memang tidak semua alumni atau Keluarga Besar PII mau dan mampu melakukannya.
Dengan demikian, bukan hanya anggota PII yang menyusut, tetapi juga personal di segenap institusi kepengurusan. Selain itu, kualitas personal
pengurus PII juga mengalami penurunan karena pemilihan seseorang menjadi pengurus tidak lagi berdasarkan kemampuan dan karakter, melainkan
berdasarkan kemauan saja. Inilah yang menyebabkan metode penyeleksian pengurus menjadi lemah.
D. Pelajar Islam Indonesia Melampaui Batas Akhir Tunduk pada
Undang-undang Keormasan
Tanggal 17 Juni 1987, ketika batas waktu penyesuaian organisasi kemasyarakatan terhadap UU Keormasan telah habis, PB PII tetap tidak
membuat pernyataan menyesuaikan diri pada UU Keormasan. Dari Departemen Dalam Negeri Mendagri sendiri belum ada isyarat tindakan yang akan
dikenakan kepada PII. Akan tetapi, pada tanggal 21 Juli 1987, seusai rapat kerja dengan Komisi II DPR RI, Menteri Dalam Negeri Mendagri Supadjo Rustam
menyatakan bahwa sampai tanggal 17 Juni 1987 masih ada dua organisasi kemasyarakatan yang belum mendaftarkan diri yaitu PII dan GPM Gerakan
Pemuda Marhaenis. Oleh karena itu, kedua organisasi ini dianggap tidak ada atau telah membubarkan diri. Pernyataan Mendagri ini dilansir oleh berbagai
media cetak harian tanggal 22 Juli 1987.
29
Namun sehari kemudian, tanggal 23 Juli 1987, Direktorat Jenderal Sosial Politik Depdagri membuat dan
29
Jawa Pos, 22 Juli 1987
mengirimkan surat panggilan kepada PB PII. Terkesan ada dualisme sikap di Depdagri terhadap PII. Surat panggilan dari Direktorat Jenderal Sosial Politik
Depdagri secara tidak langsung justru mengakui keberadaan PII, dan berbanding terbalik dengan pernyataan Menteri Dalam Negeri Supadjo Rustam yang
menganggap PII sudah tidak adabubar. Menurut Agus Salim,
30
untuk pertemuan tanggal 23 Juli 1987 memang pihak Departemen Dalam Negeri yang mengundang dalam rangka
mengkonfirmasi PB PII sehubungan dengan keberadaan PII. Undangan itu dikirim justru karena adanya suara-suara yang menyatakan bahwa PII telah
membubarkan diri. Delegasi PB PII yang terdiri dari Chalidin Yacob, Muchlis Abdi, Agus Salim, Shaleh Hamid, dan Abdul Baqir Zein diterima dan berdialog
dengan Moch. Barir, Direktur Pembinaan Masyarakat Depdagri. Dalam dialog itu, Moch Barir mengatakan, bahwa bila belum mendaftarnya PB PII ke
Departemen Dalam Negeri karena lupa, maka PB PII harus meminta maaf dan kemudian secepatnya mendaftarkan diri. Sinyalemen Moch. Barir ini dibantah
dan diuraikan oleh Muchlis Abdi yang mengatakan bahwa registrasi ke Depdagri dalam persepsi PB PII hanya berlaku untuk organisasi kemasyarakatan yang
sudah menyesuaikan diri pada UU Keormasan. Karena hingga detik itu PII belum bisa menyesuaikan diri pada UU Keormasan, maka PB PII pun tidak
wajib melakukan registrasi ke Depdagri. Apalagi batas waktu yang ditetapkan Depdagri untuk melakukan registrasi sudah terlampaui. PII sendiri belum bisa
menyesuaikan diri pada UU Keormasan karena belum ada ketetapan dari forum
30
Sebagaimana dijelaskan Agus Salim kepada penulis pada tanggal 24 Oktober dan 2 Nopember 1997.
Muktamar PII yang memang belum diselenggarakan. Forum Muktamar sendiri adalah forum tertinggi di PII untuk pengambilan kebijakan tingkat nasional.
Kepada delegasi PB PII itu, Moch. Barir menyampaikan empat hal. a
Depdagri mengundang PB PII karena ingin mengecek kepastian PII yang akan membubarkan diri. Menurut informasi yang diperoleh Depdagri,
keputusan PII diambil dalam rapat tanggal 17 Juni 1997 di Warung Buncit, Jakarta Selatan.
31
Peristiwa ini menunjukkan adanya penurunan kemampuan intelijen para aktivis PII. Informasi yang seharusnya bersifat
sangat rahasia ternyata bisa bocor keluar dalam waktu yang relatif cepat. b
Bahwa setiap pemimpin, menurut Moch. Barir, harus berani menanggung resiko. Oleh karena itu, menurutnya, PB PII harus berani mengambil
keputusan menyesuaikan diri pada UU Keormasan tanpa harus menunggu pelaksanaan Muktamar. Ketiga, pemerintah tidak akan
membubarkan PII karena dikhawatirkan menimbulkan reaksi yang mengarah pada tindak kekerasan. Pembubaran PII hanya akan
menimbulkan anggapan bahwa umat Islam memiliki kesalahan kepada pemerintah.
c Pemerintah masih memberi peluang kepada PII untuk melakukan
registrasi ke Depdagri, meski batas waktu yang ditetapkan telah lewat. Akan tetapi, ada catatan bahwa PII harus mengubah kata “Pelajar”
dengan nama atau kata yang lain, meskipun singkatannya tetap PII. Perubahan semacam ini telah dilakukan oleh Ikatan Pelajar Nahdlatul
Ulama IPNU yang menjadi Ikatan Putra Nahdlatul Ulama IPNU dan
31
Rapat yang dimaksud ini agaknya lanjutan Rapimnas di Pasar Jum’at yang menghasilkan Ketetapan Rapimnas Nomor TAP2Rapimnas-PII1987 sebagaimana sudah
disebutkan sebelumnya.
Ikatan Pelajar Muhammadiyah IPM yang menjadi Ikatan Remaja Muhammadiyah IRM.
32
Kemudian, pada hari Senin, 27 Juli 1987, Ketua Umum PB PII Chalidin Yakob kembali lagi ke kantor Departemen
Dalam Negeri guna membicarakan masalah eksistensi PII dan ia diterima lagi oleh Moch. Barir, Direktur Pembinaan Masyarakat Depdagri.
33
Berpijak dari situasi dan kondisi serta untuk menanggapi pernyataan jajaran elit Departemen Dalam Negeri di atas, Chalidin Yacob meminta
wartawan agar tidak mendramatisasi keadaan. Lalu, Chalidin Yacob menegaskan bahwa sesuai dengan Anggaran Dasar, PII hanya bisa dibubarkan
melalui Muktamar. Sekaligus dijelaskannya pula mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan ketentuan perundangan yang masih berlaku, tetap dalam proses
pembahasan. Meskipun situasinya demikian, roda organisasi PII tetap berjalan. Data ketika itu menunjukkan bahwa PII memiliki 26 Pengurus Wilayah dan
1.080 Pengurus Daerah dengan anggota aktif sekitar 4,5 juta orang.
34
Sementara bagi aktivis dan mantan aktivis PII lainnya, persoalan pembubaran PII tidak dipandang sebagai masalah yang serius. Misalnya mantan
Ketua Pengurus Wilayah PII Yogyakarta Besar, dr. M. Thoyibi yang menyatakan, bahwa bukan merupakan masalah bila pemberlakuan UU
Keormasan membuat PII dianggap tidak ada. Menurutnya, perjuangan menyuarakan aspirasi tidak harus melalui sebuah wadah yang formal. Jadi,
kader PII harus bisa memisahkan antara membela wadah dan aspirasi. Bagi dr. M. Thoyibi, sebuah aspirasi tidak harus disalurkan melalui wadah sebab hal itu
32
Catatan pribadi Agus Salim.
33
Tempo,1 Agustus 1987
34
Terbit, 30 Juli 1987
lebih banyak tergantung pada kemampuan berkomunikasi.
35
Lain halnya bagi Sekretaris Umum Pengurus Wilayah PII Aceh, Jamaluddin Tami, dan Ketua
Umum Pengurus Wilayah PII Jawa Tengah, Zubair Syafawi yang mengatakan, bahwa bukan merupakan suatu masalah andaikata PII bubar. Namun begitu,
keduanya memandang penting adanya wadah baru semacam PII yang tetap berasaskan Islam.
36
Di tengah polemik tentang keberadaan PII berkaitan dengan ketentuan UU Keormasan, di Jawa Timur justru pemerintah daerahnya memperpanjang
batas akhir pendaftaran ulang organisasi kemasyarakatan hingga selama dua tahun berikutnya. Menurut Kepala Direktorat Sosial Politik Jawa Timur, Hasril
Harun, kebijakan ini diambil dengan tujuan memberikan kesempatan kepada organisasi kemasyarakatan yang belum mendaftar agar mempersiapkan diri. Di
Jawa Timur sendiri, menurutnya, ada 250 buah organisasi kemasyarakatan, tetapi yang mendaftarkan diri ke Direktorat Sosial Politik hingga bulan Agustus
1987 baru 207 organisasi. Ketika batas akhir pendaftaran jatuh tempo tanggal 17 Juni 1987 berdasarkan ketentuan UU Keormasan, jumlah yang mendaftar baru
125 organisasi kemasyarakatan. Menurut Hasril Harun, sebagian besar organisasi kemasyarakatan yang belum mendaftar itu disebabkan karena belum
memiliki kelengkapan seperti layaknya organisasi. Juga karena belum
mencantumkan asas tunggal Pancasila di dalam Anggaran Dasar ADAnggaran Rumah Tangga ART.
37
Kondisi di Jawa Timur ini dengan sendirinya menjadi penggagal pernyataan Menteri Dalam Negeri Supardjo Rustam di Jakarta pada
tangga121 Juli 1987.
35
Eksponen, No. 43 Th. XV 23 Agustus 1987
36
Tempo, 1 Agustus 1987
37
Jawa Pos, 27 Agustus 1987
E. Sumbangsih Pelajar Islam Indonesia Terhadap Pembangunan