Konsep dan Kebijakan Integrasi Politik Pemerintah Thailand Siam

43 dan mendapatkan pengakuan dari bangsa Eropa. Akibatnya, Siam menekankan isu nasionalisme untuk menegaskan kembali kontrol negara dan supremasi terhadap kelompok minoritas. 94 Konsekuensi dari nasionalisme Siam mendorong serangkaian proses integrasi terhadap kelompok minoritas, dan memperkenalkan konsep modernisasi dan westernisasi ke Siam. Menurut Moufe komunitas politik tidak secara alami terjadi dalam sebuah kelompok politik dengan desain dan rekonstruksi dengan kelompok tertentu dalam sebuah komunitas politik. 95 Artinya suatu kelompok minoritas terintegrasi ke dalam kelompok mayoritas tidak terjadi begitu saja, melainkan ada suatu proses dan tahapan serta latar belakang yang menyebabkan integrasi tersebut terjadi. Kebijakan integrasi Siam Thai atau konsep modernisasi dan westernisasi Siam dengan memasukan ide pemerintahan Barat dan administrasi, perubahan ekonomi ke pasar dan ekonomi tunai. 96 Serangkaian kebijakan ini disebut integrasi politik administrasi atau Thesaphiban, terjadi pada dua tingkatan secara suprastruktural maupun struktural. Pada tingkatan suprastruktural mendorong pengembangan ideologi nasionalisme dan konsep suatu negara, sedangkan dalam struktural integrasi mencakup dalam bidang politik dan ekonomi melalui kebijakan-kebijakan negara dan program-program negara. Pada tingkat struktur terjadi kesenjangan antara kelompok mayoritas dan minoritas, ditandai dengan 94 Thongchai Winichakul, A Short History of the Long Memory of the Thai Nation, Department of History, University of Wisconsin-Madison, hal.4 95 Cahyo Pamungkas, “The State Policies Towards Southern Border Provinces”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand , Jakarta: Pusat Penelitian Sumber Daya Regional PSDR-LIPI, 2004, hal.61 96 Esai Somphong Amnuay-ngerntra, “King Mongkut’s Political and Religious Ideologies Through Architecture at Phra Nakhon Kiri”, Asia-Pacific CHRIE APacCHRIE Conference, Kuala Lumpur, Malaysia, 26-28 May 2005, hal.72 44 migrasi paksa, permintaan otonomi daerah, dan kesenjangan dalam distribusi sumber daya yang didominasi oleh kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas dalam segala aspek, baik dalam bidang politik, ekonomi, budaya, sosial yang menjadi pilar utama sebuah bangsa sehingga membentuk masyarakat majemuk. 97 Cara integrasi pemerintah Siam selain mereformasi administrasi negara adalah dengan cara tradisional melalui pengintegrasian pimpinan agama, terutama agama Budha ke dalam hierarki keagamaan nasional. Cara ini sekaligus membuktikan bahwa kekuasaan sekuler yang diwakili raja berusaha memanipulasi dan mengintegrasikan ke dalam satu hierarki agama yaitu agama Budha. 98 Artinya ada kesan bahwa landasan atas kebijakan-kebijakan pemerintah Siam berasal dari asas dan konsep Budha. Upaya ini sebetulnya demi memecahkan persoalan dalam hubungan antar golongan etnis. Namun, jika suatu kebijakan negara berlandaskan pada konsep suatu agama, maka ujung persoalan ini menjadi sebuah konflik agama yang tidak bisa dielakkan lagi. Disisi lain Davis Brown menilai bahwa konsep integrasi Thai merupakan langkah konsolidasi kekuasaan pemerintah Thai terhadap Patani dan mewujudkan mono-ethnic character of the state etnik 97 Ibid. 98 Surin Pitsuwan, Islam di Muangthai: Nasionalisme Melayu Masyarakat Patani, Jakarta: LP3ES, 1989, hal.7. Pandangan ini juga diperkuat oleh D.G.E. Hall, bahwa nasionalisme Thai adalah sebuah propaganda belaka, demi untuk mengklaim bahwa sebetulnya mereka benar- benar mencintai Budha sebagai ibu pertiwi. Demikian juga Keyes menyepakai bahwa, interpretasi Raja Chulalongkorn bersama penerusnya terhadap nasionalisme Thai adalah sebuah warisan nasional rakyat Thailand, yaitu satu bahasa bahasa Thailand, satu agama Budha, dan hubungan dengan kerajaan Chakri Monarki, baca Cahyo Pamungkas, “The State Policies Towards Southern Border Provinces”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Jakarta: Pusat Penelitian Sumber Daya Regional PSDR-LIPI, 2004, hal.67 45 tunggal yang menjadi ciri khas dari negara Thailand. 99 Inilah yang terjadi ketika pemerintah Siam mencoba menerapkan suatu kebijakan integrasi terhadap etnis Melayu-Muslim di selatan

B. Pandangan Melayu-Muslim Patani terhadap Integrasi

Sejak semula hubungan Melayu-Muslim Patani dengan kerajaan Siam sangat buruk, baik secara sosial politik maupun ekonomi. Bermula dari peraturan Siam bagi status anak sungai, yang mengharuskan Patani mengirimkan upeti berupa Bunga Mas kepada Siam. Sistem upeti tersebut menandakan kesetiaan Patani terhadap Siam, namun pada akhirnya Patani merasa terjajah dan menentang Siam. Ketika kerajaan Siam berupaya membuat kebijakan-kebijakan terhadap Patani dengan cara mengintegrasikan Patani secara politik, sosial-budaya, ekonomi dan teritorial, sikap Patani semakin menentang kekuasaan Siam pada waktu itu. Menurut Nik Anuar Nik Mahmud, menanggapi kebijakan integrasi pemerintah Siam terhadap Patani tidak memiliki bukti konkret, bahwa Siam selama ini hanyalah mengklaim Patani menjadi hak dan kewenangan dari Siam, padahal sejak awal berdiri Patani memiliki otonomi pemerintahan sendiri. Fenomena integrasi nasional yang diupayakan pemerintah Thailand dipandang Muslim Patani sebagai disintegrasi bagi mereka, karena Patani dengan Siam Thailand memiliki dasar kosmologi yang berbeda. 100 Menurut Surin Pitsuwan, Muslim Patani di selatan Thailand, tidak menginginkan diintegrasikan 99 Davis Brown.. “From Peripheral Communities to Ethnic Nations. Pasific Affairs 61, 1988, hal.51 100 Imtiyaz Yusuf, “Ethnoreligious and Political Dimensions of Southern Thailand Conflict”, dalam Islam and Politics Renewal and Resistance in the Muslim World, Editor: Amit Pandya dan Ellen Laipson, Washington: Henry L Stimon Center, 1009, hal.47 46 ke dalam negara Thai. Mereka tidak ingin kehilangan otonomi agama dan budaya mereka. Jika konsep integrasi Thailand tersebut merupakan tindakan manifestasi dari kosmologi Budha, Melayu-Muslim Patani tidak ingin menjadi bagian dari tujuan manifestasi tersebut. 101 Karena itu, Melayu-Muslim Patani di Thailand Selatan, merasa terperangkap di tengah-tengah revitalisasi dan kebangkitan ideologi aksi politik yang menjadi dilema bagi mereka. Bagi mereka hanya ada dua pilihan, menjadi bagian dari negara Thailand dengan menciptakan karakteristik baru yang tidak mereka sukai, atau menentang dengan kekerasan campur tangan negara Thailand. 102 Dengan demikian, sampai kapanpun Melayu-Muslim Patani tidak akan pernah menerima konsep dan kebijakan integrasi pemerintah Thailand meskipun dengan alasan nasionalisme bangsa, karena mereka berbeda dengan bangsa Thailand. Serangkaian perdebatan dan penolakan kebijakan integrasi pemerintah Siam Thailand terhadap golongan Melayu-Muslim di selatan dipandang sangat kontradiktif oleh Carlo Bonura Jr., kontradiksi tersebut meliputi dua hal. Pertama, berkaitan dengan tingkat institusionalisasi elite politik Islam, bahwa tidak adanya lembaga yang menaungi aspirasi politik Muslim elite sehingga mereka tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan kebijakan. Kedua, kontradiksi berkaitan dengan pengembangan masyarakat demokratis politik dan politik masa lalu dalam konsep sebuah negara bangsa. Bahwa pemerintah Siam Thailand tidak mengakui sejarah politik Muslim yang memiliki identitas pan-Islam dan budaya Melayu 101 Surin Pitsuwan, Islam di Muangthai: Nasionalisme Melayu Masyarakat Patani, Jakarta: LP3ES, 1989, hal.7-8 102 Ibid. hal.9