Situasi Politik Patani PATANI DALAM KONTEKS HISTORIS

28 pertama masuk Islam bernama Phya Tu Piyatu Nakpa dan mengganti namanya setelah masuk Islam, Sultan Ismail Syah. 60 Lihat lampiran 1 Islamisasi Patani banyak menggantikan kebudayaan Hindu-Budha, dan letak geografis yang berada di Semenanjung Malaya, sehingga struktur sosial- politik Patani adalah khas masyarakat Melayu. 61 Hal ini bisa dilihat dari sistem politik yang dianut Patani telah dipengaruhi oleh sistem kerajaan-kerajaan Islam pertama di Indonesia. Antara lain kepala pemerintahan disebut sultan, sultan sekaligus menjabat sebagai kepala agama. Di setiap kabupaten daerah ada pangeran atau wakil yang menggantikan pangeran sebagai penguasa lokal, yang bertanggung jawab kepada keputusan penting seperti deklarasi perang dan menandatangani perjanjian. Di tingkat kota negeri, terdapat pejabat keliling dari kerajaan di bawah perintah sultan dan pangeran. Juga ada para pejabat daerah, seperti bendahara perdana menteri sebagai kepala eksekutif pemerintahan, temenggong menteri perang yang bertanggung jawab menjaga ketertiban sekaligus kepala polisi dan komando upacara, laksamana admiral sebagai komandan kapal perang, bendahari bendahara yang mengendalikan pendapatan negara dan peralatan istana, shahbandar master pelabuhan yang mengelola pasar dan gudang dan mencek berat, ukuran, dan koin yang digunakan. 62 Selain hierarki sultan, Patani juga memiliki hierarki otoritas keagamaan berdasarkan hukum Islam syariah. Sultan memiliki mufti sebagai konselor utama agama. Mufti adalah pejabat tertinggi negara dalam mengeluarkan fatwa 60 Adrur Rahman Dawud, H., Sejarah Negara Patani Darussalam, Yala, dalam bahasa Jawi, hal.15. 61 W.K., Che Man, Muslim Separatism The Moros of Southern Philipines and The Malays of Southern Thailand , Singapore: Oxford University Press, 1990, hal.39 62 Ibid. hal.40 29 dan interpretasi al-Quran, dan memiliki kewenangan mengkritisi sultan jika sultan keluar dari aturan syariah. Di bawah mufti, terdapat seorang kadi sebagai hakim Islam dan pensehat keagamaan kepada bupati, imam, khatib dan bilal. 63 Patani abad 14-15 M sudah dikenal sebagai bagian wilayah cakupan regional dari Kedah dan Pahang dengan pusat pemerintahan di Nakhon Si Thammarat negara-negara Ligor. Dalam Hikayat Patani, Patani zaman Ligor bernama Wurawari dengan ibukota Kota Mahligai dengan raja Phya Tu Kerab Mahayana, faktor buruknya akses hubungan ekonomi dan politik, akhirnya Phya Tu Antara anak Phya Tu Kerab memindahkan ibukota ke wilayah Patani karena lebih dekat dengan pantai. Pada tahun 1395 hingga 1398, Nakhon Si Thammarat jatuh ke tangan Ayuthia, yang dipimpin oleh raja Rama Cau Sri Bangsa, dengan begitu negara-negara di bawah Ligor pun jatuh ke tangan Ayuthia. 64 Asumsi ini berdasarkan fakta, bahwa pada abad 13 orang-orang Thai telah membentuk suatu kekuasaan baru ke wilayah selatan dan berkompetisi dengan Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Malaka, namun kekuatan Thailand berhasil bertahan hingga abad 16 M, dan akhirnya Kerajaan Thai berhasil menjalin hubungan dengan wilayah di Semenanjung Malaya seperti Patani, Kelantan, Kedah, Terengganu, dan Perlis. Terutama ketika kekalahan Malaka ke tangan Portugis, akhirnya memaksa Patani masuk ke dalam hubungan anak sungai sistem kerangka sungai dengan Ayuthia, artinya meski Patani pada saat itu sudah maju dalam bidang perdagangan melalui pelabuhan Patani, namun kemajuan tersebut masih dianggap kecil oleh Kerajaan Siam, dengan begitu 63 Ibid. 64 Haji Abdul Halim Bashah Abhar, Raja Campa dan Dinasti Jembal dalam Patani Besar: Patani, Kelantan dan Terengganu, Kelantan: Pustaka Reka, 1994, hal.39 30 Patani sebagai Negara yang lebih lemah dibanding dengan Siam harus mengakui supremasi raja Thailand. 65 Pengakuan ini terimplementasi ke dalam bentuk perupetian atau sistem feodal, yaitu Patani harus mengirimkan secara simbolis upeti Bunga Emas dan Perak sebagai tanda persahabatan dan kesetiaan dengan Thailand. 66 Meski menjadi egara feodal, namun Patani masih memiliki hak otonomi. Sistem perupetian ini berlangsung dari abad 13 hingga akhir abad 18 M. Secara historis, kekuasaan Thailand terhadap Patani dilakukan dua jenis, yaitu aturan langsung dan tidak langsung. Aturan langsung berarti mengirimkan pejabat Siam untuk ditempatkan bersama penguasa Patani. Sedangkan, aturan tidak langsung, membiarkan penguasa Patani memainkan peran lebih banyak dengan tetap menjaga hubungan baik dan persahabatan melalui sistem upeti tersebut. 67 Meskipun simbol upeti tersebut sebagai tanda persahabatan antara Siam dengan Patani, namun para sultan Patani tidak ada yang menghendakinya. Dilandasi dengan pertumbuhan ekonomi yang semakin kuat dan hubungan diplomatik dengan negara-negara di Asia Tenggara semakin baik, akhirnya Patani di bawah pimpinan Sultan Mudzafar Syah Kerup Phicai Paina putra dari Sultan Ismail Syah membentuk suatu kekuatan baru bersama Kerajaan Johor, Pahang, dan Kelantan pada tahun 1530-1540, dan berkesempatan menyerang Kerajaan 65 M. Ladd Thomas, Political Violence in the Muslim Provinces of Southern Thailand, ISEAS No. 28, April 1975, hal.,4. Lihat juga Thanet Aphornsuvan, History and Politics of The Muslims Thailand , Bangkok: Thammasat University, 2003, hal.12 66 Moshe Yegar, Between Integration and Secession: The Muslim Communities of Southern Philippines, Southern Thailand and Western BurmaMyanmar , USA: Lexington Books, 2002, hal.74 67 Thanet Aphornsuvan, History and Politics of The Muslims Thailand, Bangkok: Thammasat University, 2003, hal.12 31 Ayuthia tahun 1563 ketika sedang terlibat perang dengan Burma, di bawah pimpinan Sultan Mudzafar Syah. 68 Dalam peperangan tersebut Sultan Mudzafar Syah wafat dan dikebumikan di Kuala Sungai Chao Phra’ya sungai yang ada di negeri Siam. 69 Tahta pemerintahan Patani digantikan oleh adik Mudzafar Syah, yaitu Sultan Mansyur Syah 1564-1572. Di bawah kepemimpinannya, perjanjian damai pun digulirkan pihak Patani kepada pihak Ayuthia, dengan mengutus Wan Muhammad. Atas dasar perdamaian tersebut, kemudian Patani menjadi wilayah independen di bawah pengawasan pemerintah Siam. Sultan Mansyur Syah digantikan oleh Sultan Patik Siam, anak dari Sultan Mudzafar Syah, ketika itu berumur 9 atau 10 tahun. Kepemimpinan Patik Siam digantikan sementara oleh saudara perempuan ayahnya, bernama Siti Aisyah. Sultan Patik Siam terbunuh di tangan Raja Bambang saudara tiri Patik Siam pada tahun 1573. Pada peristiwa pembunuhan tersebut, Siti Aisyah ikut terbunuh. Tahta pemerintahan Patani, kemudian digantikan oleh Sultan Bahdur Syah, anak dari Sultan Mansyur Syah. Sekali lagi, kepemimpinan Sultan Bahdur Syah pun tak lama direbut oleh saudaranya Raja Bima dan berakhir dengan kematian Sultan Bahdur. 68 Paulus Rudolf Yuniarto, “Integration of Pattani Malays: a Geopolitical Change Perspective”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Pusat Penelitian Sumberdaya Regional Indonesia, 2004, hal.39. Kronik Kerajaan Ayuthia pada tahun 1564, mencatat bahwa Ayuthia terpaksa menyerah terhadap Burma, lantaran Pattani yang sedari awal diminta untuk membantu Ayuthia melawan Burma, berbalik melawan dan menyerang Ayuthia untuk menyerang Raja dan merebut istana. Namun, raja Ayuthia yang bernama Phra’ Maha Cak Kapat berhasil meloloskan diri dan bersembunyi. Thanet Aphornsuvan, History and Politics of The Muslims Thailand, Bangkok: Thammasat University, 2003, hal.13 69 Ahmad Fathy al-Fatani, Pengantar Sejarah Patani, Alor Setar: Pustaka Darussalam, 1994, hal.18 32 Konflik internal yang terjadi di tubuh Patani, mengakibatkan Patani tidak memiliki pewaris tahta laki-laki, karena itu, pemerintahan Patani diambil alih oleh raja-raja perempuan, yang dikenal dengan ‘Zaman Ratu-ratu’. 70 Kepemimpinan ratu-ratu tersebut adalah Ratu Hijau 1584-1616, Ratu Biru 1616-1624, Ratu Ungu 1624 – 1635, dan Ratu Kuning 1635-1651. Patani beberapa kali mengalami penyerangan dari pihak Kerajaan Ayuthia. Serangan pertama terjadi tahun 1603, namun usaha tersebut dapat dipatahkan oleh Patani. Semasa pemerintahan Ratu Biru, hubungan dengan negera-negara Melayu, kecuali Johor semakin dieratkan sebagai wujud pertahanan politik Patani, dan beberapa kali serangan dari pihak Ayuthia dilancarkan, namun berhasil digagalkan. Kekuasaan Patani diperluas hingga ke Kelantan dan Terengganu. Atas ekspansi Patani ke dua wilayah tersebut, membuat Patani dikenal sebagai Negeri Patani Besar The Great Patani State Lihat lampiran 3. Kemudian, Pahang menjadi bagian dari Patani, karena pernikahan antara Ratu Ungu dengan Sultan Pahang. 71 Pada masa Ratu Ungu, Patani mengeluarkan kabijakan anti-Siam dan menolak menghantarkan upeti Bunga Mas dan pemberian gelar Phrao Cao bagi Ratu Ungu. Peperangan besar dengan Siam di bawah Raja Phrasat Thong kembali terjadi, serangan pertama tahun 1630 dan serangan kedua tahun 1633-1634. Dua tahun berselang, Siam kembali merencanakan serangan atas Patani, tetapi berkali- kali serangan tersebut digencarkan, namun pihak Siam selalu mengalami 70 Ibid. hal.20 71 Paulus Rudolf Yuniarto, “Integration of Pattani Malays: a Geopolitical Change Perspective”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Pusat Penelitian Sumberdaya Regional Indonesia, 2004, hal.42 33 kekalahan. Menurut Nik Annuar, Patani memiliki kapasitas kekuatan menentang Siam. Sementara Songkhla yang diberi tanggungjawab oleh Siam untuk mengawasi daerah selatan termasuk Patani, tidak memiliki cukup tentara untuk mengawasi gerakan otonom Patani. 72 Siam mengupayakan perdamaian dengan Patani setelah kampanye militer besar-besaran tahun 1632. Atas nasehat Belanda, akhirnya Ratu Kuning bersedia menerima kembali gelar Phrao Cao dan meneruskan tradisi pengiriman upeti Bunga Mas. Pemberontakan terakhir Patani terhadap Ayuthia meletus kembali ketika ibukota Ayuthia, Burma, diserang Patani pada tahun 1767. 73 Setelah zaman ratu-ratu, penerus tahta kerajaan Patani digantikan oleh raja-raja keturunan Kelantan dari tahun 1688 hingga 1729. Berakhirnya dinasti Kelantan, Patani mengalami kekacauan politik perebutan kekuasaan. Menanggapi hal tersebut, akhirnya, Siam mengangkat Sultan Muhammad sebagai raja Patani. Pada 1779, sultan Muhammad diminta oleh Siam untuk membantu menyerang Burma, namun sultan Muhammad menolaknya. Hal ini memicu Phraya Chakris menyerang Patani. Putera Surasi adik dari Phraya Chakri dibantu oleh Phraya Senaphutan, Gabenor Pattalung, Palatcana dan Songkhla supaya menyerang Patani pada 1785, 74 dan berakhir dengan kematian sultan Muhammad. Pemberontakan-pemberontakan Patani terhadap Siam, tak ayal membuat raja-raja Siam bersikap lebih tegas dan keras. Ketika kekuasaan Ayuthia berakhir 72 Nik Anuar Nik Mahmud, Sejarah Perjuangan Melayu Patani 1785-1954, Bangi: Jabatan Sejarah Universitas Kebangsaan Malaysia, tanpa tahun, hal.3 73 S.P.Harish, Changing Conflict Identities: The Case of the Southern Thailand, No.107 February 2006, Singapure, Institute of Defence and Strategic Studies, hal.4 74 Nik Anuar Nik Mahmud, Sejarah Perjuangan Melayu Patani 1785-1954, Bangi: Jabatan Sejarah Universitas Kebangsaan Malaysia, tanpa tahun, hal.4-5 34 akibat serangan Burma tahun 1767 dan digantikan oleh sebuah kerajaan baru berpusat di Bangkok, bernama Kerajaan Siam, dimulai tahun 1785-1786 Siam kembali bangkit dan berusaha membuat kebijakan yang lebih tegas untuk Patani, dengan menganeksasi pemerintahan kesultanan Patani. Tahun 1785, Siam menghapus sistem anak sungai terhadap Patani, Kedah, Kelantan, dan Terengganu. 75 Raja Patani berikutnya adalah Tengku Lamidin, beliau dilantik oleh Siam. Dari tahun 1817 sampai 1842, Patani telah diperintah oleh dua orang raja keturunan Melayu, yaitu Tuan Sulong anak raja bendahara Kelantan dan Nik Yusof. Tahun 1899, Abdul Kadir Kamaruddin diangkat menjadi raja Patani, sekaligus menjadi raja terakhir dari kerajaan Patani. Abdul Kadir Kamaruddin adalah keturunan dari Tengku Puteh yang menikah dengan putri Kelantan. Jelaslah, bahwa Patani dan Kelantan memiliki ikatan kekerabatan yang sangat erat. Pemberontakan terakhir Patani terjadi tahun 1808. Tahun 1816 raja Rama I berhasil menaklukkan Kerajaan Patani, kemudian menerapkan peraturan ‘divide and rule’ dan memisahkan Patani menjadi tujuh provinsi yaitu, Pattani, Saiburi Teluban, Nongchick, Yaring, Yala, Rahman, dan Ra-ngae. Secara administratif dipimpin oleh para penguasa setempat di bawah kendali Bangkok, sebagai upaya efektif dalam mengontrol pengumpulan pendapatan dan pajak daerah. 76 Namun, peraturan ini tidak menunjukkan stabilitas politik yang efektif. Ketujuh negeri ini kecuali Yaring, berusaha melakukan pemberontakan tahun 1832, namun dapat 75 Ibid. 76 Thitinan Pongsudhirak, “The Malay-Muslim Insurgency in Southern Thailand”, dalam A Handbook of Terorism and Insurgency in Southeast Asia, Editor: Andrew T.H. Tan, USA: MPG Books, 2007, hal.266-267. 35 dipatahkan, penguasa Patani dan Yala mundur ke Kelantan. Sementara penduduk Rahman, Ra-ngae, dan Saiburi Teluban ditawan dan dikirim ke Bangkok. 77 Tahun 1838 empat wilayah Melayu bersama Kedah melakukan pemberontakan namun dapat digagalkan, kecuali Pattani, Yaring dan Saiburi tetap setia kepada Bangkok, dan berakhir dengan dipecahnya Kedah menjadi empat kerajaan, yaitu: Kedah, Kabangpasu, Perlis, dan Satun. Kemudian, sistem Thesaphiban Undang-Undang Administrasi Daerah diperkenalkan tahun 1897 dan diprakarsai oleh raja Chulalongkorn Rama V, 1868-1910. Thesaphiban adalah upaya mereformasi kebijakan sentralisasi administrasi atau sistem pemerintah terpusat. Kebijakan mengubah birokrasi tradisional ke dalam birokrasi Thailand, sistem ini meliputi semua kelompok lokal dalam administrasi dan birokrasi kerajaan, 78 pejabat-pejabat lokal di Patani digantikan oleh gubernur Khaluang Thesaphiban yang ditunjuk langsung oleh raja Siam di Bangkok, agar kontrol terhadap Patani semakin kuat dan ketat. 79 Peraturan ini dinilai efektif dengan bagi Patani karena secara geografis dan administratif sangat strategis. 80

D. Situasi Ekonomi Patani

77 Uthai Dulyakasem, “Kemunculan dan Perkembangan Nasionalisme Etnis: Kasus Muslim di Siam Selatan”, dalam Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Editor: Taufik Abdullah dan Sharon Siddique, Jakarta: LP3ES, 1988, hal.246 78 Cahyo Pamungkas, “The State Policies Towards Southern Border Provinces”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand , Jakarta: Pusat Penelitian Sumber Daya Regional PSDR-LIPI, 2004, hal.65. 80 Paulus Rudolf Yuniarto, “Integration of Pattani Malays: a Geopolitical Change Perspective”, dalam Multiculturalism, Separatism, and Nation State Building in Thailand, Pusat Penelitian Sumberdaya Regional Indonesia, 2004, hal.54 36 Perdagangan selalu menjadi pemicu terjadinya proses Islamisasi dan perkembangan politik kerajaan-kerajaan maritim. Perdagangan jugalah yang menjadi faktor penting hubungan Melayu-Muslim Patani dengan Kerajaan Ayuthia. 81 Pada abad 14 dan 15 wilayah Patani dikenal sebagai pusat perdagangan dan penyebaran Islam. Hubungan perdagangan Patani tidak hanya dengan egara tetangga di Asia Tenggara, melainkan lebih meluas lagi dengan para pedagang Arab, Cina, India dan Eropa. Hubungan tersebut menunjukkan kemapanan politik dan ekonomi Patani pada waktu itu. 82 Peranan pelabuhan Pattani yang strategis acap kali dijadikan tempat persinggahan para pedagang dari Eropa, Arab, Cina dan India. Bahkan semakin populer ketika Malaka berhasil jatuh ke tangan Portugis tahun 1511, karena sistem bea cukai yang lebih mahal dari pada Patani. Menurut Paulus Rudolf Yunatrio, hubungan-hubungan dagang yang terjalin berawal dari hubungan antara para pedagang Muslim dan Cina dengan Patani waktu itu, karena keduanya sangat berhubungan dengan proses penyebaran 81 Omar Farouk, “Muslim Asia Tenggara dari Sejarah Menuju Kebangkitan Islam”, dalam Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara , Editor: Saiful Muzani, Jakarta: LP3ES, 1993, hal.27. Salah satu peristiwa paling penting adalah ketika Malaka dikuasai oleh Portugis, dengan Malaka kehilangan relevansinya sebagai salah satu pusat perdagangan regional, bahkan berubah menjadi pos militer. Beberapa pengamat termasuk Anthony Reid, sepakat bahwa umat Islam adalah yang paling kuat tertanam dalam perdagangan streaming melalui Ayutthaya. Posisi inilah yang dimanfaatkan oleh Ayuthia dalam mendukung proses komersial dengan menempatkan umat Islam Patani dalam posisi dan peran penting di istana, sebagai menteri, pedagang dan penasehat dibawah kuasa Raja. Lihat Yoneo Ishii, “Thai Muslims and the Royal Patronage of Religion,” Law Society Review 28, no. 3 1994: 454-455 dalam Thesis oleh Daniel J. Pojar, Jr. Lesson Not Learned: The Rekindling of Thailand’s Pattani Problem, Monterey, California, 2005. 82 Penempatan penting umat Islam Melayu di kerajaan Ayuthia pada akhirnya membawa perkembangan yang signifikan bagi perekonomian Patani. Ada dua konsekuensi jika menanggapi hal ini, pertama, Ayuthia sebagai pusat perdagangan internasional menjadi sangat signifikan berdasarkan komoditi dari Cina, Persia, Arab, India dan Eropa mengalir ke Ayuthia. Kedua, Patani sebagai kerajaan kecil memanfaatkan hubungannya dengan Ayuthia yang memungkinkan perekonomian Patani mengalami perkembangan dan menjadi pusat perdagangan yang kuat, menyaingi Malaka ketika jatuh ke tangan Portugis.