Masyumi dan Kabinet Hatta1948-1949

Masykur, dan Menteri Muda Kehakiman Kasman Singodimedjo. Amir memang berhasil menandatangai perjanjian renville dengan belanda, tetapi umumnya orang berpendapat bahwa perjanjian ini kurang menguntungkan dibandingkan dengan persetujuan Linggarjati. Pada tanggal 16 Januari 1948 Masyumi langsung menarik menteri-menterinya dari kabinet Amir, sehari sebelum penandatanganan persetujuan renville dengan pihak Belanda. Penolakan Masyumi terhadap persetujuan Renville didasarkan pada dua alasan. Pertama, isi persetujuan lebih menguntungkan pihak Belanda. Kedua sikap ketua delegasi Indonesia yaitu Perdana Menteri Amier Syarifuddin yang tidak menolak tuntutan Belanda dalam perundingan padahal penolakan ini keputusan kabinet. Penolakan ini harus segera disampaikan kepihak Belanda dan Komisi Tiga Negara hal ini tidak dilakukan oleh Amir. Kemudian kesempatan untuk menolak lewat, karena komisi tiga negara mengemukakan usul perubahan terhadap tuntutan Belanda. Sedangkan kabinet menerima usul tersebut, sedangkan Masyumi tetap menolak.

H. Masyumi dan Kabinet Hatta1948-1949

Dengan ditinggalkan oleh para pendukungnya, yaitu Masyumi, PNI, dan golongan Syahrir, Amir menyerahkan mandatnya kepada kepala negara tanggal 23 Januari 1948. persoalannya menjadi ruwet karna kabinet berikut harus memikul konsekwensi persetujuan renville. Dapat dipahami mengapa Masyumi, dan partai-partai lain, kurang bersemangat untuk memimpin kabinet. Keadaan ruwet ini diselesaikan presiden dengan menunujuk wakilnya yaitu Mohammad Hatta sebagi formatir. Gagl membuat kompromi antara pengikut Amir disatu pihak dan lawan mereka dipihak lain. Hattas lebih banyak memilih para tokoh dari lawan Amir yaitu Masyumi dan PNI, masing masing mendapat 4 kursi. Tokoh-tokoh Masyumi yaitu Soekiman Wirjosandjojo Menteri Dalam Negeri, Sjafruddin Prawiranegoro Kemakmuran, K.H. Masykur Agama, dan Mohammada Natsir Penerangan. Kabinet terlama dimasa revolusi ini, dengan dipimpin oleh Muhammad Hatta, bekerja sampai pada penyerahan kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949- dengan resaffle bualn Agustus 1949. dal;am kabinet ini Sukiman bersedia duduk, sikap yang berbeda dan sikap yang diperlihatkan terhadap Syahrir dan Amir Syarifuddin. Hubungan Sukiman dengan Hatta memang rapat, pada waktu mereka belajar di negeri Belanda. Selama pemerintahan Hatta ada tiga persoalan yang merupakan faktor penentu dalam perkembangan di Indonesia poada umumnya, dan Masyumi hususnya. Yang Pertama adalah munculnya gerakan darul Islam, Kedua adalah munculnya pemberontakan PKI pada tahun 1948, Ketiga peranan Masyumi atau tokoh-tokohnya dalam penyelesaian revolusi. Gerakan darul Islam merupakan akibat persetujuan Renvile, persetujuan ini antara lain menciptakan apa yang disebut garis status quo Van Mook, yang menetapkan bahwa semua kekuatan bersenjata Republik Indonesia termasuk seperti laskar seperti Hizbullah, harus ditarik dari daerah-daerah kantung dibelakang garis pertahahnan Belanda, dan dikirimkan kedaerah yang diakui sebagai daerah Republik Indonesia. Tabel Kabinet Hatta 1948-1949 Wakil PresidenPerdana Menteri Mohammad Hatta Menteri Dalam Negeri Dr. Soekiman Menteri Luar Negeri H. Agus Salim Menteri Pertahanan Mohammad Hatta Menteri Penerangan Mohammada Natir Menteri Keuangan Mr. A.A. Maramis Menteru Persediaan Makanan Rakyat I.J. Kasimo Menteri Kemakmuran Mr. Syarifuddin Prawironegoro Menteri Perhubungan Ir. Juanda Menteri Pekerjaam Umum Ir. Juanda Menteri Perburuhansosial Kusna Menteri PembangunanPemuda Supeno Menteri pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan Mr. Ali sastroamidjoyo Menteri Agama K.H. Masykur Menteri Kesehatan Dr. J. Leimena Menteri Negara Hamengkubuwono IX Pada tanggal 14 Agustus 1947 Karto Soewirjo mengemukakan jihad terhadap pihak Belanda. Hal ini dapat dilihat sebagai cerminan sikap fanatik Kartosoewirjo, yang tidak lagi berhubungan dengan sepak terjang dengan kalangan Islan lainnya. Pada bulan Februari 1948 ia mendirikan suatu majlis Umat Islam di Tasikmalaya untuk koordinasi semua organissasi umat Islam di Jawa Barat, dengan bual berikutnya ia putuskan agara kegiatan Masyumi dan kelompok-kelompok lain di Jawa Barat semua diberhentikan. Dan ia juga mendirikan Tantara Islam Indonesia yang sebagian terdiri dari para anggota Hizbullah dan Sabilillah yang tidak ingin hijrah keluar dari “garis Van Mook” Disini jelas sekali perbedaan pandangan Kartosoewirjo disatu pihak dan Masyumi dipihak lain. Seperti telah diketahui, pemerintah Darurat Republik Indonesia, yang didirikan setelah Soekarno, Hatta, dan tokoh-tokoh lainnya dalam pemerintah di Yogya ditangkap Belanda, diketuai oleh Syarifuddin Prawiranegara, seorang tokoh Masyumi, dan perundingan dengan pihak Belanda kemudian dilakukan dengan dipimpin oleh ketua delegasi yaitu Mohammad Roem, juga dari Masyumi. Kartosoewirjo malah menyebut kegiatan Roem sebagai wakil Masyumi dan wakil umat Islam, memalukan sekali . Pandangan Kartosoewirjo tentang pemerintah Republik Indonesia seperti diatas menyebabakan ia melihat kedatangan TNI ke Jawa Barat sebagai kedatangan satu angkatan yang tidak dibenarkan, oleh karena itu, ia melihat Jawa Barat sebagi daerah yang ia pertahankan. Sebaliknya para Pemimpn Indonesia, yang telah merasa tidak teriakt lagi dengan persetujuan renville dengan aksi militer itu, kembali mengirimkan TNI menyusup kedaerah berbeda dalam kekuasaan Belanda, termasuk Jawa Barat ini terjadilah perang yang dikenal dengan perang segitiga, yaitu antara TNI, Tentara DI TII, dan tentara Belanda. Alasan lain bagi Kartosoewirjo dalam menentang masuknya TNI ke Jawa Barat adalah anggapan bahwa angkatan bersenjata Republik Indonesia telah dimasuki oleh kaum Komunis. Walaupun pemberontakan kaum komunis di Madiun dalam bulan September telah ditumpas oleh Pemerintah Republik Indonesia, kartosoewirjo tampak tidak melihat bahwa pemerintah serta tentara Republik Indonesia bersih dari anasir komunis. Maka ia pun menyebut tentara Republik Indonesia yang masuk kedaerah Jawa Barat setelah aksi militer kedua Belanda itu sebagai angkatan dari Republik Indonesia darurat dan komunis gadungan. Pemberontakan PKI pada tahun 1948, salah satu perkembangan yang sangat mempengaruhi hubungan sebangsa adalah pemberontakan PKI di Madiun pada tanggal 18 September 1948, sepanjang tahun 1947 sebelum Kabinet Amir Syarifuddin terbentuk, sudah nampak bahwa partai sosialis akan pecah. Perpechan itu terbuka dengan terbentuknya Kabinrt Amir yang menggantikan Kabinet Syahrir pada tahun 1947. ketika perdana menteri Amir mengadakan perundigan dengan pihak Belanda, kelompok Syahrir secara terbuka mengcamnya. Fraksi sosialis dalam badan pekerja KNIP juga mencerminkan pertentangan dua kelompok ini, ahirnya Syahrir dan kawan- kawan yang sepaham menarik diri dari partai sosialis dan mendirikan partai PSI. Dari pihak Indonesia persetujuan ini tentu bukan pekerjaan ketua delegasi atau delegasi saja. Tanpa mengecilakn peranan Mohammad Roem, ia harus berkonsultasi denag Soekarno dan Hatta serta para pemimpin lainnya yang diketahui oleh Belanda di pulau Bangka. Serta para pemimpin lain yang ditahan Belanda. Dalam pidatonya tanggal 7 Mei Roem sengaja menyebutkan bahwa ia mendapat mandat dari Soekarno dan Hatta untuk mengikat janji guna bekerja sama dengan Belanda denagn mengusakan penyelesaian. Pada waktu itu Roem tidak melihat persetujuan yang dicapainya dengan Van Royen itu mempunyai arti besar. Ia juga sadr bahwa semua orang Indonesia menganggap perswetujuan yang tersebut sebagai suatu hasil yang cemerlanga, malah ada diantaranya tidak mengakui sama sekali atau menganggap persetujuan itu sebagai suatu kegagalan , mereka dengan sendirinya menyalahkan dan menyesali tokoh Masyumi ini. Peneilaian ini, disebabkan antara lain, Pertama, pendapat keyakinan bahwa persetujuan Van Royen itu tercapai pada saat para para pejuang bersenjata kita, baik TNI maupun Laskar, sudah menempati posisi yang memungkinkan mereka mengambil prakarsa untuk menyapu bersih kekuatan militer Belanda. Kedua, persetujuan tersebut mengandung penerimaan bentuk federasi bagi negar Indonesia, dalam bentuk Republik akan hanya merupakan negara bagian, yang memp[unyai kedudukan yang sama dengan negara-negar bagian lain ciptaan Belanda. Ketiga, Roem sebagai ketua delegasi Indonesia mendapat mandat ahnya dari Sokarno dan Hatta yang tidak berfungsi lagi sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia karena memang berada dalam tahanan Belanda. Ketigas pendapat ini lebih dapat menerima persetujuan bila Roem juga memperoleh mandat dari Syarifuddin Prawiranegara, kepala Pemerintah Darurat Republik Indonesia. Alasan ini menyebabkan M. Natsir berhenti sebagai penasehat delegasi, kemudian sebagai menteri penerangan. Karna ia terdorong pleh simpati dan loyalitas kepada Syarifuddin, yang telah menjalin hubungan erat dengannya selama revolusi. Bahkan ia berpendapat bahwa hasil Roem-Royen tersebut hendaklah dirundingkan terlebih dahulu dengan Sarifuddin. Disamping itu, perundingan dianggap terlalu cepat diselesaikan. Menurut natsir keinginan Soekarno lebih didorong oleh pertimbangan pribadi dan bukan pertimbangan negara. Natsir dapat berkata demikian karena ia berturut ditahan bersama pemimpin-pemimpin lain di Banka, oleh sebab itu mempunyai penilain tersendiri terhadap tiap-tiap pemimpin. Sementara itu Natasir merasa tidak sanggup mempertanggung jawabkan hasil persetujuan Roem-Royen kepada partainya yaitu Masyumi, bahkan ia merasakan beban tantangan terlalu berat, oleh karena itu ia berhenti sebagai penasehat delegasi, dan demikian juga sebagai menteri. Sedangkan partai Masyumi sendiri terlebih dahulu memberikan persetujuan terhadap Roem-Royen, yaitu pada tanggal 28 Mei 1948. rapat yang dilakukan untuk mencatat suatu perdebatan antara yang pro dan kontra, Pertama adalah dipimpin oleh Roem, yang kedua dipmpin oleh Natsir. Roem berpendapat bahwa persetujuan yang dibuat adalah membuka pintu yang lebih lebar bagi Indonesia kemudian untuk terus diperjuangkan demi kepentinagn bersama. Bahkan ia menyarankan kepada rekan-rekannya untuk tidak melihat suatu persetujuan sebagi final, karena perjuangan belu berahir, malah tiap perjuangan tidak akan ada yang selesai.tetapi Roem yakin bahwa kembalinya pemerintah ke Yogyakarta akan menuju kepada pengakuan dari segenap dunia terhadap eksistensi Republik Indonesia. Ini termasuk pihak Belanda yang selama ini ingin mengahapus negara baru dari permukaan bumi. Menurut Roem pengakuan ini Rewpublik Indonesia dapat melanjutkan perjuangan lagi. Secara Internasional kedudukan Republik Indonesia bertambah kuat dibandigkan dengan sebelumnay. Kedudukan yang lebih kuat inilah yang perlu dimanfaatkan dalam perudingan denagn p[ihak Belanda. Masyumi juga kurang mempersoalkan kedudukannya dalam kabinet di-resaflle setelah kedudukan pemerintah kembali ke Yogyakarta, karena kabinet tetap dipimpin Hatta yang sangat dipercaya oleh Masyumi. Melihat adanya pro dan kontra, dikalangan Islam berpendapat bahwa tokoh-tokoh mereka telah memberikan saham yang besar dalam perjuangan kemerdekaan baik dimasa sebelum revolusi. Baik dimeja perundingan maupun di medan perang, yang ahirnya diikuti oleh ribuan dan jutaan umat. Memang persetujuan Roem-Royen membuka jalan bagi pulihnya kekuasaan selama masa revolusi itu uamt Islam banyak memberikan sahamnya, baik korban harta dan jiwa tidak akan dapat dihitung. Bekal rohaniah terbesar mereka pinjamkan kepada tiap pejuang, kumandang Allahu Akbar bergema dimana- mana. Dari semula memang tampak jelas keihlasan, adakalanya dengan kerugian mereka sendiri. Apalagi karena perjuanagan bukan semata-mata disertai oalh segenap pihak dengan keihlasan, keihlaasn perjuanagn umat dimas revolusi kurang membuat perhitungan, perhitunagn tersebut dikaji dalam tahun 1950-an

I. Dinamika Masyumi Dalam Perpolitikan Indonesia

Partai Masyumi yang didirikan pada tahun 1945 dan terpaksa bubar pada tahun 1960 dapat dikatakan pula partai Islam terbesar di dunia. Partai Masyumi juga mengemukakan dialog yang produktif antara Islam dan demokrasi, sejarah partai ini dapat dilihat dari kegiatan maupun program- programnya mengenai identitas Islam dihadapan pluralisme politik. Selama massa begejolak yang dialami Indonesia, partai Masyumi menyusun dan mempertahankan suatu demokrasi Islam yang merupakan subtitusi dari pertarungan politik dan parlementer tentang tuntutan agar Negara Islam didirikan di Indonesia. 29 Pemilu 1955, adalah pemilihan umum yang pertama kali dilaksanakan semenjak Indonesia merdeka, pada awalnya pemilu direncanakan pada tahun 1946, enam bulan setelah kemerdekaan. Nemun situasi yang tidak memungkinkan karena adanya perang kemerdekaan akibat agresi Belanda I dan II, jadi pelaksanaan pemilu tertunda. Pada saat memasuki demokrasi parlementer, setiap kabinet dalam programnya mencantumkan pelaksanaan pemilu. Namun hal ini tidak terjadi karena perebutan kekuasaan yang mengakibatkan kabinet jatuh-bangun, sehingga menimbulkan dampak tidak terlaksananya program pelaksanaan pemilu. Kabinet Hatta Desember 1949-Agustus 1951 pada mulanya berencana untuk menyelenggarakan pemilu sebagai program kerjanya, sehingga suatu dewan konstituante hasil pemilihan akan menentukan apakah Negara RI, mengambil bentuk suatu Negara Federal atau Negara Kesatuan. Namun 29 Ahmad Syafi’I Ma’arif, DKK lslam dan Nilai-Nilai Universal, Jakarta, International Center for Islam and Plularism ICIP, cet 1, Juli 2008, h. 60 dorongan kuat dari rakyat Indonesia untuk Negara kesatuan melalui Mosi Integrasi Nastir, ahirnya membatalkan pemilu. Kabinet Nastir September 1950-Maret 1951 adalah menerusakan kebijakan, sebelumnya serta mengajukan suatu RUU pemilihan atas dasar pemilihan tidak langsung. Namun kabinet Nastir keburu jatuh sebelum RUU diajukan keparlemen. Kabinet Soekiman April 1951-Februari 1952 adalah meneruskan kebijakan kabinet sebelumnya, yaitu mengajukan RUU, namun ditolak juga oleh parlemen, karena parlemen menghendaki adanya pemilihan umum secara langsung. Menurut Herbert Feith, adanya penundaan-penundaan, pemilu di Indonesia adalah, pertama, banyaknya anggota parlemen yang mendapatkan kursi namun keadaannya belum normal. Karna itu mereka sadar bahwa apabila pemilu dilaksanakan akan di copot dari jabatannya. Kedua adanya kehawatiran pemilu akan menggeser Negara yang ber-ideologi islam. Pemilu bisa terlaksana pada kabinet Burhanuddin Harahap salah satu ketua dari Masyumi, pada tanggal 29 September 1955, pemilu dilaksanakan guna untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di DPR dan konstituante. Dalam pemilu ini tidak kurang dari 28 partai politik peserta pemilu, dengan menganut sistem proporsional. Yang secara garis besar dilihat dari segi ideologi, dapat digolongkan dalam tiga kategori yaitu, Islam, Nasionalis, dan Komunis atau Sosialisme. 30 Namun ketiga aliran dasar itu muncul kedalam berbagai kelompok dan organisasi politik, dan mereka 30 Lily Ramli, Islam Yes Partai Islam Yes, Jakarta: Pusat Penelitian Politik, 2004, h. 46-47 mengikuti pemilihan umum dengan penuh semangat dalam suasana bebas dan demokratis. Hasil pemilu ternyata tidak memuaskan pihak manapun, terutama Masyumi dan PNI, yang sebelumnya mempunyai harapan besar akan menang Masyumi yang hanya memperoleh kursi 75, dalam parlemen dari jumlah total 257 kursi yang diperebutkan. Sedangkan NU mendapatkan kursi 45, dan PKI, 39. dan partai-partai lain kurang dari 10 kursi. Hasil perolehan yang hampir sama dengan kekuatan nasionalis, maka akan sukar bagi golongan Islam untuk memperjuangkan dasar negara Islam dalam konstituante. Fenomena perolehan suara partai-partai Islam yang tidak keluar sebagai pemenang pemilu tersebut dapat dilihat bahwa semua umat Islam yang mayoritas, untuk memilih partai-partai Islam. Bahkan sebagian diantara mereka memilih partai-partai sekuler dan partai atheis, PKI. Hal ini memang umat Islam Indonesia tidak homogen dalam pemahaman terhadap Islam. Karena Islam di Indonesia terdiri atas Islam Santri dan Islam Abangan. Pemilihan umum bagi Masyumi telah menjadi perhatian khusus sejak Muktamar ke-III di Kediri tahun 1947, dan termasuk sebagai urgensi program Masyumi adalah revolusi untuk memperahankan kemerdekaan dari penjajahan oleh Belanda, sejak penyerahan kedaulatan Masyumi dikasih kesemepatan untuk memimpin pemerintahan, dan pemilu menjadi hal penting dalam tiap- tiap Kabinet sampai dengan ditetapkannya UU No. 7 tahun 1953 tentang pemilihan anggota konstituante dan anggota DPR. UU ini berhasil diterapkan oleh kabinet Wilopo, dan Muhammad Roem Masyumi menjabat sebagai Menteri dalam Negeri yang bersama-sama dengan Menteri Kehakiman bertanggung jawab atas terselenggaranya Pemilu. 31 Masyumi sebagai partai politik terbesar, tentunya mempunyai karakteristik yang tersendiri sebagai ciri khas partai Islam pada waktu itu. Ciri khasnya antara lain merupakan sebuah organisasi politik yang mampu merumuskan citra Islam dan cita-cita kebangsaan secara modern bagi umat Islam keseluruhan di Indonesia. Dalam wadah partai Masyumi berhasil menghimpun suatu kekuatan politik umat Islam Indonesia sehingga menjadi bersatu, mungkin bisa dinilai yang bersifat formal, namun pada waktu itu memang kekuatan politik Masyumi sangat maha dahsat, sehingga umat Islam berada dalam satu pimpinan. Masyumi bekerja sama dengan partai-partai Islam lain untuk memperjuangkan Islam sebagai ideologi negara republik Indoneisa dalam konstituante. Ini merupakan konsekwensi dan cita-cita Masyumi untuk memperjuangkan berlakunya ajaran Islam secara menyeluruh dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Namun ada hal lain yang perlu dipahami, bahwa memperjuangkan cita-cita Negara berdasarkan Islam melalui musyawarah dalam konstituante hasil pemilu betapapun tidak bertentangan dengan undang-undang yang sudah di bentuk pemerintah sebelumnya dan sudah berlaku. Secara umum dapat dikatakan bahwa prilaku politik Masyumi selama priode kritis pada waktu itu memang tidak ada cacat sedikitpun, karena 31 Samsuri, Politik Islam Anti Komunis, h. 75. Masyumi keperpihakannya terhadap martabat Negara Republik Indonesia begitu jelas, penuh konsisten dan penuh dengan perhitungan. Dengan rumusan serta tujuan yang hendak diperjuangkan oleh Masyumi adalah menciptakan Indonesia yang bercoraka Islam, namun memberikan kebebasan penuh kepada golongan-golongan lain untuk berbuat dan memperjuangkan aspirasi politik sesuai dengan ideologinya masing-masing. 32 Masyumi melibatkan diri sebagai peranan penting dalam kancah politik demokrasi parlementer pada tahun 1950 dan 1957 adalah menginginkan sebuah Negara Islam, dan ingin membentuk pemerintahan yang berpandangan pragmatis, serta ingin berkoalisi dengan partai-partai sekuler dan Kristen. Pada awal demokrasi parlementer, Masyumi mengalami ketimpangan dalam pembagian kekuasaan pemerintahan yang terkesan kurang adil, sehingga Masyumi tidak terlalu banyak andil dalam Kabinet. Akan tetapi Masyumi lebih menekankan perlunya persatuan serta pertahanan kemerdekaan dari pada mempersoalkan kepentingan partainya sendiri, oleh karena itu Masyumi tidak setuju dengan adanya perubahan sistem kabinet presidensil ke kabinet parlementer. 33 Masyumi dan pemerintahan pada Massa 1955-1960 adalah priode pemilihan umum yang ditandai dengan munculnya empat partai besar, yaitu Masyumi PNI, NU dan PKI. Pada bulan Maret 1956-1957 terbentuk kabinet Sastroamidjojo II dan aktifnya Soekarno sebagai Presiden Konstitusional 32 Ahmad Syafi’I Ma’arif, islam dan politik Indonesia Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965, Jogjakarta: IAIN Sunan Kali Jaga Press, 1988, h. 33 33 Jajang Muttaqin, Masyumi dalam pergolakan Politik Islam Indonesia, Jakarta, UIN Syarif Hidayatullah PRESS, 2004, h. 51-52. menurut undang-undang dasar sementara 1950 kedalam persoalan politik praktis. Pada posisi kabinet ini Masyumi mewakili kedudukan sebagai Perdana Menteri dalam kepemerintahan. Dalam priode 1956-1957 Presiden Soekarno mengumumkan konsepnya yang terkenal dengan nama Demokrasi Terpimpin, dengan pernyataan ini Masyumi menghadapi perubahan-perubahan. Sementara wakil-wakilnya di konstituante dengan gigih memperjuangkan terciptanya sebuah konstituante yang mencerminkan aspirasi-aspirasi Islam, yang berhubungan dengan ideologi Negara. Dalam priode ini juga terjadinya peristiwa PRRI yang melibatkan sejumlah tokoh penting Masyumi dan dikeluarkannya dekrit Presiden serta terbentuknya Kabinet Djuanda. Sedangkan pada tahun 1959 dan 1960 merupakan tahun yang menimbulkan ketegangan bagi kalangan Masyumi baik didalam pemerintahan maupun didalam partainya, karena pada tanggal 31 Desember 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan penetapan Presiden Penpres No. 7 1959 yang mengatur kehidupan partai politik dan pembubaran partai. Penetapan tersebut memberikan hak kepada Presiden untuk menindak partai-partai yang anggaran dasarnya bertentangan dengan dasar Negara, atau pula pemimipinya terlibat dalam pemberontakan atau menolak untuk menindak anggota-anggotanya yang terlibat dalam pemberontakan. Setelah penetapan tersebut, tepatnya pada tahun 1960 dikeluarkanlah Keputusan Presiden Kepres No. 200 1960 yang secara resmi memerintahkan pembubaran partai Masyumi. Tepatnya pada jam 05.20 pada tanggal 17 Agustus 1960, dimana pemimpin pusat Masyumi menerima surat dari direktur Kabinet Presiden yang mengemukakan bahwa dalam waktu tiga puluh hari sesudah tanggal keputusan, pemimpin partai Masyumi harus menyatakan partainya bubar. Dan pembubarannya harus diberitahukan oleh Presiden, kalaupun tidak partai Masyumi akan di umumkan sebagi partai terlarang. Apa yang saya tulis sebagai skripsi ini adalah salah satu karya cemerlang dari karir politik Masyumi, karya politik itu adalah prestasi partai dalam membela bangsa dan Negara. Karena pembelaan itu memang dituntut pada setiap patriot Indonesia. Prestasi politik yang cemerlang perlu kita menengok lebih dekat “dapur Masyumi” yang di huni berbagai kecendrungn keagamaan dan politik yang sulit dipersatukan. Fenomena subkelompok dalam Masyumi tersebut berdasarkan kategori yang dibuat oleh Wahid Hasyim, yaitu saling bertabrakan untuk memahami masalah sengketa di dalam partai.

BAB IV MASYUMI DAN DEMOKRASI PARLEMENTER