Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia dan Undangundang

menghibur diri bahwa Pancasila asas tunggal itu adalah Pancasila yang tetap berada dalam cahaya agama Islam. Sekali lagi, hal ini sebetulnya membuktikan bahwa rakyat tidak berdaya saat berhadapan dengan hegemoni negara yang sedemikian kuat. Bahkan, ketika kebijakan negara itu menjurus kepada pengaturan atas isi kepala setiap orang agar patuh melahap suatu ideologi. 20 Ketidakberdayaan rakyat semakin terlihat ketika asas tunggal Pancasila telah menjadi kebijakan politik-hukum melalui Undang-undang Keormasan Nomor 8 Tahun 1985. Semua organisasi, termasuk yang pada awalnya menolak dengan gigih, akhirnya terpaksa menerima dan menyesuaikan diri pada UU Keormasan. Tentu saja dengan segala alasan dan legitimasi politisnya.

C. Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia dan Undangundang

Keormasan Strategi PII menghadapi Manipol-Usdek pada masa Orde Lama ternyata kurang utuh dan kompak dibanding ketika menghadapi pembahasan hingga pemberlakuan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Pada masa Orde Lama, PB PII Periode 1962-1964 yang dipimpin Ahmad Djuwaeni telah menyiapkan berbagai kemungkinan seandainya PII betul-betul dibubarkan karena menentang Manipol-Usdek. Salah satu bentuk persiapan PB PII itu antara lain ialah mendirikan yayasan-yayasan di daerah- daerah untuk alternatif wadah kegiatan. Antisipasi seperti ini tidak terlihat atau 20 Guillermo O’Donnell menyebutkan hal ini sebagai “consensus diam-diam”. Antara pemerintah dan masyarakat sebetulnya masih ada persoalan, tetapi karena kepentingan keamanan persoalan itu dianggap selesai. Lihat Guillermo O’Donnell dan Philippe C. Schmitter, Transisi Menuju Demokrasi, Jakarta: LP3ES, 1993, hlm. 78. kurang mendapatkan perhatian PB PII Periode 1983-1986 di bawah pimpinan Mutamimul Ula. Dalam periode Mutamimul Ula sebenarnya ada pengondisian secara sistematis terhadap PII se-Indonesia. Jalur utama yang dipakai adalah training konvensional. Bila diperhatikan pada buku-buku panduan training yang dipakai mulai periode ini nampak, bahwa muatan ideologis dalam setiap materi di setiap jenjang training sangat kental. Opini yang sangat dominan muncul di setiap lokal pen-training-an PII ketika itu adalah tentang ketidaksetujuan menggunakan asas tunggal Pancasila yang termaktub dalam salah satu pasal Rancangan Undang- undang Keormasan Nomor 8 Tahun 1985. Akan tetapi, pendapat dan sikap yang muncul dari para peserta dalam training itu tetap beragam. Hal ini bisa terjadi karena efek dari pengkondisian training, kemahiran instruktur dalam menggunakan metode training yang dikenal sebagai dynamic group, atau pendapat pribadi para peserta training yang memang tidak akan dibantah. 21 Sikap PB PII periode 1983-1986 terhadap Rancangan UU Keormasan dituangkan dalam sebuah pernyataan tentang Pokok-Pokok Pikiran PB PII Tentang Rancangan Penyusunan Undang-undang Keormasan yang dikeluarkan tanggal 25 Maret 1984. Ada tiga butir penting dari pernyataan itu. Pertama, menolak setiap perangkat aturan atau hukum yang secara sengaja atau tidak sengaja, akan mengeliminasi atau mencoret Islam secara tersirat atau tersurat dari Anggaran Dasar atau perangkat organisasi kemasyarakatan, terutama yang bernafaskan Islam. Kedua, menolak setiap perangkat aturan dan atau hukum yang secara birokratis-administratif akan membatasi hak-hak asasi manusia terutama 21 Ahmad Marzoeki, “Reformalisasi PII dari Deklarasi Cisarua ke Persetujuan Cibubur,” tulisan untuk buku 50 tahun PII, tanpa tahun. dalam mengembangkan nilai-nilai Islam. Ketiga, mengakui al-Islam sebagai satu- satunya asas bagi organisasi-organisasi kemasyarakatan yang bernafaskan Islam dalam melaksanakan kegiatan-kegiatannya. Dari tiga butir pemikiran PB PII di atas, nampak bahwa persoalan yang hendak dikemukakan berkaitan dengan UU Keormasan, sebetulnya tidaklah semata akan menghadapkan PII kepada Pancasila. Persoalan penting yang hendak diangkat ialah menyangkut hak asasi manusia HAM, khususnya berkaitan dengan kebebasan memeluk agama dan melaksanakan kewajiban agamanya itu. Selain masalah ini dijamin dalam Pasal 29 UUD 1945, juga telah disepakati masyarakat internasional sebagai hak asasi manusia yang paling asasi. Akan tetapi, ketika itu persoalan HAM dan demokratisasi memang belum populer di Indonesia sehingga sering secara sederhana masalah PII ini disimpulkan sebagai “penolakan PII terhadap asas tunggal Pancasila” atau lebih ekstrem lagi yaitu “penolakan PII terhadap Pancasila”. Dalam masalah yang berkaitan dengan UU Keormasan khususnya pada ormas-ormas Islam, biasanya hanya difokuskan pada persoalan asas tunggal. Sedangkan bagi PII, asas tunggal merupakan salah satu permasalahan saja dari UU Keormasan. Permasalahan lain yang juga sangat penting adalah independensi organisasi. Kehadiran UU Keormasan juga dipandang bisa memperlemah independensi organisasi PII sehubungan dengan adanya “pembinaan dari pemerintah” Bab VI Pasal 11 UUK. Apalagi dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1986 tentang Pelaksanaan UU Keormasan Nomor 8 Tahun 1985 Bab VI Pasal 14 dinyatakan: “Dalam rangka meningkatkan daya guna dan hasil guna, pembinaan organisasi kemasyarakatan diupayakan untuk berhimpun dalam wadah pembinaan dan pengembangan yang sejenis agar lebih berperan dalam melaksanakan fungsinya.” Pada Bab III buku ini telah dinyatakan bahwa persoalan independensi bagi PII lebih penting untuk dipertahankan. Pada tahun 1973, misalnya, PII tidak menyetujui pembentukan Komite Nasional Pemuda Indonesia KNPI yang mengindikasikan adanya gejala monolitik dalam pembinaan generasi muda agar terarah pada jalur politik pemerintah. Tentu saja hal ini tidak sesuai dengan “youth culture” dan akan mematikan kreativitas generasi muda. Adalah fakta bila kemudian keberadaan KNPI juga mendapatkan gugatan di sana sini, termasuk oleh Organisasi Kemasyarakatan Pemuda OKP pendukungnya seperti terjadi dalam Kongres VIII KNPI tanggal 28 Oktober - 4 Nopember 1996 di Jakarta. 22 Ketika UU Keormasan resmi diundangkan pada tanggal 17 Juni 1985, PB PII masih tetap belum mengubah sikapnya. Walaupun demikian, dalam masa transisi penyesuaian terhadap UU Keormasan itu nampaknya PB PII belum menyiapkan lembaga alternatif. Bahkan, sampai dengan pelaksanaan Muktamar XVII pada tanggal 18-21 September 1986 di Cisarua, Jawa Barat, PII masih tetap mempertahankan sikapnya yang tidak mau menyesuaikan diri pada UU Keormasan. PB PII periode 1983-1986 ini lebih mengutamakan intensifikasi sekaligus ekstensifikasi proses kaderisasi dalam menghadapi berbagai kemungkinan yang bakal dihadapi PII sehubungan dengan pemberlakuan UU Keormasan. Dalam kata lain, proses kaderisasi lebih pokok daripada eksistensi dan formalitas lembaga. Pilihan ini memang sesuai dengan suasana pergerakan 22 Kompas, 30 Oktober 1996 di kalangan umat Islam Indonesia ketika itu. Apalagi kaum pergerakan Indonesia, khususnya generasi muda Islam, mulai banyak berhubungan dan mempelajari pergerakan Islam internasional seperti Ikhwanul Muslimin di Mesir dan keberhasilan Revolusi Islam di Iran. Banyak pergerakan Islam di Indonesia yang hanya kelihatan aktivitasnya, tetapi sulit mengetahui nama dan kelompok afiliasinya. Dari fenomena inilah langkah PB PII periode 1983-1986 dapat diteropong karena arah bergeraknya memang condong ke sana. Meskipun berada dalam suasana yang belum menentu karena polemik UU Keormasan, aktivitas PII tetap berjalan. Pada tanggal 17-21 Februari 1985, misalnya, PB PII menyelenggarakan Musyawarah Instruktur Nasional MIN di Bandar Lampung. Musyawarah Instruktur Nasional ini menghasilkan Buku Panduan Training yang materi-materinya sudah diperbarui dan terdiri dari panduan Basic Training, Mental Training, Perkampungan Kerja Pelajar, dan Advance Training. Namun, sistem training yang digunakan tetap mengacu pada hasil Pekan Orientasi Instruktur Nasional POIN tanggal 1-6 April 1979 di Cibubur, Jakarta. Musyawarah Instruktur Nasional juga menetapkan program kaderisasi yang disebut Sebelas Bintang, Satu Matahari plus Rembulan. Program Sebelas Bintang terdiri dari training-training alternatif yang meliputi Studi Islam Awal Mula SIAM, Bimbingan Keilmuan dan Kepelajaran BKK, Latihan Hubungan Antar Manusia Labungsia, dan training konvensional. Program Satu Matahari adalah Leadership Advance Training LAT dan ditambah program Satu Rembulan pasca-LAT. Kemudian, pada bulan Desember 1986 di Cisarua, Jawa Barat, PII melaksanakan Muktamar ke-17. Acara yang dilaksanakan tanpa izin dari aparat keamanan ini akhirnya memilih Chalidin Yacob sebagai Ketua Umum setelah mengalahkan Dindin Syafruddin. Chalidin Yacob tampaknya berbeda dengan Mutamimul Ula yang intensif menekuni dunia pergerakan Islam dan proses pengkaderan. Akibatnya, di tangan Chalidin Yacob program Sebelas Bintang, Satu Matahari plus Rembulan tidak berjalan serius. Dalam hal ini, Dindin Syafruddin sebetulnya lebih tepat melanjutkan rencana yang dirintis oleh Mutamimul Ula itu. Kapasitas dan intensitas Dindin memang lebih besar dibanding Chalidin Yacob ketika itu. Akan tetapi, menjelang Muktamar PII ke- 17 sudah beredar suara-suara yang kurang mendukung Dindin sebagai kandidat Ketua PB PII, khususnya suara dari Keluarga Besar KB 23 PII yang masih memiliki pengaruh di PII. Chalidin Yacob sendiri banyak mendapatkan dukungan dari sejumlah Pengurus Wilayah PII dari luar Jawa sebab ia memang sering dikirimditugaskan oleh PB PII ke kader-kader PII di luar Jawa. Chalidin Yacob juga nampaknya lebih cenderung menginginkan PII menyesuaikan diri pada UU Keormasan. Kesan inilah yang ditangkap oleh beberapa Keluarga Besar alumni PII yang ditemui Chalidin Yacob. Namun, arus bawah di PII secara nasional tidak menghendaki PII menyesuaikan diri pada UU Keormasan sehingga Chalidin pun harus tunduk dan melaksanakan aspirasi nasional tersebut. Belakangan ada pula kader PII yang menyayangkan tidak terpilihnya Dindin sebagai pengganti Mutamimul Ula. Untuk menetapkan sikap, arah, dan strategi PII dalam menghadapi UU Keormasan yang masa toleransi registrasi persetujuannya hampir habis, PB PII menyelenggarakan Rapat Pimpinan Nasional Rapimnas pada tanggal 10-14 23 Keluarga Besar atau KB PII adalah sebutan untuk mantan-mantan anggota atau alumni PII. Saat ini para anggota KB ini telah membentuk suatu wadah yang diberi nama Perhimpunan Keluarga Besar PII disingkat Perhimpunan KB PII. Mei 1987 di Cisarua, Bogor. Dalam arena Rapat Pimpinan Nasional Rapimnas inilah lahir Deklarasi Cisarua yang menyatakan sikap istiqomah PII hingga tetap tidak bisa menyesuaikan diri pada UU Keormasan Nomor 8 Tahun 1985. Sesungguhnya, Rapat Pimpinan Nasional Rapimnas ini tidak berlangsung semulus yang terlihat dari luar karena ada satu catatan penting yang disepakati untuk tidak diekspos ke publikpers. Dari 18 Pengurus Wilayah PII yang hadir dalam Rapat Pimpinan Nasional Rapimnas itu, hanya Pengurus Wilayah PII Yogyakarta Besar yang tidak setuju pada sikap penolakan PII terhadap UU Keormasan. Namun, demi pertimbangan untuk menjaga keutuhan organisasi PII secara nasional, Ketua Umum Pengurus Wilayah PII Yogyakarta Besar periode 1986-1988, Ananta Heri Pramono, 24 akhirnya ikut menandatangani Deklarasi Cisarua. Deklarasi Cisarua inilah yang menjadi ketetapan pertama dari forum Rapat Pimpinan Nasional Rapimnas dengan Nomor TAPRapimnas-PII1987. Deklarasi Cisarua ini pun disepakati hanya bersifat intern, atau tidak akan dipublikasikan ke pihak luar. Lahirnya Deklarasi Cisarua menunjukkan bahwa semangat persatuan untuk menjaga keutuhan jamaah benar-benar dijaga oleh para aktivis PII ketika itu. Sikap dan pandangan tetap berbeda, namun segala hal yang menyangkut persoalan bersama harus dipikul bersama pula. Adalah suatu konsekuensi yang tak bisa dihindari bila suatu saat kehendak mayoritas harus diikuti tanpa bermaksud menafikan aspirasi minoritas. Watak ini sering ditanamkan pada para kader PII sebagaimana digariskan oleh Rasulullah SAW: “Inna ummatii laa lajtami’u ‘ala dhalal faidzaa roatum ikhtilaafan fa’alaikum bissawaadil 24 Sebagaimana diceritakan pada saat TC dan Raker I PB PII Periode 1995-1998. a’zhami” Umatku tidak akan bersepakat atas kesesatan, maka jika kamu melihat perselisihan ikutilah kelompok yang terbanyak. 25 Sehari setelah penandatanganan Deklarasi Cisarua; Mohammad Natsir mantan pimpinan Masyumi memberikan ceramah kepada para peserta Rapat Pimpinan Nasional Rapimnas. Dalam ceramah itu M. Natsir menyodorkan alternatif Anggaran Dasar PII yang sudah disesuaikan dengan UU Keormasan. Sebetulnya sejak awal M. Natsir telah meminta kesempatan berbicara khusus di forum Rapat Pimpinan Nasional Rapimnas itu sebelum keputusan diambil. M. Natsir tampaknya berharap dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk dijadikan pertimbangan oleh peserta Rapat Pimpinan Nasional Rapimnas PII dalam menyikapi Undang-undang Keormasan Nomor 81985. Akan tetapi, saran M. Natsir ini ditolak sehingga ia hanya diberi kesempatan tampil setelah keputusan diambil. 26 Tentu saja hal ini terlambat karena sehari sebelumnya Deklarasi Cisarua telah ditandatangani. Menurut Agus Salim 27 kelak menjadi Ketua Umum PB PII 1989-1992, pengganti Chalidin Yakob, seandainya M. Natsir menyampaikan ceramahnya sebelum penandatanganan Deklarasi Cisarua, maka hasilnya mungkin lain atau mungkin tidak ditandatangani. Tanggal 15 Juni 1987, dua hari menjelang berakhirnya masa toleransi penyesuaian organisasi kemasyarakatan ormas pada UU Keormasan, forum Rapat Pimpinan Nasional Rapimnas pun dilanjutkan di Jakarta dan diikuti oleh utusan dari 9 Pengurus Wilayah PII. Karena situasinya dipandang sangat mendesak dan ada pula perbedaan kemampuan masing-masing Pengurus 25 HR. Ibnu Majah II: 1330, dan Ahmad IV: 978. 26 Wawancara dengan Asmara Hadi Usman, Februari 2010, di Jakarta. 27 Sebagaimana dijelaskan Agus Salim kepada penulis pada tanggal 24 Oktober dan 2 Nopember 1997. Wilayah PII dalam mengonsolidasikan aktivitas kader di tiap-tiap wilayahnya, maka forum Rapat Pimpinan Nasional Rapimnas mengeluarkan ketetapan Nomor TAP2Rapimnas-PII1987 yang berisi lima butir keputusan yaitu: 1. Memberikan kewenangan kepada Pengurus Besar PII untuk mengeluarkan Maklumat Ekstern tentang sikap PII yang tidak bisa menyesuaikan diri pada UU No. 8 Tahun 1985. 2. Memberikan kewenangan kepada Pengurus Besar PII atau Pengurus Wilayah PII untuk membekukanmemvakumkan kepengurusan PII di bawahnya. 3. Memberikan hak kepada Pengurus Wilayah PII dan Pengurus Daerah PII untuk membekukan diri secara kelembagaan. 4. Memberikan hak kepada personal Pengurus Wilayah PII atau Pengurus Daerah PII untuk mengundurkan diri dari kepengurusan PII. 5. Pelaksanaan butir 2, 3, dan 4 dalam ketetapan ini dipilih oleh pengurus yang bersangkutan berdasarkan kondisi masing-masing. Butir keputusan nomor 1 yang bersifat kewenangan itu dapat dilaksanakan dan dapat pula tidak, mengingat situasi sosial-politik nasional masih panas. Ketika itu, Pemilihan Umum 1987 baru saja dilaksanakan. Partai Persatuan Pembangunan PPP mengalami penggembosan oleh sebagian tokoh- tokoh Nahdlatul Ulama NU. Kejadian ini sangat memukul aspirasi umat Islam karena: 1. Kondisi PPP masih lebih tepat dianggap sebagai representasi umat Islam Indonesia dibanding Golongan Karya Golkar atau Partai Demokrasi Indonesia PDI, meskipun saat itu semua partai politik sudah sama-sama berasaskan Pancasila. 2. Mayoritas umat Islam berafiliasi ke Nahdlatul Ulama NU, meskipun secara administratif tidak terdaftar sebagai anggota. Melalui peristiwa penggembosan PPP itu tampak bahwa secara umum kondisi umat Islam sedang mengalami “keretakan” ukhuwah. Pada saat yang sama, sebagian organisasi kemasyarakatan Islam sudah menyesuaikan diri pada UU Keormasan. Hal inilah yang menjadi bahan pertimbangan PB PII sehingga tidak mempublikasikan Maklumat Ekstern mengenai sikap PII terhadap UU Keormasan. Juga karena dipandang tidak menyelesaikan masalah, di samping akan memancing polemik yang sia-sia di kalangan umat Islam. Secara eksternal, Deklarasi Cisarua sebenarnya dimaksudkan untuk memicu solidaritas lembaga atau organisasi kemasyarakatan Islam lainnya. 28 Para aktivis PII menganalogikan situasi yang dihadapinya itu sama dengan situasi pada masa Orde Lama ketika PII menolak Nasakom dan Manipol-Usdek. Ketika itu, PII menyediakan diri sebagai benteng terakhir dalam mempertahankan asas Islam. Ternyata analogi ini salah karena tidak ada satu pun organisasi kemasyarakatan Islam yang berani mendukung sikap PII dalam menolak UU Keormasan itu. Mau tidak mau ada yang berubah di PII setelah Rapat Pimpinan Nasional Rapimnas yang melahirkan Deklarasi Cisarua . Meski secara kelembagaan PII sudah mengambil sikap tegas, namun secara individual setiap aktivis PII 28 Suara Hidayatullah, 08VIIIDesember 1994 masih meraba-raba dalam menafsirkan tindakan pemerintah terhadap PII sekaligus konsekuensi-konsekuensi politik yang akan menimpa para kadernya. Bagaimanapun, hal itu akan berkaitan dengan masa depan para kader PII yang masih panjang. Akibat kondisi di atas, kegiatan kaderisasi PII setiap liburan sekolah semakin minim publikasi samar-samar. Pendekatan personal menjadi satu- satunya cara dalam rekruitmen anggota dan kadang juga terkesan “mengelabui” calon kader. Kenyataan ini sering pula diungkapkan oleh mantan-mantan peserta Leadership Basic Training LBT. Seringkali peserta LBT mengira akan diajak mengikuti pesantren kilat. Bahkan, ada yang mengira akan diajak piknik. Institusi PII pun baru diketahui pada saat pelaksanaan LBT itu. Oleh karena itu, banyak juga kader yang telah mengikuti LBT malas aktif di PII. LBT sendiri secara tidak resmi sering dipandang sebagai batas minimal seseorang telah berstatus menjadi anggota PII. Meski masih ada jalur perekrutan lain yaitu dari putra-putri alumni PII Keluarga Besar PII, namun langkah ini terbukti tidak juga membawa banyak hasil. Problemnya, banyak juga alumni PII yang tidak setuju dengan sikap penolakan PII terhadap UU Keormasan. Di samping itu, tidak selalu pula putra- putri alumni atau Keluarga Besar PII berminat menjadi aktivis PII. Keluarga Besar PII yang mendukung sikap PII pun tidak selalu mengarahkan putra-- putrinya menjadi kader PII. Alasan para alumni yang sering dikemukakan ialah demi memberikan kebebasan kepada putra-putrinya dalam beraktivitas sehingga tidak ada paksaan atau tekanan. Alasan ini cukup logis, tetapi tampak ambivalen karena setidaknya putra-putri mereka dikondisikan mengenal PII. Ternyata memang tidak semua alumni atau Keluarga Besar PII mau dan mampu melakukannya. Dengan demikian, bukan hanya anggota PII yang menyusut, tetapi juga personal di segenap institusi kepengurusan. Selain itu, kualitas personal pengurus PII juga mengalami penurunan karena pemilihan seseorang menjadi pengurus tidak lagi berdasarkan kemampuan dan karakter, melainkan berdasarkan kemauan saja. Inilah yang menyebabkan metode penyeleksian pengurus menjadi lemah.

D. Pelajar Islam Indonesia Melampaui Batas Akhir Tunduk pada