BAB IV MASYUMI DAN DEMOKRASI PARLEMENTER
A. Peran Masyumi dan Kabinet Muhammad Natsir 1950-1951
Indonesia adalah salah satu negara yang pluralis di dunia, dan mayoritas rakyatnya adalah Muslim, Islam merupakan sumber dalam formasi nilai,
norma dan perilaku masyarakatnya, sehingga Islam memiliki peran penting dalam kehidupan sosial, politik dan kultur di negeri ini. Dengan 17.000 Pulau
yang ada di wilayahnya, baik yang besar maupun yang kecil, baik yang di huni maupun tidak, Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di Dunia dan
Negara dengan latar belakang yang beraneka ragam. Dengan sekitar 200 kelompok etnis dan bahasa yang ada di bawah naungannya, Indonesia juga
sebuah Negara dengan kebudayaan yang sangat beragam.
34
Kabinet parlementer seperti yang dibentuk oleh UUD 1950 hanya mungkin terbentuk dengan koalisi partai, terutama karena komposisi parlemen
tidak memungkinkan pembentukan kabinet oleh satu dua partai saja. Dalam rangka ini pola yang ideal adalah bila Masyumi dan PSI berasama-sama duduk
dalam kabinet, sehingga lebih mendorong partai-partai lain berada dalam posisi tambahan, dan bukan posisi yang melaga keduanya. Dalam kabinet
dimasa revolusi yang dipimpin mohammad Hatta dan juga dalam kabinet RIS, peran Masyumi dan PNI menyebabkan hal lain yang terjadi.
34
Herdi Syahrasad, Islamisme Nasionalisme Globalisme: Jejak-Jejak Ideologi Terkoyak, Jakarta, P.T. Melibas, 2005. Cet, 1. h. 401-405.
Formatir Masyumi tidak semudah untuk mengajak PNI dalam kabinetnya, malah PNI merasa sekali gagal dalam mengikutsertakan,
kegagalannya mengundang kritik dari banyak pihak termasuk dari kalangan Masyumi sendiri. Diangkat sebagai formatir tanggal 20 Agustus, Natsir
bermaksud membentuk kabinet dengan dukungan yang sebanyak mungkin agar kabinetnya mencerminkan sifat nasional serta dengan dukungan terbesar
akan dapat dipertanggung jawabkan. Namun ia mengahadapi kesulitan dengan PNI karena soal kursi yang tidak dapat sesuai antara PNI dan Masyumi, Natsir
yang dalam pembentukan Kabinet dibantu aleh Syarifuddin Prawiranegoro dan Wahid Hasyim, mereka berpendapat bahwa partainya lebih banyak hak
dibandingkan dengan partai lainnya. Sebaliknya PNI menuntut hak yang sama dengan Masyumi, bukan saja dalam hal kursi, melainkan juga dalam
menentukan kursi-kursi yang hendak dibagi antara Masyumi dan PNI. Natsir merasa kesulitan dalam usahanya, terutama mengahadapi PNI.
Dua kali ia mau mengembalikan mandatnya kepada Presiden karena kegagalannya dalam mengajak PNI berkompromi, namun Presiden mendesak
agar berusah terus dengan instruksi baru agar mempersempit dasar dukungan dari partai-partai. Menurut Natsir Presiden berpendapat bahwa kabinet yang
akan dibentuk hendaknya suatu kabinet parlementer yang tidak terlalu terikat dengan keinginan dan tuntutan partai. Bahkan Natisr berpendapat pula bahwa
kegagalan pembentukan kabinet hendaknya dites dalam parlemen, dengan umpamanya penolakan program dan keterangan pemerintah oleh Parlemen.
Masyumi sependapat pula dengan Natsir tentang hal ini.
Kabinet yang dipimpin partai Masyumi pertama kali terbentuk pada tahun 1950 adalah dibawah pimpinan M. Natsir sampai dengan tahun 1951.
kejatuhan kabinet ini karena Mosi tidak percaya yang dilancarkan oleh Hadikusumo. Mosi tersebut menuntut agar peraturan pemerintah No. 39 tahun
1950 tentang pemilihan anggota-anggota lembaga perwakilan daerah dicabut. Kemudian dilanjutkan dengan pengunduran diri para menteri dari PIR, ahirnya
M. Natsir mengembalikan mandat yang diembannya kepada Presiden. Meskipun partai Masyumi mendapat kesempatan memimpin kabinet,
tetapi bukan berarti partai Masyumi memonopoli dalam menetukan anggota- anggota kabinetnya. Kabinet Natsir merangkul berbagai partai antara lain
berasal dari Masyumi, PIR, Demokrat, PSI, Parindra, Katolik, Parkindo dan Partai Syarikat Islam Indonesia PSII. Dalam kabinet ini, partai Masyumi
menduduki Empat kursi yaitu Perdana Menteri yang di ketuai oleh M. Natsir, Menteri Luar Negeri dipegang oleh Muhammad Roem, Menteri Keuangan
oleh M. Syarifuddin Prawiranegara, dan Menteri Agama oleh K.H.A. Wahid Hasyim. Sedangkan PSII sendiri menduduki posisi Menteri Negara yang
diserahkan kepada Harsono Tjokroaminoto. Negara keadilan, barang kali itulah harapan dan impian masyarakat
setelah proklamasi kemerdekaan diartikulasikan oleh Soekarno-Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945, atas nama Bangsa Indonesia bersatu.
Disini penulis meminjam wacana Soekarno, semangat nasionalisme merupakan semangat kelompok manusia yang hendak membangun suatu
bangsa yang mandiri, dan dilandasi satu jiwa dengan kesetiakawanan yang
besar, mempunyai kehendak untuk bersatu secara terus menerus dan ditingkatkan untuk bersatu, guna untuk menciptakan keadilan serta
kebersamaan. Karena hasrat hidup bersama itu merupakan solidaritas yang agung. Nasionalisme ini membentuk persepsi dan konsepsi solidaritas sosial
kaum pergerakan Indonesia sebagai sebuah kekuatan politik yang tidak bisa dinegasikan oleh penguasa kolonial. Tujuan nasionalsime adalah pembebasan
dari penjajahan dan menciptakan masayarakat atau negara yang adil. Agar tidak adalagi penindasan manusia oleh manusia.
35
Dengan mengikuti berbagai pendapat diatas, maka jelas bagi kita bahwa yang dimaksud dengan bangsa adalah tidak terlepas dari pada persamaan
keturunan ras, atau persamaan agama, akan tetapi mereka mempunyai persamaan hidup dalam satu wilayah tertentu, seperti halnya Indonesia yang
terdiri dari berbagai suku bangsa, bahasa, daerah, agama, dan adat istiadat. Namun bertekat satu seperti tercermin dalam satu kesatuan yang kokoh dan
kuat, di dalam satu naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang di proklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Proklamasi kemerdekaan RI pada tahun 1945 telah memberikan kesempatan kepada berbagai aliran politik di indonesia, guna untuk bebas
membentuk partai-partai politik sebagai sarana demokrasi seperti yang dinyatakan oleh Pasal 28 UUD 1945. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh
Ummat Islam. Maka pada tanggal 7 November 1945, melalui sebuah kongres umat Islam di Yogyakarta maka terbentuklah sebuah partai politik Islam
35
Herdi Syahrasad, Islamisme Nasionalisme Globalisme: Jejak-Jejak Ideologi Terkoyak, Jakarta, P.T. Melibas, 2005. Cet, 1. h. 401-405.
dengan nama Masyumi Majlis Syuro Muslimin Indonesia. Sebagaimana telah diperkirakan sejak awal dibentuk, partai ini mendapatkan sambutan yang
luar biasa hapir semua gerakan Islam pra-Perang Dunia II, baik nasional maupun lokal, baik politik maupun sosio-keagamaan.
36
Masyumi pada priode pembentukan benar-benar merupakan massa kongret, seperti yang dikemukakan oleh Muhammad Natsir, salah seorang
pemimpin partai baru yang sangat berpengaruh di dalam Masyumi. Ungkapan yang disampaikan Natsir adalah menyalurkan aspirasi poitik ummat sebagai
cerminan dari potensi yang sangat besar dan kongkret. Pengamatan pada masa itu, suatu masa kongkret tanpa pimpinan partai politik yang berasaskan Islam
akan mudah jatuh ketangan Belanda yang sudah sejak semula menentang implementasi Syari’ah dalam kehidupan bernegara pada paska kemerdekaan
Indonesia.
37
Munculnya Partai Masyumi pada tahun 1945 dapat dikatakan sebagai jawaban yang positif oleh umat Islam di Indonesia terhadap manifesto politik
Wakil Presiden Mohammad Hatta pada tanggal 1 November 1945 yang mendorong pembentukan partai-partai.sehingga para pemimpin-pemimpin
umat telah memanfaatkan kesempatan baik ini, seperti golongan-golongan lain yang berbuat serupa.
Dalam kepengurusan Masyumi terlihat mencakup berbagai golongan dalam umat Islam. Hal ini telah terlihat dalam susunan Majlis Syuro dan
36
Ahmad Syafi’I Ma’arif, Islam dan Pancasila Sebagia Dasar Negara, Jakarta, P.T. Pustaka LP3ES 2006, cet.1 h. 112
37
Syafa’at Mintorejo, Islam dan Politik Islam dan Negara di Indonesia, Jakarta, P.T. t.p. 1973 h. 24
Pengurus Besar. Dalam Majlis Syuro, yang di Ketuai oleh K.H. Hasyim Asy’ari NU dan Wakil Ketua I adalah K.H. Wahid Hasyim NU, Wakil
Ketua II adalah Agus Salim PSII, dan Wakil Ketua III adalah Syekh Djamil Djambek Pembaharuan dari Sumatra Barat. Sedangkan dalam kepengurusan
besar terdiri dari para politisi karir, seperti Soekiman, Abikoesno, Muhammad Natsir, M. Roem, dan S.M. Kartosoewirjo.
38
Pada masa Orde Lama, Mohammad Nasir sempat dekat dengan Soekarno. Dan dia pula yang menuliskan naskah pidato Presiden pertama RI.
Serta Soekarno pula yang menyingkirkan Natsir, bahkan memenjarakan dan membubarkan partainya, Masyumi. Stigma pandangan sebagai tokoh garis
keras, radikal dilontarkan kepada Natsir. Setelah tahun 1958-1961, Natsir terlibat dalam gerakan PRRI Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia
meskipun ini merupakan ucapan ketidak-puasan terhadap kebijakan pemerintah pusat yang menyepakati perubahan bentuk negara dari Negara
Kesatuan NKRI ke negara Indonesia Serikat RIS. Tahun 1962-1964 menyingkirkan Natsir kedalam karantina politik di Batu, Jawa Timur. Pada
tahun 1964-1966 Natsir di penjarakan di Tahanan Militer di Jakarta. Lebih dari itu Natsir bahkan terhapus dari buku-buku sejarah disekolah,
dalam dua periode yaitu Orde Lama dan Orde Baru namanya tidak tertulis disana. Namun bagaimanapun, Natsir tetaplah orang besar, didalam negeri
yang disingkirkan, tetapi kebesarannya tetap memancar sampai keluar negeri. Banyak pengamat Indonesia mengakui peran besar Natsir dalam sejarah
38
B.J. Boland, Pergolakan Islam di Indonesia, Jakarta: P.T. Grafiti Pers, 1985. H. 45
perjalanan bangsa. Pengakuan yang tidak kalah besarnya adalah Yang dikemukakan oleh mantan Perdana Meneteri Jepang, Takeo Fukuda. Ketika
cendikiawan Muslim ini wafat pada 6 Februari 1993, Fukuda mengatakan, “berita duka terasa lebih dahsat dari jatuhnya bom atom di Hirosima”, karena
kita kehilangan pemimpin dunia dan pemikir besar dunia Islam”.
39
Nastir mulai melibatkan diri dalam polemik tentang Islam dan kebangsaan pada tahun 1931, ketika berusia 23 tahun. Dan Nastir juga menulis
artikel berjudul, “Indonesisch Nasionalisme” di majalah Pembela Islam No. 36, Oktober 1931. lebih lajut lagi Natsir menegaskan pendiriannya yaitu:
pergerakan Islam-lah yang lebih dahulu membuka jalan politik kemerdekaan di tanah air ini, yang menyingkirkan sifat ke-Kepulauan dan ke-Provinsian,
yang pada mulanya menanam persaudaraan dengan kaum yang senasib di luar batas Indonesia, dengan tali ke-Islaman.
Merujuk kepada Bung Tomo yang selalu menggelorakan pidatonya dengan mengucapkan Allahu Akbar, Natsir mencatat bahwa Bung Tomo
bukan saja berani tampil kemuka memimpin perjuangan, akan tetapi ia juga mempunyai pengetahuan yang sering kali banyak orang tidak mengetahuinya,
yaitu pengetahuan dimana terletaknya kunci dari pada kekuatan bangsa kita ini. Di bukanya hati umat yang banyak itu dengan perkatan Allahu Akbar,
tahu bahwa ia mencari teman, dan tahu pula siapa-siapa teman yang dapat membangunkan tenaga dan menggelorakan tenaga itu.
39
Hery Sucipto, Menegakkan Indonesia: Pemikiran dan Konstribusi 50 Tokoh Bangsa Berpengaruh, Jakarta, P.T. Grafindo, 2004 cet.1. h. 401-402
Dengan sudut pandang demikian, Partai Masyumi tidak melihat ada masalah antara Islam dan kebangsaan, ia mengungkapkan bahwasannya kita
dapat menjadi muslim yang taat, dan dipandang dengan riang gembira dengan menyanyikan lagu Indonesia tanah airku.
40
Baik kekuatan maupun kelemahan Masyumi terletak pada watak federasi, yaitu perserikatan, penggabungan
beberapa kumpulan atau badan perkumpulan dengan maksud kerja sama untuk membangun sebuah negara di Indonesia dengan alat perjuangan dan aspirasi
umat Islam Indonesia. Bagi Natsir yang menjadi persoalan adalah hendak di isi dengan apa negara kita ini, dan bagaimana pula mengisi kemerdekaannya.
Pertanyaan-pertanyaan demikian menurut Natsir harus dijawab demi kepentingan bagi generasi kemudian.
Setelah menguraikan dari tokoh Islam yaitu Natsir, sekarang penulis membahas, S.M. Kartosoewirjo dalam kancah gerakan nasionalisme Indonesia
yang pada tahun 1926 ia memulai terlibat banyaknya aktifitas tentang organisasi pergerakan nasionalisme Indonesia di Hindia-Belanda. Untuk
melihat kiprah dan pemikiran. Kartosoewirjo yang dipengaruhi oleh berbagai ideologi ketika itu, maka terlebih dahulu penulis memahami konteks sosial-
politik kota Surabaya tahun 1920-an, yang pada waktu itu juga Kartosoewirjo, tinggal dirumah H.O.S. Tjokroaminoto bersama Soekarno dan Semaun
41
Surabaya pada tahun 1920 sudah banyak bermunculan gerakan-gerakan kaum nasionalis dengan berbagai bentuk organisasi tempat mereka berkumpul
40
Evi Linda Astuti, skripsi Nasionalisme Dalam Pandangan Mohammad Natsir: Studi Pemikiran Moh. Natsir Tentang Nasionalisme, Jakarta, UIN Syahid, 2005. h. 62-65
41
Al-Chaidar, Pengantar Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M.. Kartosoewirjo,
Jakarta P.T. Darul Falah 2000 h. 24
dan berdebat tentang cita-cita bagaimana Indonesia di masa mendatang. Kemudian para intelektual mulai memikirkan tentang sistem negara, ideologi
atau haluan politik, dan bentuk perjuangan, yang semuanya mengambil konsep modern dari Barat.
Pada bulan Juni 1946, Masyumi daerah Jawa Barat tepatnya di Priangan mengadakan konfrensi untuk memilih Pengurus yang baru. Dalam konfrensi
tersebut Kartosoewiryo menunjuk K.H. Muhtar sebagai ketua umum dan Wakilnya adalah Kartosoewiryo sendiri. Sanusi Partowijoyo menjadi
sekretaris badan pengurus, Isa Ansori dan K.H. Toha memimpin bidang informasi. Dalam konfensi tersebut Kartosoewiryo menyampaikan pidato
tentang haluan politik Islam yang berisi pertanyaan mengenai siapa yang berkuasa di Indonesia, dengan memahamkan dirinya kepada ajaran Islam yang
hanif, Kartosoewiryo mengajukan persatuan dalam cita-cita perjuangan. Ia memperingatkan para pendengarnya yang sekaligus sebagi pendukungnya,
bahwa konflik antara sesama bangsa Indonesia sendiri hanyalah akan menguntungkan Belanda, dan ia mendesak menghentikan perbedaan-
perbedaan ideologi. Setelah tercapainya kemerdekaan, perbedaan-perbedaan ini dapat dicari akar penyelesaiannya secara demokratis, menurut kedaulatan
rakyat.
42
Persaingan antar ideologi politik mendapat ruang geraknya, terutama setelah maklumat pemerintah yang di tandatangani oleh Wakil Presiden
Republik Indonesia Mohammad Hatta. Melalui maklumat itu lahir partai-
42
Al-Chaidar, Pengantar Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M.. Kartosoewirjo,
Jakarta P.T. Darul Falah 2000 h. 66
partai politik yang tumbuh di masyarakat. Bahaya persaingan politik ini dirasakan juga oleh Masyumi, sehingga dalam manifest membuktikan politik
1947 perlu ditegaskan menambah tersebarnya ideologi Islam dikalangan masyarakat Indonesia, dengan tidak menghalangi pihak lain yang sejalan
memperkokoh sendi ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Dan membentengi jiwa umat Islam dari infiltrasi pembebasan ideologi-ideologi yang bertentangan
dengan agama Islam, dengan tekat fisabilillah. Kemudian para pemimpin kaum pemuda baik dari perkotaan dan
pemuda-pemuda pedesaan bergabung secara resmi dengan tokoh-tokoh Hokokai yang dipimpin oleh Soekarno. Pada bulan Desember 1945 Masyumi
juga diperbolehkan memiliki sayap Militer yang bernama Hisbullah Pasukan Tuhan, yang memulai latihannya pada bulan Februari 1946 dan mempunyai
50.000 orang anggota pada masa ahir perang. Kepemimpinan ini, di dominasi oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah dan anggota-anggota kelompok PSII dari
masa sebelum perang yang bersifat koopratif secara bersama-sama yang dipimpin oleh Agus Salim. Kemudia para politisi penting Islam dari masa
sebelum perang yang bersifat non-koopratif dilangkahi.
B. Masyumi dan Kabinet Soekiman 1951-1952