Implikasi Setting Politik Orde Baru terhadap Islam

menyebut system politik Orde Baru ini sebagai “extremely strong state”. 20 Sistem politik yang demikian tentu saja sangat memusat pada lembaga kepresidenan sehingga presiden sendiri dapat mengontrol semua sumber kekuatan politik. Sumber-sumber itu mencakup political recruitment, proses pembuatan dan pelaksanaan anggaran, dan sumber-sumber legitimasi konstitusional yang melekat pada sumber-sumber itu.

C. Implikasi Setting Politik Orde Baru terhadap Islam

Pada awal Orde Baru, umat Islam berharap banyak pada rezim yang telah terbentuk agar diberi peran yang lebih besar dalam politik maupun bidang kenegaraan lainnya. Harapan ini sangat wajar mengingat peran besar yang dimainkan umat Islam menjelang kelahiran Orde Baru, sebagaimana telah digambarkan dalam Bab II. Akan tetapi, segera umat Islam mengalami kekecewaan yang bertubi-tubi. Berbagai harapan dan tuntutan itu ditolak satu-persatu oleh penguasa Orde Baru karena dicurigai bertentangan dengan terminologi “pembangunanisme” Negara yang mengedepankan pragmatisme, rasionalisme, deideologisasi, depolitisasi, pendekatan teknokratis, program oriented, ekonomi sebagai panglima, dan sebagainya. Orde Baru memandang politisi-politisi Islam selalu menjadi sumber konflik politik pada masa Soekarno. Jadi, politik Islam dianggap tidak cocok dengan kredo utama Orde Baru yakni pembangunan eonomi dan stabilitas politik. 20 Lihat Afan Gaffar, “Public Policy and Income Distribution, An Indonesian Case Study”, makalah pada AIDCOM International Seminar on “Economic Development and Liberal Democracy: Compatibility or Conflict?”, Penang, Malaysia, 4-5 Desember 1996. Kecurigaan dan penolakan atas politik Islam juga disebabkan karena elit Orde Baru yakni militer dikuasai oleh kelompok abangan dan priyayi-sekuler. 21 Perseteruan golongan santri dengan kelompok ini memang telah terjadi sejak pra-kemerdekaan. 22 Dalam perkembangan selanjutnya, dapur pemikiran politik Orde Baru lebih banyak dikuasai oleh kelompok Tanah Abang Centre For Strategic and International Studies yang kebanyakan terdiri dari intelektual secular dan beragama katolik. 23 Pada masa Orde Baru, Islam ditempatkan sama seperti agama religion seperti konsep Barat. Karena itu, agama dan politik dianggap sebagai dua hal yang berbeda dan tak ada hubungannya. Kebijakan-kebijakan terhadap umat Islam pun mirip dengan siasat Snouck Hurgronje yang menganjurkan pendekatan “toleransi kembar” yakni membiarkan perkembangan ibadah ritual Islam sembari melarang kegiatan-kegiatan yang secara politis membahayakan. 24 Secara khusus, pandangan pemerintah terhadap Islam ini diimplementasikan melalui Departemen Agama. Pada masa Soekarno, Departemen Agama ini biasanya diisi oleh tokoh berlatar belakang akademis dan cenderung pragmatis seperti Prof. Dr. Mukti Ali, atau tokoh militer seperti Alamsyah Ratuperwiranegara, atau diplomat seperti Munawir Sjadzali. Melalui Departemen Agama inilah pemerintah menghendaki agar pembangunan agama diletakkan sebagai bagian dari prinsip pembanguna ekonomi. 25 Dalam konsep 21 Lihat Harold Crouch, hlm. 35. 22 Lihat Fachry Ali dan Bachtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, Mizan, 1986, hlm. 79. 23 Lihat Aminuddin., hlm. 75-81. 24 Lihat Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Jakarta : Pustaka Jaya, 1980. Juga Lihat Kenneth E. Ward, The 1971 Election in Indonesia, An East Java Case Study, Monash Centre of South East Asian Studies, 1974, hlm. 198. 25 TAP MPR RI 1983, Deppen RI, 1985. hlm. 58. wawasan nusantara, misalnya, agama dianggap sebagai salah satu dari nilai kesatuan bangsa, kesatuan politik dan kesatuan budaya. 26 Kebijakan Orde Baru untuk pembangunan agama sangat berorientasi fisik- material. Untuk agama Islam, pembangunan ini sangat dititikberatkan pada sarana kehidupan dan peningkatan pelayanan ibadah. Dana aktivitas pembangunan masjid disediakan hamper dua kali lipat disbanding dana untuk sector pendidikan. 27 Juga masih ditambah dengan dana dan penunjang lain baik dari Departemen Agama sendiri, maupun dari Instruksi Presiden Inpres atau Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila YAMP. 28 Pemerintah juga mendirikan atau memprakarsai pendirian berbagai lembaga Islam seperti Perguruan Tinggi Dakwah Islam Indonesia PTDII, Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam GUPPI, Dewan Masjid Indonesia DMI-1972, Majelis Ulama Indonesia MUI- 1975, dan Majelis Dakwah Islamiyah MDI-1978. Lembaga-lembaga ini berfungsi sebagai pagar untuk mengarahkan kehidupan sosial umat Islam atau sebagai instrument korporatis Negara Orde Baru. Sementara itu, untuk mengendalikan penyebaran dan sosialisasi ajaran Islam dibuatlah peraturan yang berkaitan dengan materi dan cara-cara berceramah atau berkhotbah. Intinya, tidak boleh menceramahkan atau mengkhotbahkan masalah-masalah politik. 29 Untuk mengawasi dan menindas pelanggaran atas kebijakan ini digunakanlah Instrumen Komando Pemulihan Keamanan dan 26 TAP MPR RI 1983, Deppen RI, hlm. 54. 27 TAP MPR RI 1983, Deppen RI,. 28 Abdul Munir Mulkhan, Perubahan Perilaku Politik dan Polarisasi Ummat Islam 1965- 1987 Dalam Perspektif Sosiologis, Jakarta : Rajawali Pers, 1991, hlm. 100-102. 29 Departemen Agama, Pedoman Pembinaan Masjid, 1981, hlm. 95-97. Ketertiban Kopkamtib sehingga keterlibatan aparat militer menjadi sengat efektif. 30 Menurut Abdul Munir Mulkhan, modus pandangan pemerintah dalam bentuk kebijakan-kebijakan terhadap umat Islam di Indonesia itu dilatarbelakangi oleh lima hal. 31 1. Agama didekati sebagai variable di luar variable sosial dan politik. 2. Perilaku umat dipandang sebagai perilaku individual. 3. Agama ditempatkan dalam kedudukan yang sacral dan transeden tanpa hubungan structural dan fungsional dengan kehidupan keimanan di tingkat praktik. 4. Dalam batas-batas tertentu, secara politis agama ditempatkan sebagai legitimasi atas kebijakan konsep pembangunan. 5. Seluruh struktur kehidupan beragama dikaitkan dengan Pancasila sebagai ideologi sosial-politik dan sistem kebangsaan. Latar belakang kebijakan pemerintah terhadap Islam ini sangat bersesuaian dengan orientasi pemikiran politik penjaga dapur Orde Baru yang dikenal sebagai kelompok Tanah Abang. Kelompok ini pada awalnya adalah staf pribadi Spri Soeharto yang kemudian memiliki hubungan erat dengan Centre for Strategic and International Studies CSIS. 32 CSIS didirikan oleh Ali Moertopo dan kawan-kawannya pada tahun 1971 sebagai alat untuk mengekspresikan kepentingannya. 33 Belakangan, CSIS menjadi kelompok kepentingan politik yang berperan besar bagi pemerintah Orde Baru 30 Lihat Crouch., Op. cit., hlm. 250. 31 Mulkhan., Op. cit., hlm. 108. 32 Aminuddin., Op. cit., hlm. 78-79. 33 Leo Suryadinata, Golkar dan Militer, Studi Tentang Budaya Politik, Jakarta: LP3ES, 1992, hlm. 33. dan menduduki berbagai tempat di Golongan Karya. 34 Kelompok ini terdiri atas para purnawirawan militer, intelektual-intelektual sekuler, dan orang-orang Katolik yang sangat tidak bersimpati kepada kaum muslim. Bagi mereka, Islam merupakan potensi yang sangat membahayakan bila diberi kesempatan berkuasa. Karena Islam cenderung dipandang dalam kacamata “Darul Islam”, maka mereka cenderung ingin menghancurkan Islam. 35 Bahkan agen-agen intelijen yang berada di bawah pengaruh Ali Moertopo menempatkan kelompok Islam sebagai sasarantarget utama dari rangkaian operasi mereka. 36 Dengan demikian, tidak heran bila kebijakan politik Orde Baru banyak merugikan Umat Islam. Kebijakan ini merupakan perpaduan dari orientasi pemikiran sosial-politik Orde Baru dengan kepentingan kelompok konseptor dan operator kebijakan tersebut. Beberapa rencana kebijakan pemerintah yang anti nilai-nilai agama terlihat dari usaha Golongan Karya dalam menghapuskan mata pelajaran agama di sekolah untuk diganti Pendidikan Moral Pancasila PMP, penghapusan Departemen Agama, dan sekulerisasi undang-undang Perkawinan. Usaha penghapusan pelajaran agama bisa ditolak karena ditolak karena dikecam sendiri oleh ulama Golongan Karya. 37 dibatalkan setelah mendapat protes keras umat Islam, dan lalu direvisi. 34 Merupakan kenyataan yang ironis bahwa meskipun mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim namun sebagian besar posisi-posisi pemerintahan ketika itu dipegang oleh non- muslim atau muslim abangan. Kaum non-muslim terutama adalah Katolik, dan kebanyakan mereka berada di bawah pengaruh CSIS. 35 Afan Gaffar, “Partai Politik, Elite, dan massa Dalam Pembangunan Nasional”, dalam Ahmad Zaini Abar, Beberapa Aspek Dari Pembangunan Orde Baru, Solo: Ramadhani, 1990, hlm. 22. 36 Lihat Heru Cahyono, Peranan Ulama Dalam Golkar 1971-1980, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1992, hlm. 130-131. 37 Muhammad Kamal Hassan, Modernisasi Indonesia, Respon Cendikiawan Muslim, Jakarta: Lingkaran Studi Indonesia, 1987, hlm. 218. Sebagai partai besar tentunya Golongan Karya sangat kecewa. Bahkan, salah seorang tokohnya menyatakan: “Hukum perkawinan seharusnya tidak mengikuti ajaran-ajaran suatu agama. Negara kita bukanlah negar agama, mengapa kita harus memperhatikan prinsip-prinsip agama dalam membuat hukum.” Selanjutnya, tokoh ini menyatakan:”…memang rancangan itu mendukung ketetapan yang bertentangan ajaran agama Islam mengenai perkawinan…kalau kita selalu memperhatikan ajaran agama, kita tidak akan pernah maju”. 38 Pada sisi lain, CSIS dalam buku Master Plan Pembangunan Bangsa menyampaikan asumsi dasar yang menyatakan bahwa bangsa ini terhambat kemajuannya karena terbelenggu oleh nilai-nilai Islam. Menurut mereka, yang perlu dikikis bukanlah orang Islam Indonesia, tetapi nilai-nilai yang melekat pada orang Islam yang merintangi pembangunan. “Kita tidak memusuhi orangnya, tetapi ajaran-ajaran yang bisa membahayakan pembangunan. Kan orang Islam itu bangsa kita juga? Tak mungkin kita memusuhinya,” demikian kata Liem Bian Kie yang menjadi kepala proyek Master Plan Pembangunan Bangsa itu. Lalu, Liem menegaskan, bahwa adanya korban merupakan hal yang tak terhindarkan. 39 38 Diungkapkan oleh Drs. Sugiharto, ketua utusan Golkar dalam suatu rapat. Lihat Zyrlirosa Jamil, Sikap Politik PII Dalam Menolak Asas Tunggal. Faktor-faktor yang menyebabkannya, skripsi FISIPOL UI, 1991. 39 Sebagaimana dikutip A.Q. Djaelani, Musuh-Musuh Islam Melakukan Ofensif Terhadap Ummat Islam Indonesia, Sebuah Pembelaan, Jakarta: Masyarakat Pelajar Press, 1985,hlm. 122.

BAB IV DINAMIKA HUBUNGAN PELAJAR ISLAM INDONESIA