Bentuk Bentuk Jual Beli dalam Islam Mekanisme Jual Beli dalam Islam

Artinya: “Dari Ibnu ‘Umar ia berkata: Telah bersabda Rasulullah SAW: pedagang yang benar jujur, dapat dipercaya dan muslim, beserta para syuhada pada hari kiamat HR.Ibnu Majah. 20 Dari ketiga Hadit’s yang dikemukakan diatas dapat dipahami bahwa jual beli merupakan pekerjaan yang halal dan mulia. Apabila pelakunya jujur, maka kedudukannya pun di akhirat nanti setara dengan para nabi, shiddiqin, dan syuhada. Para ulama dan seluruh umat islam sepakat tentang dibolehkannya jual beli, karena hal ini sangat dibutuhkan oleh manusia pada umumnya. Dalam kenyataan kehidupan sehari-hari tidak semua orang memiliki apa yang dibutuhkannya. Apa yang dibutuhkannya kadang-kadang berada ditangan orang lain. Dengan jalan jual beli inilah, maka manusia dapat saling tolong menolong untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan demikian, roda kehidupan ekonomi akan berjalan dengan positif karena apa yang mereka lakukan akan menguntungkan kedua belah pihak.

4. Bentuk Bentuk Jual Beli dalam Islam

1. BA’I MURABAHAH DEFERRED PAYMENT SALE

a. Pengertian Ba’i Murabahah

Ba’i Murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Ba’i Murabahah dapat dilakukan untuk pembelian secara pemesanan dan biasa disebut sebagai murabahah 20 Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Juz 2 , Nomor hadit’s 2139, CD Room, Maktabah Kutub Al- Mutun, Silsilah Al- ‘Ilm An-Nafi’, Seri 4, Al-Ishdar Al-Awwal, 1426 H, hlm.724. kepada pemesan pembelian. Definisi lain mengenai Ba’i Murabahah adalah transaksi penjualan barang dengan menyatakan harga perolehan keuntungan margin yang disepakati oleh penjual dan pembeli. Pembayaran atas akad Ba’i Murabahah dapat dilakukan secara tunai Ba’i Naqdan maupun tangguh Ba’i Mu’ajjalBa’i Bit’tsaman Ajil. Hal yang membedakan Ba’i Murabahah dengan penjualan yang biasa kita kenal adalah penjual secara jelas memberi tahu kepada pembeli berapa harga pokok barang tersebut dan berapa besar keuntungan yang diinginkannya. Penjual dan pembeli dapat melakukan tawar-menawar atas besaran margin keuntungan sehingga pada akhirnya diperoleh kesepakatan bersama.

b. Rukun Ba’i Murabahah

1. Adanya penjual dan pembeli ‘akid. 2. Objek akad ma’qud ‘alaih. 3. Ijab dan qabul

c. Syarat Ba’i Murabahah

1. Penjual memberi tahu biaya modal kepada nasabah. 2. Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan. 3. Kontrak harus bebas dari riba. 4. Penjual harus menelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang sesudah pembelian. 5. Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang.

2. BA’I SALAM IN-FRONT PAYMENT SALE

a. Pengertian Ba’i Salam

Dalam pengertian yang sederhana, Ba’i Salam berarti pembelian barang yang diserahkan dikemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan dimuka. Walaupun barang baru diserahkan dikemudian hari namun harga, spesifikasi, karakteristik, kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahannya sudah ditentukan ketika akad terjadi, sehingga tidak ada gharar. Hal inilah yang membedakan salam dengan transaksi ijon. Ba’i Salam adalah transaksi jual beli dimana barang yang diperjualbelikan belum ada ketika transaksi dilakukan, pembeli melakukan pembayaran di muka sedangkan penyerahan barang baru dilakukan di kemudian hari. Ba’i Salam sering digunakan untuk produk pertanian. Salam paralel, artinya melaksanakan dua transaksi salam yaitu antara pemesan, pembeli dan penjual serta antara penjual dengan pemasok supplier atau pihak ketiga lainnya. Hal ini terjadi ketika penjual tidak memiliki barang pesanan dan memesan kepada pihak lain untuk menyediakan barang pesanan tersebut. 21 21 Sri Nurhayati, Akuntansi Syariah di Indonesia, Jakarta : PT Salemba Empat, 2011, cet.ke-2, hlm.198-199.

b. Rukun dan syarat Ba’i Salam

Dalam Ba’i Salam, terdapat rukun yang harus dipenuhi, yakni : 1. ‘Aqid, yaitu pembeli atau al-muslim atau rabbussalam, dan penjual atau al-muslam ilaih. 2. Ma’qud ‘alaih yaitu muslam fih barang yang dipesan, dan harga atau modal salam ra’s al-mal as-salam. 3. Shighat yaitu ijab dan qabul. Adapula beberapa syarat di dalam Ba’i as-salam, antara lain : Syarat-syarat salam ini ada yang berkaitan dengan ra’s al-mal modal atau harga, dan ada yang berkaitan dengan muslam fih objek akad atau barang yang dipesan. Secara umum ulama-ulama mazhab sepakat bahwa ada enam syarat yang harus dipenuhi agar salam menjadi sah, yaitu : 1. Jenis muslam fih harus diketahui 2. Sifatnya diketahui 3. Ukuran dan kadarnya diketahui 4. Masa tertentu diketahui 5. Mengetahui kadar ukuran ra’s al-mal modalharga, dan 6. Menyebutkan tempat pemesanan atau penyerahan. Demikian pula para ulama sepakat bahwa salam diperbolehkan dalam barang-barang yang ditakar makilat, ditimbang mauzunat, diukur dengan meteran madzru’at, dan dihitung ma’dudat. 22

3. BA’I ISTISHNA’ PURCHASE BY ORDER OR MANUFACTURE

a. Pengertian Ba’i Istishna’

Transaksi Ba’i Istishna’ merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua belah pihak bersepakat atas harga serta sistem pembayaran: apakah pembayaran dilakukan dimuka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang. Istishna’ adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara kedua belah pihak, yaitu pemesan pembelimustashni dan penjual pembuat shani’. Ba’i Istishna’ digunakan untuk produk manufaktur seperti konstruksi atau pembangunan rumah, gedung, mesin pengolah biodiesel dan lain sebagainya. Akad Istishna’ juga pembayarannya dapat dilakukan secara angsuran. 22 Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, Jakarta : AMZAH, 2010, cet.ke-1, hlm.245-246. Istishna’ Paralel adalah suatu bentuk akad istishna’ antara penjual dan pemesan, dimana untuk memenuhi kewajibannya kepada pemesan, penjual melakukan akad istishna’ dengan pihak lain sub kontraktor yang dapat memenuhi aset yang dipesan pembeli. Syaratnya akad istishna’ pertama tidak bergantung pada istish na’ kedua. Selain itu penjual tidak boleh mengakui adanya keuntungan selama konstruksi. 23

b. Rukun Syarat Ba’i Istishna’ :

Dalam Ba’i istishna’, terdapat rukun yang harus dipenuhi, yakni : 1. Pemesanpembeli mustashni’. 2. Penjualpembuat shani’. 3. Barangobjek mashnu’. 4. Tsaman harga. 5. Shighat yaitu ijab dan qabul. Disamping itu, ulama juga menentukan beberapa syarat untuk menentukan sahnya jual beli istishna’. Syarat yang diajukan ulama untuk diperbolehkannya transaksi jual beli istishna’ adalah: 1. Kedua belah pihak yang bertransaksi berakal, cakap hukum dan mempunyai kekuasaan untuk melakukan jual beli. 2. Ridhakerelaan dua belah pihak dan tidak ingkar janji. 3. Shani’ menyatakan kesanggupan membuat barang. 23 Sri Nurhayati, Akuntansi Syariah di Indonesia, Jakarta : PT Salemba Empat, 2011, cet.ke-2, hlm.211-212. 4. Apabila bahan baku berasal dari mustashni’, maka akad ini bukan lagi istishna’, tetapi berubah menjadi ijarah. 5. Apabila isi akad mensyaratkan shani’ hanya bekerja saja, maka akad ini bukan lagi istishna’, tetapi berubah menjadi ijarah. 6. Mashnu’ barang yang dipesan mempunyai kriteria yang jelas seperti jenis, ukuran, tipe, mutu, dan jumlahnya. 7. Barang yang dipesan tidak termasuk kategori yang dilarang syara’ yaitu: najis, haramtidak jelas atau menimbulkan kemudharatan menimbulkan maksiat.

c. Berakhirnya akad Istishna’ :

1. Dipenuhinya kewajiban secara normal oleh kedua belah pihak. 2. Persetujuan bersama kedua belah pihak untuk menghentikan kontrak. 3. Pembatalan hukum kontrak. Ini jika muncul sebab yang masuk akal untuk mencegah dilaksanakannya kontrak atau penyelesaiannya, dan masing-masing pihak bisa menuntut pembatalannya.

4. Mekanisme Jual Beli dalam Islam

Selain bentuk-bentuk jual beli dalam islam yang beraneka ragam, adapula mekanisme yang harus diterapkan dalam melakukan transaksi jual beli menurut syariat islam, diantaranya : a. Adanya ‘aqid penjual dan pembeli yang melakukan tawar-menawar barang. b. Adanya barang objek akad atau ma’qud ‘alaih. 1. Barang yang dijual harus maujud ada. 2. Barang yang di jual harus mal mutaqawwim. 3. Barang yang di jual harus barang yang sudah dimiliki. 4. Barang yang harus dijual harus bisa diserahkan pada saat dilakukannya akad jual-beli. c. Adanya shighat ijab dan qabul 1. Pernyataan yang dikeluarkan oleh penjual disebut ijab. 2. Pernyataan yang dikeluarkan oleh penjual disebut qabul. Akad sangatlah penting dalam transaksi jual beli, hal ini dikarenakan qabul harus sesuai dengan ijab, dalam arti pembeli menerima apa yang di-ijab-kan dinyatakan oleh penjual. Apabila terdapat perbedaan antara ijab dan qabul, misalnya pembeli menerima barang yang tidak sesuai dengan yang dinyatakan oleh penjual, maka akad jual beli tidak sah. Selain itu, berkaitan dengan tempat akad jual beli dalam islam harus terjadi dalam satu majelis. Apabila ijab dan qabul berbeda majelisnya, maka akad jual beli tidak sah pula. d. Jual beli dalam islam harus menghindari 6 macam, antara lain : ketidakjelasan jahalah, pemaksaan al-ikrah, pembatasan dengan waktu at-tauqit, penipuan gharar, kemudharatan dharar dan lain-lain. 24 Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa transaksi jual beli dalam islam ada 3 macam yakni Ba’i Murabahah, Ba’i Salam, dan Ba’i Istishna’. Dan penerapan mekanisme jual beli pun harus berdasarkan Al- Qur’an dan Al-Hadit’s. Demikian penjelasan dan uraian mengenai investasi risiko, manajemen risiko dalam perbankan syariah, dan transaksi jual beli dalam islam. Dengan penjelasan tersebut, diharapkan dapat memahami lebih dalam mengenai definisi, manfaat dan bentuk-bentuk investasi emas. Serta penjelasan mengenai pengertian, tujuan dan strategi manajemen risiko dalam perbankan syariah dan penjelasan seputar transaksi jual beli Ba’i dalam islam. 24 Muslich, Ahmad Wardi, Fiqh Muamalat, Jakarta : AMZAH, 2010, cet.ke-1, hlm.173-214. 54

BAB III MANAJEMEN RISIKO CICIL EMAS PADA BANK SYARIAH MANDIRI

A. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN BSM

Nilai-nilai perusahaan yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan integritas telah tertanam kuat pada segenap insan Bank Syariah Mandiri BSM sejak awal pendiriannya. Kehadiran Bank Syariah Mandiri sejak tahun 1999, sesungguhnya merupakan suatu hikmah sekaligus berkah pasca krisis ekonomi dan moneter 1997-1998. Sebagaimana diketahui, krisis ekonomi dan moneter sejak Juli 1997, yang disusul dengan krisis multi-dimensi termasuk di panggung politik nasional, telah menimbulkan beragam dampak negatif yang sangat hebat terhadap seluruh sendi kehidupan masyarakat, tidak terkecuali dunia usaha. Dalam kondisi tersebut, industri perbankan nasional yang didominasi oleh bank-bank konvensional mengalami krisis luar biasa. Pemerintah akhirnya mengambil tindakan dengan merestrukturisasi dan merekapitalisasi sebagian bank-bank di Indonesia. Salah satu bank konvensional, PT. Bank Susila Bakti BSB yang dimiliki oleh Yayasan Kesejahteraan Pegawai YKP PT. Bank Dagang Negara dan PT. Mahkota Prestasi juga terkena dampak krisis. BSB berusaha keluar dari situasi