Keanggotaan Partai Masyumi MASYUMI

kelihatan sangat patriotik dan nasionalistik. Inilah yang perlu di garis bawahi, sebagai kemantapan judul sekripsi yang penulis uraikan. Tujuan Masyumi pada kongres Umat Islam itu adalah “menegakkan kedaulatan Republik Indonesia dan Agama Islam”, dengan senantiasa melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan kenegaraan. Pencapaian tujuan itu kemudian merumuskan program kerja sebagaimana terbaca pada paparan berikut:

D. Keanggotaan Partai Masyumi

Keanggotaan partai Masyumi dibagi menjadi dua macam: 1. Perorangan: untuk menjadi anggota perorangan harus berumur 18 tahun atau sudah berkeluarga, tidak boleh merangkap anggota partai lain, dan setiap anggota mempunyai hak suara. 2. Organisasi anggota Istimewa: anggota ini berdasarkan organisasi- organisasi, mempunyai hak nasehat atau saran. 17 Adanya dua macam keanggotaan ini dengan alasan untuk memperbanyak anggota dan agar Masyumi dapat dilihat sebagai wakil umat, tanpa tidak ada yang merasa terwaili. Pada mulanya yang menjadi anggota istimewa Partai Masyumi adalah Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, Perserikatan Umat Islam dan Persatuan Umat Islam, ahirnya bersatu menjadi Persatuan Umat Islam Indonesia yang bersifat tradisional dalam bidang agama, tetapi modern dalam bidang keduniaan, sehingga memudahkan mereka untuk bekerja sama dengan kalangan modernis. 17 Dra. Haniah Hanafi, M.si, Partai-Partai Islam di Indonesia, Hasil Penlitian FUF-UIN Jakarta, 2005 Selain keempat organisasi tersebut, keanggotaan Masyumi mulai bertambah dengan masuknya Persisi Bandung pada tahun 1948 dan Al- Irsyad Jakarta pada tahun 1950. dari Sumatra Utara ikut pula bergabung, yaitu Al-Jamiatul Wasliyah dan Al-Ittihadiyah dari Aceh, serta PUSA ikut bergabung pada tahun 1949-1953. orgaisasi-organisasi Islam didaerah pendudukan juga ikut bergabung dengan menjadi cabang Masyumi di daerah. Pada awalnya Masyumi kelihatan solid dan terkenal dengan integritas pribadi yang dimiliki oleh para pengurus Masyumi, namun ketika terjadi konflik antara Masyumi dengan Soekarno masalah Pemberontakan Pemerintah Revolusioner RI, maka para anggota istimewa Masyumi melepaskan ikatan dengan Masyumi. Selain anggota perorangan dan istimewa sebagai pendudung partai ini, Masyumi mencoba menggalang dukungan melalui “anak organisasi” 17 yang didirikan, seperti Muslimat, Persatuan Dagang Islam Indonesia, Persatuan Tani Indonesia, yang didirikan masa revolusi. Persatuan Nelayan Islam Indonesia, Persatuan Buruh Islam Indonesia didirikan pada tahun 1950-an. 18 Partai Masyumi yang didirikan pada tahun 1945 dan terpaksa bubar pada tahun 1960 dapat dikatakan pula partai Islam terbesar di dunia. Partai Masyumi juga mengemukakan dialog yang produktif antara Islam dan demokrasi, sejarah partai ini dapat dilihat dari kegiatan maupun program- programnya mengenai identitas Islam dihadapan pluralisme politik. Selama massa begejolak yang dialami Indonesia, partai Masyumi menyusun dan 18 Haniah Hanafi, Partai-Partai Islam di Indonesia, 32-34 mempertahankan suatu demokrasi Islam yang merupakan subtitusi dari pertarungan politik dan parlementer tentang tuntutan agar Negara Islam didirikan di Indonesia. 19 Pemilu 1955, adalah pemilihan umum yang pertama kali dilaksanakan semenjak Indonesia merdeka, pada awalnya pemilu direncanakan pada tahun 1946, enam bulan setelah kemerdekaan. Nemun situasi yang tidak memungkinkan karena adanya perang kemerdekaan akibat agresi Belanda I dan II, jadi pelaksanaan pemilu tertunda. Pada saat memasuki demokrasi parlementer, setiap kabinet dalam programnya mencantumkan pelaksanaan pemilu. Namun hal ini tidak terjadi karena perebutan kekuasaan yang mengakibatkan kabinet jatuh-bangun, sehingga menimbulkan dampak tidak terlaksananya program pelaksanaan pemilu. Kabinet Hatta Desember 1949-Agustus 1951 pada mulanya berencana untuk menyelenggarakan pemilu sebagai program kerjanya, sehingga suatu dewan konstituante hasil pemilihan akan menentukan apakah Negara RI, mengambil bentuk suatu Negara Federal atau Negara Kesatuan. Namun dorongan kuat dari rakyat Indonesia untuk Negara kesatuan melalui Mosi Integrasi Nastir, ahirnya membatalkan pemilu. Kabinet Nastir September 1950-Maret 1951 adalah menerusakan kebijakan, sebelumnya serta mengajukan suatu RUU pemilihan atas dasar pemilihan tidak langsung. Namun kabinet Nastir keburu jatuh sebelum RUU diajukan keparlemen. Kabinet Soekiman April 1951-Februari 1952 adalah 19 Ahmad Syafi’I Ma’arif, DKK lslam dan Nilai-Nilai Universal, Jakarta, International Center for Islam and Plularism ICIP, cet 1, Juli 2008, h. 60 meneruskan kebijakan kabinet sebelumnya, yaitu mengajukan RUU, namun ditolak juga oleh parlemen, karena parlemen menghendaki adanya pemilihan umum secara langsung. Menurut Herbert Feith, adanya penundaan-penundaan, pemilu di Indonesia adalah, pertama, banyaknya anggota parlemen yang mendapatkan kursi namun keadaannya belum normal. Karna itu mereka sadar bahwa apabila pemilu dilaksanakan akan di copot dari jabatannya. Kedua adanya kehawatiran pemilu akan menggeser Negara yang ber-ideologi islam. Pemilu bisa terlaksana pada kabinet Burhanuddin Harahap salah satu ketua dari Masyumi, pada tanggal 29 September 1955, pemilu dilaksanakan guna untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di DPR dan konstituante. Dalam pemilu ini tidak kurang dari 28 partai politik peserta pemilu, dengan menganut sistem proporsional. Yang secara garis besar dilihat dari segi ideologi, dapat digolongkan dalam tiga kategori yaitu, Islam, Nasionalis, dan Komunis atau Sosialisme. 20 Namun ketiga aliran dasar itu muncul kedalam berbagai kelompok dan organisasi politik, dan mereka mengikuti pemilihan umum dengan penuh semangat dalam suasana bebas dan demokratis. Hasil pemilu ternyata tidak memuaskan pihak manapun, terutama Masyumi dan PNI, yang sebelumnya mempunyai harapan besar akan menang Masyumi yang hanya memperoleh kursi 75, dalam parlemen dari jumlah total 257 kursi yang diperebutkan. Sedangkan NU mendapatkan kursi 45, dan 20 Lily Ramli, Islam Yes Partai Islam Yes, Jakarta: Pusat Penelitian Politik, 2004, h. 46-47 PKI, 39. dan partai-partai lain kurang dari 10 kursi. Hasil perolehan yang hampir sama dengan kekuatan nasionalis, maka akan sukar bagi golongan Islam untuk memperjuangkan dasar negara Islam dalam konstituante. Fenomena perolehan suara partai-partai Islam yang tidak keluar sebagai pemenang pemilu tersebut dapat dilihat bahwa semua umat Islam yang mayoritas, untuk memilih partai-partai Islam. Bahkan sebagian diantara mereka memilih partai-partai sekuler dan partai atheis, PKI. Hal ini memang umat Islam Indonesia tidak homogen dalam pemahaman terhadap Islam. Karena Islam di Indonesia terdiri atas Islam Santri dan Islam Abangan. Pemilihan umum bagi Masyumi telah menjadi perhatian khusus sejak Muktamar ke-III di Kediri tahun 1947, dan termasuk sebagai urgensi program Masyumi adalah revolusi untuk memperahankan kemerdekaan dari penjajahan oleh Belanda, sejak penyerahan kedaulatan Masyumi dikasih kesemepatan untuk memimpin pemerintahan, dan pemilu menjadi hal penting dalam tiap- tiap Kabinet sampai dengan ditetapkannya UU No. 7 tahun 1953 tentang pemilihan anggota konstituante dan anggota DPR. UU ini berhasil diterapkan oleh kabinet Wilopo, dan Muhammad Roem Masyumi menjabat sebagai Menteri dalam Negeri yang bersama-sama dengan Menteri Kehakiman bertanggung jawab atas terselenggaranya Pemilu. 21 Masyumi sebagai partai politik terbesar, tentunya mempunyai karakteristik yang tersendiri sebagai ciri khas partai Islam pada waktu itu. Ciri khasnya antara lain merupakan sebuah organisasi politik yang mampu merumuskan citra Islam dan cita-cita kebangsaan secara modern bagi umat 21 Samsuri, Politik Islam Anti Komunis, h. 75. Islam keseluruhan di Indonesia. Dalam wadah partai Masyumi berhasil menghimpun suatu kekuatan politik umat Islam Indonesia sehingga menjadi bersatu, mungkin bisa dinilai yang bersifat formal, namun pada waktu itu memang kekuatan politik Masyumi sangat maha dahsat, sehingga umat Islam berada dalam satu pimpinan. Masyumi bekerja sama dengan partai-partai Islam lain untuk memperjuangkan Islam sebagai ideologi negara republik Indoneisa dalam konstituante. Ini merupakan konsekwensi dan cita-cita Masyumi untuk memperjuangkan berlakunya ajaran Islam secara menyeluruh dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Namun ada hal lain yang perlu dipahami, bahwa memperjuangkan cita-cita Negara berdasarkan Islam melalui musyawarah dalam konstituante hasil pemilu betapapun tidak bertentangan dengan undang-undang yang sudah di bentuk pemerintah sebelumnya dan sudah berlaku. Secara umum dapat dikatakan bahwa prilaku politik Masyumi selama priode kritis pada waktu itu memang tidak ada cacat sedikitpun, karena Masyumi keperpihakannya terhadap martabat Negara Republik Indonesia begitu jelas, penuh konsisten dan penuh dengan perhitungan. Dengan rumusan serta tujuan yang hendak diperjuangkan oleh Masyumi adalah menciptakan Indonesia yang bercoraka Islam, namun memberikan kebebasan penuh kepada golongan-golongan lain untuk berbuat dan memperjuangkan aspirasi politik sesuai dengan ideologinya masing-masing. 22 22 Ahmad Syafi’I Ma’arif, islam dan politik Indonesia Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965, Jogjakarta: IAIN Sunan Kali Jaga Press, 1988, h. 33 Masyumi melibatkan diri sebagai peranan penting dalam kancah politik demokrasi parlementer pada tahun 1950 dan 1957 adalah menginginkan sebuah Negara Islam, dan ingin membentuk pemerintahan yang berpandangan pragmatis, serta ingin berkoalisi dengan partai-partai sekuler dan Kristen. Pada awal demokrasi parlementer, Masyumi mengalami ketimpangan dalam pembagian kekuasaan pemerintahan yang terkesan kurang adil, sehingga Masyumi tidak terlalu banyak andil dalam Kabinet. Akan tetapi Masyumi lebih menekankan perlunya persatuan serta pertahanan kemerdekaan dari pada mempersoalkan kepentingan partainya sendiri, oleh karena itu Masyumi tidak setuju dengan adanya perubahan sistem kabinet presidensil ke kabinet parlementer. 23 Masyumi dan pemerintahan pada Massa 1955-1960 adalah priode pemilihan umum yang ditandai dengan munculnya empat partai besar, yaitu Masyumi PNI, NU dan PKI. Pada bulan Maret 1956-1957 terbentuk kabinet Sastroamidjojo II dan aktifnya Soekarno sebagai Presiden Konstitusional menurut undang-undang dasar sementra 1950 kedalam persoalan politik praktis. Pada posisi cabinet ini Masyumi mewakili kedudukan sebagai Perdana Menteri dalam kepemerintahan. Dalam priode 1956-1957 Presiden Soekarno mengumumkan konsepnya yang terkenal dngan nama Demokrasi Terpimpin, dengan pernyataan in Masyumi menghadapi perubahan-perubahan. Sementara wakil-wakilnya di konstituante dengan gigih memperjuangkan terciptanya sebuah konstituante 23 Jajang Muttaqin, Masyumi dalam pergolakan Politik Islam Indonesia, Jakarta, UIN Syarif Hidayatullah PRESS, 2004, h. 51-52. yang mencerminkan aspirasi-aspirasi Islam, yang berhubungan dengan ideologi Negara. Dalam priode ini juga terjadinya peristiwa PRRI yang melibatkan sejumlah tokoh penting Masyumi yang dan dikeluarkannya dekrit Presiden serta terbentuknya Kabinet Djuanda. Sedangkan pada tahun 1959 dan 1960 merupakan tahun yang menimbulkan ketegangan bagi kalangan Masyumi baik didalam pemerintahan maupun didalam partainya, karena pada tanggal 31 Desember 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan penetapan Presiden Penpres No. 7 1959 yang mengatur kehidupan partai politik dan pembubaran partai. Penetapan tersebut memberikan hak kepada Presiden untuk menindak partai-partai yang anggaran dasarnya bertentangan dengan dasar Negara, atau pula pemimipinya terlibat dalam pemberontakan atau menolak untuk menindak anggota-anggotanya yang terlibat dalam pemberontakan. Setelah penetapan tersebut, tepatnya pada tahun 1960 dikeluarkanlah Keputusan Presiden Kepres No. 200 1960 yang secara resmi memerintahkan pembubaran partai Masyumi. Tepatnya pada jam 05.20 pada tanggal 17 Agustus 1960, dimana pemimpin pusat Masyumi menerima surat dari direktur Kabinet Presiden yang mengemukakan bahwa dalam waktu tiga puluh hari sesudah tanggal keputusan, pemimpin partai Masyumi harus menyatakan partainya bubar. Dan pembubarannya harus diberitahukan oleh Presiden, kalaupun tidak partai Masyumi akan di umumkan sebagi partai terlarang. Apa yang saya tulis sebagai skripsi ini adalah salah satu karya cemerlang dari karir politik Masyumi, karya politik itu adalah prestasi partai dalam membela bangsa dan Negara. Karena pembelaan itu memang dituntut pada setiap patriot Indonesia. Prestasi politik yang cemerlang perlu kita menengok lebih dekat “dapur Masyumi” yang di huni berbagai kecendrungn keagamaan dan politik yang sulit dipersatukan. Fenomena subkelompok dalam Masyumi tersebut berdasarkan kategori yang dibuat oleh Wahid Hasyim, yaitu saling bertabrakan untuk memahami masalah sengketa di dalam partai.

BAB III DINAMIKA PERGERAKAN MASYUMI

DALAM PERPOLITIKAN DI INDONESIA

E. Masyumi Sebagai Wahana Perjuangan Politik Islam

Pendeknya usia piagam Jakarta dalam sejarah konstitusionalisme Indonesia tidak mengendorkan semangat perjuangan politik umat Islam di alam kemerdekaan. Bila selama ini kesatuan gerak politik di kalang organisasi dan partai-partai Islam yang dirasakan tidak memadai sebagai wahana perjuangan, maka dipandang sudah sangat mendesak agar umat merapatkan barisan dalam satu partai politik. Partai politik itu ialah Masyumi, tapi bukan Masyumi buatan Jepang, “seperti yang dibentuk pada 1943, atas kebaikan” penguasa Jepang di Indonesia. Masyumi yang berdiri pada tanggal 7-8 November 1945 sepenuhnya merupakan hasil karya pemimpin-pemimpin umat Islam dalam sebuah konggres yang bertempat di gedung Madrasah Muallimin Muhammadiyah Jogjakarta. Dilihat dari data sosiologis umat, pendukung utama partai Masyumi adalah Muhammadiyah dan NU. Jadi jelas secara ideologis, Masyumi adalah kelanjutan dari MIAMI, tapi kali ini menghususkan perjuangan dibidang p[olitik dalam rangka menegakkan ajaran Islam dalam wadah Indonesia merdeka. Selain Muhammadiyah dan NU, hampir semua organisasi Islam di Indonesia kecuali Perti, mendukung kehadiran Masyumi sebagai satu-satunya