Masyumi dan Kabinet Syahrir 1945-1947

meragukan kejujuran Masyumi dalam membela dan mempertahankan prinsip- prinsip demokrasi dalam suatu pluralisme ideologi, sekalipun umat Islam secara kuantitatif merupakan mayoritas mutlak dari penduduk Indonesia. Mayoritas tidak berarti seluruhnya menjadikan Islam sebagai ideologi politik. Secara ideologis, hanya partai-partai saja yang di kategorikan sebagai wakil Islam pada waktu itu, karena ideologi itu telah mempersempit ruang gerak Islam.

F. Masyumi dan Kabinet Syahrir 1945-1947

Walaupun mayoritas penduduk Indonesia adalah Islam, seperti yang sudah dikatakan diatas, kedudukan uamt Islam pada masa permulaan revolusi itu tidak dapat disebut kuat. Hal ini tercermin dalam kabinet dan ,KNIP. Hanya dua orang menteri yang mewwakili mereka dalam kabinet presidensiil, yang dibentuk pada bulan Agustus 1945 dan hanya 20 dari 137 anggota KNIP. Kedua menteri itu adalah Abikusno Tjokrosujoso Pekerja Umum dan K.H. A. Wahid Hasyim Menteri Negara dalam badan pekerja KNIP yang jumlahnya 15 orang dan dibentuk oktober 1945, hanya dua orang yang mewakili umat islam duduk diparlemen yaitu Wahid Hasyim dan Syarifuddin Prawiranegara, namun setelah perombakan bulan berikutnya yaitu Syarifuddin, Jusuf Wibisono dan Muhammad Natsir, dari 17 orang ketika keanggotaan badan pekerja diperluas menjadi 26 pada bulan Desember denagn maksud memasukkan juga wakil-wakil daerah hanya 4 orang yang mewakili umat yang keempat adalah Muhammad Zein Djambek. Dengan demikian, Masyumi yang merupakan satu-satunay partai Islam ketika itu, dan merasa pembagian sedemikian kuarang adil, tidak mendesakkan tuntutan perubahan apapun. Partai ini sungguh mengharapkan porsi yang lebih besar, lebih menekankan perlunya persatuan serta pertahanan kemerdekaan dari pada mempersoalkan kepentingan diri. Oleh karena itu juga, partai ini tidak setuju dengan perubahan sistem kabinet presidensiil ke kabinet parlementer. Dalam kabinet ini hanya seorang anggota Masyumi yang duduk, yaitu H.M. Rasyidi, yang bertugas menghadapi persoala-persoalan agama. Pada tanggal 3 Januari 1946 Muhammad Natsir dari Masyumi diangkat sebagai menteri penerangan, dan ketika Departemen Agama diadakan H,M. Rasyidi sebagai Menterinya. Tetapi baik Natsir maupun Rasyidi turut serta dalam kabinet sebagai perseorangan bukan sebagai wakil partai. 28 Kekecewaan Masyumi tentang perubahan sistem kabinet telah dikemukakan oleh Natsir dalam sidang KNIP dengan sebuah manifesto. Karena partai Masyumi menekankan pendapat bahwa presidensiiilakan lebih menjamion stabilitas pemerintahan, bahwa perubahan melanggar Undang- Undang Dasar. Alasan perubahan yaitu untuk “membersihkan kalangan pemerintah dari orang-orang yang telah bekerja sama dengan jepang” dalam masa pendudukan, tidak dapat diterima. Menurut Masyumi, sebagian besar dari anggota Kabinet Syahrir merupakan orang-orang yang bekerja sama dengan Jepang, dimasa pendudukan, dan dengan Belanda pada masa penjajahan. Partai Masyumi berpendapat bahwa segala perubahan, baik yang 28 Deliar Noer, Partai Islam Di Pentas Nasional, Jakarta, P.T. Pustaka Utama Grafiti, 1987. H. 154 berkenaan dengan Undang-Undang Dasar maupun yang mengenai kabinet dapat dilakukan seterlah diadakan pemilihan umum. Tabel Kabinet Syahrir 1945-1946 Perdana Menteri Sutan Sjahrir Menteri Luar Negeri Sutan Syarir Menteri Dalam Negeri Sutan Syahrir Wakil Menteri Dalam Negeri Mr. Harmani Menteri Keamanan Rakyat Mr. Amir Syarifuddin Wakil Menteri Keamanan Rakyat Abdul Murad Menteri Kehakiman Mr. Soewardi Menteri Penerangan Mr. Amir Syarifuddin Menteri Keuangan Mr. Sunarjo Kolopaking Menteri Kemakmuran Ir. Darmawan Mangunkusumo Menteri Perhubungan Ir. Abdul Karim Menteri Pekerjaan Umum Ir. Putu Hena Menteri Sosial Dr. Adji Darmo Tjokronegoro Menteri Pengajaran Mr. Dr. T.S.G. Mulia Menteri Kesehatan Dr. Darma Setiawan Menteri Negara H. Rasjidi Cara pandang terhadap sejarah sebuah gerakan, baik bersifat sosial, pendidikan, maupun politik, maka harus melihat motif atau tujuan kondisi sosio-ideologis-politis gerakan tersebut adalah sangat dianjurkan. Maka akan di ketahui secara jelas bagaimana paradigma asumsi nilai, pemikiran, dan ideologi untuk mencapai tujuan gerakan yang akan dijalankan. Pada tanggal 2 Oktober 1946 keadaan mulai berangsur damai, kekuasaan pemerintah diserahkan kembali oleh presiden kepada kabinet Syahrier. Yang terdiri dari 30 anggota ddan bersifat nasional. Yang termasuk didalamnya enam anggota Masyumi, yaitu Muhammad Roem Menteri Dalam Negeri, Jusuf Wibisono Menteri Muda Kemakmuran, Syarifuddin Prawironegoro Menteri Keuangan, Muhammad Natsir Menteri Penerangan, dan Wahid Hasyim Menteri Agama. Seperti halnya kabinet-kabinet sebelumnya, partisipasi mereka dalam kabinet bersifat perseorangan, bukan atas nama partai. Partai Masyumi sendiri tidak keberatan atas hal ini. Soekiman selaku ketua umum partai, ketika ditemui oleh Syahrir pada bulan September, telah memberi nama-nama anggota Masyumi yang tidak ditolak oleh partai apabila diangkat menjadi menteri. Akan tetapi pada pertemuan dengan Syahrir itu Soekiman menekankan bahwa menurut Masyumi, suatu kabinet koalisi merupakan kabinet yang paling dapat diterima dan dapat menyelesaikan kesulitan yang dihadapi negara. Kabinet Syahrir berhasil mengadakan persetujuan dengan pihak Belanda yang dikenal dengan nama persetujuan Linggarjati. Kedua perutusan Indonesia dan Belanda ditadatangani di Cirebon, pada tanggal 15 November 1946. tetapi persetrujaun tersebut diterima dengan permusuhan oleh partai- partai pada umumnya, termasuk Masyumi. Kebanyakan anggota Masyumi yang beranggapan bahwa banyak bagian persetujuan itu menimbulkan keraguan, oleh sebab itu bisa menyebabkan tafsiran yang bebeda oleh kedua puhak. Termasuk juga Muhammad Roem, salah satu anggota inti dalam delegasi indonesia da seorang tokoh Masyumi yang mulai menanjak karirnya melihat persetujuan tersebut sebagai pengakuan de fakto atas Republik Indonesia atas Belanda. Suatu sidang pleno Masyumi di Jogjakarta tanggal 20- 21 November, dan yang dihadiri oleh berbagai ketua departemen partai, serta mewakili Musliat, Sabilillah, Hizbullah, Majlis Syuro, dan anggota Istimewa Muhammadiayah, NU, dan PUI. Menolak untuk menerima persetujuan tersebut. Melihat kemungkinan gagalnya persetujuan linggarjati, pada tanggal 6 Juni 1947 Masyumi mengeluarkan manifesto politik, yang tam[paknya memberi maksud penerangan kepada masyarakat serta dunia luar tentang apa yang ia tempuh bila sekiranya dipercaya memimpin kabinet. Manifesto lebih menekankan pada kekuatan diri dalam berhadapan dengan Belanda, bahkan sebaliknuya Syahrir dilihat sebagai menggantungkan diri pada kemauan baik belanda serta dunia internasional. Tekanan pada kekuatan diri itu bisa diartikan bahwa pada ahirnya kekrasan turut berbicara. Masyumi benar-benar menolak kebijaksanaan kabinet Syahrir, apalagi setelah lebih banyak konsesi diberikan kepada pihak Belanda. Pendirian yang sama dari banyak partai lain menyebabkan Syahrir menyerahkan mandatnya tanggal 27 Juni 1947.

G. Masyumi dan Kabinet Amir Syarifuddin 1947-1948