Tujuan Masyarakat Memuja Devi Durga Di Pura Dalem Purnajati Ajaran Devi Durga Di pura Dalem Purnajati

yang bersifat Krodha lainnya. Sedemikian pentingnya tugas Durga dalam membasmi Asura ini sehingga dalam beberapa kitab Purana, Durga tidak hanya merupakan aspek Krodha. Sebagai misal dapat dijumpai dalam kitab Devi-Bhagavata Purana, sebuah Sakta-Purana, Durga disebut sebagai mula Prakrti yang bergerak dalam penciptaan alam, pemeliharaan dan penghancuran alam. Dalam ketiga pekerjaannya ini, Devi Durga dikenal dengan Mahakali, Mahalaksmi, dam Mahasarasvati. Selanjutnya, dalam bentuknya sebagai Mahakali, para sakti Durga telah membasmi Asura, Madhu, dan Kaitabha sebagai Mahalaksmi telah membasmi Mahisasura dan sebagai Mahasarasvati telah membunuh Sumbha dan Nisumbha.

B. Tujuan Masyarakat Memuja Devi Durga Di Pura Dalem Purnajati

Berdasarkan data yang telah di bahas sebelumnya, dapat di ungkapkan bahwa tujuan yang ingin dicapai dengan melakukan pemujaan kepada Bathari Durga adalah sebagai berikut: 1. Menaklukkan Musuh Memuja Devi Durga, dengan tujuan menaklukkan serta meminta perlindungan dari ancaman musuh merupakan data terbanyak di wilayah Pura Dalem Purnajati. Memuja Devi Durga dengan tujuan ini telah kita jumpai pada sumber-sumber tertulis sebelum abad ke X, di antaranya dalam sebuah pakawin yang diperkirakan dari abad IX yakni pakawin Ramayana Sarga yang berbunyi kurang lebih sebagai berikut; Pohon besar di tempat yang sunyi kau datangi Di sana tempat hyang Durga, Ganapati serta banyak Banaspati Jalannya tinggi terjal sulit untuk dicapai Doa permohonan apakah yang difikirkan sukar ditebak Sebuah nazar besar dengan tujuan agar sang raja memperoleh kemenangan dalam perang Demikian pula agar saya dapat pulang ke Ayodhya Pemujaanmu semuanya berhasil baik Itu dilaksanakan benar-benar olehmu dengan kerelaan hati 2. Berkumpul kembali dengan orang yang dikasihi dan agar memperoleh jodoh Data dari sastra Pura Dalem Purnajati menunjukkan bahwa Bathari Durga dipuja oleh mereka yang sedang bersedih hati, karena terpisah dengan orang yang dikasihi dan oleh mereka yang ingin memperoleh jodoh 3. Menjadi saksi pendirian suatu daerah sima Batari Durga atau Devi Durga dilibatkan dalam kutukan Frasasti untuk keputusan raja tentang pendirian suatu daerah sima. Serta diminta untuk memberi hukuman bagi mereka yang melanggar ketetapan prasasti. 4. Membinasakan orang lain Memuja Devi Durga, dengan tujuan membinasakan orang lain kita dapati dalam kitab Siva Purana, apa yang diceritakan dalam kitab ini sangatlah penting. Karena upacara pemujaan Durga diuraikan secara panjang lebar. 42

C. Ajaran Devi Durga Di pura Dalem Purnajati

42 Hariani Santiko, Kedudukan Bhatari Durga di Jawa Pada Abad X-XV Masehi, Jakarta, 1987, h-319 Ajaran Devi Durga terhadap masyarakat Hindu yang berada di Pura Dalem Purnajati, bukan kepada ritual keagamaan. Akan tetapi ajarannya itu mengarah kepada ajaran Tantra atau Tantrik, ataupun bisa disebut juga dengan bahasa modernnya yaitu Ilmu Magic. Kata Tantra terdiri dari dua kata yaitu Tana dan Trai, berarti bahwa melalui pelaksanaan sadhana-puja, Bhakti dan metode yang lainnya seseorang bisa mengelola alam dan kekuatan Tuhan sesuai dengan keinginannya. Semua metode Sadhana pada hakekatnya adalah Tantra. Tantra adalah sebuah sastra yang berisikan berbagai aspek puja Siva Shakti, sebuah metode, sebuah tehnik atau jalan, dan ini ada pada semua agama. Keluwesan dalam melakukan sadhana, karena itu tidak akan menyentuh ajaran agama dan keyakinan, namun sebaliknya justru akan memperkuat keyakinan karena disana ada puja, doa, bhakti dan ajaran spiritual. 43 Tantra adalah tehnik yang mengajarkan bagaimana membawa Tuhan, para dewa dan elemen lain berada dalam kendali seseorang melalui pemujaan dan doa, karena berisikan berbagai metode sadhana dan menggunakan sarana tertentu. Secara umum orang-orang mengenal tantra sebagai hal yang berbau magis dan mistik, ini memberikan kesan yang kurang baik pada pikiran masyarakat hindu, sehingga merekapun berfikir, ketika pesulap melakukan keajaiban kecil, maka demikianlah tantra yang senantiasa terlibat dalam hal-hal magis. Dalam dunia material ini setiap orang memiliki keinginan yang tidak terbatas dan mereka mulai sangat egois. Mereka melupakan hukum alam yang menyatakan bahwa, jika seseorang menginginkan sesuatu, maka ia harus berusaha dan berjuang untuk hal 43 Dr. Vasant Lad dan Robert E. Svobodo, Ayurveda, Surabaya : Paramitha 2007 , h 20-34 itu. Orang-orang senantiasa menginginkan jalan pintas, mereka tidak memandang kekuasaan alam atau prakerti. Dalam masyarakat modern setiap orang tampak sibuk. Orang-orang tidak memiliki waktu baik mencapai kesadaran diri atau memperhatikan keluarganya. Mereka meminta bantuan kepada astrolog, ahli metafisika para normal, penasehat atau pembimbing spiritual yang melakukan tugas mereka dengan memberikan imbalan uang, orang mau membayar mereka karena mau terbebas dari segala keburukan, kekhawatiran dan gejolak batinnya. Padahal, orang yang disewa tidak akan membantu dalam hal ini. Karma seseoranglah yang menyelesaikan semuanya. Apapun yang diinginkan harus berusaha sendiri, seorang spiritual hanyalah sebagai jaln pembimbing selanjutnya tergantung karma wesana seseorang. Dalam Mahanirvana Tantra, ajaran Tantra pertama kali diturunkan di pegunungan Himalaya, tempat salju abadi daerah suci yang penuh dengan tradisi bangsa Arya. Di sebelah pegunungan utara Himalaya nampak menjulang gunung yang disebut sapta kula parwata. Di katakana bangsa Arya berasal dari tempat ini. Di Bhimudhiyar misalnya, masih bisa ditunjuk sebuah gua tempat para pandawa dan Drupadi pernah melepaskan lelah, demikian juga tempat menyimpan riwayat rama dan istrinya yang setia yaitu lembah yang penuh dengan hutan pohon Asoka. Di pegunungan ini hidup para Muni dan Rsi. Di sini juga tempat kshetra Siva Mahadeva, tempat kelahiran permaisurinya, parwati putri maharaja gunung dan tempat permulaan Ibunda Gangga. Puncak Himalaya, Kailasa Istana Siva, Dewa Siva pertama kali menurunkan ajaran-ajarannya, yang kemudian tercatat dalam beberapa kitab suci dalam bentuk pustaka Tantra yang disusun dalam bentuk Tanya jawab, di antara dewata dengan shaktinya yaitu dewi yang mewujudkan dirinya sebagai Devi Durga. Dalam pustaka mahanirvana tantra, setelah dilukiskan keadaan gunung kailasa, pelajaran buka dengan sebuah pertanyaan yang diajukan oleh Durga dan Dewa Siva menjawab pertanyaan itu selanjutnya. Dalam Mahanirvana Tantra, Devi Durga menyatakan kekhawatiran tentang penyimpangan praktek-praktek Tantra dan prinsip-prinsip yang digariskan Mahanirvana Tantra K Nilla, 1997 : vii. 44 “ Hitaya yane karmani kathitani twaya prabho menyentahi mahadeva wiparitani manawe “ Hamba khawtir oh junjungan , apa yang paduka tetapkan untuk kebaikan umat manusia, tetapi melalui itu juga akan timbul penyalahgunaan dan kejahatan “. Kekhawatiran Devi Parwati-Shakti Siva masuk akal, karena tantra bukanlah pengetahuan yang dibaca dan dihapalkan. Tantra pengetahuan yang praktis yang langsung harus dipelajari dengan lisan dan praktek. Tahap keberhasilan tergantung dari kedisiplinan dan wasana atau samskara masing- masing. Dalam K Nilla, Mahanirvana Tantra, 1997, bab VII, : 99, memahami Tantra hendaknya dilakukan dengan pikiran yang jernih dan terbuka, tidak tertindih oleh prasangka-prasangka lebih-lebih penolakan terhadapnya. Bahasa Tantra pada umumnya bahasa Sansekerta yang relative sangat sederhana, namun untuk bisa memahami arti yang sejati dan istilah-istilah tersebut, serta tata caranya diperlukan pengalaman-pengalaman yang langsung harus didapat dari lingkungannya atau dipelajari dari mata pengetahuan yang sudah terbiasa atau membiasakan diri dengan lingkung pandang pengetahuan Hindu. 44 Ini adalah sebuah Doa yang disampaikan Devi Durga yang di tujukan kepada para dewa, supaya umat Hindu untuk tidak menyalahgunakan ajarannya sebagai ajaran yang sesat Tantra merupakan kitab suci untuk zaman kali yuga. Namun, Tantra itu tetap merupakan transformasi dari karmakanda untuk memenuhi tuntutan zaman. Deva siva telah bersabda K Nilla, 1997, mahanirvana tantra : v : ‘ untuk menyempurnakan manusia di zaman kaliyuga, pada ketika manusia menjadi sangat lemah dan hidupnya tergantung pada makanan-makanan saja, maka O Dewi, dirumuskanlah ajaran-ajaran daripada kaula ‘. ` Dengan pengetahuan-pengetahuan dari Tantra akan bisa memahami apa arti dan tujuan dari sebuah ritual, demikian pula memahami berbagai prinsip- prinsip serta praktek-praktek yang bernilai sangat ekspresif dan abjektif. Tapi sayang, dari berbagai sastra Hindu yang ada ajaran tantra paling tidak dikenal, apalagi dipahami. Sebabnya ialah ajaran-ajaran Tantra itu memang sulit, diperlukan tingkat evolusi berfikir untuk bisa menyerap dan memahaminya. Selain itu juga arti terhadap berbagai istilah serta metode yang dilaksanakan terus dijaga kerahasiaannya oleh para penganutnya. Para Tantrika memuja Brahma, tetapi sistem pemujaannya dilakukan dengan sedemikian rupa sehingga banyak bagian pemujaan itu tidak disepakati oleh para penganut ritual orthodox. Itulah sebabnya banyak prinsip-prinsip dan praktek-prakteknya sangat dirahasiakan. Pelajaran-pelajaran tentang Tantra hanya diberikan kepada orang yang mempunyai keyakinan kepada akar dan mengetahui tentang kegunaan cabang- cabang serta daun-daun. Keyakinan-keyakinan dan kemurnian-kemurnian dari jiwa, itulah persyaratan-persyaratan yang diperlukan. Dasar pemikiran seorang Tantra atau juga Tantrik Tantra Sadhana, pada mulanya niskala Brahman yang ada, yang satu itu berkehendak dan menjadi banyak, Aham bahu syam, “ menjadilah aku ini banyak “. Di dalam shakti yang memanifestasikan diri demikian, Brahman disebut apara lebih rendah atau jadi Brahman yang termanifestasikan dan menjadilah dia sebagai subyek pemujaan, di meditasikan memiliki ciri-ciri atau atribut. Dan bahkan, bagi pikiran dan perasaan jiwa yang berjasad, Brahman itu memilki jasad dan wujud. Dia mewujudkan diri dalam bentuk para dewa dan dewi dan juga berada di dalam pemuja sendiri. Perwujudannya itu ialah perwujudan alam semesta raya, termasuk segalanya berada di dalamnya. Sebuah aspek yang penting dalam Tantra, bahwa Tantra adalah sebuah ilmu yang rasional, yang bisa dijelaskan setiap langkahnya dan tidak dituntut dengan keyakinan yang buta. Tantra senantiasa menekankan pada sisi praktikalnya. Tantra ini menyediakan sistem sadhana yang bertahap tergantung kemampuan sadhaka. Ada pujaan atau persembahan yang dilakukan dengan bunga, dupa dan sebagainya. Yang kemudian ada pengulangan mantra. Setelah itu ada Dhyana hingga pada akhirnya akan mencapai penyatuan dengan Brahman. Tantra ini banyak menyerap hal-hal dari Veda, dan yang paling penting dari ajaran Tantra adalah bahwa ia juga memperhitungkan keperluan duniawi seseorang di dunia yang dianggap nyata bukan ilusi. Tantra berisikan ilmu-ilmu yang bersifat subyektif dan juga bersifat obyektif. Oleh karena itulah para Tantrik cenderung melakukan berbagai kegiatan mistik, gaib dan diakhiri dengan ilmu obat-obatan, ramuan, Astrologi, Astronomi dan sebagainya. Jadi dalam kalimat singkat, Tantra memungkinkan seseorang untuk berbuat melalui Dharma atau kebajikan, Artha atau Kama, dan Moksha. Semua yang disebutkan diatas bisa dicapai dengan mantra, yantra dan para Deva, melalui bantuan seorang guru atau pembimbing spiritual. Tanpa ragu lagi Tantra menyatakan bahwa mantra bisa menghasilkan apapun yang diinginkan. Tantra, mantra dan yantra adalah sarana yang ampuh untuk mencapai sesuatu dan para Deva baik golongan tinggi maupun golongan rendah memang benar ada. Melalui para Deva seseorang bisa mendapatkan kekuatan Siddhi dan pada akhirnya akan membawa seseorang pada kesadaran Brahman. 45 Ajaran Tantra telah berkembang semenjak kedatangan orang-orang India menyebarkan agama Hindu plus berbagai sekte. Tentunya perkembangannya di mulai dari keluarga kerajaan terutama yang menyangkut ajaran kerohanian, sangat terbukti pengikut mazab Tantra ini baik aliran Sivaisme maupun aliran Budha Mahayana yang dikenal dengan nama aliran Bajrayana sejenis Tantrayana wamacara atau aliran kiri, kedua aliran ini sama-sama mencari kesaktian, kekuasaan, kekuatan, karisma, bahkan masih semarak sampai sekarang dari tukang becak sampai tingkat presiden, namun pada masa kerajaan, ajaran Tantra ini selalu dipelajari secara rahasia oleh Raja beserta bawahannya. Agama Hindu dengan berbagai sekte-sektenya, telah berkembang di Indonesia, terutama Sivaisme yang sangat dominan. Walaupun demikian, ternyata ajaran Tantra berkembang bersamaan dengan penyebaran Sivaisme. Kalau di cermati telah terjadi pengaruh terhadap ajaran Hindu, hal ini tentu mudah terjadi, karena ajaran Tantra ini pada dasarnya bagian dari Sivaisme. Ajaran Tantra sendiri pada zaman Raja Airlangga berkembang melahirkan aliran Bhairava, perkembangan lebih lanjut di ketahui bahwa, paham Bhairava terbagi dalam tiga aliran yaitu : 45 Made I Murta Wiranata, Filosofi Ajaran Tantra dan Implementasinya Dalam Pendidikan Agama Hindu , Jakarta : 2005 , h 27-34 1. Bhairava Kala Cakra : berkembang di Jawa Timur terutama pada zaman Raja Kertanegara dan juga di Sumatera Barat pada zaman Aditya Waryaman, Bhairava Kala Cakra lebih menampakkan karakter Budhis. 2. Bhairava Bhima : berkembang di sekitar candi Kukuh dan candi Ceta, beberapa daerah di Jawa Timur dan sekitar desa Pejung di Bali yang terkenal dengan arca Bhima di Pura Kebo Edan. 3. Bhairava Heruka : berkembang di sekitar Padang Lawas Aceh, aliran ini menunjukkan pengaruh Tibet, dengan lambang patung manusia berkepala kuda, merupakan ciri religi masyarakat Indonesia asli. Ciri-ciri umum dari aliran tantra ini dapat di lihat dari tanda-tanda patung simbolnya, yaitu : patung devi membawa mangkok yang berikan darah, memegang pisau atau pedang dan berdiri di atas rangkaian tengkorak atau mayat dan ada pula yang berdiri di atas seekor binatang. Pengaruh ajaran Tantra dalam agama Hindu dapat di ketahui dengan jelas, di antaranya seperti praktek-praktek upacara keagamaan yang dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari oleh umat Hindu di Indonesia. Dalam pustaka suci Veda misalnya, dalam upacara-upacara pemujaan sarana upacara yang menonjol pada umumnya adalah soma dan api. Dalam pustaka Bhagavadgita IX Sloka 26, sarana persembahan dinyatakan terdiri dari daun, kembang, buah dan air. Kenyataan yang berkembang sekarang ini dalam setiap upacara agama, selalu ada sarana upacara, yang terdiri dari daging dan ikan. Yang paling sederhana rerasmen yang mempergunakan kacang dan ikan, umumnya ikan asin. Yang lebih menengah banten ‘suci‘, mempergunakan daging bebek, sedangkan banten “berbangkit“, mempergunakan “guling babi“, dan yang paling menonjol adalah banten Caru, serananya mengingatkan panca Tattva dalam Tantra, seperti daging, tetabuhan, gerak, ikan dan kepuasan batin. Mantra-mantra pemujaan yang dipergunakan dalam memimpin upacara oleh para pandita, khususnya di Bali maupun di Indonesia banyak bercorak ajaran Tantra seperti pemujaan atau mantra-mantra yang ditujukan kepada para Deva dan Shakti. Pura dalem dan pura Ulunsuwi adalah ciri khas keberadaan konsep Tantrayana pemujaan Shakti Devi Durga dan Devi Sri Shakti Deva Visnu. 46 Peletakkan paham Tantrisme yang berkembang di Dwi pantara atau bumi Nusantara, di mana satu bukti, penduduk Indonesia telah mengenal sistem pemujaan arwah leluhur, juga telah sadar di luar dirinya ada kekuatan yang tidak nampak, tidak terfikirkan, berhubung peradaban dan pengetahuan pada waktu itu masih rendah, cenderung oleh para peneliti, kepercayaan mereka adalah Animisme, Dinamisme dan Totemisme. Animisme adalah keyakinan akan adanya roh, segala sesuatu yang ada di alam semesta ini, didiami dan dikuasai oleh roh yang berbeda-beda pula. Dinamisme adalah keyakinan adanya kekuatan alam dapat berupa makhluk personal atau tanpa wujud. Totemisme keyakinan adanya binatang keramat yang sangat di hormati. Binatang tersebut di yakini mempunyai kekuatan dan kesaktian. Ciri-ciri konsep Tantra adalah roh, kekuatan alam dan keshaktian. Masuknya aliran Sivaisme dengan konsep Tantra, kepercayaan penduduk asli dengan mudah melebur dirinya dalam bentuk ikatan menjadi agama. Shakti Siva dalam wujud Devi Durga sebagai ibu illahi, dan terus berkembang dari zaman ke zaman dan di kenal dengan nama Saivashidanta. 46 Hariani Santiko, Kedudukan Bhatari Durga Di Jawa Pada Abad X Sampai XV Masehi, Jakarta, 1987, h. 567 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan