Proses Pendirian Pelajar Islam Indonesia

C. Proses Pendirian Pelajar Islam Indonesia

Pada tanggal 25 Februari 1947, Yoesdi Ghozali sedang beri’tikaf di Masjid Besar Kauman, Yogyakarta. Ketika itu, dalam pikirannya terlintas gagasan untuk membentuk suatu organisasi bagi para pelajar Islam yang dapat mewadahi segenap lapisan pelajar Islam yang saat itu belum terkoordinasi. Gagasan tersebut disampaikannya kepada kawan-kawannya saat pertemuan di gedung SMP Negeri 2 Sekodiningratan, Yogyakarta. Selain Yoesdi Ghozali, hadir juga Anton Timur Djaelani, Amin Syahri, Ibrahim Zarkasyi, dan Noersyaf. Semua yang hadir ini sepakat untuk mendirikan organisasi Pelajar Islam. 23 Di sisi lain, dalam Kongres Gerakan Pemuda Islam Indonesia GPII yang dilaksanakan pada tanggal 30 Maret hingga 1 April 1947, Yoesdi Ghozali mengemukakan gagasan tersebut kepada para peserta kongres. Setelah melalui proses perdebatan karena perbedaan pandangan, akhirnya peserta yang menyetujui ide ini lebih banyak. Oleh karena itu, kongres kemudian memutuskan untuk melepas GPII sayap pelajar guna bergabung ke organisasi Pelajar Islam yang akan dibentuk. Utusan Kongres GPII yang kembali ke daerah-daerah juga diminta untuk memperlancar berdirinya organisasi khusus Pelajar Islam. 24 Kemudian, Ahad tanggal 4 Mei 1947 digelar pertemuan di kantor GPII, jalan Margomulyo No. 8 Yogyakarta. Dalam pertemuan itu hadir Anton Timur Djaelani dan Amin Syahri mewakili GPII sayap pelajar yang siap untuk dilebur ke dalam organisasi Pelajar Islam yang akan dibentuk. Di sana juga telah hadir Yoesdi Ghozali, Ibrahim Zarkasyi, dan wakil-wakil organisasi Pelajar Islam lokal yang telah ada. Mereka adalah Yahya Ubeid dari persatuan Pelajar Islam 23 Lihat, Lihat misalnya, Djayadi Hanan, “Gerakan Pelajar Islam di bawah Bayang- bayang Negara” hal, 57. 24 Djayadi Hanan, hal 57-59 Surakarta PPIS, Multazam dan Shawabi dari penggabungan Kursus Islam Sekolah Menengah PERSIKEM Surakarta, serta Dida Gursida dan Supomo NA dari perhimpunan Pelajar Islam Indonesia PPII Yogyakarta. Dalam pertemuan yang dipimpin oleh Yoesdi Ghozali itulah diputuskan berdirinya organisasi Pelajar Islam Indonesia PII. Tepatnya pada pukul 10.00 WIB tanggal 4 Mei 1947. 25 Dalam pertemuan anggota GPII, maka ditetapkan Anggaran Dasar AD dan Anggaran Rumah Tangga ART PII. Juga ditetapkan susunan pengurus Besar PII periode pertama, yang terdiri atas Yoesdi Ghozali sebagai ketua umum, Thoha Mashudi sebagai Wakil I, Mansur Ali sebagai Wakil II, Ibrahim Zarkasyi sebagai Sekretaris Jenderal, Karnoto sebagai Bendahara, Amin Syahri sebagai Bagian Pendidikan, dan Anton Timur Djaelani sebagai penanggung jawab Bagian Penerangan. 26 Yoesdi Ghozali sebagai penggagas berdirinya PII ternyata juga telah menyiapkan lambing organisasi ini. 27 Usulan Yoesdi Ghozali pun langsung disetujui oleh peserta yang hadir dalam pertemuan itu tanpa memerlukan perdebatan panjang. Demikianlah tampaknya dunia pelajar. Sedangkan hadirin yang lebih tua, termasuk Anton Timur Djaelani yang saat itu telah menjadi mahasiswa juga menyetujui. 25 Djayadi Hanan, “Gerakan Pelajar Islam di bawah Bayang-bayang Negara” hal, 58-60 26 Muzakkir, “Perjuangan PII Ditinjau Dari Segi Dakwah di Indonesia” Yogyakarta, 1979, hal, 55. 27 Lihat juga HM Joesdi Ghozali, S.H., “Dunia Pelajar Islam Indonesia”; “Dasa Warsa PII”; dan Lagu-lagu PII,” dalam Moh Husnie Thamrin dan Ma’roov eds., “Pilar Dasar Gerakan PII, Dasa Warsa Pertama Pelajar Islam Indonesia” Jakarta : Karsa Cipta Jaya, Mei 1998, hal, 19-34; 114-115; 116-120. Lambang PII ketika itu terdiri dari warna hijau yang menunjukkan, bahwa dalam mencapai cita-citanya, Islam dijadikan sebagai lambing perdamaian. Lalu, ada warna biru yang melambangkan kesetiaan PII kepada cita-citanya itu. Warna merah putih menunjukkan lambing kebangsaan Indonesia. Bulan-bintang menunjukan ketinggian Islam sebagai cita-cita yang diperjuangkan PII, dan kubah yang tinggi membumbung dengan lengkungan membusung melambangkan keagungan dan kebesaran Islam. Jadi, lambing PII itu berupa bangunan yang menunjukkan bahwa PII mendirikan organisasinya di atas landasan yang kokoh- kuat. Intinya, lambing PII itu merupakan implikasi dari motivasi dan orientasi pendiriannya. 28 Pada dasarnya, orientasi awal berdirinya PII bersifat jangka panjang di didang pendidikan dan kebudayaan. Akan tetapi, segera setelah berdirinya organisasi ini langsung menghadapi kenyataan lain. Bersama komponen umat Islam dan bangsa Indonesia lainnya PII harus ikut terjun kedalam revolusi fisik untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pada sisi lain, berdirinya PII mendapatkan reaksi dan IPI Ikatan Pelajar Indonesia, yaitu organisasi pelajar yang bersifat umum dan telah ada sebelumnya. Mereka menilai bahwa pendirian PII akan menimbulkan perpecahan dikalangan pelajar. Oleh karena itu, diadakanlah pertemuan antara Pelajar Islam Indonesia PII dan Ikatan Pelajar Indonesia IPI pada tanggal 9 Juni 1947 di Gedung Asrama Teknik Jalan Malioboro, Yogyakarta. Hasil pertemuan ini dituangkan dalam “Piagam Malioboro” yang isinya antara lain tentang pengakuan hak hidup PII oleh IPI. Penandatanganan piagam tersebut adalah Sekjen PB IPI Busono 28 Moh Husnie Thamrin dan Ma’roov eds., “Pilar Dasar Gerakan PII, Dasa Warsa Pertama Pelajar Islam Indonesia” Jakarta : Karsa Cipta Jaya, Mei 1998, hal, 116-120. Wiwoho dan Sekjen PB PII Ibrahim Zarkasy. Selanjutnya, di mana ada IPI, maka di situ akan didirikan PII. Keberadaan IPI ketika itu sudah terdapat di seluruh wilayah Indonesia, khususnya di semua sekolah menengah. Anggota IPI yang beragama Islam Kemudian membantu berdirinya PII. Sebaliknya, PII juga bersedia bekerjasama dengan IPI dalam masalah yang bisa dikerjakan secara kolektif dan bersifat nasional. Dalam perjalanan kedua organisasi itu kemudian terlihat perkembangan yang menunjukkan kemajuan PII lebih pesat daripada IPI. IPI kemdian berubah nama menjadi IPPI Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia dan lebih berorientasi pada soal kepemudaan hingga belakangan mulai terpengaruh paham komunis. Atas dasar itu, PII tidak lagi melanjutkan kerjasama dengan IPPI, terutama sejak dipimpin oleh Suyono Atmo. 29 PII selanjutnya melakukan konsolidasi. Guna menggalang persatuan seluruh elemen anggota dalam organisasinya, PII menyelenggarakan Kongres I di Solo pada tanggl 14-16 Juli1947. Hair antara lain utusan dari Jakarta, Aceh,dan beberapa daerah di Pulau Jawa. Keputusan pentingnya adalah pengesahan Anggaran Dasar AD dan Anggaran Rumah Tangga ART, dan pemilihan Pengurus Besar PB PII. Susunan pengurus besar yang terpilih adalah Noersyaf Ketua Umum, Yoesdi Ghozali Ketua I, Tedjaningsih Ketua II, Ibrahim Zarkasy Sekretaris Jenderal, Karnoto Bendahara, Anton Timur Djaelani Bagian Penerangan, dan Amin Syahri Bagian Pendidikan. Selang beberapa hari setelah Kongres PII digelar, terjadi agresi militer Belanda I tanggal 21 Juli 1947. Republik Indonesia yang baru berusia dua tahun, kembali harus menghadapi penjajahan Belanda. Akibatnya, PB PII tidak dapat 29 Anton Timur Djaelani, “Kebangkitan PII 4 Mei 1947, Dari Bangku Sekolah Ke Organisasi,” tulisan tidak dipublikasikan, 30 April 1997. melanjutkan konsolidasi kepengurusannya. Ketua umum PB PII Noorsyaf pulang ke Bandung untuk bergerilya. Pengurus-pengurus PII yang lain juga pulang kampung untuk melakukan hal yang sama. Anggota-anggota PII pun banyak yang bergabung ke Tentara Republik Indonesia, Hizbullah, Sabilillah, Tentara Pelajar, Mujahidin, Angkatan Perang Sabil dan sebagainya. Kesemuanya dimaksudkan untuk membantu perjuangan untuk mengusir tentara Belanda. Kondisi inilah yang menandai perubahan model perjuangan PII dari model perjuangan yang menggunakan pena menjadi model perjuangan yang menggunakan bedil di medan tempur. 30 Di satu sisi, keikutsertaan PII dalam revolusi fisik ini menunjukkan, bahwa PII adalah organisasi pelajar yang lahir dalam kobaran api revolusi. Pena dan bangku sekolah ditinggalkan sementara dan beralih ke pemanggulan senjata untuk mempertahankan kemerdekaan. Namun, perubahan cara berjuang yang dipengaruhi oleh situasi nasional ini melatarbelakangi terbentuknya Brigade PII. Keputusannya ditetapkan dalam konferensi Besar I tanggal 4-6 November 1947 di Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. 31 Konferensi ini diselenggarakan untuk meninjau ulang beberapa program PII hasil kongres I beberapa bulan sebelumnya, terutama yang berhubungan dengan pertahanan Negara. Konferensi Besar I inilah yang terkenal sebagai konferensi perjuangan dengan acara pokok “sumbangan PII dalam pertahanan dan pembelaan nagara”. Peserta yang menghadiri konferensi terbatas ini hanyalah daerah-daerah yang secara de Facto di kuasai Republik Indonesia. Keputusan penting Konferensi Besar I adalah membentuk sayap bersenjata dalam organisasi 30 Tafsir Asasi PII Hasil Kongres V di Kediri, Kedai PII Ngabean, Yogyakarta, hal, 9. 31 Lihat HA. Halim MA Tuasikal,” Sejarah PII Dari Kongres Ke Kongres,” majalah Berita Pelajar Islam Indonesia, Tahun II Nomor 1, Januari 1956. PII dan dinamakan Brigade PII. Komandannya yang pertama adalah Abdul Fatah Permana dan dibantu oleh beberapa orang staf. Fungsi Brigade PII adalah untuk menyalurkan “bakat ketentaraan” anggota-anggota PII. Anggota-anggota PII yang sebelumnya berada di kesatuan Tentara Republik Indonesia, Hizbullah, Sabilillah, Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia, dan lain-lain, diminta untuk menggabungkan diri dari kesatuan Brigade PII. Tugas mereka adalah melakukan fungsi-fungsi brigade dan berhubungan dengan pemerintah melalui Biro Perjuangan Kementrian Pertahanan. Meskipun, PII telah berpengalaman menghadapi Agresi Militer I Belanda, namun ketika Belanda melancarkan Agresi Militer II, PB PII tetap kalang kabut juga. Satu sisi, saat pembentukan pemerintah Darurat R.I. di sumatera pimpinan Mr. Syarifuddin Prawiranegara, PB PII juga membentuk pimpinan darurat di Sewugalur, Kulon Progo, Yogyakarta. Hal ini dilakukan karena Gedung Kamar Bola sebelah timur kantor PB PII dibakar. Untuk pengamanan organisasi, dokumen-dokumen PII juga dibakar, sedangkan anggota-anggota PB PII ikut bergerilya ke pelosok-pelosok daerah mengikuti Panglima Besar Jenderal Soedirman. A. Fatah Permana Komandan Brigade PII dan Anwar Haryono Gerakan Pemuda Islam IndonesiaGPII saat itu telah menjai kurir Jenderal Soedirman. 32 Meski demikian, Jenderal Soedirman telah menjadi bagian dalam salah satu saksi sekaligus pemberi legitimasi keterlibatan PII dalam pergerakan dan perjuangan kemerdekaan bangsa. 32 Penghargaan dan rasa terima kasih Paak Dirman atas partisipasi PII ini diilustrasikan oleh ucapan Pak Dirman pada hari ulang tahun PII yang pertama. Ucapan itu berbunyai : “Saya ucapkan banyak-banyak terima kasih kepada anak-anakku PII. Sebab saya tahu, bahwa telah banyak korban yang diberikan PII kepada Negara. Teruskanlah perjuanganmu, hai anak-anakku PII. Negara kita adalah Negara baru, yang didalamnya penuh onak dan duri. Kesukaran dan rintangan banyak kita hadapi. Negara membutuhkan pengorbanan pemuda dan segenap bangsa Indonesia”. Lihat Yoesdi Ghozali, “ Tiga Tahun Berorganisasi,” artikel lepas, Yogyakarta, 1950, hal, 5. Keterlibatan PII dalam pergulatan politik bangsa Indonesia kembali intensif ketika terjadi pemberontakan PKI di Madiun pada tanggal 18 September 1948. Bagi PII, tindakan PKI ini merupakan tikaman dari belakang pada saat bangsa Inonesia sedang sibuk mempertahankan kemerdekaan dari rongrongan Belanda. Dengan demikian, PII ikut terpanggil menumpas pemberontakan PKI ini. Komandan Brigade PII madiun, Suryosugito 33 adalah yang gugur sebelim pasukan TNI Divisi Siliwangi tiba. Di bagian lain, pada tanggal 20-25 Desember 1949 di Yogyakarta dilangsungkan Kongres Muslimin Indonesia. Kongres ini adalah kongres ke-15 umat Islam. Empat belas kongres sebelumnya dilaksanakan pada zaman Belanda. Kongres ini berhasil membentuk Badan Kongres Muslimin Indonesia BKMI 34 yang bersifat federatif. Terpilih Gaffar Ismail sebagai Sekretaris Jenderal dan Anwar Haryono serta Wali Al-Fattah sebagai wakil. Yoesdi Ghozali PII juga aktif dalam BKMI ini. Akan tetapi, perkembangan politik berikutnya tidak memungkinkan BKMI ini dapat eksis lebih lama. Berkaitan dengan Kongres Musllimin Indonesia di atas, PII telah mengadakan kongres pendahuluan pada tanggal 21-23 Desember 1949 di tempat yang sama dan dihadiri oleh utusan berbagai daerah. Lalu, dalam Kongres Muslimin Indonesia itu PII mengambil peran penting dengan mencetuskan Panca Cita yang berisi lima butir pernyataan tekad dan keyakinan yakni; 1 Partai Politik Islam hanya satu yaitu Masyumi 33 Pengakuan Peran PII dalam menghadapi PKI di Madiun Affar ini juga diberikan oleh Jenderal Purn Abdul Haris Nasution. Lihat A.H. Nasution, “Peranan PII Dalam Penumpasan PKI, Pengalaman Pribadi Seorang Jenderal,” artikel yang ditulis untuk penerbitan buku Sejarah PII, 27 Juni 1997. 34 Taufik Ismail, “ Kisah Berserakan Sekitar PII, Dari Fail Pribadi, 1947-1965.” Artikel untuk penerbitan buku Lima Puluh Tahun PII, 1998, hlm.3. 2 Organisasi Pemuda Islam hanya satu yaitu GPII 3 Organisasi Mahasiswa Islam hanya satu yaitu HMI 4 Organisasi Pelajar Islam hanya satu yaitu PII 5 Organisasi Pemandu Islam hanya satu yaitu Pandu Islam Indonesia. 35 Dalam Panca Cita ini kemudian menjadi semacam ikatan moral yang sangat kuat dan menjadi salah satu dasar pemersatu berbagai komponen umat Islam untuk bergerak di segala arena. Dalam perkembangan berikutnya, pada Kongres VIII PII di Cirebon tanggal 20-25 Juli 1960, disepakati pula satu keputusan penting berkaitan dengan formulasi tujuan PII. Semula tujuan PII berbunyi, “kesempurnaan pendidikan dan kebudayaan yang sesuai dengan Islam” . Di samping itu ditambah dengan kata-kata “dan umat manusia”. 36 Pada masa kepengurusan PB PII periode Kongres inilah tekanan-tekanan dari situasi politik eksternal seperti dari penguasa rezim Demokrasi Terpimpin mulai menguat. Ketika tekanan-tekanan dan intimidasi yang dialami PII dari rezim Demokrasi Terpimpin itu makin lama makin keras, maka pada tanggal 4 September 1963 PII masuk Front Nasional dan mengurus Moh. Husnie Thamrin sebagai wakilnya. Situasi politik eksternal di atas justru mendorong PII untuk menegaskan jatidirinya sebagai organisasi perjuangan. Lantas, pada Konferensi Besar VI PII di Jakarta Juli 1961 tercetuslah Ikrar Jakarta yang menyatakan secara tegas bahwa “PII adalah mata rantai perjuangan umat Islam Indonesia”. 37 Situasi politik eksternal PII yang dimaksud adalah makin luas dan kokohnya dominasi PKI dalam berbagai sektor kehidupan social politik 35 ____ “Berita Pelajar Islam Indonesia” Januari 1956, hal, 20. 36 ___ “Berita Pelajar Islam Indonesia” PB PII Bagian Penerangan, 1960, hal, 5. 37 Lihat Sri Syamsiar Issom, Korps PII Wati, “ Upaya Mobilisasi Kader PII Putri Menjawab Tantangan Situasi,” makalah untuk penulisan Sejarah PII, Jakarta, 31 Maret 1998. masyarakat. Dengan dilatarbelakangi hal ini dan situasi intern PII ketika itu, maka PB PII periode Ahmad Djuwaeni hasil Muktamar IX di Medan tahun 1962 mengeluarkan Khittah Perjuangan PII. Khittah ini memberikan semacam rambu- rambu agar garis perjuangan yang dilakukan PII kian jelas karena bersifat jangka panjang, sementara pengurusnya selalu berganti-ganti sesuai batas periode kepengurusan. 38 Pada Konferensi Besar VII PII tanggal 13-18 Oktober 1963 di Bandung, PII secara nasional sepakat menolak Manifesto Politik manipol yang menjadi garis politik pemerintah karena bertentangan dengan Islam dan berorientasi paham komunis. Sikap-sikap dan kebijakan-kebijakan PII terhadap rezim ketika itu makin memperluas jurang perbedaan antara PII dengan pemerintah. 39 Hal-hal ini yang kemudian mengantarkan PII ke peran yang lebih besar dalam menumbangkan Orde Lama. Dengan demikian, bagi Pelajar Islam Indonesia PII, kewajiban pelajar itu tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu duniawi umum, tetapi juga ilmu-ilmu ukhrowi. Atau, ilmu-ilmu mengenai batin dan ilmu-ilmu mengenai zahir, yang rasional dan menggunakan otak. Jadi, dalam organ pelajar Islam itu terkumpul lengkap dua macam kepentingan ilmu yaitu ilmu-ilmu rohani dan ilmu-ilmu jasmani. Di satu sisi berangkat dari pemahaman penulis bahwa, kata “siswa” tidak digunakan karena berasal dari bahasa Sansekerta, dan munculnya kata itu pun karena ada kata “mahasiswa”. 40 Jadi, pada waktu berdirinya PII, kata “siswa” 38 Ahmad Djuwaeni, “ Khittah Perjuangan dan Majelis Dakwah PII, Sebuah Upaya Menegaskan Missi,” makalah yang diolah dari hasil wawancar, Jakarta, 12-13 Juni 1997. 39 Ahmad Djuwaeni, makalah yang diolah dari hasil wawancar, Jakarta, 12-13 Juni 1997. 40 Anton Timur Djaelani, “Kebangkitan PII 4 Mei 1947, Dari Bangku Sekolah Ke Organisasi,” tulisan tidak dipublikasikan, 30 April 1997. belum digunakan. Sementara, kata “pelajar“ mempunyai arti yang lebih luas dan mendalam. “Pelajar” yang dimaksudkan di sini adalah kelompok yang belajar mulai dari tingkat ibtid’iyah SD, tsanawiyah SLTP hingga ‘aliyah SMU. Sementara, belajar merupakan kewajiban bagi semua orang. Sedangkan kelompok yang telah memasuki perguruan tinggi memang namanya “mahasiswa” dan “pelajar“ dalam bahasa Inggris memiliki terjemahan yang sama yakni student sehingga secara implisit PII menamakan semuanya sebagai “pelajar“. Akan tetapi, PII memang lebih diorientasikan sebagai organisasi untuk kelompok anak Sekolah Dasar sampai Sekolah Lanjutan Tingkat Atas, termasuk pelajar sekolah persiapan. Pengurus PII bisa saja telah menjadi mahasiswa, tetapi tidak diprioritaskan karena sudah ada HMI yang mewadahinya dan lebih dulu berdiri.

D. Dasar-dasar Pandangan Pelajar Islam Indonesia tentang Kekuasaan