Umat Islam dan Undang-undang Keormasan

sebab kata “Tuhan Yang Maha Esa” dan “Kepercayaan” memang termuat dalam Pasal 29 UUD 1945, walaupun tidak ada hubungannya dengan Kebatinan. Meskipun pemerintah tidak memaksudkan Aliran Kepercayaan ini sebagai suatu “agama”, namun kenyataannya disejajarkan dengan agama. Hal ini terlihat jelas dalam buku-buku Pendidikan Moral Pancasila untuk Sekolah Dasar dan Menengah. Tidak heran kalau kemudian menimbulkan keresahan dan protes dari berbagai tokoh Islam. Di samping itu, Aliran Kepercayaan ini juga mendapat jatah yang sama dalam acara Mimbar Agama di TVRI, sejajar dengan agama Islam, Kristen ProtestanKatolik, Hindu, dan Budha. Dengan demikian, pada tahun 1980-an Orde Baru memang sudah mempunyai “segala hal” untuk tampil perkasa di depan rakyat sehingga apapun yang diinginkan elit penguasanya akan dapat dipaksakan ke seluruh lapisan masyarakat. Bagi umat Islam, orientasi sosial-politik negara Orde Baru seperti modernisasi nilai-nilai modernitas sekuler, pendekatan keamanan dan stabilitas, dan hegemoni ideologi melalui Pancasila atau aparatur birokrasimiliter ternyata sangat banyak merugikan umat Islam. Hegemoni ideologi asas tunggal Pancasila, misalnya, mau tidak mau akan menimbulkan perdebatan di kalangan umat Islam hingga ke wilayah teologis aqidah yaitu wilayah yang esensial dalam ajaran Islam.

B. Umat Islam dan Undang-undang Keormasan

Penyikapan umat Islam terhadap Undang-undang Nomor 81985 tentang Keormasan umumnya terfokus pada masalah asas tunggal Pancasila. Sebetulnya asas tunggal Pancasila hanyalah salah satu pasal saja dari sejumlah pasal Undang- undang Keormasan itu. Sikap umat Islam di sini umumnya dapat dibagi dalam beberapa kategori. Dalam penafsiran terhadap Pancasila, tentu saja terdapat banyak perbedaan persepsi antara umat Islam dengan pemerintah. Umat Islam menempatkan Pancasila dalam perspektif agama Islam, sedangkan pemerintah meletakkan konsep sosial Islam justru dalam perspektif Pancasila. 15 Keberatan kalangan umat Islam dengan pemberlakuan asas tunggal Pancasila ini berkait erat dengan beberapa pokok masalah. Pertama, menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal dianggap bertentangan dengan agama Islam oleh sejumlah umat Is1am. 16 Deliar Noer bahkan membuat satu buku yang khusus mengupas hubungan Islam dengan asas tunggal Pancasila ini. 17 Asas tunggal yang hakiki bagi umat Islam adalah Dienul Islam. Deliar Noer juga mengungkapkan, bahwa penafsiran Pancasila itu tidak boleh tunggal hanya versi pemerintah saja sebab setiap perbedaan penafsiran tidak berarti bertentangan. Kedua, menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal berarti juga menyeleweng atau bertentangan dengan UUD 1945 sendiri, terutama Pasal 29. Argumen ini antara lain dikemukakan oleh K.H. Noer Ali dan Syafruddin Prawiranegara. 18 Ketiga, konsep asas tunggal itu bersifat a-historis dan berarti mengkhianati perjuangan para tokoh pendiri bangsa Indonesia. Hal ini antara lain dikemukakan A. Qadir Djaelani. Menurutnya: 15 Lihat Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Antara Nasionalis Islami dan Nasionalis Sekuler tentang Dasar Negara Republik Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 1986. 16 Tokoh yang mendukung argument ini antara lain adalah K.H. Noer Ali BKSPP, KH. Malik Ahmad Muhammadiyah, KH. A.R. Fachruddin Muhammadiyah, Moh. Natsir DDII, Syarifuddin Prawiranegara, Deliar Noer, dan Abdul Qadir Jaelani. 17 Deliar Noer, Islam, Pancasila dan Asas Tunggal, Jakarta: Yayasan Pengkhidmatan, 1983. 18 Pokok-Pokok Pikiran BKSPP mengenai Asas Tunggal dan RUU Organisasi Kemasyarakatan, 6 September 1984. Lihat juga surat terbuka Syafruddin Prawiranegara kepada Soeharto tanggal 7 Juli 1983. “Penguasa colonial Belanda maupun Jepang yang kejam itu tidak pernah melarang penggunaan Islam sebagai asas partai maupun organisasi social kemasyarakatan. Oleh karena itu, satu sikap pengkhianatan dan sadis, apabila sesudah Republik Indonesia ini berdiri dan berkuasa, melarang partai dan organisasi-organisasi Islam untuk mempergunakan “Asas Islam”. Padahal, dengan asas Islam itu partai dan organisasi-organisasi Islam medirikan dan membesarkan Negara Republik Indonesia”. 19 Di samping itu, konsep asas tunggal itu bersifat politis untuk meminggirkan umat Islam. Tokohtokoh Islam yang keberatan ini umumnya menyepakati dan menerima bahwa posisi Pancasila yang sesungguhnya adalah sebagai dasar negara, bukan sebagai asas. Selain tokoh yang keberatan dengan penerapan Pancasila sebagai asas tunggal ini, ada pula tokoh atau kelompok Islam yang secara verbal menyatakan bahwa hal itu tidak menjadi masalah. Argumen yang diajukan umumnya berangkat dari kesimpulan bahwa Pancasila itu tidak bertentangan dengan Islam sejauh masih tertera sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Apalagi, Pancasila juga merupakan hasil perjuangan umat Islam. Khusus Nahdlatul Ulama NU, penerimaan terhadap asas tunggal Pancasila dilakukan dengan menggunakan kaidah-kaidah darurat yang dibenarkan oleh agama Islam. Secara khusus, sesungguhnya ada satu persoalan yang mengganjal dan dilematis dalam memilihmenerima Pancasila sebagai asas tunggal ini. Ada kesenjangan persepsi terhadap Pancasila itu sendiri. Penerimaan umat Islam selalu disandarkan pada Pancasila yang dijiwai Piagam Jakarta, sedangkan yang dimaksudkan sebetulnya oleh pemerintah Orde Baru adalah Pancasila yang telah diberi muatan tafsir seperti dalam butir-butir Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila P4. Jadi, penerimaan ini seolah-olah hanya untuk 19 Lihat Abdul Qadir Djaelani, “Pancasila dengan Segala Pengertiannya,” dalam Noor M.D., Pancasila Pandangan Tokoh-tokoh Islam, Bogor, 1990. menghibur diri bahwa Pancasila asas tunggal itu adalah Pancasila yang tetap berada dalam cahaya agama Islam. Sekali lagi, hal ini sebetulnya membuktikan bahwa rakyat tidak berdaya saat berhadapan dengan hegemoni negara yang sedemikian kuat. Bahkan, ketika kebijakan negara itu menjurus kepada pengaturan atas isi kepala setiap orang agar patuh melahap suatu ideologi. 20 Ketidakberdayaan rakyat semakin terlihat ketika asas tunggal Pancasila telah menjadi kebijakan politik-hukum melalui Undang-undang Keormasan Nomor 8 Tahun 1985. Semua organisasi, termasuk yang pada awalnya menolak dengan gigih, akhirnya terpaksa menerima dan menyesuaikan diri pada UU Keormasan. Tentu saja dengan segala alasan dan legitimasi politisnya.

C. Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia dan Undangundang