Proses Integrasi Patani ke Dalam Wilayah Thailand
58
komersialnya secara lebih luas, jika waktu terdahulu hubungan komersil Ayuthia hanya terbatas dengan komunitas Hindu-Budha di Indocina dan Cina.
Pemanfaatan ini diikuti dengan penempatan umat Islam di posisi penting dalam kerajaan Ayuthia, mereka diangkat sebagai menteri perdagangan, dan penasihat
raja.
129
Mereka juga dijadikan sebagai mediator perdagangan dengan Muslim lainnya dari Timur Tengah, Asia Selatan, dan Melayu.
Populasi Muslim di Ayuthia meningkat, termasuk Muslim dari Persia, Arab, Pakistan, Gujarat, Filiphina, Aceh dan Melayu. Melayu, komunitas paling
banyak.
130
Kondisi ini menuntut adanya penerapan kebijakan toleransi, dan akhirnya Ayuthia sebagai kerajaan monarki absolut mengakui multi-agama, multi-
budaya masyarakat
131
di bawah sistem anak sungai upeti, dan mengklaim kedaulatan yang dimiliki negera-negara kecil Muslim, termasuk Kesultanan
Kerajaan Patani. Kebijakan-kebijakan politis Siam terhadap Patani, lambat laun disadari
sebagai upaya penjajahan secara halus. Sadar dengan potensi alam yang memadai,
dianggap paling menonjol dalam pembajakan dan perdagangan lokal, karena itu egara-negara Melayu yang cukup berpengaruh adalah, Pasai, Malaka, Patani dan Brunei selalu dikembangkan
menjadi pusat budaya dan administrasi. Howard Federspiel, Sultans, Shamans, and Saints: Islam and Muslims in Southeast Asia,
United State of America: University of Hawai’i Press, 2007, hal.30
129
Salah satu contoh, Syekh Ahmad dikenal raja yang telah ditunjuk sebagai menteri perdagangan dan urusan luar negeri. Posisi Syekh Ahmad diadakan tanggung jawab besar,
termasuk tugas impor dan ekspor dan pengawasan pelayaran internasional. Syekh Ahmad hanyalah salah satu contoh dari kaum Muslimin banyak selama periode Ayuthia yang berhasil
tidak hanya mengamankan posisi penting dalam perdagangan, tetapi juga janji kepala politik.
130
Peningkatan jumlah populasi Melayu di Ayuthia, menurut Omar Farouk bukan saja disebabkan oleh faktor perdagangan, melainkan karena perbudakan, dan tawanan perang. Baca
Omar Farouk Bajunid, The Muslims in Thailand: A Review, Southeast Asian Studies, Vol. 37, No. 2, September 1999, hal.219-220.
131
Thesis oleh Daniel J. Pojar, Jr. Lesson Not Learned: The Rekindling of Thailand’s Pattani Problem,
Monterey, California, 2005, hal.9-10. Hal ini berbeda dengan kondisi yang dialami Melayu-Muslim Thailand sekarang, mereka dipaksa untuk berintegrasi dengan Thainisasi
atau Siamisasi yang dilakukan oleh pemerintah Thailand.
59
dan kondisi politik serta ekonomi Patani saat itu semakin mapan, maka Melayu- Muslim Patani berupaya menarik diri dari kerjasamanya dengan Ayuthia dan
berusaha bersikap resisten dengan kebijakan sistem upeti kerajaan Ayuthia.
132
Selain itu, mereka memiliki keterbatasan dalam mengembangkan Islam karena Ayuthia tidak mentolerir konversi Budha ke Islam. Pun kejatuhan Malaka ke
tangan Portugis, akhirnya membawa reputasi pelabuhan Patani menjadi pusat perdagangan regional yang dapat diperhitungkan.
Sikap resisten Melayu-Muslim Patani terhadap Ayuthia diilustrasikan dengan berbagai pemberontakan Patani. Beberapa pertempuran tersebut,
merupakan bentuk penegasan kembali otonomi penuh kerajaan Patani sebagai kerajaan Islam, dan penolakan terhadap sistem upeti karena dianggap sebagai
bentuk penjajahan. Dari paruh abad 16 hingga abad 17 penegasan otonomi Patani tersebut berhasil.
Ayuthia sempat melakukan perdamaian dengan pihak Patani, namun ketegangan dan pertempuran kembali bergulir ketika Dinasti Chakri berakhir dan
Siam memindahkan pusat pemerintahannya ke Bangkok tahun 1767. Dua pelajaran penting dari sejarah hubungan Patani dengan Siam di atas.
Pertama, pada gelombang Islamisasi pertama Patani dengan Siam memiliki hubungan yang sangat baik, Siam menerima Islam dan hidup berdampingan
132
Menurut Carool Kersten, sistem upeti bagi Siam adalah bentuk sumpah suci setia kerajaan-kerajaan kecil terhadap Siam, sedangkan bagi Melayu-Muslim sistem upeti merupakan
bentuk ‘buying-off’ atau upaya menyuap dengan dalih agar negara-negara kecil tersebut dilindungi dan diakui oleh kerajaan Ayuthia sebagai kerajaan yang memiliki pengaruh sangat besar dalam
politik dan ekonomi pada waktu itu. Persepsi inilah yang dianggap Kersten menimbulkan ketegangan dan akar kebencian Patani terhadap Siam. Baca artikel oleh Carool Kersten, The
Predicament of Thailand’s Southern Muslim, The American Journal of Islamic Social Sciences 21:4, hal.3.
60
dengan masyarakat Budha. Kedua, adanya persepsi Muslim Patani bahwa mereka selalu dijadikan bangsa jajahan. Meski pada masa Ayuthia sistem anak sungai
satu-satunya sistem yang diizinkan, namun Patani masih memiliki kedaulatan, tidak hanya diizinkan mempertahankan budayanya sendiri melainkan juga
mempertahankan penguasanya sendiri. Namun, kondisi ini telah menumbuhkan akar kebencian Patani atas Siam, apalagi semenjak kebijakan yang berlaku pada
masa Ayuthia berubah ketika awal pemerintahan Siam di Bangkok, dengan memasukkan konsep integrasi Thainisasi atau Siamisasi terhadap masyarakat
Melayu-Muslim Patani. Kebijakan integrasi Thailand secara komprehensif dilatarbelakangi oleh
pembentukan konsep nasionalisme negara Thailand dan modernisasi Thailand pada abad 20. Menurut David J. Steinberg antara tahun 1919 sampai 1941,
penerapan kebijakan reformasi Thailand akibat hasil dari kerja politik Rama V atau Raja Chulalongkorn 1868-1910 dari tahun 1890.
133
Gagasan untuk melakukan reformasi atas birokrasi di Thailand memang sudah muncul sejak pemerintahan raja Chulalongkorn atau Rama V 1868-1910.
Reformasi itu dilakukan dalam rangka memperkuat pengendalian administrasi pemerintahan oleh raja Chulalongkorn dan dalam rangka mempertahankan
kerajaan dari ancaman pihak luar. Namun dasar bagi pembentukan suatu birokrasi modern dalam pemerintahan di Thailand, untuk pertama kalinya dilakukan oleh
133
Cahyo Pamungkas, “The State Policies Towards Southern Border Provinces”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand
, Jakarta: Pusat Penelitian Sumber Daya Regional PSDR-LIPI, 2004, hal.65.
61
pangeran Damrong
134
pada 1892.
135
Akan tetapi reformasi tersebut tidak membawa perubahan yang signifikan, dan sebaliknya, justru makin memperkuat
posisi birokrasi Siam dalam pengendalian pemerintahan. Chulalongkorn merupakan keturunan raja Mongkut Rama IV dan ratu
Debsirindra. Ia menggantikan ayahnya pada 1 Oktober 1868 sebagai Raja kedua dari Utara dan Selatan Siam dan seluruh dependensinya yang pada saat itu
termasuk Chiang Laos, Laos Kao, dan orang-orang Melayu.
136
Semasa hidupnya raja Chulalongkorn pernah melakukan kunjungan ke Singapura dan Jawa sebanyak dua kali, dan ke India satu kali. Kunjungan tersebut
bersifat politis demi untuk mempelajari sistem politik dan administrasi kolonialis Eropa yang pada waktu itu memerintah Asia Tenggara dan Asia Selatan. Selain
itu, dia juga banyak mempelajari berbagai cabang seni dan ilmu pengetahuan seperti royal tradisi tradisi kerajaan, administrasi publik, arkeologi, pali ilmu
kuna dari India, bahasa Inggris, ilmu militer, gulat, cara dan teknik menggunakan
134
Pridi Banomyong adalah ‘Bapak Demokrasi’ di Thailand. Ia dilahirkan sebagai orang biasa pada tanggal 11 Mei 1900 di Ayutthaya. Pada usia 20 ia mendapat beasiswa studi Hukum di
Perancis, dari Kementerian Kehakiman Thailand, tahun1920-1927. Meskipun ia belajar di luar negeri, ia tidak pernah kehilangan cita-cita, atau kesadaran akan kebutuhan untuk mengatasi
masalah-masalah sosial dan ekonomi yang dihadapi kaumnya. Cita-citanya adalah mengubah pemerintah mutlak menjadi pemerintahan yang demokratis sebagai dasar untuk membangun Siam
di masa depan. Dia percaya bahwa sistem politik demokrasi adalah sebuah cara untuk mengembangkan masyarakat Thailand beradab. Kemudian,ia mendirikan Partai Rakyat People
Party dan meluncurkan sebuah revolusi tanpa kekerasan pada tanggal 24 Juni 1932 di Bangkok. Prinsipnya adalah: mempertahankan dan menjamin pembebasan semua warga negara baik dalam
politik dan ekonomi. Lihat Cahyo Pamungkas, “The State Policies Towards Southern Border Provinces”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Jakarta:
Pusat Penelitian Sumber Daya Regional PSDR-LIPI, 2004, hal.72
135
Syamsuddin Haris, Birokrasi, Demokrasi, Dan Penegakkan Pemerintahan Yang Bersih: Pelajaran Dari Indonesia Dan Thailand,
hal.,107 akses dari situs http:katalog.pdii.lipi.go.idindex.phpsearchkatalogdownloadDatabyId669669.pdf. Diakses
pada tanggal 2 Agustus 2010, pukul 17:52 WIB.
136
Imtip Pattajoti Suharto, The Journey to Java by a Siamese King . Jakarta: The Ministry of Foreign Affairs of Thailand, 2001. Akses dari situs www.m-culture.go.th. Diakses tanggal 8
Maret 2010, pukul 19:07 WIB.
62
senjata.
137
Cara-cara inilah yang mendorong raja Chulalongkorn membawa perubahan negara Thailand dengan konsep nasionalisme dan modernisasi negara
Thailand, dengan mereformasi sistem administrasi pemerintah dan kebijakan- kebijakan politik baik secara struktur maupun suprastruktur.
Di sisi lain, kondisi komersial Patani antara tahun 1842-1900 mengalami persaingan yang sangat serius dengan pelabuhan di wilayah Asia Tenggara
lainnya. Bahkan hubungan Patani dengan Siam mengalami fluktuasi yang berakibat munculnya rasa sentimental Melayu-Muslim Patani terhadap Siam, dan
menyuarakan anti-Siam atau anti-Thai. Diprakarsai oleh kalangan elite kerajaan Patani, akhirnya, Patani melancarkan pemberontakan dan perlawanan terhadap
Siam. Meski Siam, akhirnya, dapat mematahkan perlawanan dan pemberontakan tersebut, namun tidak menghentikan tekad Melayu-Muslim Patani melawan Siam.
Akibat pemberontakan inilah, sehingga mendorong Siam masa Chulalongkorn membuat suatu kebijakan administrasi baru bagi Patani untuk mengontrol situasi
dan kondisi masyarakat Patani apabila terjadi ketegangan-ketegangan. Keberadaan Thailand pada waktu itu, dibutuhkan oleh negara-negara
imperialis, yang menang dalam Perang Dunia II, bukan sebagai negara penyangga tetapi untuk memblokade pengaruh komunis ideologi dari Cina ke Asia Tenggara.
Kebijakan Siam di provinsi-provinsi perbatasan selatan berdasarkan negara kebijakan untuk mengembangkan nasionalisme Thailand dan memperkuat
cengkeraman pemerintah politik di sungai negara.
137
Ibid.
63
Setelah Perang Dunia II berakhir, konteks nasionalisme Thailand berubah untuk mencegah ekspansi komunis. Walaupun Thailand adalah sebuah negara
merdeka, namun selalu di bawah pengaruh negara-negara kolonial Barat. Akibatnya, Thailand selalu dipaksa untuk mengadaptasi budaya politik untuk
beradaptasi dengan situasi regional dan internasional. Dalam hal ini, Islam di Melayu di Patani adalah kelompok yang paling kurang beruntung karena
intervensi kolonial Barat yang tidak pernah menghormati aspirasi mereka. Kebijakan integrasi Thailand terhadap Patani semakin dipercepat,
manakala kedatangan kolonial Eropa ke Asia Tenggara yang membawa dampak perubahan sosial politik yang luar biasa, sekaligus mengilhami konsep
nasionalisme atau modernisasi Siam Thailand pada awal abad 20.
138
Akibat menanggapi ancaman ekspansi kolonial Eropa ketika berusaha meratifikasi
pembagian wilayah jajahan dan usaha Siam terlepas dari penjajahan oleh bangsa Eropa. Akhirnya, Siam mengupayakan jalan diplomasi dengan konsekuensi harus
melepas Laos dan Kamboja sebagai wilayah Perancis melalui perjanjian Siam- Perancis tahun 1907, dan melalui perjanjian Anglo-Siam pada tahun 1909 Patani
dan sebagian wilayah Kedah yaitu Satun menjadi sepenuhnya kekuasaan Siam, dan Siam melepaskan klaim teritorialnya terhadap Kelantan, Terengganu, Kedah
138
Konsep nasionalisme negara bangsa dan modernisasi disebut-sebut Thongchai Wincichakul, seorang sejarawan penggagas identitas Thai, menyebutnya dengan istilah ‘geo-body’
geo-tubuh. Menurutnya konsep geo-tubuh merupakan efek praktek modern dan teknologi pemetaan. Dalam kasus Thailand, pada masa Ayuthia, hampir negara-negara di Asia Tenggara
tidak memiliki batasan teritorial secara jelas, politik perbatasan biasanya tidak stabil dan sering tumpang tindih. Kekuatan negara atau kerajaan dapat diukur oleh sejauh mana mereka mendapat
pengakuan dari negara atau kerajaan kecil. Sebagai tanggapan kasus di atas, wilayah Thailand dipetakan dan dibatasi sebagai geo-tubuh dari Siam. Lihat James D Sidaway, The Geography of
Political Geography
, Department of Geography National University of Singapore, dalam K. Cox, M. Low and J. Robinson eds The Handbook of Political Geography Sage, hal.11-12.
64
dan Perlis. Sedangkan kolonial Inggris melepaskan klaimnya atas wilayah Siam dan mengakui kedaulatan Siam.
Mengapa Inggris dan Perancis akhirnya mengakui kedaulatan Siam dan membuka jalan diplomasi bagi Siam? Nik Annuar menyebut abad 19 M adalah
zaman imperialisme baru. Kala itu, Asia Tenggara tengah diperebutkan oleh bangsa-bangsa Eropa, tujuan utama mereka adalah menguasai lahan perdagangan.
Inggris dan Perancis sama-sama bersaing memperebutkan bagian timur laut Burma dan selatan China, dan negara-negara Melayu Utara hingga Genting Kra.
Di kedua kawasan itu, Inggris dan Perancis mempunyai kepentingan perdagangan dan strategis. Ketika Inggris menaklukkan Hulu Burma pada 1886, Perancis
tengah meluaskan penjajahannya di wilayah Annan dan Tongking. Persaingan ini mencapai puncaknya pada 1893. Namun tujuan memperluas wilayah jajahan
tersebut terhambat dengan kekuatan Siam yang telah mapan secara politik dan ekonomi dibandingkan dengan wilayah Asia Tenggara lain. Pun, Perancis masih
berupaya memperluas wilayah jajahannya, terutama di wilayah yang menjadi jajahan Siam.
139
Atas dasar inilah, Inggris dan Perancis menerima dan membuka jalan diplomasi dengan Siam, di samping Siam merasa terancam jika wilayah
jajahannya diekspansi oleh Inggris dan Perancis. Setelah ditandatanganinya perjanjian Anglo-Siam 1909, Siam
memutuskan membagi Patani menjadi tiga provinsi yaitu, Narathiwat, Pattani,
139
Nik Anuar Nik Mahmud, Perjanjian Bangkok 1909 dan Implikasinya kepada Keselamatan dan Kestabilan Serantau,
Institut Alam dan Tamadun Melayu. Akses dari situs http:www.scribd.comdoc13353098Perjanjian-Bangkok-19. Diakses pada tanggal 02 Agustus
2010, pukul 17:52 WIB.
65
Yala dan Songkhla yang kini ditempati oleh mayoritas Muslim, dan mengambil sebagian wilayah Kedah, yaitu Satun.
b. Tahapan Integrasi Thailand terhadap Patani
1. Tahapan Adaptation
Sebenarnya proses integrasi Patani menjadi wilayah integral Thailand telah direncanakan pada masa awal pemerintahan Chulalongkorn, dengan
mengenalkan kebijakan reformasi administrasi melalui konsep Thesaphiban tahun 1897. Namun, kebijakan reformasi tersebut mulai diimplementasikan pada tahun
1902 hingga 1906.
140
Sistem ini, awalnya bertujuan untuk mengatasi kerusuhan dan pemberontakan Melayu-Muslim Patani yang terjadi pada waktu sebelumnya,
dan menghalau kolonialisme Eropa yang mulai mengancam integritas wilayah jajahan Siam.
Adaptasi dalam proses integrasi Patani ke dalam wilayah Thailand, menekankan pada kebutuhan ekonomi. Hal ini dilakukan, agar negara memiliki
pendapatan yang cukup dan memiliki sumber tenaga untuk mendukung pertahanan negara. Berdasarkan tujuan inilah, dapat diketahui jika, tahapan
adaptasi yang dilakukan Siam adalah untuk penguatan dan rasionalisasi administrasi dan pengembangan ekonomi.
Proses awal
integrasi tersebut
pada tingkat ekonomi dan kesejahteraan sosial, pemerintah Thailand melakukan tahapan adaptasi melalui kebijakan
eksploitasi koleksi karet dan pertambangan timah terhadap orang Patani dan
140
Thanet Aphornsuvan, History and Politics of The Muslims Thailand, Bangkok: Thammasat University, 2003, hal.14.
66
pekerja migran, walaupun sebagian besar mata pencahariaan Melayu-Muslim Patani adalah nelayan.
141
Di samping itu, pemerintah Siam juga mengenalkan sistem baru dalam koleksi pajak, seperti sistem pajak-candu pajak-pertanian.
Sistem ini berlangsung atas usulan Phya Sukhum, hasil pajak tersebut akan dibagi dua antara raja Siam dan raja Patani. Semula sistem pajak ini ditentang pihak
Patani, namun Chulalongkorn meyakinkan bahwa sistem pajak ini sangat menguntungkan. Tahun pertama berjalan cukup rapi, hasil pajak dibagikan ke
tujuh Negara bagian Patani sebesar 30,200 per tahun.
142
Situasi ini tidak berlangsung lama, setelah tahun kedua sistem pajak tersebut berjalan, Siam
mengingkari perjanjian pajak yang telah disepakati. Hal ini benar-benar menimbulkan kemarahan raja Patani dengan mengancam akan melakukan
tindakan yang lebih keras, karena menganggap Siam membahayakan otoritas raja Patani.
Nampaknya proses adaptasi yang dimaksud Parsons, memiliki interpretasi yang sama dengan fase akomodasi yang dijelaskan oleh Ogburn dan Nimkhoff.
Sikap Siam yang berupaya mengingkari perjanjian pajak dengan Patani, merupakan faktor yang dapat memperburuk hubungan adaptasi yang telah
dibangun sesuai dengan kesepakatan. Maka kemungkinan munculnya konflik sangat besar, karena proses adaptasi dan akomodasi sama-sama menekankan suatu
pekerjaan yang membutuhkan penyesuaian, dan dalam tahapan ini kedua pihak
141
Ibid. hal.51.
142
Paulus Rudolf Yuniarto, “Integration of Pattani Malays: a Geopolitical Change Perspective”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Pusat
Penelitian Sumberdaya Regional Indonesia, 2004, hal.54.
67
yang melakukan kerjasama belum tentu berada dalam satu lingkaran kepentingan yang sama.
Dalam kasus Patani, konflik terjadi kembali akibat pelaksanaan daripada perjanjian pajak tidak sesuai dengan kesepakatan awal. Sehingga dapat dikatakan,
sistem pajak-pertanian antara Siam dengan Patani sebagai langkah pertama integrasi tidak berhasil, akibat kelalaian dari pada pihak Siam sendiri. Di satu sisi,
ketegangan akibat kelalaian tersebut menyeruak kembali, dan mendesak Siam menerapkan beberapa kebijakan politik untuk menyatukan persepsi dan tujuan
masing-masing pihak yang akan berintegrasi. Akan tetapi, Siam berhasil mengkonsolidasikan beberapa sistem kebijakan
demi mengatasi kemarahan dan kemungkinan terjadinya pemberontakan di kalangan para raja dengan membangun beberapa akses sarana demi kebutuhan
birokrasi dan mengatasi kemarahan raja Patani atas kebijakan-kebijakan di atas, Siam membuat strategi pembangunan seperti yang dilakukan Inggris di
Semenanjung Malaya. Siam mengutamakan pembangunan dalam bentuk prasarana jalan, dinas pos, dan keamanan bagi kegiatan komersial, serta
pemukimam untuk orang Thai-Budha yang tinggal di wilayah Patani untuk menyeimbangkan jumlah dominasi penduduk Melayu-Muslim Patani.
143
2. Tahapan Goal Attainment pencapaian tujuan
Goal attainment adalah tahapan dalam integrasi yang dilakukan jika
terjadi sebuah konflik dan ketegangan antara dua belah pihak. Goal attainment
143
Surin Pitsuwan, Islam di Muangthai: Nasionalisme Melayu Masyarakat Patani, Jakarta: LP3ES, 1989, hal.29
68
menitikberatkan pada proses kesepakatan atas kebijakan-kebijakan politik, sehingga membentuk satu kerjasama cooperation. Dalam tahapan ini, segala
keputusan benar-benar disepakati bersama yang dibangun dengan kepentingan masing-masing kelompok.
Namun, semua keputusan dan kebijakan-kebijakan politik integrasi Thailand terjadi dengan tidak melibatkan pihak Patani. Setelah Patani sejak awal
dianeksasi, kemudian wilayah intern Patani dirombak berdasarkan kebijakan reformasi administratif yang dimulai tahun 1902. Maka untuk mematahkan
kembali kekuatan Melayu-Muslim Patani, wilayah Patani yang telah dibagi menjadi 7 provinsi kemudian dirombak kembali menjadi empat provinsi yang
lebih besar, yakni Patani, Bangnara, Saiburi dan Yala.
144
Satun merupakan sebuah distrik di Kedah juga dimasukkan menjadi wilayah Siam, yang diberi nama
Provinsi Satun, perombakan ini terangkum ke dalam sistem Monthon Monthon Patani tahun 1906.
Konsep Monthon diperkuat pada Perjanjian Anglo-Siam 1909, dengan tujuan mengukuhkan kekuasaan Siam terhadap Patani secara mutlak dan
menyerahkan Kedah, Terengganu, Perlis, dan Kelantan kepada Inggris. Perjanjian ini ditandatangani antara Siam dengan kolonial Inggris, dan menyepakati Patani
sepenuhnya menjadi bagian integral Thailand, dan wilayah Kedah, Kelantan, Terengganu, dan Perlis diserahkan Siam kepada Inggris dan menjadi hak wilayah
di bawah penguasaan Inggris.
144
Bangnara adalah Propinsi Narathiwat yang resmi berganti nama menjadi Propinsi pada tanggal 10 Juni 1942. Propinsi Saiburi Setul dibubarkan dan dimasukkan ke dalam Propinsi
Patani pada tanggal 16 Februari 1931. Lihat W.K. Che Man, hal.45
69
Kepentingan ekonomi dan konflik yang terjadi dengan Kerajaan Patani, kemudian menjadi faktor Siam tidak menyerahkan Patani ke tangan Inggris. Bagi
Siam, Patani adalah ’permata’ yang paling berharga,
145
terutama karena potensi pelabuhan Patani yang pada saat itu diperebutkan oleh bangsa Eropa sebagai
akses kepentingan komersial. Karena Patani adalah kerajaan Islam Melayu di selatan yang tengah menjadi persengketaan antara Siam dengan Inggris. Selain
itu, setelah Perang Dunia II berakhir, beberapa adaptasi di perbatasan antara Inggris dengan Myanmar, Inggris dengan Malaya dan Perancis dengan Indo-Cina
terjadi, kemudian, Komisi Internasional menentukan bahwa Thailand tidak punya hak untuk wilayah Indonesia dan Cina karena perbedaan etnis, geografi, dan
ekonomi. Dengan demikian, Indo-Cina menjadi hak teritorial Perancis.
146
3. Tahapan Integrasi integration
Proses integrasi Patani pada tahapan ini, adalah Siam mengalihkan sistem pemerintahan ke Bangkok, dan mencopot kekuasaan dan posisi raja atau sultan
dan menggantikannya dengan para birokrat Thai-Budha dari Bangkok dan provinsi-provinsi utara. Para bangsawan Patani kehilangan wewenangnya untuk
memajaki rakyat, itu berarti mereka kehilangan sumber pendapatan berupa uang yang mereka pungut secara bersama-sama dari rakyat. Sistem pemungutan dan
golongan wajib pajak diperluas hingga mencakup bidang pekerjaan dan
145
Nik Anuar Nik Mahmud, Perjanjian Bangkok 1909 dan Implikasinya kepada Keselamatan dan Kestabilan Serantau,
Institut Alam dan Tamadun Melayu, hal.5. Akses dari situs http:www.scribd.comdoc13353098Perjanjian-Bangkok-19. Diakses pada tanggal 02 Agustus
2010, pukul 17:52 WIB.
146
Cahyo Pamungkas, “The State Policies Towards Southern Border Provinces”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand
, Jakarta: Pusat Penelitian Sumber Daya Regional PSDR-LIPI, 2004, hal.76.
70
perdagangan. Pembebasan pajak yang tadinya diberikan kepada para bangsawan dihapuskan. Kondisi ini, akhirnya menyadarkan para bangsawan untuk
mengajukan beberapa syarat,
147
sebagai berikut: 1.
Agar semua anak cucu kaum bangsawan, termasuk anggota kerabat yang paling dekat, memperolah penghasilan tahunan dari pemerintah,
2. Agar semua orang tersebut di atas dibebaskan dari pajak tahunan tanah,
3. Agar semua orang tersebut di atas dibebaskan dari kewajiban menjalani
dinas militer, termasuk keharusan membayar uang sebagai pengganti kewajiban tersebut,
4. Agar semua yang bekerja demi kepentingan kaum bangsawan
dibebaskan dari pajak perorangan. Akan tetapi, tahun 1905 Siam yang diwakili oleh pangeran Damrong,
menteri dalam negeri, menegaskan kebijakan untuk mengakomodasi permintaan tersebut, bahwa para bangsawan Patani hanya akan digaji sesuai dengan
pengabdian mereka kepada pemerintah, bukan karena status dan gelar mereka. Kedua, setiap ganjaran yang diberikan kepada kaum bangsawan diupayakan
sebagai bentuk integrasi politik penuh ke dalam Siam, agar memperkecil rasa keterasingan dan menjaga agar tidak terjadi preseden buruk dalam memperkuat
hasrat untuk merdeka pada generasi mendatang. Ketiga, pemerintah hanya akan mengakui keturunan langsung dari para raja, karena permintaan kaum bangsawan
147
Surin Pitsuwan, Islam di Muangthai: Nasionalisme Melayu Masyarakat Patani, Jakarta: LP3ES, 1989, hal.26
71
tersebut hanya akan menjadikan pemerintah mengakui keberadaan pasukan- pasukan yang dapat melawan otoritas pemerintah Siam.
148
Selain kerugian yang dialami para bangsawan Patani, integrasi politik Thai Thailand juga berimbas kepada perekonomian rakyat Patani. Kesenjangan
ekonomi semakin membuat jarak sosial antara Melayu-Muslim Patani, Thai- Budhis dan Cina, posisi Muslim Patani berada di strata terendah. Mayoritas
masyarakat Patani adalah produsen karet, namun dalam proses industrialisasi dan pemasaran orang-orang Thai-Budhis dan Cina yang merasakan keuntungan yang
lebih dibanding Melayu-Muslim Patani. Karena, orang-orang Thai-Budhis dan Cina lebih menguasai sektor bisnis aspek komersial karet sebagai pemilik hutan
tanaman dan dikembangkan oleh pemerintah Thailand.
149
Sejak awal kebijakan reformasi administrasi diterapkan, raja Chulalongkorn sangat hati-hati dalam mengajukan pertimbangan-pertimbangan
politis dalam rangka mengintegrasikan Melayu-Muslim Patani ke dalam negara dan bangsa Thai. Nampaknya, Chulalongkorn menyadari perbedaan agama antara
Thai dengan Melayu-Muslim Patani. Sementara pemerintahThailand merancang hukum Islam diintegrasikan ke dalam struktur hukum dan undang-undang
Thailand, hukum Islam tetap dibiarkan berjalan, dan mentolerir raja Patani memerintah dengan menggunakan hukum Islam.
150
Namun, di atas berjalannya hukum Islam, pun harus berjalan di bawah undang-undang Siam, kecuali hukum
148
Ibid. hal.26-27.
149
Erni Budiwanti, “Minoritas Muslim d Filipina, Thailand dan Myanmar: Masalah Represi Politik”, dalam Riza Sihbudi, Problematika Minoritas Muslim di Asia Tenggar: Kasus
Moro, Pattani, dan Rohingya, Jakarta: Puslitbang Politik dan Kewilayahan, LIPI, 2000, hal.128.
150
Thanet Aphornsuvan, History and Politics of The Muslims Thailand, Bangkok: Thammasat University, 2003, hal.15. Dengan demikian, secara berangsur hukum Islam syariah
dihapus.
72
waris dan hukum keluarga.
151
Damrong merumuskan agar diangkat enam qadi hakim Melayu-Muslim, dan berhak memilih hakim penengah dari kalangan
Thai. Segala keputusan berada pada kuasa hakim Melayu-Muslim, namun keputusan akhir tetap berada di tangan hakim Thai. Hal ini dilakukan agar raja
tidak mempergunakan pengaruh mereka kepada rakyatnya. Pemerintah Thai menyerahkan prosedurnya kepada raja atau sultan Patani.
Dalam ranah politik dan pemerintahan, pemerintah Thailand mengubah wilayah Patani menjadi sebuah provinsi, sekaligus mengubah struktur
pemerintahan Patani yang semula berbentuk kesultanan atau raja-raja, menjadi di bawah pengawasan gubernur yang ditunjuk langsung oleh pemerintah pusat
Thailand di Bangkok.
152
Proses integrasi Thailand terhadap Patani pun berlanjut pada bidang budaya, pendidikan dianggap alat utama dalam mempromosikan nasionalisme
Thailand. Setelah pemerintahan raja Chulalongkorn, putranya yang bernama raja Rama VI Vajiravudh 1910-1925 resmi menjadi raja Siam. Kebijakan Integrasi
Politik masa raja Vajiravudh adalah dengan menerapkan Undang-Undang Pendidikan Nasional tahun 1921 yang memaksa setiap lembaga pendidikan di
Thailand untuk menggunakan bahasa Thai.
153
Kebijakan ini menyelenggarakan
151
Bahkan dalam kasus keluarga dan warisan pun, keputusan hakim Muslim belum final jika tidak disepakati oleh hakim Thai.
152
Daerah-daerah di Asia Tenggara dibawah kontrol Amerika dan Thailand, kehilangan karakteristik sistem politik dan lembaga-lembaga pemerintahan Islam kesultanan, sultanat. Tidak
seperti daerah di bawah kontrol Inggris, ciri pemerintahan Islam masih dipertahankan meskipun menyesuaikan dengan ide-ide kolonial Inggris. Howard Federspiel, Sultans, Shamans, and Saints:
Islam and Muslims in Southeast Asia, United State of America: University of Hawai’i Press, 2007,
hal.242.
153
Cahyo Pamungkas, “The State Policies Towards Southern Border Provinces”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand
, Jakarta: Pusat Penelitian Sumber Daya Regional PSDR-LIPI, 2004, hal.67
73
program pendidikan sekuler yang dilakukan oleh para rahib Budha, kepala desa, dan para pejabat pendidikan pemerintah. Pada tahapan ini, pemerintah Thai mulai
menekankan penggunaan bahasa Thai setelah tahun 1910. Ada upaya terpadu untuk mendidik Melayu-Muslim Patani menjadi Thai, dan ada kekhawatiran dari
kaum bangsawan Patani, bahwa bahasa Thai akan mengarah para erosi dari bahasa dan budaya Melayu.
154
Setelah kematian raja Vajiravudh, tahta Kerajaan Siam digantikan oleh raja Prajadhipok 1925-1935. Pada periode raja Prajadhipok, Siam
memberlakukan kebijakan integrasi dengan mengkategorikan kebijakan tersebut menjadi dua, yakni Politic Partisipation politik partisipasi dan Cultural
Assimilation Policy politik asimilasi budaya.
155
Kebijakan politik partisipasi terjadi akibat adanya perubahan politik di internal Siam yang signifikan. Munculnya kudeta dari Partai Rakyat Kekuasaan
Raja People’s Party of the King’s power dan konflik internal pemerintahan antara menteri Pertahanan, pangeran Bovaradej, dengan menteri Perdagangan,
Pangeran purachatra.
156
Akibatnya, Bangkok mengalami krisis politik. Di satu sisi, terjadi gerakan bawah tanah yang diprakarsai oleh
cendikiawan kelas bawah, yaitu Mr. Pridi Banomyong. Tanggal 24 Januari 1932, dia mendirikan lembaga politik untuk mengambil kekuasaan revolusi tanpa
kekerasan. Inti dari UUD Undang-Undang Dasar 1932, yaitu mengakui status
154
S.P.Harish, Changing Conflict Identities: The Case of the Southern Thailand, No.107 February 2006, Singapure, Institute of Defence and Strategic Studies, hal.6
155
Cahyo Pamungkas, “The State Policies Towards Southern Border Provinces”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand
, Jakarta: Pusat Penelitian Sumber Daya Regional PSDR-LIPI, 2004, hal.72
156
Ibid.
74
raja sebagai kepala angkatan bersenjata dan pelindung Budha, serta penganut agama lainnya. Prinsip yang dianut dalam undang-undang tersebut, untuk
mempertahankan dan menjamin pembebasan semua warga negara baik dalam politik maupun ekonomi.
Krisis politik yang dialami Siam saat itu, dan munculnya kebijakan integrasi politik partisipasi, dimanfaatkan oleh Melayu-Muslim Patani sebagai
momentum dalam mengikuti pemilu dan mencalonkan diri sebagai perwakilan dalam Dewan Konsultatif.
157
Para kandidat dipilih oleh pemilih berasal dari kelompok intelektual yang didukung oleh para intelektual Islam. Surin Pitsuwan
menyatakan bahwa tingkat partisipasi Melayu-Muslim Patani tergantung pada persepsi Siam tentang Islam Melayu di bawah perlindungan Inggris, jika
kepentingan bersama Melayu-Muslim baik yang ada di Patani maupun di Malaysia tersebut dilindungi hak-haknya oleh pemerintah, maka Melayu-Muslim
Patani bisa berpartisipasi kepada politik pemerintahan Thailand. Namun, peran dan pengaruh parlemen sangat terbatas dalam
memperjuangkan kepentingan dan aspirasi Melayu-Muslim dan untuk mengurangi campur tangan Inggris di Malaysia. Lembaga tersebut tidak memiliki
otoritas atau kekuatan untuk mengendalikan atau menjalankan serangkaian kebijakan pemerintah di semua negara. Kebijakan berada di bawah pengawasan
dan kontrol dari angkatan bersenjata dan birokrasi, karena itu, Melayu-Muslim Patani selalu menghadapi gencatan senjata dengan angkatan bersenjata
pemerintah Thailand jika terjadi konflik.
157
Cahyo Pamungkas, “The State Policies Towards Southern Border Provinces”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand
, Jakarta: Pusat Penelitian Sumber Daya Regional PSDR-LIPI, 2004,, hal.73-74
75
Selain, kebijakan
politik partisipasi, Siam juga mengintegrasikan Patani ke
dalam politik asimilasi budaya. Selain pendidikan sebagai alat utama dalam mengintegrasikan budaya Patani ke dalam Thai, pemerintah Thailand juga
mengintegrasikan Patani ke dalam praktik birokrasi orang-orang Melayu. Di antaranya, dengan memaksa para pejabat Melayu-Muslim Patani melamar
pekerjaan ke daerah-daerah utara yang didominasi oleh orang-orang Thai-Budha, dan dipertegas dengan himbauan dan instruksi agar para pejabat Melayu-Muslim
tersebut ditugaskan ke daerah itu agar sikap dan wibawa mereka seperti orang- orang Thai. Setelah itu, akhirnya keturunan para raja ditawarkan pelatihan kerja
dari gubernur Thai sebagai proses setelah Siam berhasil mengintegrasikan para raja atau pejabat Melayu-Muslim.
158
Pada batas tahun 1932, Siam merubah identitas politik Monarki absolut menjadi monarki konstitusional. Pada tahun inilah, dimulai harapan dan impian
baru akan perubahan nasib orang-orang Patani menjadi lebih baik, agar pemerintah Siam berpihak dan mendukung hak kemerdekaan bagi rakyat Patani.
Namun, sebaliknya, Siam semakin mengukuhkan proses integrasinya dengan memulai pendidikan nasional untuk mengartikulasikan kesatuan Thailand, yang
bertujuan menyatukan semua etnis, tidak hanya etnis Melayu melainkan juga etnis Cina dan lainnya yang ada di wilayah Thailand.
159
Dalam program ini pemerintah menetapkan bahwa:
1. Negara memiliki hak untuk mendidik rakyat.
158
Surin Pitsuwan, Islam di Muangthai: Nasionalisme Melayu Masyarakat Patani, Jakarta: LP3ES, 1989,, hal.30-31.
159
Erni Budiwanti, “Forced Cultural and Assimilation and it’s Implication for TheContinuation Pattani Muslim’s Identity”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation
State Building in Thailand , Pusat Penelitian Sumberdaya Regional Indonesia, 2004, hal.115-116
76
2. Negara memiliki otoritas penuh untuk mengontrol dan memantau program
pendidikan di pemerintah dan sekolah swasta. 3.
Setiap individu yang telah lulus wajib belajar berarti bahwa dia adalah warga negara yang mampu mendapatkan sumber daya hidup yang penting
untuk bekerja, dan dia memiliki hak dan kewajiban sebagai warga negara, juga bisa membuktikan dirinya secara fungsional melalui di luar
pekerjaannya.
4. Tahapan Latency pemeliharaan pola
Pada tahap ini, seharusnya dimanfaatkan Siam sebagai cara untuk menyatukan diri baik secara kultural maupun emosional, dengan begitu proses
integrasi terjaga dan terpelihara secara utuh. Namun, kesalahan besar justru terjadi pada pejabat-pejabat pemerintah Thailand yang bertugas dalam menjalankan
proses pembangunan di wilayah Patani kurang memiliki tanggung jawab, serta tidak memahami persoalan budaya lokal.
160
Itu sebab Muslim Patani hanya menjadi penonton pasif daripada lowongan kerja yang sebenarnya tersedia seiring
dengan pembentukan pembangunan sistem administrasi dan infrastruktur di wilayah selatan. Secara sosial, msyarakat Patani sama sekali tidak diuntungkan.
Hidup di tanah kelahiran sendiri, tetapi harus mengalami diskriminasi, dan kesewenang-wenangan dari pemerintah Siam.
Kegagalan pemerintah Siam dalam menjaga pola integrasi pada tahap ini pun semakin dipersulit dengan munculnya berbagai respon keras dan
160
Paulus Rudolf Yuniarto, “Minoritas Muslim Thailand; Asimilasi, Perlawanan Budaya dan Awal Gerakan Separatisme”, Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume VII No.1 tahun 2005,
hal.101
77
pemberontakan dari Melayu-Muslim Patani. Meski demikian, pemerintah Thailand berusaha memperbaiki segala kebijakan yang mendapat respon keras
dari kalangan Muslim Patani, untuk menjaga dan memelihara pola integrasi tersebut. Namun, pada praktiknya hal ini tidak berjalan sesuai harapan, karena
Muslim Patani selalu memandang curiga dan menganggap semua hal tersebut untuk mempertahankan nasionalisme Thailand yang didasarkan pada konsep
Budhisme yang jelas bertentangan dengan kepercayaan, tradisi, dan budaya Melayu-Muslim Patani.
161
Proses pemeliharaan pola latency, membutuhkan waktu yang cukup panjang, karena proses ini bertindak pada sistem kultural secara menyeluruh.
dengan begitu, peran sosialisasi dan internalisasi sangat dibutuhkan demi tujuan integrasi secara utuh, dengan begitu konflik berkepanjangan akan mereda
manakala kepentingan-kepentingan pribadi ditepis dan menyadari bahwa kepentingan kolektiflah yang harus didahulukan.