Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
2
tahun 1283-1317, yang menggantikan ayahnya bernama Sri Indraditya sebagai raja Sukhothai, berhasil meluaskan wilayah kekuasaannya ke Lembah Menam dan
Semenanjung Malaya. Dalam kurun waktu tersebut Sukhotai disebut pangkal kebudayaan Siam.
3
Sejak 1786 Patani merupakan kerajaan yang merdeka dan berdaulat. Patani pada masa raja-raja perempuan, muncul menjadi pusat perniagaan Melayu
yang kuat menyaingi Siam. Letak geografis dan peranan pelabuhan yang amat strategis menjadikannya pusat perdagangan bagi para pedagang dari Timur dan
Barat. Selain itu, kekuatan politik serta kemapanan ekonomi yang dicapai oleh Patani menjadikannya sebagai negara kerajaan terkuat yang disegani oleh negara
kerajaan yang ada di Semenanjung Malaya. Kekacauan politik di tubuh kerajaan Patani semakin menyeruak, manakala
pemerintahan Raja Kuning berakhir dan tidak ada yang mampu melanjutkan kejayaan yang dicapai Patani. Dalam Hikayat Patani, raja-raja pengganti setelah
Raja Kuning saling berebut kekuasaan, Raja sering kali dijadikan sebagai boneka ketimbang sebagai seorang yang berwibawa mengatur sistem pemerintahannya.
4
Selain itu, akibat penyerbuan yang dilakukan oleh Siam, Kerajaan Patani lambat laun mengalami keguncangan, strategi politik yang tidak kuat menjadikan
kerajaan tersebut dengan mudah dapat dikalahkan oleh Siam. Sebagai bentuk kekuasaan Siam atas Patani, maka setiap dua setengah tahun sekali kerajaan-
kerajaan Melayu harus mengirimkan upeti berupa Bunga Mas semacam upeti
3
D.,G.,E., Hall, Sejarah Asia Tenggara, Surabaya : Usaha Nasional, tanpa tahun, hal.153-154
4
Nik Anuar Nik Mahmud, Sejarah Perjuangan Melayu Patani 1785-1954, Bangi : Jabatan Sejarah Universitas Kebangsaan Malaysia, tanpa tahun, hal.4
3
berbentuk pohon yang terbuat dari emas dan perak
5
dan menyerahkan orang atau tenaga manusia dan uang sebagai tanda kerajaan-kerajaan Melayu di bawah
penguasaan Siam.
6
Namun Patani tetap memiliki kebijakan otonomi dalam mengatur kebijakan politik, ekonomi dan sosial-budaya, bukan bagian integral
dari negara Thailand. Ketika orang-orang Eropa datang ke wilayah Asia Tenggara abad 16 M,
tradisi pengiriman upeti Bunga Mas tersebut dipandang oleh orang-orang Eropa sebagai tradisi yang tidak sesuai dengan hukum dan kebiasaan orang-orang
Eropa.
7
Pengukuhan Portugis sebagai kekuatan Eropa pertama yang memasuki Timur dengan semangat missionaris, yang ditandai dengan penaklukan Malaka
oleh Portugis tahun 1511 M. Namun kemunculan pasukan Portugis selalu dapat dilawan oleh Muslim setempat, meskipun perlawanan mereka tidak dimotivasi
oleh semangat keagamaan.
8
Demikian juga penjajahan Spanyol di Filipina. Kolonialisme Eropa pada abad 19 M semakin kukuh, kala mereka
berupaya untuk melakukan batas-batas artifisial dengan membagi wilayah jajahannya di Asia Tenggara, dan telah menghancurkan politik tradisional Asia
Tenggara. Implikasinya seluruh kerajaan tradisional di Asia Tenggara—baik yang
5
D.G.E.Hall, Sejarah Asia Tenggara, Surabaya : Usaha Nasional, tanpa tahun, hal.32-33, lihat juga literature dalam bahasa Melayu Haji Abdur Rahman Dawud, Sejarah Negara Pattani
Darussalam terbitan Pattani, hal.,56. Beberapa sumber mengatakan hal yang berbeda mengenai
jangka waktu tiap pengiriman upeti bunga mas, lihat dalam jurnal karangan Yunariono Bastian, Paradigma,
Jurnal Hubungan Internasional FISIP UPN “Veteran” Yogyakarta, Volume 7, Juni 2003.
6
D.G.E., Hall, Sejarah Asia Tenggara, Surabaya : Usaha Nasional, tanpa tahun, hal.479. Lihat juga di buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, hal.,32-33
7
Ibid., hal.,479
8
Saiful Mujani, dalam Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Jakarta : LP3ES, 1993, hal.30
4
bercorak Islam, Hindu atau Budha—sudah kehilangan kemerdekaan politiknya, kecuali Thailand Muangthai.
9
Rainer Baubock menggambarkan tiga jenis perbatasan komunitas politik dari masyarakat modern, yaitu sebagai wilayah perbatasan negara, batas-batas
Negara yang merupakan anggota sebuah komunitas politik yang ditentukan oleh status kewarganegaraan dan hak warga negara, dan batas-batas komunitas budaya
yang memeberikan seperangkat hak khusus untuk kelompok budaya minoritas.
10
Dengan demikian, setiap penjajahan selalu diikuti dengan kebijakan integrasi, baik integrasi teritorial, politik dan budaya untuk membangun politik integrasi
yang ideal, terutama pada awal-awal abad 19 dan 20 M. Contoh kasus, Belanda menerapkan kebijakan integrasi atas kepulauan
Nusantara untuk mengkonsolidasikan seluruh wilayah Nusantara berada dalam cengkramannya, pada awal abad 19 M, dengan melakukan penataan kembali
wilayah-wilayah Nusantara ke dalam bentuk provinsi dan menciptakan sistem dewan pemerintah daerah system of local government councils dengan aturan
lokal, yang kebanyakan ditempati oleh orang Eropa tetapi juga mencakup beberapa anggota lokal dari kelas bangsawan. Tahun 1918 sistem ini diperluas ke
dalam pembentukan tingkat nasional dengan bentuk ‘Dewan Perwakilan Rakyat’ sebagai penertiban administrasi wilayah kekuasaan Belanda.
11
Sementara Inggris berusaha mengintegrasikan wilayah jajahannya di Semenanjung Malaya dengan
9
Ibid. hal.31
10
Cahyo Pamungkas, “The State Policies Towards Southern Border Provinces”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand
, Jakarta: Pusat Penelitian Sumber Daya Regional PSDR-LIPI, 2004, hal.61
11
Howard M. Federspiel, Sultans, shamans, and saints : Islam and Muslims in Southeast Asia, USA : University of Hawai’i Press, 2007, hal.97-98
5
membentuk sistem Negara Federasi Federated States, dan menempatkan kebijakan ini ke dalam sistem pendidikan, bahwa setiap warga negara yang berada
di wilayah kekuasaannya harus menerima sistem pendidikan Eropa dan bahasa Inggris sebagai bahasa utama.
12
Selain bangsa Eropa, Thailand adalah negara di Asia Tenggara yang mencoba membuat suatu komunitas politik melalui penjajahan. Konsep integrasi
sebagai suatu pembentukan negara dan komunitas politik yang dilakukan bangsa Eropa di Asia Tenggara, mendorong Siam Thailand pada masa Chulalongkorn
Rama V 1868-1910 melakukan serangkaian pembentukan negara tahun 1902
13
melalui pembaruan administratif terhadap wilayah-wilayah sebelah selatan atau Patani. Selain itu, raja Chulalongkorn melakukan beberapa pertimbangan
diplomasi dengan Inggris—yang pada saat itu menduduki negeri-negeri di Semenanjung Malaya—yang berujung pada ditetapkannya Perjanjian Bangkok
yang dilegitimasi oleh Kerajaan Siam-Inggris pada 10 Maret 1909 untuk meratifikasi batas antara negeri Thai dengan Malaya Inggris dan menetapkan
wilayah Patani, Narathiwat, Songkla, Yala dan Satun menjadi bagian wilayah Siam, Thailand, sekaligus memisahkan Patani dari wilayah Semenanjung
Malaya,
14
sedangkan Kelantan, Kedah, Perlis dan Terengganu dimasukkan Inggris menjadi wilayah Malaysia.
15
Semua wilayah Malaya yang dipecah-pecah
12
Ibid. hal.109
13
Surin Pitsuwan, Islam di Muangthai Nasionalisme Melayu Masyarakat Patani, Jakarta : LP3ES, 1989, hal.22
14
Wan Kamal Mujani, Minoriti Muslim:Cabaran dan Harapan Menjelang Abad ke-21, Bangi : Universiti Kebangsaan Malaysia, 2002, hal.11
15
Artikel dengan judul “Minoritas Muslim, Konflik dan Rekonsiliasi di Thailand Selatan”
oleh Badrus Sholeh, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Budi Luhur, tanpa tahun.
6
tersebut memiliki tradisi dan budaya Melayu dan agamanya Islam. Upaya ini sekaligus menjadi tonggak sejarah runtuhnya kedaulatan Patani. Patani bukan lagi
sekedar negara jajahan bagi Siam tetapi menjadi bagian integral dalam Kerajaan Thai, sekaligus menghapuskan sistem Kesultanan Melayu.
Nampaknya, pemerintah Thailand berusaha mengadakan politik Siamisasi terhadap seluruh masyarakat Patani, artinya seluruh rakyat yang berada dalam
kekuasaan wilayah Thailand diintegrasikan ke dalam satu kesatuan bangsa yang disebut bangsa Siam atau Thai. Reaksi atas dicetuskannya gagasan integrasi
dalam rangka modernisasi negara bangsa tersebut menimbulkan persoalan entitas budaya dan politik antara negara Thailand dengan Melayu-Muslim Patani bahkan
berujung pada persoalan agama, dan menjadikan Siam Thailand menjadi salah satu negara yang majemuk. Sehingga menggelitik penulis untuk menganalisis
mengapa pemerintah Thailand menetapkan kebijakan integrasi terhadap wilayah Patani sehingga menjadi bagian integral Thailand? dan sejauh mana tahapan-
tahapan pemerintah Thailand dalam mengintegrasikan Melayu-Muslim Patani ke dalam Siam?
Menanggapi kebijakan integrasi pemerintah Thailand terhadap Patani, sebagaimana, menurut David Brown, hal ini sebagai upaya untuk mono-ethnic
character of the State – etnik tunggal yang menjadi ciri khas dari negara
Thailand.
16
Selain itu, berbagai pola integrasi yang dilakukan bangsa Eropa, kemudian disadari raja Chulalongkorn sebagai salah satu gagasan yang tepat dalam
16
David Brown, From Peripheril Communities to Ethnic Nations, Pacific Affairs 62, 1988, hal.51-71
7
mempertahankan daerah jajahannya dan urusan dalam negerinya. Fenomena ini disadari ketika raja Chulalongkorn berkunjung ke wilayah Jawa dan Sumatera
yang diduduki oleh Belanda, juga Singapura dan Malaysia yang diduduki oleh Inggris, dan sekaligus mengilhami raja Chulalongkorn menciptakan konsep
integrasi dengan istilah Thesaphiban dan Monthon satuan administratif daerah.
17
Dimulai pada tahun 1902, pemerintah Thailand telah menetapkan integrasi wilayah Patani ke dalam wilayah Thailand. Pada tahun-tahun awal inilah kegiatan
oposisi yang dipimpin oleh keluarga kerajaan digulingkan dan para pemimpin Islam karismatik kepemimpinannya semakin jatuh. Sebagai loyalitas atas
kehilangan posisi agama Islam dan mereka sebagai Muslim diperkuat dalam meningkatkan respons non- Thaicization Thaisisasi atau anti-Siam.
18
Reaksi kolektif pun muncul dari Muslim-Melayu Patani ini sehingga memicu
penindasan-penindasan yang lebih keras dari pihak pemerintah Thai. Hal yang paling signifikan pada periode ini adalah setelah secara final Patani dimasukkan
ke dalam Kerajaan Thai adanya upaya mempertahankan identitas Melayu yang tak bisa dipisahkan. Kemudian muncul respons dari kalangan mantan para raja
Daerah Patani Raya sekaligus memimpin perlawanan terhadap pemerintah Thailand pada tahun 1922 yang dikenal dengan peristiwa Namsai. Hingga
berakhirnya ciri kerajaan monarki absolut Thailand pada tahun 1932, berakhir pula konsep Monthon yang disambut orang-orang Melayu-Patani sebagai harapan
baru bagi otonomi budaya mereka. Skripsi ini akan mengkaji, sejauh mana
17
Surin Pitsuwan, Islam di Muangthai Nasionalisme Melayu Masyarakat Patani, Jakarta : LP3ES, 1989 , hal.48
18
John Futson, “Thailand”, dalam Voices of Islam in Southeast Asia: A Contemporary Sourcebook
, Ed., Greg Fealy dan Virginia Matheson Hooker, Institute of Southeast Asian Studies, 2006, hal.78
8
tahapan-tahapan ide integrasi yang dilakukan pemerintah Thailand terhadap wilayah Patani antara tahun 1902-1932 ini.
Berdasarkan pemikiran tersebut, maka penulis memberi judul skripsi ini
dengan ”PROSES INTEGRASI PATANI KE DALAM TERITORI THAILAND 1902-1932”
.