Masyumi dan Kabinet Soekiman 1951-1952

partai politik yang tumbuh di masyarakat. Bahaya persaingan politik ini dirasakan juga oleh Masyumi, sehingga dalam manifest membuktikan politik 1947 perlu ditegaskan menambah tersebarnya ideologi Islam dikalangan masyarakat Indonesia, dengan tidak menghalangi pihak lain yang sejalan memperkokoh sendi ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Dan membentengi jiwa umat Islam dari infiltrasi pembebasan ideologi-ideologi yang bertentangan dengan agama Islam, dengan tekat fisabilillah. Kemudian para pemimpin kaum pemuda baik dari perkotaan dan pemuda-pemuda pedesaan bergabung secara resmi dengan tokoh-tokoh Hokokai yang dipimpin oleh Soekarno. Pada bulan Desember 1945 Masyumi juga diperbolehkan memiliki sayap Militer yang bernama Hisbullah Pasukan Tuhan, yang memulai latihannya pada bulan Februari 1946 dan mempunyai 50.000 orang anggota pada masa ahir perang. Kepemimpinan ini, di dominasi oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah dan anggota-anggota kelompok PSII dari masa sebelum perang yang bersifat koopratif secara bersama-sama yang dipimpin oleh Agus Salim. Kemudia para politisi penting Islam dari masa sebelum perang yang bersifat non-koopratif dilangkahi.

B. Masyumi dan Kabinet Soekiman 1951-1952

Setelah M. Natsir mengundurkan diri, maka kabinet Sukiman tahun 1951- 1952 menggantikan posisi Natsir. Kini terlihat Partai Masyumi masih memainkan peranannya sebagai orang nomor satu. Namun nasib sukiman sama dengan Natsir, karna dianggap kabinetnya tidak bertahan lama. Jatuhnya kabinet Sukiman disebabkan oleh adanya perjanjian “san fransisco” 21 yang dianggap cenderung berpihak kepada luar negeri hususnya Amerika, hal ini berarti meninggalkan politik luar negeri bebas aktif, yang telah menjadi komitmen sejak tahun 1945. Sebagaimana kabinet Natsir, kabinet Sukiman-pun menggandeng partai- partai lain untuk duduk didalam kabinetnya. Partai-partai tersebut berasal dari partai Masyumi sendiri, Partai Nasional Indonesia PNI, PIR, Katholik, Buruh, Parkindo, Demokrat dan Parindra. Dalam kabinet Sukiman posisi Perdana Menteri dipegang oleh Sukiman Sendiri, Menteri Luar Negeri oleh Mr. Ahmad Soebardjo, Menteri Keuangan dipimpin oleh Mr. Jusuf Wibisono, Menteri Sosial oleh Dr. Samsuddin dan Menteri Agama oleh K.H. Wahid Hasyim, putra Hasyim Asy’ari yang kesemuanya berasal dari partai Masyumi. Tampak posisi vital seperti Menteri Luar Negeri dan Menteri Keuangan tetap diduduki oleh partai dari partai Masyumi. Pimpinan pusat Masyumi juga tampak tidak merasa selesai dengan terbentuknya Kabinet Soekiman, bukan karena hal-hal dalam kebijakan dikeluarkan Sukiman yang menyebabkan jatuhnya kabinet sendiri. Akan tetapi masalahnya bersangkutan masalah dengan politik luar negeri dan merupakan klimaks perbedaan antara Masyumi dan kabinet, terutama dalam kedua kelompok dalam pimpinan Masyumi, yaitu Perjanjian San Fransisco dan Persetujuan dalam rangka MSA Mutual Scurity Act-undang-undang Keamanan Bersama, dari Amerika Serikat, dan keduanya ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri Subardjo. Pada pertengahan tahun 1951 Indonesia diundang untuk menghadiri Konprensi San Fransisco tentang perjajian perdamaian dengan Jepang. Kabinet Soekiman bersedia untuk memenuhi undangan itu, dan sebuah delegasi dikirim dengan dipimpin oleh Menteri Subardjo. Tanggal 7 September kabinet memutuskan dengan sepuluh suara agar perjanjian tersebut ditandatangani . sepuluh suara tersebut termasuk juga suara para Menteri Masyumi. Hal ini menimbulkan kembali pertikaian dalam kepemimpinan Masyumi. Sukiman berhasil memperoleh persetujaun Dewan Partai tentang persetujuan San Fransisco . Bahkan Sukiman juga berhasil memperoleh keyakianan rekan- rekannya untuk meyakinkan perlunya perjanjian itu ditandatangani. Akan tetapi mengenai hal yang kedua, yairu bantuan Amerika Serikat melalui MSA, Sukiman tidak beruntung sehingga menyebabkan ia jatuh dalam memimpin Kabinet. Pangkal penolakan pihak Natsir terhadap hal ini sebenarnya sejalan dengan pandangan pihak-pihak lain yang menolak persetujuan itu, bahwa Natsir dengan demkian telah meniggalkan politik bebas aktif dengan politik bebas aktif yang memang semenjak 1945 diusahakan menegakkannaya. Tetapi pandangan Sukiman dalam hal ini memang berbeda, Sukiman dalam masa revolusi melihat Indonesia berada dalam daerah pengaruh Amerika Serikat. Oleh karena itu, menjalankan poitik luar negeri yang bebas aktif, ia tidak dapat melepaskan kecenderungan untuk berpihak ke-Amerika Serikat. Dalam hubungan dengan persoalan kabinet, Masyumi menolak kebijaksanaan Subardjo, tidak bermaksud menarik para menterinya dari kabinet. Tetapi ketika partai-partai lain mulai keluar kabinet, tidak ada jalan lain bagi Sukiman selain menyerahkan mandatnya kepada Presiden, yaitu pada tanggal 23 Februari 1952. Setelah kabinet Sukiman berahir, maka mandat diberikan kepada PNI dengan Wilopo, sebagai perdana Menteri pada tahun 1952-1953. dalam Kabinet Wilopo, partai Masyumi juga diberikan jatah empat kursi, yaitu posisi sebagi wakil Perdana Menteri oleh Prawoto Mangkusasmita, Menteri Dalam Negeri oleh Mr. M. Roem, Menteri Pertanian oleh M. Sardjan dan Menteri Agama oleh K.H. fakih Usman. Setelah Wilopo dijatuhkan, mandat tetap masih berada ditangan PNI, kali ini PNI menampilkan Sastroamidjojo I. Dalam kabinet ini, Masyumi tidak dilibatkan. Hanya NU dan Partai Syarikat Islam Indonesia yang mendapatkan kursi, karena NU telah memisahkan diri dari partai Masyumi dengan mendirikan partai sendiri. NU mendapat tiga kursi yaitu Wakil Perdana Menteri II, Menteri Agama, dan Menteri Negara menangani masalah Agraria. Sedangakan PSII mendapatkan dua kursi, yaitu Menteri Perhubungan dan Menteri Negara yang menangani masalah Kesejahteraan Negara. Umat Islam di Indonesia pada tahun-tahun sesudah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 sudah mencoba merumuskan sebuah corak masyarakat dan cita-cita politik yang hendak mereka ciptakan dalam rangka mengisi kemerdekaan nasional. Dalam kaitan umat Islam akan selalu dikaitkan dengan Syariat dalam kehidupan individual dan kehidupan kolektif. Konsep umat Islam tersebut menggambarkan suatu masyarakat beriman yang bercorak universal. Jadi setiap Muslim harus sadar bahwa ia adalah anggota masyarakat yang keterikatan spiritualitas dengan persaudaraan. 43 Sepanjang sejarah, Selama Syari’at tidak pernah diselewengkan, disalah pahami, dan digambarkan secara keliru sedemikian parah melebihi zaman sekarang. Syariat telah dimanfaatkan untuk menjustifikasikan penindasan, kelaliman, ketidak-adilan dan penyelewengan kekuasaan. Islam berisikukuh pada kesataraan manusia secara total tanpa mengenal perbedaan bahasa, budaya, dan ras. Sedangkan Nasionalisme merupakan suprioritas bahasa, budaya, dan ras, nasionalisme menurut loyalitas mutlak rakyat terhadap bangsanya adalah negaranya. Sedangkan Islam menurut loyalitas dan ketundukan hanya kepada Tuhan Dengan kata lain yang disebut dengan sekuler, dimata seorang Muslim, tidak dapat dilepaskan dari persoalan Iman. Dari sudut pandang ini, cita-cita kekuasaan politik menyatu dengan wawasan moral sebagai pancaran Iman seorang Muslim. Sedangkan politik tidak bisa dilepaskan dari ajaran etika yang bersumber dari wahyu, bahkan kekuasaan politik merupakan kendaraan untuk merealisasikan pesan-pesan wahyu. Dilihat dari fenomena lain, umat Islam Indonesia adalah terpengaruh oleh cita-cita politik barat sekuler, yang berpandangan bahwa kegiatan politik semata-mata kegiatan duniawi, sedangkan agama merupakan persoalan pribadi yang tidak perlu dikaitkan dengan masalah politik. 43 DR. Ahmad Syafi’I Ma’arif, Islam dan Politik Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965 Jakarta, P.T. Gema Insani Press, 1996 h. 10 Menurut data sosiologis, pendukung utama partai Masyumi adalah Muhammadiyah dan NU. Jelas secara ideologi, Masyumi adalah kelanjutan dari MIAMI Majlis A’la Muslimin Indonesia, yang mengkhususkan perjuangan di bidang politik dalam rangka menegakkan ajaran Islam dalam wadah Indonesia merdeka. Kehadiran partai Masyumi merupakan satu- satunya partai politik umat Islam di Indonesia, kemudian tampil sebagai pembela demokrasi yang tangguh dalam negara republik Indonesia. Dalam kongresnya bulan November tahun 1945, yang tercatat sebagai ketua panitia adalah Muhammad Nastir dengan anggota-anggota: Soekiman Wirjosendjojo, Abikoesno Tjokrosujoso, A. Wahid Hasyim, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Sri Paku Alam VIII, dan A. Gaffara Ismail. Dalam kongres diputuskan dengan dua prenyataan sikap. Pertama, Masyumi adalah satu-satunya partai poltik Islam di Indonesia. Dua, Masyumi yang akan memperjuangkan politik umat Partai Masyumi yang di dirikan tahun 1945 dan terpaksa bubar pada tahun 1960 dapat dikatakan sebagai partai Islam terbesar di dunia. Partai ini juga mengemukana dialog yang produktif antara Islam dan demokrasi. Sejarah partai itu, dilihat dari kegiatan maupun programnya, yang membawakan kita pada suatu pertanyaan yang sulit namun menarik mengenai identitas Islam dihadapan hal yang merangkap jabatan, bahwa realitas terdiri dari banyak subtansi. Selama massa penuh gejolak yang di alami di Indonesia, partai Masyumi menyusun dan mempertahankan suatu ideal demokrasi Islam yang merupakan pergantian dari pertarungan politik dan parlementer tentang tuntutan agar negara Islam didirikan.

C. Masyumi dan Kabinet Burhanuddin Harahap 1955-1956.