Identitas Budaya dan Masyarakat Melayu-Muslim Patani

21 alim ulama. 42 Sedangkan bagi orang-orang Inggris Penyebutan Pattani berdasar pada ejaan Melayu Patani merujuk pada Kerajaan Patani, 43 s ementara pemerintah Thailand menyebutkan ejaan ‘Pattani’ dengan dobel ‘t’ didasarkan pada ejaan Thailand pada tahun 1980an, menunjukan tindakan politik sebagai wujud kesadaran perbedaan ento-religius dan sebagai penghormatan bagi para mantan raja-raja Melayu di provinsi Yala, Narathiwat, dan Pattani. Istilah lain dalam ejaan Thai, istilah Pattani hanya menandakan sebuah provinsi di Thailand Selatan setelah tahun 1909. 44 Dengan demikian, meskipun masyarakat yang ada di provinsi Yala, Narathiwat, Satun, dan Songkhla mereka tetap disebut dengan sebutan ‘Pattani’. Bahasa yang digunakan oleh mayoritas kelompok ini adalah bahasa Melayu atau mereka lebih suka disebut Yawi Speaker. 42 Artikel Sri Nuryanti, In Search of Identity of Pattani, hal.12-13. Dipresentasikan di Indonesian API Fellow Seminar di Widya Graha LIPI, Lantai 5, 26 Maret 2003. 43 Versi ini berdasarkan catatan Hikayat Patani dan Sejarah Kerajaan Melayu, terdapat dua versi. Pertama, nama Patani berasal dari “pantai ini”. Cerita ini disandarkan pada kisah seorang putera raja yang terdampar di “pantai ini”, secara kebetulan masyarakat di negeri tersebut sedang mencari seorang pengganti raja, maka diangkatlah putera raja tersebut menjadi raja dengan seekor gajah putih sebagai mediator pemilihan raja tersebut. Menurut versi bahari apabila belalai gajah menyentuh seseorang maka dialah yang diangkat menjadi seorang raja. Gajah itu memilih putera raja yang terdampar tadi, dan disebut “raja di pantai ini”. Nama ini lambat laun berubah menjadi “raja pata ni” dan kemudian “pata ni” dan kemudian patani. Kedua, versi ini berasal dari kata yang sama yaitu “pantai ini”. Perbedaannya terletak dalam kisahnya. Serombongan raja berburu seekor rusa, ketika dikejar rusa tersebut berlari menuju sebuah pantai bernama “pantai ini”. Rusa itu tiba-tiba menghilang tepat di pantai tersebut. Berdasarkan kisah ini dikenal dengan nama “pantai ini” maksudnya: hilang di pantai ini. Lihat Ahmad Fathy al-Fatani, Pengantar Sejarah Patani, Alor Setar: Pustaka Darussalam, 1994, hal.12- 13. Lihat juga Pierre Le Roux, “To Be or Not to Be...: The Cultural Identity of the Jawi Thailand”, Asian Folklore Studies, Volume 57, 1998, hal.229-230. 44 Chaiwat Satha-Anand, “Pattani in the 1980s: Academic Literature and Political Stories,” in Sojourn, Vol. 7, No. 1 February 1992, hal.1-38, dalam Thanet Aphornsuvan, History and Politics of The Muslims Thailand , Bangkok: Thammasat University, 2003, hal.3. Lihat juga S. P. Harish, Changing Conflict Identities: The Case of the Southern Thailand Discord, No. 107 February 2006, Singapore, Institute of Defence and Strategic Studies, hal.1. Lihat juga catatan kaki dalam Pierre Le Roux, “To Be or Not to Be...: The Cultural Identity of the Jawi Thailand”, Asian Folklore Studies, Volume 57, 1998, hal.250, secara historis ditulis dengan satu huruf ‘t’ merujuk kepada kesultanan Patani atau Patani Besar, Le Roux sendiri menggunakan dobel ‘t’ karena saat ini Pattani termasuk provinsi di Thailand Selatan 22 Karakteristik masyarakat Patani dibagi menjadi dua kategori berdasarkan kelas sosial dasar, yaitu pengatur dan yang diatur. Stratifikasi sosial Patani ditentukan status mereka secara relatif, misalnya, sultan berada di posisi puncak dalam kelas sosial masyarakat Patani, diikuti oleh para bangsawan keturunan kerajaan, umumnya mereka diberi gelar Teuku atau Tuan, Nik, dan Wan. Jika perempuan bangsawan menikah dengan laki-laki non-bangsawan gelar tersebut tidak berlaku, namun apabila dia melahirkan anak laki-laki gelar tersebut jatuh kepada anak laki-laki tersebut. Selanjutnya, adalah pemimpin agama atau pejabat tinggi yang diberi gelar Dato’ Seri, Dato’ dan To’ sebagai lambang dari otoritas dan kemampuan mereka secara ekonomi dan politis. Kategori kedua ditempati oleh rakyat, orang berhutang, dan hamba. 45 Berdasarkan penggunaan bahasa Melayu-Muslim Patani dibagi menjadi tiga kelompok: 46 1 Kelompok yang berbicara dialek Patani dan Malaysia dan menggunakan teks Jawi Arab. 2 Kelompok yang dapat berbicara Melayu Patani tetapi tidak bisa membaca teks Jawi. Kelompok ini juga dapat membaca dan berbicara bahasa nasional Thailand. 3 Kelompok yang sama sekali tidak dapat berbicara bahasa Melayu tetapi pandai dalam bahasa Thai. Kategori ini dapat ditemukan di Satun Setul. 45 W.K., Che Man, Muslim Separatism The Moros of Southern Philipines and The Malays of Southern Thailand , Singapore: Oxford University Press, 1990, hal.39 46 Artikel Ahmad Amir Bin Abdullah, Melayu Petani: A Nation Survives, 07 29 2009, hal.4 23 Identitas peradaban Melayu di Patani menandakan sebuah makna peradaban pra dan pasca modern yang diterjemahkan ke dalam bingkai kebudayaan Islam. Misalnya, peninggalan warisan Melayu berupa prasasti, pelbagai alat teknologi, seni bangunan seperti istana, masjid, keramik, seni hias dan yang amat penting naskah-naskah atau manuskrip Melayu. Selain itu, peradaban Melayu Patani pada abad 19 dan 20 M melahirkan asal-usul pondok atau po-noh sebagai ciri peradaban Islam dalam bidang pendidikan Islam tradisional. Budaya dan peradaban Islam Patani lainnya tertuang pada kesenian tari klasik yang dipadukan dengan tradisi Islam seperti tarian Inai, persembahan tarian drama Makyung, permainan gasing leper, dan lain-lain. Juga ada semacam perahu yang biasa dipakai para nelayan Patani yang berukir, ukiran itu disebut Kolek, ciri dari perahu ini hanya bisa ditemukan di Patani sehingga disebut sebagai hasil kebudayaan orang-orang Patani. Demikian yang dituturkan oleh Raymond Firth dalam kajiannya tentang Kehidupan Pelaut. 47 Pengaruh kebudayaan Patani pun tersebar ke negeri tetangganya seperti Kedah, Kelantan, Perlis, Terengganu, Perak, dan Pahang, akibat migrasi penduduk pada masa kejayaan Patani. Sebab itu, terdapat kesamaan ciri dan karakteristik kebudayaan antara Patani dengan dan Kelantan, selain kedua negara tersebut memiliki hubungan sejarah dan kekerabatan, mereka pun memiliki kesamaan sifat antar sesama Melayu, seperti nama Wan atau Nik yang digunakan 47 R., Firth, Malay Fisherman: Their Peasant Economy, London: Trench, Trubner and Co., 1946, hal.46 dalam Moh. Zamberi A. Malek, Patani dalam Tamadun Melayu, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1994, hal.237. Lihat juga D.,G.,E., Hall, Sejarah Asia Tenggara, Surabaya: Usaha Nasional, tanpa tahun, hal.57, lihat juga pendapat Cortez dalam Pierre Le Roux, To Be or Not to Be...: The Cultural Identity of the Jawi Thailand, Asian Folklore Studies, Volume 57, 1998, hal.230 24 oleh keturunan Melayu di Kelantan berasal dari Patani. 48 Demikian juga kesamaan dialek, seperti yang dituturkan oleh Asmah Haji Omar, bahwa bahasa yang digunakan oleh orang-orang Patani hampir sama dengan Kelantan, tetapi dengan khas fonologitis tertentu. 49 Elit lokal di Patani terdiri atas bangsawan dan tokoh-tokoh Islam. Tokoh agama disebut ustadz guru menengah dan Tok Guru ulama senior, kebanyakan mereka lulusan universitas Timur Tengah, seperti Arab Saudi, Mesir, Libya, Afghanistan, dan Pakistan. Peran ulama yang sebagian besar berasal dari bangsawan memiliki peran dalam perkembangan Islam di Patani. 50 Identitas Melayu-Muslim Patani lainnya yang paling signifikan dalam peradaban Melayu adalah manuskrip atau naskah-naskah Melayu dalam tulisan Jawi. Tulisan Jawi berupa bahasa Melayu dengan menggunakan huruf Arab, umumnya masyarakat Melayu-Muslim Patani menganggap tulisan Jawi adalah pelajaran agama yang sesuai dengan Islam. Menurut Gilquin, Jawi adalah bahasa yang mendukung identitas Melayu-Muslim Patani, yang membedakannya dengan komunitas masyarakat Melayu lainnya seperti orang-orang Melayu di Malaysia. 51 Selain itu, bahasa Melayu yang tertulis dalam tulisan Arab Jawi menjadi kekuatan besar di balik penyamaan bahasa Melayu dan Islam, ke manapun Islam pergi membawa pesan al-Quran dan tulisan Arab, sehingga memiliki keterkaitan 48 Moh. Zamberi A. Malek, Patani dalam Tamadun Melayu, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1994, hal.238-239 49 Pierre Le Roux, “To Be or Not to Be...: The Cultural Identity of the Jawi Thailand”, Asian Folklore Studies , Volume 57, 1998, hal.230 50 Erni Budiwanti, “Forced Cultural and Assimilation and it’s Implication for The Continuation Pattani Muslim’s Identity”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand , Pusat Penelitian Sumberdaya Regional Indonesia, 2004, hal.112 51 Michel Gilquin, The Muslims of Thailand, Thailand: Silkworm Books, 2005, hal.110 25 tidak hanya aspek komunikasi dan kebudayaan Melayu, melainkan juga dengan aspek ajaran, dakwah, dan ritus-ritus Islam. Sehingga bahasa Melayu sangat menyatu dengan agama Islam, bahkan dalam menjalankan ritual-ritual keagamaan. 52 Bahkan teks-teks Jawi tersebut sangat dilestarikan di kegiatan pendidikan pondok dalam kegiatan pembacaan kitab kuning berbahasa Jawi. Penggunaan bahasa Jawi Melayu oleh masyarakat Melayu Patani memiliki latar belakang sejarah yang menakjubkan. Bermula dari sejarah Langkasuka yang ditemukan di dalam naskah India dalam bahasa Jawa. Bahwa dalam Nagarakartagama tahun 1365 Kerajaan Langkasuka berada di bawah kekuasaan Sriwijaya dan Majapahit, di bawah kendali dua kerajaan besar ini akademisi dari Universitas Songkhla Pattani, Peerajot Rahimmula, menyimpulkan bahwa asal-usul orang-orang Patani adalah dari suku Jawa Melayu bermula pada abad 8 dan 9 M. Pernyataan ini muncul dari hubungan komersial yang melibatkan kerajaan Sriwijaya. 53 Dengan demikian, bahasa Melayu dan adat istiadat Melayu yang digunakan oleh masyarakat Patani membuktikan, bahwa benar adanya pengaruh dan peranan besar Kerajaan Sriwijaya dalam konteks historis identitas ‘Melayu’ bagi masyarakat di Patani. Berdasarkan fakta sejarah di atas, dengan demikian, term Jawi sangat dekat dengan istilah “Jawa” sebuah pulau di Indonesia, dan istilah Jawi tidak hanya untuk masyarakat Melayu Patani, melainkan bisa jadi ditujukan kepada 52 Seni Mudmarn, “Negara, Kekerasan dan Bahasa Tinjauan atas Sejumlah Hasil Studi Mengenai Kaum Muslim Muangthai”, dalam Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara , Editor: Saiful Mujani, Jakarta: LP3ES, 1993, hal.339 53 Paulus Rudolf Yuniarto, “Integration of Pattani Malays: a Geopolitical Change Perspective”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Pusat Penelitian Sumberdaya Regional Indonesia, 2004, hal.36-37 26 orang-orang yang ada di Indonesia khususnya Jawa dan Sumatera, dan kelompok lain yang ada di Malaysia. Namun, ketika Islam mulai tersebar dan mendominasi di daerah ini, term Jawi yang semula sama dengan sinonim Melayu, mengalami pergeseran makna. 54 Patani dalam konteks sekarang, adalah sebagai provinsi selatan di Thailand. Masyarakat Thai yang berada di utara menyebut masyarakat yang beragama Islam dengan istilah Khaeg 55 yang berarti orang asing atau orang luar sebagai pengunjung atau tamu. 56 Pada masa raja-raja, istilah khaeg atau khaek atau khake digunakan dalam deskripsi Melayu-Muslim di selatan pada akhir abad 19 M, mencerminkan konflik politik dari Melayu-Muslim di Thailand Selatan. Sebetulnya, istilah khaek sudah dianggap tidak pantas dan menghina orang-orang Muslim karena ia menciptakan rasa penghinaan dan jarak sosial di antara berbagai 54 Pierre Le Roux, “To Be or Not to Be...: The Cultural Identity of the Jawi Thailand”, Asian Folklore Studies , Volume 57, 1998, hal.234, mengenai istilah Jawi para akademisi banyak yang berpendapat seperti Denys Lombard, mengatakan bahwa istilah Jawi ditujukan bagi Umat Islam di Asia Tenggara, merupakan sinonim dari Melayu-Muslim, meskipun sebelumnya hanya ditujukan bagi orang-orang Indonesia dan Malaysia. Juga merupakan salah satu penulisan bahasa Melayu yang ditranskip ke dalam dua cara, yaitu konteks baru karakter roma baso rumi, dan konteks tua huruf Arab baso jawi, artinya Jawi merujuk pada skrip Arab untuk menulis bahasa Melayu. Dalam Hikayat Patani disebutkan bahwa istilah “Jawi” memang sudah lama dipakai oleh masyarakat Melayu-Pattani untuk menunjukkan identitas mereka. Namun, dalam konteks Pattani yang disebut Jawi adalah dialek, sedangkan gaya penulisannya disebut Sura’jawi, dan Basojawi untuk bahasa lisan mereka, dan Orejawi untuk identitas perorangan. hal.237 dan 251 55 Omar Farouk, “Asal-usul dan Evolusi Nasionalisme Etnis Muslim Melayu di Muangthai Selatan”, dalam Ed. Taufik Abdullah dan Sharon Siddique, Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Jakarta: LP3ES, 1988, hal.297. Thanet Aphornsuvan menyebutnya dengan ejaan Khaek, dalam History and Politics of The Muslims Thailand, Bangkok: Thammasat University, 2003, hal.5. Lihat juga dalam Surin Pitsuwan, Islam di Muangthai Nasionalisme Melayu Masyarakat Patani , Jakarta: LP3ES, 1989, hal.46, menyebutnya dengan ejaan Khake. 56 Menurut Michel Gilquin, penyebutan ‘tamu’ bahasa Inggris: guests pada awalnya hanya untuk memanggil Muslim dari Malaysia, Pakistan, India, atau Timur Tengah, selanjutnya mengalami pergeseran makna dengan memasukkan Cham dan Yunannese Muslim dan dengan demikian menjadi istilah penutup bagi seluruh umat Islam. Namun pergeseran makna ini dianggap menunjukan kesulitan yang fundamental. Lihat Michel Gilquin, “The Muslims of Thailand”, Chiang Mai, Thailand: Silkworm Books, 2005, hal.184 dalam The American Journal of Islamic Social Sciences 24:2, hal.110. 27 ras dan agama. 57 Istilah Melayu-Muslim dalam bahasa populer dengan istilah Thai-Muslim atau Thai-Islam. 58 Istilah ini lebih resmi diberikan oleh pemerintah Thailand, yaitu pada tahun 1940 masa Phibul Songhkram. Tetapi sebutan ini menyinggung perasan sebagian dari Melayu-Muslim Patani, karena ‘Thai’ berarti “orang Siam”, meskipun terdapat sejumlah Muslim berasal dari Pakistan, India, Cina dan Siam di Thailand, namun komunitas Melayu Muslim adalah mayoritas dan mereka menganggap penyebutan nama Thai-Islam atau Thai-Muslim hanyalah untuk pengaburan identitas budaya Melayu-Muslim Patani. Selain itu, Muslim Patani menganggap diri mereka adalah pribumi, karena mereka telah hidup semenjak 1668 ketika Kesultanan Kelantan dan Kesultanan Patani mengendalikan dan menguasai daerah ini, namun akibat klaim dan aneksasi Kerajaan Siam gagasan mereka sebagai tuan rumah bergeser menjadi sebagai tamu atau pengunjung. 59

C. Situasi Politik Patani

Melacak proses awal historis Patani bisa dilihat dari sejarah Kerajaan Langkasuka yang bercorak Hindu-Budha.Lihat kembali catatan kaki halaman 21. Langkasuka tidak terdengar lagi sekitar akhir abad 13 M, menuju awal abad 14 muncullah nama Patani sebagai Kerajaan Melayu bercorak Islam, rajanya yang 57 Thanet Aphornsuvan, dalam History and Politics of The Muslims Thailand, Bangkok: Thammasat University, 2003, hal.5. 58 Patrick Jory, From “Patani Melayu” to “Thai Muslim”, Islam Review 18Autumn 2006, hal.24 59 Erni Budiwanti, “Forced Cultural Assimilation and it’s Implication fot The Continuation of Pattani’s Muslim Identity”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand , Pusat Penelitian Sumberdaya Regional Indonesia, 2004, hal.113-114 28 pertama masuk Islam bernama Phya Tu Piyatu Nakpa dan mengganti namanya setelah masuk Islam, Sultan Ismail Syah. 60 Lihat lampiran 1 Islamisasi Patani banyak menggantikan kebudayaan Hindu-Budha, dan letak geografis yang berada di Semenanjung Malaya, sehingga struktur sosial- politik Patani adalah khas masyarakat Melayu. 61 Hal ini bisa dilihat dari sistem politik yang dianut Patani telah dipengaruhi oleh sistem kerajaan-kerajaan Islam pertama di Indonesia. Antara lain kepala pemerintahan disebut sultan, sultan sekaligus menjabat sebagai kepala agama. Di setiap kabupaten daerah ada pangeran atau wakil yang menggantikan pangeran sebagai penguasa lokal, yang bertanggung jawab kepada keputusan penting seperti deklarasi perang dan menandatangani perjanjian. Di tingkat kota negeri, terdapat pejabat keliling dari kerajaan di bawah perintah sultan dan pangeran. Juga ada para pejabat daerah, seperti bendahara perdana menteri sebagai kepala eksekutif pemerintahan, temenggong menteri perang yang bertanggung jawab menjaga ketertiban sekaligus kepala polisi dan komando upacara, laksamana admiral sebagai komandan kapal perang, bendahari bendahara yang mengendalikan pendapatan negara dan peralatan istana, shahbandar master pelabuhan yang mengelola pasar dan gudang dan mencek berat, ukuran, dan koin yang digunakan. 62 Selain hierarki sultan, Patani juga memiliki hierarki otoritas keagamaan berdasarkan hukum Islam syariah. Sultan memiliki mufti sebagai konselor utama agama. Mufti adalah pejabat tertinggi negara dalam mengeluarkan fatwa 60 Adrur Rahman Dawud, H., Sejarah Negara Patani Darussalam, Yala, dalam bahasa Jawi, hal.15. 61 W.K., Che Man, Muslim Separatism The Moros of Southern Philipines and The Malays of Southern Thailand , Singapore: Oxford University Press, 1990, hal.39 62 Ibid. hal.40