2. Ideologi Pembangunan dan Dwifungsi ABRI

partai, dan penyederhanaan badan perwakilan serta penerapan “politik berdasarkan konsensus”. 2. Membatasi partisipasi politik yang pluralistik. Partisipasi rakyat diarahkan terutama pada penerapan program pembangunan yang dirancang oleh elit politik. 5 Di sisi lain, rumusan dasar strategi yang akan ditempuh itu membenarkan “penundaan” terhadap pelaksanaan demokrasi karena pendekatan stabilitas lebih dikedepankan dalam menjalankan pembangunan ekonomi. Penekanan pada masalah ketertiban ini terdapat dalam pernyataan politik para pemimpin Orde Baru. Versi yang paling mencolok terdapat dalam tulisan-tulisan Ali Moertopo. Gagasan-gagasan tentang penyempitan partisipasi politik dengan pembatasan politik-kepartaian ini banyak dikembangkan terutama oleh para intelektual sipil di sekeliling Ali Moertopo. Ali Moertopo adalah orang kepercayaan Soeharto. Karena menguatnya kedudukan kelompok ini, maka dengan cepat mereka dapat memperoleh posisi yang sangat berpengaruh selama awal kekuasaan Orde Baru. 6

B. 2. Ideologi Pembangunan dan Dwifungsi ABRI

Akar pemikiran sosial politik yang melandasi setting politik Orde Baru dapat ditelusuri pada konsep pemikiran tentang developmentalisme pembangunanisme yang pada masa itu sedang popular di seluruh dunia, terutama di Negara-negara dunia ketiga yang baru merdeka. Pemikiran-pemikiran tentang peran militer dalam suatu Negara termasuk di bidang politik, juga menjadi 5 Ali Moertopo, Strategi Politik Nasional, Jakarta : CSIS, 1980, hlm. 47. 6 Mochtar Mas’oed, Ekonomi, hal, 146. relevan karena dapat dikatakan bahwa militerlah yang berkuasa selama perjalanan Orde Baru. Di lain tempat, jauh sebelum Orde Baru lahir, telah ada sejumlah intelektual awal abad ke-20 yang berpendidikan Barat. Kebanyakan mereka dipengaruhi oleh pemikir sosialis Eropa. 7 Sepanjang 1950-1960-an intelektual ini berkumpul secara informal di sekitar pemimpin bertipe administrator seperti Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan yang terpenting bahwa mereka juga berada di sekitar politisi Partai Sosialis Indonesia PSI. Para intelektual ini mengembangkan sejenis ideologi yang berdasarkan pada nilai-nilai modernis-sekuler, pragmatisme, rasionalisme, dan internasionalisme. 8 Contoh pernyataan ideologis mereka yang berpengaruh pada Orde Baru sebagaimana dikutip oleh Liddle ialah: “Suatu perekonomian industrial, suatu masyarakat yang egaliter, dan suatu Negara kesejahteraan yang aktif berdasarkan asas-asas demokrasi.” 9 Sarana untuk mencapai tujuan itu didasarkan pada pandangan yang elitis dan pragmatis: Pencapaian tujuan ini… akan memerlukan pendirian sebuah partai yang kuat yang terdiri dari kader-kader sosialis yang akan mampu menolak bujukan komunisme totaliter, menghancurkan warisan-warisan feodalistik…melalui pendidikan serta menciptakan iklim ketertiban dan efisiensi pragmatis sehingga perencanaan ekonomi yang rasional bisa dilakukan”. 10 Melalui nilai-nilai modernis-sekuler ini tetap hidup di sekitar intelektual dan aktivis mahasiswa di Jakarta dan Bandung sepanjang 1960-an sekalipun PSI sudah dibubarkan sejak pemerintahan Orde Lama tahun 1960. Ketika Orde Baru lahir, pada saat bersamaan pikiran-pikiran ini sedang memperoleh kekuatan 7 Mochtar Mas’oed, Negara. Hal, 38. 8 Mochtar Mas’oed, Negara. Hal, 38. 9 R. William Liddle, Modernizing Indonesian Politics,” dalam R. William Liddle ed., Political Participation in Modern Indonesia, New Haven, Conn: Yale University Southeast Asian Studies, 1973, hlm. 179. 10 Sebagaimana dikutip oleh Mochtar Mas’oed dari Liddle. Negara. Hal, 39. baru. 11 Pertama, kembalinya sejumlah intelektual berpikiran reformis yang baru saja memperoleh derajat doctor dari berbagai universitas di Amerika Serikat. Kedua, tersedianya teori-teori sosial baru yang mendukung perjuangan para intelektual itu. Ada tiga teori utama yang berpengaruh ketika itu, ialah : 1. hipotesis dari Lipset yang menyatakan, bahwa demokrasi polotik umumnya terjadi setelah keberhasilan pembangunan ekonomi. Persyaratannya tergantung pada tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. 12 2. Adanya argumen Daniel Bell tentang “matinya ideologi” the end of ideology. Politik Ideologi menurut Bell, tidak ada lagi dan digantikan oleh politik konsensus. 13 Dengan kata lain, Bell menyatakan bahwa intensitas politik ideology telah berkurang seiring dengan peningkatan pembangunan ekonomi. 3. Teori dari Hutington tentang akibat negatif dari mobilisasi sosial yang tak terkendali pada masyarakat sedang berkembang. Oleh karena itu, menurut Huntington partisipasi politik harus disalurkan secara tertib. 14 Di kalangan militer terdapat pula perkembangan yang serupa. Kaum militer dapat menerima dasar berpikir modernisasi-politik seperti ini karena dua hal: 1 Memang sebagai orientasi pemikiran para intelektual dalam merespon ekonomi terpimpin Soekarno. 11 Mochtar Mas’oed dari Liddle, Negara. Hal, 39. 12 Lihat Seymour Martin Lipset, Political Man, The Social Basis of Politics, Garden City, New York: Anchor Books, 1963, bab 2. 13 Lihat Daniel Bell, The end of Ideology, New York: Collier, 1960, hlm. 397. 14 Lihat Samuel Huntington, Political Development and Political Decay, World Politics, 1965, vol. 17 No. 3 April. Lihat juga Samuel P. Huntington dan Joan Nelson, Partisipasi Politik Di Negara Berkembang, terj. Drs. Sahat Simamora, Jakarta: Rineka Cipta, 1994, terutama Bab III 2 Kalangan elit militer yang menjadi actor dominant Orde Baru memang sebelumnya telah akrab dengan pemikiran diatas. Mereka mengenal pemikiran-pemikiran itu sejak menempuh pendidikan di Sekolah Staf Komando Angkatan Darat Seskoad Bandung. Tentu saja karena sebagian besar para pengajar di Seskoad adalah para intelektual yang telah menempuh pendidikan ekonomi di Amerika Serikat. Mayor Jendral Soeharto bahkan mengundang para ahli ekonomi ini untuk menjadi tim penasehatnya. 15 Di samping itu, kecenderungan umum pemerintahan militer adalah selalu menjadikan pertumbuhan ekonomi yang pesat sebagai parameter strategis untuk memperoleh sumber legitimasi dalam memerintah. Hal ini dilakukan karena pemerintahan militer umumnya tidak cukup punya keabsahan untuk memerintah. 16 Selain menerima ide-ide developmentalism yang berakar pada nilai-nilai modernitas sekuler Barat, militer juga berupaya mencari rumusan yang bisa memberinya legitimasi untuk berpolitik. Usaha ini dimulai pada tahun-tahun 1950-an dan 1960-an. 17 Pada akhir 1950-an, rumusan ini ditemukan dalam suatu system perwakilan fungsional dan suatu ideology yang pada masa Orde Baru disebut Dwifungsi ABRI. Untuk pengembangan gagasan ini, TNI AD menjadikan Seskoad sebagai think-thank-nya. 18 15 Bruce Glassburner, “ Political Economy and The Soeharto Regime”, BIES, Vol. XIV, No. 3 Nov. 1978, hlm. 33. 16 Lihat Yahya Muhaimin, “ Kemana Mobilitas Sosial”, makalah seminar HIPIS di Palembang, Maret 1984. 17 Mochtar Mas’oed, Negara, hal 41. 18 Ulf Sundhaussen, “The Military in Research on Indonesia Politics”, Journal of Asian Studies, vol. 31, No. 2 februari Gabungan antara pembangunan pemikiran ekonomi dan ketertiban militer inilah yang menjadikan proyek modernisasi di Indonesia berwujud ideology “developmentalisme yang direvisi”. Revisi ini merupakan hasil pengembangan yang dilakukan para intelektual sipil di sekitar Ali Moertopo. Oleh karena itu, nilai-nilai pembangunan ekonomi tetap dipertahankan seperti soal pembuatan kebijakan public yang rasional, efisiensi, efektivitas, dan pragtisme. Dengan ringkas dapat dikatakan, bahwa pada akhir 1960-an di Indonesia telah berkembang ideology yang memberi pembenaran pada pengorbanan politik demi pembangunan ekonomi. Kerangka pemikiran pembangunan ekonomi itulah yang dijadikan landasan terkuat Orde Baru dalam melakukan berbagai re-organisasi sehingga kemudian tercipta suatu struktur politik yang sangat kuat dan dominant dalam kehidupan masyarakat.

B. Pengetatan Struktur