Gabungan antara pembangunan pemikiran ekonomi dan ketertiban militer inilah yang menjadikan proyek modernisasi di Indonesia berwujud ideology
“developmentalisme yang direvisi”. Revisi ini merupakan hasil pengembangan yang dilakukan para intelektual sipil di sekitar Ali Moertopo. Oleh karena itu,
nilai-nilai pembangunan ekonomi tetap dipertahankan seperti soal pembuatan kebijakan public yang rasional, efisiensi, efektivitas, dan pragtisme. Dengan
ringkas dapat dikatakan, bahwa pada akhir 1960-an di Indonesia telah berkembang ideology yang memberi pembenaran pada pengorbanan politik demi
pembangunan ekonomi. Kerangka pemikiran pembangunan ekonomi itulah yang dijadikan
landasan terkuat Orde Baru dalam melakukan berbagai re-organisasi sehingga kemudian tercipta suatu struktur politik yang sangat kuat dan dominant dalam
kehidupan masyarakat.
B. Pengetatan Struktur
Politik
Dalam seluruh aspek kehidupan kenegaraan maupun kemasyarakatan tidak ada yang luput dari re-organisasi atau re-strukturisasi yang dilakukan oleh rezim
Orde Baru. Sumber utama pemikiran Orde Baru adalah sekelompok perwira dan intelektual yang ada di sekitar Ali Moertopo. Kelompok perwira dan intelektual
ini berfungsi sebagai dapur cabinet kitchen cabinet.
19
Mereka diangkat sebagai staf pribadi Spri Presiden Soeharto. Cara kerja seperti ini ternyata sangat efektif.
Kemudian, untuk menjamin implementasi kebijakan-kebijakan pemerintah, maka perwira-perwira ABRI ditempatkan dikaryakan ke dalam jabatan-jabatan sipil
19
Ulf Sundhaussen, “The Military in Research on Indonesia Politics”, Journal of Asian Studies, vol. 31, No. 2 februari, hlm. 50.
sambil mengintensifkan jaringan intelejen atau dengan metode-metode konvensional guna meningkatkan sentralisasi dan efisiensi birokrasi. Selanjutnya,
dibuat pula pola-pola pengendalian melalui perwakilan kepentingan di badan legislative sehingga badan itu lebih mencerminkan kepentingan pemerintah.
Metode yang digunakan Soeharto ialah dengan membujuk sendiri para pendukungnya dan membuat mekanisme undang-undang yang sesuai. Kebijakan
pengendalian badan legislative ini merupakan lanjutan dari taktik yang pernah dilakukan oleh Soekarno.
Pengendalian juga dilakukan pada kelompok-kelompok dan organisasi- organisasi sosial-kemasyarakatan melalui pola korporatisasi. Prinsip
restrukturisasi melalui pola korporatisasi organisasi-organisasi sosial- kemasyarakatan ini dilakukan agar perwakilan kepentingan hanya tersalur lewat
wadah tunggal berdasarkan kategori kepentingan masing-masing. Perwakilan tunggal itu kemudian diletakkan di bawah payung Golongan Karya Golkar.
Lantas, terbentuklah berbagai asosiasi seperti Himpunan Kerukunan Tani Indonesia HKTI, Serikat Pekerja Seluruh Indonesia SPSI, Persatuan Guru
Republik Indonesia PGRI, Sentral Organisasi Kekaryaan Sawadiri Indonesia SOKSI, Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong MKGR, Komite Nasional
Pemuda Indonesia KNPI, Dharma Wanita, Karang Taruna, dan lain-lain. Selain itu, dilakukan pula peningkatan jumlah perwira militer dan teknokrat sipil di
dalam departemen dan lembaga-lembaga pemerintahan lainnya. Sementera, jabatan-jabatan strategis di daerah-daerah diupayakan pula diisi oleh titipan
“orang pusat”, terutama oleh perwira ABRI.
Hasil konkret dari langkah-langkah di atas adalah birokrasi sipil yang sangat terkendali di bawah pemerintah presiden. Dengan demikian, semua
proses pembuatan kebijakan public yang vital dilakukan secara tersentralisasi. Salah satu contohnya adalah dalam pembuatan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara APBN yang semuanya ditentukan oleh pusat Jakarta termasuk pendistribusiannya ke daerah-daerah.
Selain pengendalian birokrasi sipil, Orde Baru juga melakukan integrasi Angkatan Bersenjata. Hal ini dilakukan agar konflik-konflik antar-angkatan tidak
terulang seperti pernah terjadi di era Soekarno. Dengan begitu, sekaligus seluruh kekuatan ABRI pun terkendali.
Tindakan berikutnya adalah penyederhanaan politik kepartaian. Hal ini dilakukan dengan mereorganisasi Sekretariat Golongan Karya Sekber Golkar,
dan “memaksa” partai-partai politik peserta Pemilihan Umum melakukan fusi. Cara pengendalian terhadap partai politik ini dilakukan melalui berbagai modus.
Pertama, melalui mekanisme recall. Kedua, mengintrodusir persyaratan bagi setiap anggota partai politik yang ingin duduk sebagai pimpinan sehingga harus
seizin pemerintah. Ketiga, mengintervensi partai politik melalui kongres, musyawarah, atau muktamarnya. Keempat, mengupayakan monoloyalitas pegawai
negeri hanya pada golongan karya. Kelima, menciptakan konsep massa mengambang floating mass dengan melarang partai politik beraktivitas di
pedesaan, kecuali bila akan Pemilihan Umum. Secara umum dapat dikatakan, bahwa setting politik yang dibangun oleh
Orde Baru telah berfungsi sangat efektif, walaupun otoriter. Afan Gaffar
menyebut system politik Orde Baru ini sebagai “extremely strong state”.
20
Sistem politik yang demikian tentu saja sangat memusat pada lembaga kepresidenan
sehingga presiden sendiri dapat mengontrol semua sumber kekuatan politik. Sumber-sumber itu mencakup political recruitment, proses pembuatan dan
pelaksanaan anggaran, dan sumber-sumber legitimasi konstitusional yang melekat pada sumber-sumber itu.
C. Implikasi Setting Politik Orde Baru terhadap Islam