. Permasalahan pun timbul ketika menyinggung soal penjabaran Pancasila yang akan diterapkan dalam kehidupan bernegara. Dalam sidang Konstituante 1955, Pancasila dibicarakan kembali karena memang memungkinkan. Kelompok yang dikenal sebagai nasionalis Islam menunjukkan berbagai kekurangan Pancasila sebagai ideology dan mengajukan Islam sebagai alternatifnya. 8 Sebagaimana diketahui, debat tentang hal ini berlangsung berlarut-larut hingga dihentikan oleh Soekarno dengan sebuah Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959. Dekrit itu menyatakan pemberlakuan kembali Pancasila yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang dijiwai Piagam Jakarta sebagai dasar negara. Jadi, dengan penerimaan kelompok Islam terhadap rumusan ini, maka persoalan Pancasila sebagai dasar negara dianggap selesai. 9 Pada masa Demokrasi Terpimpin, Soekarno berupaya mengembalikan Pancasila kepada gagasan lamanya. Bagi Soekarno, Pancasila dapat diperas menjadi Trisila dan lalu menjadi Ekasila yakni Gotong Royong. Soekarno juga mengeluarkan pelengkap dan penjabar Pancasila yang ia sebut sebagai Manifesto-Politik, Undang-undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, Kepribadian Indonesia Manipol- Usdek yang memuat nilai-nilai Nasionalis, Agama, dan Komunis Nasakom. Untuk menjelaskan hubungan Pancasila dengan Manipol-Usdek, Soekarno 8 Ahmad Syafii Maarif, Studi tentang Percaturan Dalam Konstituante. Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta, LP3ES, 1996. 9 Endang Saefuddin Anshori “Pancasila Sebagai Dasar Negara RI: Merupakan Hasil Puncak Kesepakatan Nasional,” dalam Peraturan Agama Dalam Pemantapan Ideologi Negara Pancasila, Departemen Agama RI: Jakarta, 1985, hlm. 58. mengutip qiyas dalam Islam. Menurutnya, Pancasila itu semacam al-Qurannya sedangkan Manipol-Usdek adalah Al-haditsnya. 10 Selanjutnya, Soekarno mengharuskan organisasi sosial politik menyesuaikan diri pada Manipol-Usdek sebagai tanda kesetiaan terhadap revolusi yang telah menjadi mitos gerakan kebangsaan ketika itu. Usaha-usaha Soekarno pada masa Demokrasi Terpimpin itu oleh Orde Baru dipandang telah menyelewengkan Pancasila. Sebenarnya, Orde manakah yang paling menyeleweng? Apakah Orde Soekarno yang dianggap mengkhianati konsensus tentang Pancasila yang dijiwai Piagam Jakarta seperti dikemukakan oleh kelompok Islam? Ataukah Orde Soeharto? Ternyata, rujukan Orde Baru tidak ke Orde Soekarno karena Orde Soeharto membentuk sendiri Panitia Pancasila yang anggotanya terdiri dari para mantan Panitia Sembilan yang masih hidup. Panitia Pancasila inilah yang bertugas menafsirkan Pancasila sejak 10 Januari 1975 hingga menghasilkan butir-butir Uraian Pancasila yang ditandatangani tanggal 18 Maret 1975 dan diserahkan ke Presiden Soeharto pada tanggal 23 Juni 1975. Naskah Uraian Pancasila ini ternyata ditolak karena tidak sesuai dengan aspirasi elit Orde Baru. 11 Sebagai gantinya, maka dibentuklah Tim Perumus yang diketuai oleh Roeslan Abdulgani juru bicara Manipol-Usdek di zaman Soekarno. Tim inilah yang menghasilkan butir-butir Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila P4 yang diberi nama Ekaprasetia Pancakarsa. Seperti telah diuraikan di muka, P4 ini kemudian dimasukkan ke dalam GBHN Tahun 1978 bersamaan dengan mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila PMP. 10 Ketetapan Tudjuh Bahan-Bahan Pokok Indoktrinasi, Bandung: Dua-R, tanpa tahun, hlm. 87 11 Muhammad Hatta, dkk, Uraian Pancasila, Jakarta: Mutiara, 1978. Bila semangat dan nilai yang dibawa rumusan P4 hasil Tim Perumus ini dicermati, maka tentu berbeda dengan rumusan Pancasila sebelumnya. Nilai- nilai tradisional Jawa tampak amat kental mewarnainya. Menurut Soeharto, Pancasila itu berasal dari ajaran nenek-moyang kita jauh sebelum Hindu, Budha, Islam, dan Kristen datang ke Indonesia.” 12 Ajaran nenek moyang itu kini lebih dikenal dengan sebutan Elmu Klenik atau Kejawen. Elmu ini mengandung tiga prinsip yakni kasunyatan kenyataan hidup, sangkan paraning dumadi dari mana asal kejadian manusia dan akan ke mana akhir hidupnya, dan kasumparning hurip kesempurnaan hidup. Nilai-nilai kejawen memang mengalami perkembangan pesat pada era Orde Baru. Bila pada tahun 1950 tercatat 75 aliran kebatinan, maka pada tahun 1972 jumlahnya menjadi 644 buah. 13 Bahkan, Konferensi Pekerja Golongan Karya yang pertama pada tanggal 13-17 Maret 1972 menghasilkan antara lain sekretariat umum bagi aliran-aliran kepercayaan sebagai satu wadah tunggal untuk semua organisasi kebatinan. Kemudian, dalam Musyawarah Nasional Golongan Karya tanggal 8 September 1973 di Surabaya istilah “KebatinanKejawen” diganti dengan “Aliran Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa”. Pada tahun 1973 itu pula Pemerintah menjelaskan program penayangan rutin Pendidikan Moral Pancasila PMP di Televisi RI yang muatannya sangat bernuansa Kejawen. 14 Perubahan istilah “Kebatinan” menjadi “Aliran Kepercayaan” merupakan upaya pemerintah mencari dasar hukum agar dapat dimasukkan ke dalam GBHN 12 Amanat Presiden Soeharto, Surakarta: Yayasan Pendukung Bapak Pembangunan, 1982, hlm. 11 13 Lihat N. Daldjoeni, “Buku Tentang Kebatinan,” Kompas, 25 Agustus 1973. 14 Muhammad Kamal Hassan, Modernisasi Indonesia, Respon Cendekiawan Muslim, Jakarta: Lingkaran Studi Indonesia, 1987, hlm. 187. sebab kata “Tuhan Yang Maha Esa” dan “Kepercayaan” memang termuat dalam Pasal 29 UUD 1945, walaupun tidak ada hubungannya dengan Kebatinan. Meskipun pemerintah tidak memaksudkan Aliran Kepercayaan ini sebagai suatu “agama”, namun kenyataannya disejajarkan dengan agama. Hal ini terlihat jelas dalam buku-buku Pendidikan Moral Pancasila untuk Sekolah Dasar dan Menengah. Tidak heran kalau kemudian menimbulkan keresahan dan protes dari berbagai tokoh Islam. Di samping itu, Aliran Kepercayaan ini juga mendapat jatah yang sama dalam acara Mimbar Agama di TVRI, sejajar dengan agama Islam, Kristen ProtestanKatolik, Hindu, dan Budha. Dengan demikian, pada tahun 1980-an Orde Baru memang sudah mempunyai “segala hal” untuk tampil perkasa di depan rakyat sehingga apapun yang diinginkan elit penguasanya akan dapat dipaksakan ke seluruh lapisan masyarakat. Bagi umat Islam, orientasi sosial-politik negara Orde Baru seperti modernisasi nilai-nilai modernitas sekuler, pendekatan keamanan dan stabilitas, dan hegemoni ideologi melalui Pancasila atau aparatur birokrasimiliter ternyata sangat banyak merugikan umat Islam. Hegemoni ideologi asas tunggal Pancasila, misalnya, mau tidak mau akan menimbulkan perdebatan di kalangan umat Islam hingga ke wilayah teologis aqidah yaitu wilayah yang esensial dalam ajaran Islam.

B. Umat Islam dan Undang-undang Keormasan