Latar belakang masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah

Wacana mengenai Pergerakan Masyumi 1945-4960 dalam diskursus perpolitikan di Indonesia sejak dahulu memang tidak pernah habis untuk di bahas. Perdebatanya dalam kaitan ini secara umum mengacu pada gagasan dan sentiment yang membentuk kerangka konseptual tentang identitas nasional yang sering hadir bersamaan dengan identits yang lain, seperti: agama, suku, bahasa, teretorial dan kelas. Oleh karena itu, pergerakan Masyumi adalah faham yang meyakini kebenaran dan pikiran, bahwa setiap bangsa seharusnya bersatu dalam komunitas politik yang dikelola dalam kehidupan bernegara. Benturan ideologi peran partai Masyumi belum berahir, tidak sedikit orang menilai bahwa peran Partai Masyumi dari beberapa Kabinet tidak bertahan lama, kaena mosi tidak percaya dari bebrapa anggota parlemen menjatuhkan kabinet-kabinet tersebut. Peran partai Masyumi sebagai kabinet tidak bisa hidup secara berdampingan secara harmonis. Walaupun sebagian umat muslim lain menganggap tidak ada sebuah pertentangan diantara keduanya. Pro-kontar tidak hanya berhenti disini saja, belum kita bahas lebih dalam, pertikaian ternayta bukan saja berlanjut dalam aspek politik, ekonomi, soasial, dan budaya, akan tetapi sampai keranah sejarah. Hitam-putihnya sejarah tidak lepas dari siapa yang berkuasa membuat Meskipun partai Masyumi mendapat kesempatan memimpin kabinet, bukan berarti Masyumi memonopoli dalam menetukan anggota-anggota kabinetnya. Contoh kabinet Natsir merangkul berbagi partai antara lain dari: Masyumi, PIR, Demokrat, PSI, Parinda, Katholik, Parkindo, dan Partai Syarekat Islam Indonesia. 1 Banyak literatur barat, mencatat sejarah kebangkitan nasionalsime sering kali dikaitkan dengan kebangkitan para pemimpin sekuler, termasuk Budi Utomo dan Partai Nasional Indonesia-nya Soekarno. Nasionalisme diyakini sebagai sebuah barang Impor dari Barat, dan para pemimpin di didik secara sekuler untuk memperkenalkan konsep tersebut di Negara Indonesia. Disinilah letak sejarah berkemabangnya sebuah Negara, tidak heran apabila banyak masyarakat yang menentang. Istilah nasionalisme yang telah diserap ke dalam bahasa Idonesia memiliki dua pengertian: paham ajaran untuk mencintai bangsa dan negara sendiri dan kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama untuk mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa tersebut. Pemahaman nasionalisme dari penulis adalah sebuah upaya untuk memperjuangkan dan mewujudkan sebuah negara-bangsa nation state. Orientasi kenegaraan nasional dari konsep nasionalisme merupakan gerakan kemerdekaan dari dominasi kolonial, kemudian sebagai gerakan demokrasi. Oleh karena itu nasionalisme memiliki dua dimensi yang saling berkaitan, 1 . Haniah Hanafi, Partai-Partai Islam di Indonesia, Hasil Penelitian FUF-UIN Jakarta, 2005. H. 44 yaitu dimensi internal dan eksternal. Dimensi internal merujuk pada kemampuan domestik untuk menciptakan suasana yang kondusif bagi pembangunan nasional, terutama konsensus nasional untuk memperkecil bahkan meniadakan konflik-konflik internal itu yang lebih penting. Kemudian dimensi ekstrenal adalah mencerminkan kemampuan nasional suatu negara- bangsa dalam menjalankan hubungan luar negerinya dengan berbagai aktor negara-negara tetangga. Dengan demikian nasionalisme merupakan faktor determinan dalam politik luar negeri suatu negara yang akan memepengaruhi efektifitas perpolitikan luar negeri. 2 Pemikiran dan pergerakan nasionalisme maupun Islam bisa dilihat dari kebangkitan nasiomalisme dan Islam di Indonesia pada abad ke-20. sebagai mana sejarah mencatat bangkitnya pergerakan di Indonesia awal abad kedua puluh ditandai dengan perubahan kesadaran politik yang tumbuh dengan subur, yang tepatnya pada tahun 1920-1930, terjadi pergolakan pemikiran untuk mencari nilai dasar atau ideologi untuk memperjuangkan kemerdekaan atau dalam bahasa Taufik Abdullah sebagai “dasawarsa ideologi” dalam sejarah pergerakan di Indonesia. 3 Nasionalisme berasal dari kata Nation yang dipadankan dengan bangsa. Dalam bahasa Indonesia, bangsa mempunyai dua pengertian yaitu pengertian antropologis-sosiologis, dan pengertian politis. Dalam pengertian antropologis dan sosiologis bangsa adalah suatu masyarakat yang merupakan 2 Ali Mahsan Musa, Nasionalisme Kiai kontruksi social berbasis agama, Yogyakarta, PT. Lkis Pelangi Aksara, 2007 h. 32 3 Adihiyaksa Dault, Islam dan Nasionalisme, Jakarta, PT.Pustaka Al-kKausar. 2005, cet- 1. h.36. suatu persekutuan hidup yang berdiri sendiri dan masing-masing angggota merasa sebagai satu kesatuan Ras, Bahasa, Agama, Sejarah, dan Adat Istiadat. Sedangkan yang dimaksud bangsa dalam politik adalah masyarakat dalam suatu daerah yang sama dan tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai suatu kekuasaan tertinggi, baik keluar maupun kedalam. Gelombang nasionalisme pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 yang melanda negara-negara Islam, telah memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perpolitikan umat Islam. Dalam kaitan ini, secara umum istilah nasionalisme mengacu kepada gagasan yang membentuk kerangka konseptual tentang identitas nasional yang hadir bersama identitas lain seperti, Agama, bahasa, suku, teritorial, dan kelas. Sehingga negara bangsa nation state menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari umat Islam 4 . Oleh karena itu, nasionalisme atau kebangsaan adalah faham dan meyakini kebenaran, bahwa kebenaran setiap bangsa harus bersatu padu dalam komunitas politik yang dikelola secara rasional dalam kehidupan bernegara. Memasuki abad-21, serbuan globalisasi mengguncang sendi-sendi identitas nasional. Proses globalisasi yang berlangsung cepat, cendrung melenyapkan batas-batas negara dan nasionalisme. Bentuk perubahan sosial yang menyertai Era globalisasi tersebut, mempengruhi cara pandang masyarakat terhadap kehidupan dan semesta. Tatanan globalisasi ini semakin menjauhkan manusia dari kepastian moral dan nilai luhur yang telah dipegang-teguh sebelumnya. 4 Hans Kohn, Nasionalisme Arti dan Sejarahnya terj, Jakarta: PT. Pembangunan dan Penerbit Erlangga,1984,h. 108 Jadi benarkah nasionalisme telah telah tiada? Dalam karya klasik Daniel Bell, The End of Ideology, nasionalisme adalah ideologi intelektual lama abad ke-19, dan ketika ideologi marxisme telah lumpuh exhausted dalam masyarakat Barat, terutama Eropa Barat dan Amerika, ideologi-ideologi baru semacam ini, seperti industrialisasi, modernisasi, Pan-Arabisme, warna kulit etnisitas, dan nasionalisme justru menemukan momentum, kesadaran dan pemberdayaan menurut keperluan yang dihadapi, khususnya di negara- negara yang baru bangkit di Asia Afrika seusai perang dunia II. Jadi, nasionalisme memang surut di negara-negara maju, namun yang jelas nasionalisme tidak mati. 5 Pada dewasa ini di Indonesia, ada isu mengenai nasionalisme yang semakin memudar, indikasi seperti ini bisa dilihat dari fenomena yang berkembang pada tataran masyarakat grass root terutama pada generasi muda sedikit sekali dari salah satu mereka yang mengerti makna nasionalisme, terlebih mengaplikasikan nilai-nilai nasionalisme dalam kehidupan keseharian dalam bingkai kebangsaan. Komposisi Indonesia sebagai bangsa yang sangat besar, baik dari segi luas wilayah negara teritorial, ragam Agama, multi kultural dan multi etnis, yang meniscayakan terbangunnya nasionalisme secara kokoh. Kondisi yang sangat rentan tersebut di perparah dengan adanya mekanisme globalisasi dunia, yang membuat jarak geografis antara negara yang semakin tipis atau mengecil. Jika hal tersebut tidak dihindari atau diwaspadai dan diambil 5 Azyumardi Azra,Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000, h. 105. tindakan preventif sedini mungkin, maka dapat berimbas hilangnya identitas suatu masyarakat bahkan negara. Salah satu hal penting yang dilakukan dalam pergerakan nasional adalah munculnya pencarian yang dilakukan oleh sekian banyak warga yang terdidik dari berbagai daerah yang berbeda, namun dalam lingkup wilayah yang sama yaitu Indonesia, dari Sabang sampai Meraoke. Pencarian identitas seperti ini ditopang oleh kecerdasan serta keberanian yang kuat. Hal seperti ini ditandai oleh berdirinya Masyumi, Karena organisasi ini berkaitan dengan tingkah laku dan kebudayaan, serta tujuannya adalah untuk memersatukan, dan menegakkan kedulatan republik Indonesia yang berlandaskan agama Islam serta memberikan pendidikan kepada warga negara dan anak-anak bangsa. Cara pandang terhadap sejarah sebuah pergerakan, baik bersifat sosial, pendidikan, maupun politik, dengan melihat motif atau tujuan dan latar belakang sosio-ideologis-politis, gerakan tersebut adalah sangat penting. Dengan begitu, maka akan diketahui secara jelas bagaimana paradigma, asumsi nilai, pemikiran dan ideologi untuk mencapai tujuan yang diinginkan, dengan gerakan tersebut dibangun oleh tokoh pendiri atau pengambil inisiatif, dalam konteks ini, kata kunci nasionalisme adalah supreme loyality terhadap bangsa. Kesetiaan itu muncul karena adanya kesadaran akan identitas yang berbeda dengan yang lain. Signifikansi nasionalisme dewasa ini pada dasarnya terletak pada kenyatan bahwa di dalam sebuah negara terdapat berbagai kelompok yang berbeda. Nasionalisme dipandang sebagai kekuatan perekat agar negara tidak bercerai berai. Dapat kita lihat dalam organisasi yang berkaitan dengan tingkah laku dan kebudayaan, warga yang terdidik dapat menggerakkan perpolitik dengan tujuan untuk kemerdekaan, dan membebaskan dari penjajahan demi warga dan negara Indonesia. Dengan adanyan nasionalisme masyarakat Indonesia pada masa penjajahan yang perlu diperhatikan adalah politiknya, yang terpusat pada tercapainya kemerdekaan, dan yang lebih komitmen adalah kepada ajaran Islam. 6 Sehingga ahirnya Masyumi dilahirkan, karena adanya pengumuman pemerintah tanggal 3 Oktober 1945 yang menghendaki agar rakyat mendirikan partai. Terjadilah perbedaan pendapat, ketika akan melahirkan Masyumi, akhirnya pada tannggal 7 dan 8 November 1945 diadakan Muktamar Islam Indonesia di Yokyakarta yang dihadiri oleh hampir semua tokoh berbagai organisasi Islam dari masa sebelum perang sampai masa kependudukan Jepang. Ahirnya muktamar memutuskan mendirikan Majlis Syuro pusat bagi umat Islam Indonesia dan Masyumi dianggap sebagi satu-satunya partai politik bagi umat Islam. Politik dan agama sudah meluas di Dunia muslim lainnya, kemudian Islam menjadi salah satu kekuatan dalam peta kekuatan politik. Sehingga perkembangan politik pun pararel dengan kebangkitan reformisme Islam, yang 6 Herbert Feith, Lance Caslest, Pemikiran Politik Indonesia, 1945-1965, Jakarta, LP3S, 1988, h. 137. di lahirkan dalam perputaran keanggotaan agar Peran partai Masyumi dapat dilihat sebagai wakil uamt, tanpa ada yang merasa tidak terwakili. Salah satu faktor yang berkaitan dengan persoalan politik umat Islam, adalah pandangan umum seperti pendapat Oliver Roy, political Imagination imaginasi politik dalam pengertian cakrawala, baik oleh sebagian besar komunitas Islam maupun non-Islam. Imaginasi politik tersebut berujung pada tumbuhnya suatu keyakinan akan ketidakterpisahan antara, Wilayah Agama, Hukum, dan Politik. Yang ditegaskan oleh Oliver Roy dan para pengamat politik Islam lainnya adalah memiliki elemen-elemen yang tidak sepenuhnya bisa direkonsiliasikan dengan pembangunan politik modern. Politik modern yang dimaksud adalah sebuah struktur, sistem, tatanan, atau konstruksi politik yang berjalan diatas logikanya sendiri. Tesis “berjalan diatas logikanya sendiri” antara lain ditandai oleh dianutnya ideologi negara-bangsa nation- state sebagai sebuah struktur, sistem, tatanan atau konstruksi politik yang sekuler. Imajinasi politik diatas adalah kenyataan kehidupan politik yang berjalan menurut logikanya sendiri sehingga menimbulkan gesekan yang tidak mudah untuk disintesiskan. 7 Indonesia merupakan panggung politik yang cukup baik untuk menggambarkan tingkat sintesis antara Islam dan nasionalisme dalam politik modern. Tiga priodisasi politik Indonesia dengan jelas mencerminkan gesekan-gesekan yang masih belum terselesaikan secara baik, sehubungan dengan politik umat Islam Vis a Vis kehidupan politik nasional Indonesia. 7 Abdullah Nata, Azyumardi Azra, Problematika Politik Islam di Indonesia, Jakarta, P.T. Grasindo bekerja sama dengan UIN Jakarta pers 2002 . hal. 155-158. Upaya seperti ini hendaknya tidak dilihat sebagai “pemolitikan agama” yaitu menjadikan isu-isu agama sebagai komoditas politik untuk memperoleh kekuasaan dan semacamnya, akan tetapi lebih pada “pengamanan politik” yaitu menjadikan agama sebagai pengawas para pelaku politik, agar tidak terjebak dalam politik Machiavelinisme, yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Hal inilah yang menjadi acuan penulis untuk membahas tentang Pergerakan Masyumi di Indonesia 1945-1960. Masyumi merupakan partai politik yang mempunyai Tiga lapangan perjuangan yaitu: Pertama, memperluas pengetahuan dan percakapan umat Islam Indonesia dalam perjuangan politik. Kedua, memperkokoh barisan umat Islam untuk berjuang mempertahankan agama, dan kedaulatan negara. Dan yang Ketiga adalah melaksanakan kehidupan masyarakat berdasarkan Iman dan Taqwa yang berprikemanusiaan, persaudaraan dan persamaan hak menurut ajaran Islam. Priode pertama mencakup pengalaman 1945-1947 yaitu gesekan ideologis dan politis. Hal ini membawa akibat terpinggirnya peran politik umat Islam. Yang bergilir sejak awal kemerdekaan bersifat Inimical bermusuhan dengan konstruksi ideologi nasional oleh karena itu, keabsahan nasionalisme menemukan alasan yang bersifat kualitatif dengan adanya prinsip kewarganegaraan. Prinsip seperti ini memiliki daya reduksi yang sangat besar dalam memenuhi hasrat setiap komunitas atas persamaan. Dalam perkembangannya, prinsip kewarganegaraan mengalami proses pertumbuhan yang luar biasa sehingga dimaknai sebagai jantung dari konsep nasionalisme. Priode kedua 1947-1948 adalah transformasi pemikiran dan praktek politik umat Islam terjadi dalam situasi kehidupan politik nasional besifat tidak kompetitif. Karena itu tranformasi hanya terjadi sebagian pemikir dan pelaku politik. Adapun ranah struktur, adalah ketidak adanya persetujuan perundingan tentang renvill, yang sering kali dipahami sebagai bentuk perpolitikan, atau strategi politik. Dalam pengertian ini, Partai Masyumi merupakan bagian dari fenomena politik. Oleh karena itu politik selalu berkaitan dengan kekuasaan, bahwa kekuasaan selalu berkaitan dengan persoalan pengendalian negara, maka partai Masyumi selalu berkenaan dengan bagaimana meperoleh dan menggunakan kekuasaan tersebut. Priode ketiga 1950-1951 yaitu dimulainya demokrasi parlementer berdasarkan UUDS 1950, massa yang kemudian sering di asosiasiakan dengan priode kehidupan demokrasi ini membuat kehidupan sosial-budaya, ekonomi- politik, hingga Agama, menjadi kompetitif persaingan. Situasi seperti ini seolah-olah apa saja dapat dilakukan. Semangat inilah yang kemudian melahirkan reformalisasi politik Islam. Dengan itu, formalisasi pertama mengambil bentuk menjadikan Islam sebagai simbol dan asas partai. Islam dalam perkembangan ini tidak lagi bertahan sebagai identitas kultural, namun bersamaan dengan munculnya rasa nasionalisme yang membara, Islam menjadi ide politik yang terbuka untuk kemerdekaan bangsa. Oleh karena itu hubungan Islam telah menjadi kesadaran politik yang sangat kuat. Di Indonesia yang notabennya adalah penduduknya mayoritas Islam, mempunyai harapan yang sangat tinggi, dalam mengisi kemerdekaan dengan rakyat yang sejahtera, hal seperti ini masuk akal karena kaum muslim dimana- mana menghadapi kemiskinan. 8 Sampai sekarang pergerakan Masyumi 1945-1960 akan terus menjadi wacana politik umat Islam di tengah-tengah modernisasi dan globaisasi yang hampir meruntuhkan identitas-identitas negara dan budaya nasional. Atas dasar inilah yang melatar belakangi penulis untuk mengambil tema, “PERGERAKAN PARTAI MASYUMI 1945-1960” sebagai judul skripsi. Dalam berbagai skripsi yang berjudul tentang Masyumi, baik dari pembentukan, program kerjanya maupun yang lain sudah ada disebutkan, maka penulis lebih mengarahkannya kepada Pergerakan. Sebagai salah satu rujukan penulis adalah dari matarantai sejarah, “keputusan politik” yang mengenai titik kebangkitan nasional yang masih dan pasti memunculkan pendapat lain, suara-suara beda yang harus di dengar dan dipertimbangkan. Karena kejujuran suatu sejarah akan sangat tergantung sejauhmana kita bersedia menghiraukan dan membahas tentang kenyataan-kenyataan lain yang lebih mungkin. Selama beberapa tahun silam memang perbincangan masalah pergerakan Masyumi dalam persepektif Islam merupakan hal yang sangat umum kita dengar maupun kita baca, akibatnya banyak para aktifis Islam yang membuat jarak terhadap permasalahan ini. Sehingga konstribusi penulis memahami gerakan Islam dan Masyumi masih harus ditelusuri, apa yang menyebabkan berbeda dengan dari gerakan-gerakan tersebut. 8 Moeslim Abdurrahman, Islam yang Memihak, Jogjakarta, P.T. LKiS Pelangi Aksara, 2005 h. 28 Dengan demikian, tidak kecil kemungkinan maknanya dalam sejarah Indonesia, adanya Masyumi yang sebelumnya tidak dipahami seperti ini, sekarang banyak kalangan Mahasiswa, maupun kalangan-kalangan umum, yang mempunyai kepedulian yang sangat besar, dan rela berkorban dengan harta, nyawa, ilmu, waktu, dan apa saja demi kemajuan bangsa. Tulisan ini adalah salah satu bentuk yang mengingatkan, bukan berarti gangguan bagi sifat kebangsaan dan gerakan-gerakan Masyumi. Berangkat dari etos kebangkitan nasionalisme kebangsaan Indonesia, maka penulis menyusun dengan sederhana dan keterbatasan, namun dengan harapan semoga menjadi bahan penyumbang penyadaran bagi mahasisiwa yang masih aktif di perkuliahan, demi menyongsong era kebangkitan nasional yang baru. Tentu sangat sederhana, tulisan penulis ini hadir dihadapan khalayak pembaca. Akan tetapi besar manfaatnya bila kita sama-sama memberi respon positif atas sekripsi yang penulis uraikan, dengan judul “Pergerakan Partai Masyumi di Indonesia 1945-1960” Insya Allah memberikan manfaat besar untuk kemajuan bersama.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah